Ambivalensi Ju-di Permainan Kartu Tanpa Taruhan Uang

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya jika main kartu remi dengan orang lain, itu apa selalu dimaknai sebagai ju-di? Kan, ada juga olahraga otak seperti permainan brigde yang memakai kartu remi, dan bahkan sudah resmi jadi salah satu cabang olahraga seperti dalam kancah Asian Game?
Brief Answer: Ketentuan hukum perlu mengatur secara tegas maksud dari delik ataupun norma larangan perju-dian, apakah merupakan ranah delik formil ataukah delik materiil. SHIETRA & PARTNERS menilai, kurang tepat bila dimaknai sebagai delik formil, dimana warga yang bermain kartu tanpa taruhan uang, tetap dimaknai sebagai telah melakukan pelanggaran terhadap hukum, karena perbuatannya yang dilarang oleh hukum, sehingga akan menjadi fatalistis bila kriminalisasi betul-betul sampai terjadi.
Namun, harus dapat kita maklumi, semua kegiatan dapat menjadi sarana “ju-di”. Sebagai contoh, para pemancing ikan bisa saja bertaruh dengan berspekulasi siapakah yang akan mendapat ikan paling besar maka ia yang akan memenangkan taruhan. Bahkan, bermain catur semata untuk “asah otak” sekalipun, dapat dimaknai sebagai “perju-dian” bila hukum memandangnya sebagai delik formil.
Problematik ketiga, apakah taruhannya harus berupa uang? Bagaimana bila taruhannya ialah, sebagai contoh, kuping pihak yang kalah akan disentil oleh pihak yang menang taruhan. Dalam taraf tertentu, bahkan membuka usaha pun bersifat “untung-untungan”, karena tiada kepastian usaha akan sukses atau bahkan menemui kebangkrutan. Sampai tahap tertentu, setiap kegiatan bersifat “spekulatif”, termasuk “bermain saham”. Sehingga delik “perju-dian” harus dirumuskan sangat terbatas sifatnya dan serapat mungkin kualifikasinya, agar tidak terkesan demikian mengekang kebebasan masyarakat.
PEMBAHASAN:
Terlepas dari dilematika demikian, ilustrasi konkret berikut tidak membahas ranah pidana, namun SHIETRA & PARTNERS akan merujuk secara perdata sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 1082 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 17 Januari 2017, perkara antara:
- PT. GLOSTAR INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 4 orang Pekerja, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Gugatan ini adalah gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dikarenakan Tergugat melakukan PHK terhadap Para Penggugat secara sepihak. Perundingan bipartit tidak mencapai titik temu, sehingga diteruskan penyelesaian melalui mediator Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi, dan telah terbit anjuran oleh mediator, namun Para Penggugat menolak anjuran tersebut, maka selanjutnya diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Yang menjadi pokok gugatan, sesuai norma Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Tergugat tidak boleh melakukan PHK terhadap Pekerja, sampai dengan adanya penetapan / putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan, sehingga Tergugat haruslah mempekerjakan Para Penggugat ke tempat dan bagian semula.
Fakta hukumnya, Tergugat telah melakukan PHK terhadap Para Penggugat secara sepihak pada tanggal 10 September 2015, sebelum memperoleh Penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun Tergugat kemudian men-skorsing Para Penggugat terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan tanggal 12 Desember 2015, dan setelah masa skorsing berakhir Tergugat tidak juga memperkerjakan Para Penggugat.
Mengingat hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat, secara yuridis dianggap belum pernah terputus, maka Tergugat wajib membayar upah dan hak-hak lainnya Para Penggugat setiap bulannya terhitung sejak Para Penggugat di-skorsing sejak tanggal 16 November 2015, sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum yang tetap, karena meski masa skorsing telah berakhir pada tanggal 12 Desember 2015, Tergugat tidak kunjung mempekerjakan kembali Para Penggugat.
Alasan terjadinya PHK, Para Penggugat melakukan perju-dian di lingkungan perusahaan. Bermula pada tanggal 30 Agustus 2015 sekitar pukul 05.30 pagi, Para Penggugat yang kebetulan shift malam melakukan permainan kartu domino untuk mengisi waktu menunggu jam pulang. Namun permainan domino yang dilakukan tidak menggunakan uang maupun taruhan apapun, dimana yang kalah harus mengocok kartu.
Disamping itu, Para Penggugat melakukan permainan domino / gaplek setelah pekerjaan Para Penggugat selesai dan telah mencapai target produksi yang ditentukan oleh Tergugat, sehingga permainan domino tersebut tidak mengganggu pekerjaan Para Penggugat.
Atas kejadian tersebut, Para Penggugat pada tanggal 31 Agustus 2015 kemudian diperiksa dan diperiksa oleh Satuan Pengamanan (Satpam) Tergugat PT. Glostar Indonesia, dimana hasil pemeriksaan Satpam: tidak ada satupun unsur dan bukti bahwa Para Penggugat bermain ju-di dengan uang atau taruhan apapun.
Walaupun Para Penggugat tidak terbukti melakukan perju-dian maupun merokok di tempat kerja sebagaimana hasil pemeriksaan Satuan Pengamanan terhadap Para Penggugat maupun saksi-saksi, namun Tergugat tetap melakukan PHK terhadap Para Penggugat.
Untuk itu Penggugat merujuk pengertian “ju-di” sebagaimana diurai dalam Ensiklopedia Indonesia “Ju-di dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya.”
Menurut Dra. Kartini Kartono, “ju-di” adalah “pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak / belum pasti hasilnya.”
Sementara faktor yang paling esensial akan kita dapatkan ketika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ju-di” atau “Permainan Ju-di” atau “Perju-dian”, dimaknai sebagai: “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”. Berju-di adalah “Mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar dari pada jumlah uang dan harta semula.”
Sementara rumusan delik pidana dalam KUHP terlampau luas (sumir) untuk dapat diterapkan, yakni sebagaimana norma Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengartikan Permainan Ju-di sebagai “tiap-tiap permainan dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Termasuk ke dalam pengertian permainan ju-di adalah juga pertaruhan atau hasil pertandingan atau permainan-permainan lain, yang tidak diadakan antara mereka yang turut serta sendiri dalam permainan itu, demikian juga setiap pertaruhan yang lain.”
Oleh karena permainan ju-di (hazardspel) merupakan kategori tindak pidana (delict) maka unsur-unsur dalam Pasal 303 Ayat (3) KUHP harus terpenuhi yaitu: a. unsur adanya pengharapan untuk menang; b. bersifat untung-untungan saja; c. dengan mempertaruhkan uang atau barang dan adanya insentif berupa hadiah bagi yang menang; dan d. pengharapan untuk menang semakin bertambah jika unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan.
Oleh sebab perju-dian merupakan tindak pidana, maka semua unsur-unsur perju-dian harus dibuktikan dahulu, barulah bisa dinyatakan Para Penggugat dinyatakan bermain ju-di dan bersalah. Juga, karena perju-dian merupakan tindak pidana, maka harus terlebih dahulu dilakukan proses hukum pidana untuk membuktikan apakah Para Penggugat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perju-dian atau tidaknya, demikian sang Pekerja mendalilkan.
Penggugat menuntut agar pihak Pengusaha menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), terhadap kesalahan berat yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), kategori kesalahan berat tindak pidana harus terlebih dahulu dilakukan proses hukum pidana untuk membuktikan bersalah atau tidaknya Para Penggugat.
Ditilik dari definisi perju-dian dan unsur-unsur perju-dian, permainan kartu domino tanpa adanya taruhan uang atau barang, dan tanpa adanya hadiah dalam bentuk apapun bagi yang menang, tidak dapat dikategorikan main ju-di ataupun perju-dian, maka dengan demikian PHK yang dilakukan Tergugat haruslah dinyatakan batal demi hukum. Tanpa taruhan, maka kegiatan demikian semata sebagai permainan belaka.
Disamping itu, seharusnya dilakukan skorsing terlebih dahulu oleh Tergugat, sementara Tergugat mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Setelah Tergugat mendapatkan penetapan mengenai PHK tersebut, barulah Tergugat diperbolehkan melakukan PHK terhadap Para Penggugat, bukan justru memutar-balik prosedur.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan sebagaimana register Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg tanggal 20 April 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Penggugat tanggal 10 September 2015, adalah tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat tidak pernah putus;
4. Menyatakan Para Penggugat atas kekeliruannya diberikan Sanksi Surat Peringatan 3 (SP III);
5. Memerintahkan Tergugat untuk memanggil dan mempekerjakan kembali Para Penggugat kebagian dan tempat semula, paling lambat 14 hari sejak putusan ini dibacakan;
6. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Para Penggugat sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap harinya apabila Tergugat lalai menjalankan putusan ini;
7. Membebankan seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp329.000,00 kepada Negara;
8. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang menarik untuk disimak, meski tidak dengan suara bulat, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 16 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 30 Mei 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa alasan Tergugat melakukan PHK terhadap Para Penggugat berupa melakukan ju-di dan merokok di tempat kerja, tidak terbukti sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti sehingga Putusan Judex Facti mempekerjakan kembali Para Penggugat sudah tepat;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Ad Hoc PHI I Dr. Horadin Saragih, S.H., M.H. menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa keberatan kasasi dapat dibenarkan karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum mempekerjakan kembali para pekerja / Para Termohon Kasasi dengan pertimbangan:
1. Bahwa perselisihan PHK antara Pemohon dengan Termohon Kasasi tidak terkait dengan alasan PHK yang dilarang sesuai ketetentuan Pasal 153 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
2. Bahwa sesuai pembuktian yang telah benar dipertimbangkan Judex Facti, terbukti Para Pengugat telah melakukan permainan kartu domino namun tidak melakukan perju-dian yang merupakan pelanggaran Pasal 24 ayat (4) PKB dan setara dengan SP III;
3. Bahwa menimbang Para Termohon telah melanggar PKB sebagaimana telah dipertimbangkan dan adanya tuntutan ex aequo et bono maka beralasan hukum serta adil PHK antara Pemohon dengan Termohon Kasasi dengan kompensasi sesuai maksud Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 berupa 1 (satu) kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dengan tanpa upah proses karena upah skorsing telah dibayar sampai dengan Putusan Judex Facti;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan musyawarah sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. GLOSTAR INDONESIA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. GLOSTAR INDONESIA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.