Kehidupan Sosial Saling Berbagi Ruang Nafas, Ruang Gerak, & Sumber Daya

ARTIKEL HUKUM
Bila Anda merasa memiliki hak untuk hidup tanpa diganggu, maka orang lain pun memiliki hak yang sama untuk hidup, bukan hanya Anda. Adalah asumsi yang arogan, berpikir bahwa hanya seseorang yang harkat dan martabatnya yang lebih berharga daripada individu lainnya. Ibarat seorang perampok, pencuri, penipu, pemeras, penyerobot, mereka merasa berhak untuk mengisi perut mereka dengan makanan untuk menghindari ketakutakan dari kelaparan, hanya saja caranya ialah dengan mengambil makanan dari piring milik orang lain.
Itukah yang disebut dengan “hak”, ataukah “hak yang semu”? Bahkan tidak jarang, mereka melakukannya demi dapat hidup dengan pola hidup mereka yang hedonis—demi bersenang-senang, bukan sekadar untuk mengisi perut. Lapar, bukan menjadi alasan pembenaran diri untuk mengambil makanan milik orang lain, seolah-olah orang lain tidak dapat merasakan rasa lapar serupa. Namun berapa banyak diantara kita, yang mau menyadari isi perasaan dan harapan orang lain, selain terpaku pada pemuasan egosentris diri kita sendiri?
Perumpamaan berikut dapat menjadi cerminan sederhana, yang pastilah pernah kita jumpai dikeseharian, entah sebagai pelaku, atau sebagai korban yang harus memetik “getah”-nya. Seseorang warga, mengatas-namakan telah atau sanggup membayar tagihan pasokan air bersih, memboros-boroskan pemakaian air bersih, entah air yang didapat dari mata air tanah maupun dari perusahaan daerah pemasok air bersih.
Apa yang kemudian terjadi, karena jumlah debit air yang dapat didistribusikan, sifatnya terbatas, dampak langsung maupun tidak langsungnya ialah kian menipisnya debit pasokan air yang mengalir menuju perumahan penduduk lainnya, menurunnya permukaan tanah, akibat air tanah yang terhisap atau pasokan yang banyak dihabiskan sumber dayanya oleh hanya segelintir warga yang tidak bertanggung-jawab, terlebih bila aksi demikian berupa pencurian, tanpa mau menyadari bahwa akibat perbuatannya mengakibatkan mereka yang lebih berhak dan lebih membutuhkan air bersih, menjadi tidak tersalurkan pasokan air bersih.
Sama seperti ketika para warga yang bermukim di wilayah hulu sungai, membuang segala sampah dan pencemaran ke air di sungai yang mengalir ke hilir. Di bagian hilir, pada gilirannya terjadi penumpukan sampah, endapan lumpur bercampur limbah domestik atau bahkan limbah kimia dan logam berat beracun dari pabrik yang membuang limbahnya ke aliran sungai. Mereka di hulu yang membuang segala polusi dan pencemaran air, namun warga di hilir yang menanggung dampaknya.
Keburukan karekter paling utama dari penduduk Indonesia: egoistik nan egosentris, dipertebal oleh berbagai justifikasi diri. Contoh lainnya, yang pastilah juga dapat kita jumpai dengan mudah di lingkungan pemukiman kita: terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab, dengan selalu memarkirkan kendaraan mobil mereka di pinggir jalan umum. Bahkan, tidak jarang, mereka memarkir mobil mereka tepat di depan pagar warga lain meski mereka memiliki garasi di rumahnya sendiri. Mereka yang punya mobil, namun dampaknya warga lain yang harus menanggung bebannya. Adalah ironis, bila perilaku demikian masih harus diberi teguran oleh pemilik rumah yang halaman depan pagarnya diparkir kendaraan milik orang lain, sementara mereka adalah orang dewasa yang semestinya dapat berpikir sendiri.
Sama seperti orang-orang yang mampu membeli gas elpiji non subsidi (yang notabene terbatas hanya untuk kalangan miskin, namun tetap juga diambil oleh orang-orang kaya yang tidak pernah terpuaskan), namun demi kesenangan isi perutnya semata, memasak makanan dengan menggunakan kayu yang dibakar sehingga menimbulkan asap yang mencemari (polusi udara), yang bahkan kegiatan pembakaran demikian dilakukan tepat di dekat ventilasi rumah kediaman warga lain (seolah disengaja, tanpa mereka mau membakarnya di depan rumah mereka sendiri).
Mereka yang ingin kenyang dengan makanan yang enak, namun orang lain yang harus menanggung polusi udaranya. Terlebih bila kegiatan pencemaran udara demikian terjadi untuk setiap harinya, seperti yang kediaman penulis alami setiap harinya, akibat ulah tetangga yang intoleran, sok berkuasa selaku etnis mayoritas terhadap kami yang minoritas—benarlah apa yang dikatakan oleh Lord Acton: power tends to corrupts. Kekuasaan sosial mayoritas, ialah “kekuatan” itu sendiri, yang cenderung disalah-gunakan oleh kalangan tersebut.
Keluarga penulis tidak pernah mengganggu penduduk lain, namun mengapa mereka merasa berhak untuk membalas sikap damai “tidak pernah mengganggu” kami dengan justru mengganggu kehidupan kami, seolah mereka memiliki hak untuk mengganggu kehidupan orang lain, sementara diri mereka sendiri tidak mau diganggu? Apakah hanya karena keluarga penulis adalah etnis minoritas, maka mereka merasa berhak untuk menzolimi keluarga penulis? Bila memang demikian adanya, maka negara-negara lain dimana mereka adalah minoritas, maka warga mayoritas berhak untuk melakukan perbuatan serupa. Pada saat itulah, mereka tidak berhak untuk mengajukan protes.
Mengapa harus mencari kesenangan, dengan cara mengorbankan ketenangan hidup orang lain? Itulah pertanyaannya. Ketidak-mampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis, adalah cerminan gagalnya untuk bersikap kreatif mencari hiburan yang sehat, kreatif, dan tidak merugikan orang lain. Orang-orang kreatif tidak mencari solusi dengan cara-cara instan seperti merenggut makanan / kesenangan milik orang lain dengan cara tipu-daya.
Ketika para pelakunya ditegur, namun justru menampilkan sikap arogan, “masak-bodoh”, atau bahkan lebih galak daripada korban mereka, maka itulah yang disebut sebagai cerminan betapa dangkal karakter maupun moralitas suatu bangsa—yang mana ironisnya, Bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang agamais dan menjunjung “halal lifestyle”.
Sama seperti berbagai toko material yang bertebaran di berbagai lokasi pemukiman penduduk, pemilik toko material mau berusaha dibidang penjualan bahan material, akan tetapi disaat bersamaan mengorbankan ketenangan warga penduduk setempat di pemukiman, lewat berbagai polusi udara, polusi suara, hingga cukup membahayakan warga setempat yang hendak melintas ketika toko material tersebut beroperasi mengangkut dan menurunkan bahan-bahan material.
Lingkungan pemukiman / perumahan, yang semestinya menjadi tempat untuk istrirahat bagi penghuninya secara tanpa gangguan, justru menjelma gaduh akibat salah satu / beberapa warga menjadikannya sebagai tempat usaha yang berdampak secara fisik maupun terhadap ekosistem pemukiman. Mereka mendalilkan, jika tidak mau berisik, silahkan tinggal di hutan. Dalil demikian hanya cocok untuk mereka telan sendiri, karena pemukiman memang ditujukan bagi penduduk untuk tinggal dan beristirahat tanpa gangguan pelaku usaha, bukan untuk diganggu-ganggu. Bila ingin berisik, silahkan tinggal di hutan bareng monyet-monyet liar yang sama berisiknya.
Maka, Ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warga yang baik, akan berani secara tegas menolak segala bentuk penyimpangan terhadap fungsi pemukiman untuk tempat tinggal, bukan untuk tempat usaha. Namun, tiada Ketua RT / RW, terlebih aparatur Pemerintah Daerah yang perduli untuk menindak berbagai penyimpangan demikian. Mereka membiarkan saja hingga menjelma kebiasaan yang dilestarikan mendarah-daging meski telah secara jelas-jelas mengganggu warga sekitar.
Sama seperti berbagai ulah perusahaan batu bara di Tanah Air, stockplle dibangun di berbagai lokasi hingga di tengah-tengah lingkungan warga desa mengakibatkan pencemaran air dan pencemaran udara, berbuah protes warga setempat, namun pihak otoritas membiarkan saja praktik demikian terjadi tanpa tindakan tegas, selain warga yang hanya mampu menulis surat pembaca berisi keluhan di berbagai media massa.
Sama juga seperti kegiatan penambangan pasir (galian pasir) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, tidak jarang terjadi di tengah desa yang berisi penduduk. Akibatnya, sumber mata air menghilang total, bahkan beberapa warga terancam keselamatannya akibat lubang-lubang menganga pasca penambangan pasir, secara ilegal maupun secara legal. Sementara uang hasil penambangan, dinikmati oleh pengusaha, atau akan cepat habis seiring waktu. Kedepannya, anak dan cucu akan bercocok-tanam apa di atas lahan yang telah rusak demikian? Itulah yang disebut sebagai: “merampas masa depan anak dan cucu”. Orang tua yang hanya mewariskan kerusakan alam, tidak cocok menjadi orang tua.
Contoh lain yang paling masif, ialah seputar hajatan. Mereka yang hajatan dengan memakai badan jalan umum, tapi warga lain yang kena imbas “getah”-nya: akses keluar masuk pengguna jalan praktis mereka tutup total sepenuhnya tanpa sisa satu jengkal pun, hingga berisik sampai tengah malam lewat ajang musik dangdut berpengeras suara menggelegar, sehingga warga setempat tidak dapat beristirahat bahkan hingga tengah malam.
Padahal mereka sadar sepenuhnya, apa urusannya dengan orang lain yang justru jadi kena “getah”-nya? Apakah dengan cara-cara seperti demikian, sang mempelai mendapat doa restu dari berbagai warga yang menjadi korban kegaduhan hajatan demikian? Alih-alih mendapat restu dan doa yang baik, berbagai umpatan dan caci-maki serta kutukan yang akan mereka terima. Bukanlah mereka tidak mampu menyewa gedung untuk resepsi hajatan, bahkan seorang lurah setempat yang bergaji puluhan juta Rupiah setiap bulannya, kerap kali memakai badan jalan umum untuk hajatan berbagai putra dan putri mereka.
Warga indonesia bukan tidak punya otak, karena rata-rata tingkat pendidikannya telah mencapai sarjana. Tapi, lebih tepatnya, ialah tidak punya malu, alias “sudah putus urat malunya”. Tubuh mereka terbalut dari ujung rambut sampai ujung kaki, namun perihal perilaku dan ucapan yang terlontar keluar dari mulut, sangatlah busuk.
Penulis menyebutnya sebagai penyakit mental. Degradasi moral demikian terjadi akibat standar moral yang mereka anut lewat keyakinan mereka, seolah menyakiti warga negara lain bukan suatu dosa yang menakutkan, bahkan bisa minta untuk dihapuskan, seolah mereka dapat menghapus “tinta merah” sejarah dengan keyakinan telah terjamin masuk surga—apapun perilaku mereka. Mereka tidak pernah kekurangan pembenaran diri dan justifikasi, itulah yang paling meletihkan ketika menghadapi orang-orang semacam itu. Tiada habisnya, sekaligus tanpa rasa bersalah terhadap para korban mereka.
Begitu pula ketika para pengusaha tamak hendak membuka lahan untuk perkebunan, mengapa orang lain hingga negara tetangga yang dibagi asap kepulan api pembakaran lahan, sampai-sampai Singapura komplain terhadap otoritas Indonesia akibat angin yang membawa asap hasil kebakaran hutan (disengaja) di Indonesia? Bahkan, aksi warga Indonesia, mampu mendobrak yurisdiksi kedaulatan negara tetangga lewat ekspor polusi. Warga Indonesia sangatlah terampil dalam urusan memproduksi polusi.
Hanya demi seorang / segelintir pengusaha perkebunan tamak, anak-anak tidak dapat berangkat sekolah, penerbangan maskapai udara dibatalkan lepas landas, anak kecil menderita penyakit saluran pernafasan atas, dan berbagai kerugian ekonomi dan kesehatan yang luar biasa mahalnya, jarak pandang di jalan raya menurun drastis, disamping kerusakan ekosistem lahan gambut.
Seakan, selama ini tidak pernah ada yang mengajari mereka perihal etika budi-pekerti yang paling sederhana: bahwa kita hidup saling berbagi ruang, saling berbagai udara, saling berbagi ketenangan, saling berbagi sumber daya, sehingga semestinya kita masing-masing jangan saling menggnggu ketenangan hidup orang lain—semestinya demikianlah hidup yang disebut harmonis dan saling toleran. Apakah kita selama ini dapat minum air kelapa sawit, minyak bumi, atau memakan batu bara?
Kodrat manusia, ialah meminum air bersih dari sumber mata air alami, memakan tumbuhan hijau sebagai faktor paling primer. Mengapa kita justru ingin mengubah Bumi hijau ini menjelma lahan tandus yang berlubang-lubang dan “terluka” dengan “borok” yang kian dibiarkan menganga dan diperparah setiap saatnya? Satu abad lampau, nenek moyang kita mampu hidup secara harmonis dengan alam, tanpa harus merusak.
Bahkan, terdapat seorang warga wanita dewasa berpakaian agamais yang menyebutkan: “Saya dapat tetap hidup sekalipun tanpa pohon!” Dirinya selama ini mengingkari oksigen yang telah dihirupnya, membalas kebaikan dari pemilik pohon dengan melakukan aksi anarkhi-radikalisme. Sukar dipercaya, namun benar terjadi faktanya. Hal-hal gila diluar kewarasan, tidak pernah habis-habisnya kita dijumpai di Indonesia. Sama seperti mereka yang demi menikmati nik0tin r0k0k, mengakibatkan per0kok pasif menderita kanker. Apakah si per0k0k aktif akan bersedia bertanggung-jawab?
Kini, apa yang akan kita wariskan pada generasi penerus? Generasi saat kini justru merenggut masa depan anak dan cucu kita atas lingkungan hidup. Apakah kita tidak dapat melihat dan merasakan dampak langsung pemanasan global akibat pola hidup dan pola berkegiatan yang merusak demikian? Mengapa kita masih juga berpura-pura tidak menyadarinya? Bukanlah Bumi yang kian tidak ramah terhadap penduduknya, akan tetapi sebaliknya yang terjadi.
Perilaku bar-bar (bagai manusia terbelakang dari zaman batu) di era modern sebagaimana ditampilkan secara vulgar oleh Bangsa Indonesia, merupakan cerminan konkret betapa rusaknya standar moral bangsa yang mengaku agamais ini—namun disaat bersamaan hampir seluruh penduduknya melakukan aksi korupsi di lingkungan tempat kerja mereka. Ada di antara Anda, yang berani mengklaim tidak pernah korup meski hanya sebatang peniti atau sebatang pensil? Tidak terkecuali korupsi waktu, korupsi kepercayaan, korupsi kejujuran, dsb. Jangan remehkan kekotoran batin, itu adalah pembenaran diri sekecil apapun sikap korup kita, korup tetaplah korup, suatu sikap kotor yang memalukan martabat umat manusia. Satu titik noda, dapat merusak susu sebelanga.
Sama juga, beribadah kenapa harus pakai pengeras suara, mengganggu ketenangan hidup umat beragama lain, seolah umat lain tidak berhak untuk beribadah dengan tenang sesuai keyakinannya masing-masing. Sama juga, mengapa yang berbeda keyakinan harus dibunuh? Apakah kemajemukan adalah kejahatan, sejak kapan? Sama juga, korupsi itu mengakibatkan rakyat banyak dirampok makanannya hanya demi ego perut satu orang pejabat.
Tidak ada orang yang melarang untuk berusaha, tidak ada juga orang yang melarang seseorang untuk beribadah, namun beribadah dan berusahalah dengan tidak menyakiti orang lain maupun makhluk hidup lainnya, itulah yang disebut usahan dan ibadah yang beradab. Usaha yang menyakiti / merugikan orang lain, itu adalah cerminan sifat egosentris. Pembenaran diri dan justifikasi, adalah salah satu karakter yang paling menonjol dari watak kemunafikan. Ketika watak kemunafikan ditampilkan, bahkan secara “seronok”, maka tidaklah patut “bangsa agamis” ini mengaku sebagai bangsa beradab.
Bangsa beradab, selalu dicirikan oleh perilaku “tahu malu”—suatu ciri kualitas batin yang tidak dimiliki Bangsa Indonesia. Orang yang takut berbuat jahat hanya karena ada sanksi, akan tetap berani berperilaku buruk ketika tiada orang lain yang menyaksikan. Sementara orang yang “tahu malu”, tidak akan sekalipun berbuat menyimpang, sekalipun tiada yang menyaksikan.
Kejujuran, bukanlah sebuah kejahatan. Bila ada pihak-pihak yang merasa tersinggung atas uraian yang terbuka “apa adanya” dari penulis, maka itu pastilah pihak-pihak yang selama ini menjadi: bila tidak pelaku pencemaran udara, maka merupakan pelaku pencemaran suara, atau pencemaran-pencemaran dan perusakan-perusakan lainnya.
Mengapa mencari makan atau kesenangan, dengan cara merenggut ketenangan hidup dan makanan milik orang lain, seolah hanya diri mereka sendiri yang paling berhak untuk hidup makmur dengan menumbalkan hidup individu lain? Manusia beradab, tidak akan pernah mencuri terlebih merampok kedamaian hidup warga negara lainnya. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Yang hidup dari merampok, akan mati karena perampokan, demikianlah pepatah pernah berpesan. Adakah kita sudah layak disebut sebagai “beradab”? Yang anti-kritik, tidak akan lagi dapat diperbaiki, dan itulah penyakit sosial yang patut dibuang ke tong sampah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.