Kode Etik Militer Perspektif Hukum Internasional

ARTIKEL HUKUM
“Vis consilii expers mole ruit sua.” Kekuatan tanpa kebijaksanaan, akan runtuh karena kehebatannya sendiri. (Horace, Odes)
Terdapat perbedaan paradigma antara rezim militeristik lokal / domestik dengan asas militer global kontemporer. Telah terjadi pergeseran kecenderungan, salah satunya perihal kepatuhan “membuta” terhadap perintah atasan sebagai suatu rantai komando yang tidak dapat dibantah (chain of command), menjadi kepatuhan yang bersifat “rasional”—alias ketidak-patuhan yang dapat ditolerir oleh hukum internasional.
Dalam ulasan ini, penulis mengutip dari konsepsi perihal pendulum modern konsepsi militeristik, yang dirujuk dari buku yang ditulis oleh Hans Born, dkk., Pengawasan Parlemen dalam Sektor Keamanan: Asas, Mekanisme dan Pelaksanaan, Penerjemah: J. Soedjati Djiwandono, Penerbit: Inter-Parliamentary Union Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces, Dicetak Edisi Terjemahan Indonesia: CSIS, Jakarta, 2005.
Dalam konsep klasik yang orthodoks, kepatuhan pada perintah atasan (rantai komando), adalah “harga mati” yang tidak dapat ditawar-tawar. Sementara dalam doktrin yang lebih modern, ketidak-taatan pada perintah-perintah yang ilegal dan kasar, dapat saja dilegalkan. Di banyak negara, hukum mengharuskan masing-masing komandan menaati aturan hukum setiap kali mengeluarkan perintah, karenanya secara tidak langsung membatasi wewenang komandan. Sebab itu, setiap prajurit memiliki kewajiban untuk tidak menaati perintah-perintah ilegal yang menjurus kriminil. (ibid, hlm. 188)
Oleh sebab itu pula, untuk mengetahui mana perintah yang ilegal dan yang legal, setiap prajurit tentunya perlu dibekali pengetahuan tentang hukum yang memadai, disamping keterampilan bertempur. Tanpa pengetahuan hukum yang memadai demikian, maka seorang prajurit sama sekali “buta”, seolah tanpa “kompas penunjuk arah”. Tanpa pengetahuan demikian, pilihan bagi seorang prajurit ialah patuh secara “membuta” terhadap setiap perintah atasan di kesatuannya.
Konsekuensinya, tiada prajurit dapat membenarkan tindakan-tindakan dengan mengacu pada suatu perintah yang memaksanya melakukan kejahatan. Karena itu, prajurit tidak lagi wajib melaksanakan suatu perintah, jika perintah itu tidak berhubungan dengan tugas, atau melanggar martabat manusia. Hal demikian mengandung arti, bahwa para prajurit itu sendiri selalu harus bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan individualnya, bahkan ketika mereka melakukan suatu aksi karena dilandasi perintah oleh seorang atasan. (ibid)
Untuk itu, pemimpin puncak militer harus didorong untuk memberi contoh dan menjadikannya preseden yang diketahui oleh publik, bahwa perintah atau tindakan prajurit yang tidak demokratis, inkonstitusional, terlebih imoral, tidak diizinkan. Misalnya, setelah Argentina kembali menerapkan prinsip demokratis, jenderal-jenderal tertinggi kemiliteran Argentina menyerukan bahwa “tujuan tidak membenarkan penggunaan segala cara”, dan bahwa siapapun yang memberi perintah yang imoral, ialah melanggar hukum. Lewat pernyataan eksplisit demikian, pimpinan puncak menjadikannya jelas bahwa setiap prajurit akan dianggap bertanggung-jawab secara perorangan atas setiap kejahatan maupun pelanggaran, dan bahwa tidak akan dapat berdalih bahwa mereka hanya sedang menaati perintah (ilegal) dari atasan mereka. (ibid)
Menutup celah impunitas, artinya harus siap untuk tidak menolerir setiap kesalahan profesi yang semestinya profesional. Aspek moril seorang anggota kesatuan prajurit, perlu mendapat wadah dengan diberi kebolehan secara legal untuk membantah atau bahkan memabngkang perintah atasan yang tidak rasional. Penulis menyebutnya sebagai “diskresi untuk menyimpangi perintah”.
Untuk itu, code of conduct yang sesuai dengan tuntutan zaman demokratik perlu disusun, atau setidaknya di-deregulasi. Menjadi penting untuk meningkatkan kehendak personil prajurit untuk melaksanakan tugas-tugas mereka “secara sadar”. Dalam tingkat internasional, terdapat instrumen acuan bagi etos profesional prajurit dalam masyarakat demokratis.
Tahun 1996, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan International Code for Law Enforcement Officials, yang bersifat umum serta dapat diterapkan tidak saja pada prajurit berseragam, namun juga semua pejabat publik yang bekerja dalam badan-badan penegakan hukum, sebagai berikut: (ibid, hlm. 190—191)
Code of Conduct for Law Enforcement Officials
Disahkan oleh resolusi Sidang Umum 34/169 pada tanggal 17 Desember 1979
Pasal 1 : Pejabat-pejabat penegak hukum harus setiap waktu memenuhi tugas yang diberikan kepada mereka atas dasar hukum, dengan melayani masyarakat dan melindungi semua orang dari tindakan-tindakan ilegal, konsisten dengan tanggung jawab yang besar diperlukan oleh profesi mereka.
Pasal 2 : Dalam melaksanakan tugas mereka, pejabat penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan memelihara dan menegakkan hak-hak asasi semua orang.
Pasal 3 : Pejabat-pejabat penegak hukum dapat menggunakan kekerasan hanya ketika sungguh-sungguh diperlukan dan pada taraf yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas mereka.
Pasal 4 : Hal-hal yang bersifat rahasia yang dipunyai oleh pejabat-pejabat penegak hukum, harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali pelaksanaan tugas atau keperluan akan keadilan memang menghendaki sebaliknya.
Pasal 5 : Tidak ada pejabat penegak hukum yang boleh mengenakan, menghasut, atau membiarkan aksi penyiksaan, perlakukan / hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan, dan tidak juga pejabat penegak hukum boleh meminta perintah yang lebih tinggi atau keadaan istimewa seperti keadaan perang atau ancaman perang, ancaman pada keamanan nasional, ketidak-stabilan politik internal, atau keadaan darurat umum sebagai pembenaran atas penyiksaan atau perlakuan / hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan.
Pasal 6 : Pejabat penegak hukum harus menjamin perlindungan penuh atas kesehatan orang-orang dalam tahanan mereka dan, khususnya, harus segera mengambil tindakan untuk mendapat perhatian medis kalau diperlukan.
Pasal 7 : Pejabat penegak hukum tidak boleh melakukan tindak korupsi. Mereka harus dengan gigih menentang dan memerangi semua tindakan seperti itu.
Pasal 8 : Pejabat penegak hukum harus menghormati hukum dan Kode Etik ini. Mereka juga harus, dengan segenap kemampuan mereka, mencegah dan dengan gigih menentang pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Pejabat penegak hukum yang mempunyai alasan untuk percaya bahwa suatu pelanggaran terhadap Kode Etik ini telah terjadi atau akan terjadi harus melaporkan hal itu ke atasan mereka dan, dimana perlu, ke penguasa atau organ-organ yang tepat yang mempunyai wewenang untuk meninjau atau memperbaiki.
Kode Etik Internasional kedua ialah OSCE Code of Conduct for Politico-Military Aspects of Security, yang mensyaratkan para prajurit dari kesatuan militer untuk menganut prinsip-prinsip legalitas, demokrasi, netralitas, hormat terhadap hak asasi manusia (HAM), serta taat terhadap hukum kemanusiaan internasional (hukum humaniter). Dikatakan bahwa, masing-masing prajurit militer tersebut dapat dituntut / dimintai pertanggung-jawaban secara perorangan atas pelanggaran hukum kemanusiaan. Kode etik demikian merupakan suatu kemajuan yang sangat penting. (ibid, hlm. 191)
Sejak negara-negara OSCE menanda-tangani Kode Etik tersebut pada tahun 1994, masing-masing negara dengan demikian harus mengelaborasi atau mengadaptasikan norma-norma tentang bagaimana merekrut, mendidik, melatih atau memimpin pasukan-pasukan mereka. Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut: (ibid, hlm. 192)
The OSCE Code of Conduct on Politico-Military Aspects of Security (1944), Section VII and VIII
Ayat 20—21 : Konsep yang luas tentang kekuatan-kekuatan internal yang mencakup: dinas-dinas intelijen, paramiliter, dan polisi. ketentuan ini menyatakan kewajiban negara untuk memelihara kekuatan-kekuatan itu dibawah kontrol demokratis yang efektif melalui penguasa-penguasa yang mempunyai legitimasi demokratis.
Ayat 22 : Ketentuan mengenai persetujuan legislatif atas anggaran pertahanan dan dorongan untuk melakukan pengekangan dalam pengeluaran militer. Transparansi dan akses publik pada informasi yang berkaitan dengan angkatan bersenjata.
Ayat 23 : Netralitas politik angkatan bersenjata.
Ayat 31 : Personalia angkatan bersenjata dapat dituntut akuntabilitas individual atas pelanggaran hukum kemanusiaan internasional.
Ayat 34 : Dalam damai dan dalam perang, angkatan bersenjata dipimpin, diawaki, dilatih, dan diperlengkapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Ayat 36 : Menempuh jalan kekerasan dalam melaksanakan misi keamanan internal harus seimbang dengan kebutuhan pelaksanaan. Angkatan bersenjata akan berhati-hati untuk menghindari luka pada orang-orang sipil atau hak milik mereka.
Ayat 37 : Penggunaan angkatan bersenjata tidak dapat membatasi pelaksanaan secara damai dan legal hak-hak manusia dan sipil warga negara atau menghilangkan identitas nasional, keagamaan, budaya, bahasa atau etnis mereka.
Sementara perihal yurisdiksi peradilan militer, persyaratan disiplin militer didasarkan pada sejumlah kondisi yang berasal dari sifat yang unik dari misi militer. Misalnya, komunitas militer mempunyai perspektif yang berbeda tentang tingkah laku pidana dari perspektif komunitas sipil. Sebagai contoh, seorang karyawan sipil tidak tunduk pada tuntutan pidana karena tidak melaksanakan suatu tugas pekerjaan atau gagal melaksanakan pekerjaan dengan baik. Majikannya mungkin akan memecat karyawan itu karena kinerja yang kurang baik dan menolak memberi rekomendasi baginya untuk mendapatkan pekerjaan di tempat lain, tetapi sang majikan tidak meminta bantuan pengadilan pidana. (ibid, hlm. 193)
Sebaliknya, personil prajurit tunduk pada tuntutan pidana karena meninggalkan posnya atau tidak menyelesaikan suatu penugasan menurut ukuran dan persyaratan khusus. Tingkah laku demikian tidak hanya merupakan kelalaian tugas, tetapi juga membahayakan keselamatan dan kesejahteraan personil militer lainnya—kemiliteran tidak menolerir kesalahan akibat kelalaian, sebagai bagian dari disiplin militer. Contoh lain dari pelanggaran militer yang tidak berlaku dalam masyarakat sipil, meliputi pendaftaran palsu, desersi, absen tanpa izin, ketinggalan gerakan, tidak hormat pada perwira atasan yang lebih tinggi, pemberontakan, menghilangkan logistik berbahaya, membantu musuh, serta tidak menjalankan tugas. (ibid)
Isu demikian melahirkan sebuah isu turunan, bahwa kejahatan apa yang harus dibawa ke ranah yurisdiksi peradilan militer, dan manakah yang merupakan domain yurisdiksi peradilan umum (sipil). Sebagai suatu prinsip yang ideal, peradilan militer harus digunakan secara terbatas dan yurisdiksi peradilan umum (sipil) harus diberlakukan seluas mungkin. Yurisdiksi peradilan militer haruslah terbatas untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi militer, dan Kode Etik Militer maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer harus sesedikit mungkin tumpang-tindih dengan hukum pidana sipil. (ibid)
Di kebanyakan negara, pengadilan militer tidak menjadi bagian dari pengadilan yang independen dan mandiri, tetapi dikualifikasi sebagai pengadilan administratif dalam kalangan internal angkatan bersenjata yang merupakan bagian dari Lembaga Eksekutif. Hal demikian berarti hakim-hakim militer seringkali tidak diangkat melalui ketentuan-ketentuan konstitusional maupun persyaratan untuk dapat diangkat sebagai seorang hakim. Tetapi adalah esensial untuk dipahami bahwa semua kasus pengadilan militer harus dipantau oleh kepala dari Lembaga Yudikatif. Di banyak negara, pengawasan dan kontrol kinerja demikian dilakukan melalui dibentuknya mekanisme pengajuan upaya hukum banding di pengadilan sipil sebagai kasus-kasus banding sebagai tindak-lanjut yurisdiksi pengadilan militer pada lapis pertamanya. (ibid)
Untuk itu perlu dipastikan, setiap personil militer mengikrarkan sumpah kesetiaan kepada konstitusi, aturan hukum, dan lembaga-lembaga negara, tetapi tidak kepada perorangan. Pendidikan militer dilangsungkan dalam nilai-nilai dan norma-norma demokrasi, hukum hak-hak sipil dan kemanusiaan, sebagai bagian standar setiap kurikulum latihan militer maupun SOP dalam setiap oprasi militeristik-nya. (ibid, hlm. 194)
Prinsip internasional tidak membenarkan perwira-perwira militer aktif untuk duduk menjadi anggota parlemen. Perlu juga ditanamkan dalam alam pikir setiap anggota prajurit, agar berani untuk tidak menaati perintah-perintah yang ilegal dan kasar berdasarkan hukum, alias tidak turut serta menjadi bagian dari perilaku kriminil. Untuk itu kompetensi yurisdiksi militer harus sangatlah dibatasi domainnya, dimana setiap putusan pengadilan miltier selalu harus dapat diajukan upaya hukum banding di hadapan pengadilan pidana sipil (pengadilan umum). (ibid)
Perlu ditegakkan mekanisme akuntabilitas individu masing-masing prajurit dan mekanisme akuntabilitas internal lembaga militer, dengan mengakomodasi kesempatan untuk meninjau tuduhan pelanggaran maupun keluhan publik, dan untuk proses penghukuman bagi mereka yang bertanggung-jawab secara Kode Etik maupun secara pidana. Perlu juga adanya pengawasan agar mekanisme demikian diterapkan secara seefektif mungkin. (ibid)
Sekalipun diakui keberadaan “hak-hak sipil prajurit”, namun tetap perlu adanya pembatasan secara hukum terhadap hak-hak sipil prajurit, untuk menjamin kesiagaan dan netralitas politik dinas-dinas militer. Tetapi juga perlu kita ingat, bahwa mengurangi hak-hak sipil harus dengan langsung berkaitan dengan sifat unik dan tugas-tugas dinas-dinas keamanan, yaitu monopoli kekerasan dalam masyarakat. Penerimaan batas-batas pada hak-hak sipil demikian, harus diberi kompensasi dalam saluran-saluran yang efisien, guna menebus keluhan-keluhan. (ibid)
Perlu juga dikukuhkan secara hukum (agar terlembagakan asas legalitas), bahwa masing-masing prajurit, termasuk juga mereka yang menjadi bagian dari anggota wajib militer, mempunyai kewajiban untuk tidak menaati perintah-perintah yang ilegal dan tidak etis diluar koridor hukum maupun perintah-perintah yang bertentangan dengan norma-norma hukum kemanusiaan dan HAM internasional, sebagai kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi anggota prajurit bersangkutan. Penting juga adanya ketegasan profesionalisme profesi, dengan cara membentuk regulasi yang melarang secara tegas bagi lembaga militer dan personil lain dari dinas-dinas keamanan dari “pekerjaan ganda” (double job) (seperti menjadi tentara petugas keamanan bayaran bagi perusahaan-perusahaan sipil) seperti terlibat dalam praktik-praktik komersiel secara pereorangan maupun sebagai suatu kelompok / organisasi. (ibid, hlm. 195)
Perlu juga dipahami, dalam suatu lingkungan tertentu, gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hidup layak, dan/atau pembayarannya yang tidak menentu dapat menyebabkan dinas-dinas keamanan melakukan tindak pidana korupsi atau bahkan kekerasan dan kejahatan. Disamping itu, keuntungan finansial dan hak-hak istimewa prajurit dan para pemimpinnya haruslah tidak sedemikian, sehingga menciptakan kepentingan yang tertanam dan mendorong dinas-dinas keamanan berusaha mempertahankan pengaruh politiknya (politic interest). (ibid, hlm. 198)
Hal-hal demikian harus menjadi sepengetahuan publik, dan diimbangi dengan keuntungan-keuntungan finansial dan hak-hak istimewa yang ditawarkan kepada pegawai-pegawai pemerintah. Hak-hak istimewa demikian haruslah konsisten dengan kondisi-kondisi unik dari dinas yang penuh resiko yang dituntut dari seorang prajurit dalam daerah-daerah operasi. (ibid)
Bandul pendulum yang bergerak menuju era pertanggung-jawaban atas kesadaran pribadi setiap individu masing-masing anggota personil angkatan bersenjata. Sebelumnya, dalam konsep doktrin klasik, kepatuhan adalah jalan paling aman bagi setiap anggota prajurit dari resiko hukum yang mungkin dapat terjadi.
Kini, tidak ada lagi alasan adanya perintah atasan sebagai alasan pembenar ataupun alasan pemaaf. Setiap anggota prajurit dituntut untuk “seharusnya tahu” (ought to know) bahwa suatu perintah dalam hal-hal tertentu yang ilegal, tidak dapat diikuti atau bahkan patut dilawan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.