Kewajiban Pengusaha & Pekerja bila Perusahaan Pindah ke Lain Kota

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS, PENGGUGAT & TERGUGAT SAMA-SAMA BERSALAH
Question: Gimana aturan hukumnya yang menjadi kewajiban masing-masing, antara pihak perusahaan dan pihak karyawan, bila seandainya pabrik perusahaan di satu kota tutup lalu pindah ke lain kota yang berjauhan provinsinya dari tempat semula perusahaan beroperasi?
Brief Answer: Bila perusahaan menutup usahanya untuk pindah ke tempat lain, maka pihak Pengusaha wajib memberi surat perintah mutasi (dan/atau surat panggilan masuk bekerja dari tempat kerja barunya) bagi sang Pekerja, sementara sang Pekerja memiliki kewajiban untuk menyatakan “kesediaan” atau “ketidak-sediaannya”.
Hanya ketika sang Pekerja menolak mutasi akibat penutupan perusahaan demikian, maka itulah yang disebut dengan pilihan untuk menggunakan opsi PHK (pemutusan hubungan kerja) diri sendiri disertai dengan hak untuk menuntut kompensasi pesangon. Sehingga, tutupnya perusahaan yang pindah ke tempat lain, tidak otomatis dimaknai sebagai PHK sepihak.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan kasus yang cukup representatif, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 63 PK/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 8 Juni 2017, perkara antara:
- Ir. H. SINURAT, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. IMPACT INDONESIA, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat.
Penggugat bekerja pada Tergugat terhitung sejak tahun 1978, dimana pada awalnya Tergugat berkantor di Jakarta, namun pada tanggal 5 Juli 2012 Tergugat menerbitkan surat pemberitahuan kepada Penggugat tentang penutupan kantor di Jakarta terhitung tanggal 1 Agustus 2013 dan menyampaikan bahwa seluruh aktivitas perusahaan akan disatukan ke Surabaya.
Tanggal 21 Mei 2013, Tergugat menyampaikan surat pemberitahuan kepada Penggugat tentang penghentian transfer gaji terhitung tanggal 30 Mei 2013, dikarenakan Tergugat beralasan Penggugat dari bulan Mei 2010 sudah tidak aktif bekerja, padahal faktanya Penggugat masih bekerja dan memberikan order dari pelanggan ke Tergugat, dimana upah Penggugat diberikan hanya sampai bulan Mei 2013. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya, hanya diinformasikan pada bulan yang sama dimana gaji terakhir diberikan.
Tanggal 4 Juli 2013, Tergugat menyampaikan surat kepada Penggugat perihal dana pesangon yang meminta Penggugat untuk menanda-tangani surat pengunduran diri beserta perhitungan pesangon pengunduran diri. Penggugat merasa hal demikian merupakan suatu “pemaksaan” yang melanggar hukum ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 04/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 22 Juni 2015, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat tidak terbukti sakit terus-menerus (berkepanjangan) selama 12 bulan atau lebih, serta tidak terbukti mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan kecacatan, maka tuntutan Penggugat supaya hubungan kerja dinyatakan putus berdasarkan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, dinyatakan ditolak. Adapun alasan PHK yang tepat untuk menyatakan putusan hubungan kerja Penggugat, akan dipertimbangkan dibawah ini;
“Menimbang, bahwa memperhatikan sikap masing-masing Penggugat dan Tergugat tersebut, dimana Penggugat tidak menyatakan bersedia pindah ke Surabaya, dan Tergugat tidak mengajak Penggugat pindah ke Surabaya, Majelis Hakim berpendapat bahwa para pihak telah dengan sengaja membiarkan hubungan kerjanya mengambang.
“Sesuai dengan fakta tersebut, maka dengan mempertimbangkan keadialan yang tepat bagi kedua belah pihak, majelis hakim menyatakan hubungan kerja Penggugat putus karena Tergugat telah menutup kantornya di Jakarta. Menurut Majelis Hakim, kaiau Penggugat ingin diakui tetap bersedia bekerja pada Tergugat, Penggugat harus pindah atau menyatakan bersedia pindah ke kantor Tergugat di Surabaya;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat  sejak Juni 2013;
3. Menghukum Tergugat membayar kepada Penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak sebesar Rp371.450.000,00 (tiga ratus tujuh puluh satu juta empat ratus lima puluh ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 843 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 4 Februari 2016 adalah sebagai berikut:
“Bahwa ketentuan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (yang mewajibkan pemberian pesangon 2 kali ketentuan PHK normal), tidak beralasan diterapkan dalam perkara ini karena sesuai fakta hukum berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penilaian atas alat bukti Judex Facti telah benar mempertimbangkan dan menerapkan hukum;
“Bahwa fakta hukum yang terbukti dalam perselisihan PHK, menutup perusahaan di Jakarta sejak tanggal 1 Agustus 2013 dan pindah ke Surabaya, Penggugat tidak menyatakan bersedia pindah, demikian pula Tergugat tidak memerintahkan Penggugat pindah, kedua belah pihak telah melakukan kesalahan, yaitu tidak melaksanakan kewajiban masing-masing;
MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Ir. H. SINURAT, tersebut.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa pihak perusahaan selain tidak bisa menunjukkan kerugian perusahan sehingga menutup perusahaan, juga tidak pernah merundingkannya kepada Pekerja terkait rencana pemutusan hubungan kerja, melainkan melakukan tindakan berupa serta-merta menghentikan gaji secara sepihak.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak didahului pemberian surat peringatan serta tanpa adanya keputusan pengadilan, melainkan dengan sepihak menghentikan pemberian gaji. Sang Pekerja dalam gugatannya dengan demikian mencampur-adukkan antara “perusahaan yang tutup” dengan “PHK sepihak”, meski kedua konsepsi tersebut sejatinya memiliki konsekuensi yurudis masing-masing.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali tanggal 26 Oktober 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dan Judex Juris dalam perkara a quo tidak ditemukan adanya suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa novum-novum yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali berupa Surat Keterangan yang dibuat oleh Rumah Sakit Mitra Keluarga tanggal 1 Juli 2015, 30 Juli 2015, serta 7 Agustus 2015 dibuat setelah adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga tidak bisa disebut novum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b Undnag-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
- Bahwa keberatan-keberatan Pemohon Peninjauan Kembali pada prinsipnya hanyalah merupakan perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Judex Facti dan Judex Juris dalam menilai fakta persidangan, sehingga bukan merupakan kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf f Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali Ir. H. SINURAT tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali Ir. H. SINURAT, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.