Ambiguitas Makna Menguasai secara Fisik dalam Hukum Pertanahan / Agraria

ARTIKEL HUKUM
Salah satu bidang hukum yang paling kontroversi sekaligus paling tidak rasional, dapat kita jumpai dalam tataran konsepsi hukum pertanahan nasional yang terkesan tidak rapih: tambal-sumbal dan tidak konsisten. Terdapat sebuah pertanyaan yang sedikit tidak lazim, namun dalam kesempatan ini akan penulis angkat sebagai topik bahasan karena sifatnya yang cukup penting untuk diurai dan diutarakan. Tanpa mengetahui “penyakitnya”, mustahil untuk menemukan “obatnya”, demikian pepatah klasik mengatakan.
Seperti yang telah kita ketahui, untuk dapat memperoleh Sertifikat Hak Milik, maka salah satu pra-syarat utama yang paling mutlak ialah telah dikuasainya objek bidang tanah yang akan dimohonkan sertifikasinya. Begitupula konsep dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa penguasaan fisik atas bidang tanah selama beberapa puluh tahun, mengakibatkan si penguasa fisik tanah memperoleh hak atas tanah secara de jure.
Berikut inilah pertanyaan yang diluar kelaziman tersebut, namun sangat relevan untuk diajukan: Jika seandainya si penguasa fisik tanah kemudian diberikan sertifikat hak atas tanah karena telah menguasai bidang tanah yang dimohonkan pendaftaran sertifikatnya, lalu dirinya pergi menguasai bidang tanah / lahan lainnya, maka dirinya kembali mendapat sertifikat hak atas tanah lainnya, maka bagaimana dengan sertifikat hak atas tanah yang pertama diperolehnya, bukankah dirinya telah mengingkari kewajiban perolehan sertifikat, berupa penguasaan fisik bidang lahan, namun kini telah ditinggalkan olehnya dengan menggarap / menghuni bidang tanah lain?
Tidak ada kejelasan dalam konsep norma “menguasai” secara fisik bidang lahan dalam konteks hukum agraria nasional, apakah “menguasai” artinya sebelum mengajukan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan harus menguasai fisik objek tanah, atau juga setelah mendapat perolehan sertifikat hak atas tanah dirinya wajib menempati bidang tanah tersebut tanpa dibiarkan terlantar (semisal pergi menguasai bidang tanah lain).
Ketidak-tegasan demikian semakin kontras, dimana status “tanah terlantar” hanya dapat dikatakan “telah terlantar” secara yuridis bila Kantor Pertanahan membuat surat penetapan pencabutan tanah yang dinyatakan terlantar—meski objek tanah benar-benar terlantar keadaannya. Tanpa surat keputusan pencabutan hak atas tanah demikian, maka sekalipun senyatanya bidang tanah yang telah bersertifikat tersebut dalam kondisi terlantar adanya (de facto), maka pemegang sertifikat hak atas tanah tetaplah sebagai pemiliknya—seolah tidak ada satupun warga masyarakat lainnya di luar sana yang tidak lebih membutuhkan rumah tinggal untuk bernaung. Itulah juga sebabnya, land reform di Indonesia “jalan di tempat”, karena hanya berfokus pada ladang pertanian, belum masuk dalam tataran pemukiman.
Begitupula dalam konteks peralihan hak atas tanah semisal akibat perbuatan hukum jual-beli, maka si pembeli cukuplah hanya pernah menyentuhkan ujung jari kakinya selama “satu detik” (frasa simbolik semata) di bidang tanah untuk dapat disebut telah menguasai secara fisik, dan dirinya dengan demikian dapat mengajukan permohonan “balik-nama”.
Setelah memperoleh “balik-nama”, bahkan si “pemilik baru” sertifikat hak milik dapat pergi untuk “menguasai” bidang lahan lain. Alhasil, pemodal kuat akan menjadi “tuan tanah”-“tuan tanah” yang memonopolisir bidang tanah yang merupakan sumber daya alam yang terbatas sifatnya, sementara kita tahu bahwa “papan” termasuk salah satu kebutuhan pokok umat manusia, disamping “pangan” dan “sandang”.
Bila memang disyaratkan penguasaan secara fisik agar seseorang warga dapat memperoleh kepemilikan hak atas tanah, maka mengapa hanya konsep Hak Guna Usaha yang melarang praktik penguasaan secara “guntai”? Praktik guntai, memiliki makna “pemilik” yang tidak menguasai fisik objek tanah, tidak mengelolanya, juga tidak memberdayakan bidang tanah yang telah dimiliki olehnya dengan tangan sendiri.
Untuk membuat para pembaca “semakin bingung”, penulis tawarkan derivatif pertanyaan lainnya yang lebih kompleks dan lebih dilematis, sebagai berikut: Apakah menyewakan (alias yang penghuni dan menguasai fisik ialah para penyewa), mempekerjakan petani gurem (petani yang mengolah ladang, dan membayar kepada pemilik tanah berupa bagi hasil olah ladang), maupun memekerjakan pegawai untuk mengolah lahan, sementara pemilik tanah berdomisili dan tinggal di kota atau bahkan di provisi lain (atau bahkan tinggal di luar negeri), termasuk juga “menguasai” secara fisik objek hak atas tanah?
Secara falsafah, asas dari hukum pertanahan / agraria nasional hanya bertumpu pada satu falsafah pokok, yakni: tanah memiliki fungsi sosial, tanpa terkecuali. Dengan memahami falsafah ini, maka tidak dapat dibenarkan praktik-praktik seperti mendirikan lokasi usaha di bidang tanah belum bersertifikat, menyewakan rumah / lahan sawah di lokasi lahan belum bersertifikat, lalu kemudian mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah, dengan dalil telah “menguasai” secara fisik objek bidang tanah—bagai menebar jaring, seolah dirinya mampu membelah-diri dalam satu waktu bersamaan menguasai banyak bidang tanah.
Secara falsafah pula, tidak dapat dibenarkan praktik-praktik seperti setelah memperoleh sertifikat hak atas tanah, lalu pergi menempati dan menguasai bidang tanah lain untuk kemudian disertifikatkan pula, sementara bidang tanah pertama yang sertifikatnya telah ia peroleh dan miliki ternyata dirinya tinggal pergi atau disewakan kepada pihak ketiga—ironisnya, praktik-praktik semacam inilah yang dibiarkan tumbuh subur di Indonesia yang wilayah kedaulatannya sebagian besar adalah permukaan air laut.
Para pemodal dengan demikian menjadi “raja-raja” kecil yang berhak memungut “upeti” berupa “uang sewa” dari penduduk Indonesia yang miskin dan belum memiliki satupun hak milik atas tanah. Faktanya, parktik negara republik modern ini tidak berbeda dengan praktik ere feodal kerajaan-kerajaan tempo dulu.
Konon, sejak kemerdekaan Republik Indonesia, praktik partikelir (tuan tanah) dihapuskan. Faktanya, kita lihat sendiri penguasaan / akses ke sumber daya pertanahan / perumahan hanya dipegang oleh segelintir pihak-pihak tertentu yang memiliki kecukupan modal untuk membeli dan “mengoleksi” tanah. Ujungnya, mereka yang memonopolisir penguasaan bidang lahan akibat kuatnya modal, mampu membuat praktik “kartel” harga tanah—menyetir harga tanah akibat “ketimpangan abadi” permintaan dan penawaran bidang tanah.
Sebagaimana kita ketahui, terdapat perbedaan paling prinsipil antara kebutuhan pokok berupa “rumah tinggal” dengan “rumah untuk tujuan investasi”. Tidaklah mungkin seseorang mampu menguasai dua atau lebih bidang lahan yang saling terpisah, disaat bersamaan, oleh sebab seseorang hanya memiliki satu buah tubuh fisik disatu waktu.
Yang disebut dengan “rumah tinggal”, artinya tempat untuk bernaung dan berteduh serta beristirahat sehari-hari. Memahami prinsip “rumah tinggal”, sejatinya satu warga negara hanya berhak untuk memiliki kebutuhan pokok yang sangat terbatas sumber dayanya (yakni “papan”), berupa maksimum 1 (satu) buah hak milik atas tanah untuk rumah dan 1 (satu) buah hak milik atas lahan untuk bercocok-tanam.
Bila seseorang warga diberi keleluasan tanpa batas untuk “berinvestasi” pada properti / penguasaan lahan, maka sejatinya negara sedang menjual kedaulatan (unsur teritori) pada para pemodal, sementara “investasi” para properti bukanlah kebutuhan pokok, ditengah realita bangsa Indonesia yang masih kerap hanya dapat menyewa rumah untuk tempat tinggal keluarganya sendiri—dengan harga sewa yang “mencekik” (bahkan dapat mencapai separuh dari besaran gaji bulanan).
Berdasarkan kewajaran hidup yang layak, sebuah keluarga tidak butuh rumah seluas hektar-an, maka adalah konsepsi yang sangat keliru bila batas maksimum pemilikan tanah untuk tujuan perumahan / lahan kosong non pertanian mencapai puluhan atau bahkan ratusan hektar seperti rezim hukum agraria di Indonesia yang cenderung kapitalis (meski Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria konon dilahirkan dalam rahim rezim pemerintahan yang sosialis).
Carut-marut hukum pertanahan yang menjelma sengketa sebagaimana masif terjadi dalam praktik selama ini di Indonesia, tidak luput dari kontribusi simpang-siurnya definisi “penguasaan” secara fisik terhadap objek bidang tanah. Seorang pemodal, dengan demikian dapat memiliki belasan atau bahkan puluhan sertifikat hak milik, yang kesemuanya diklaim dikuasai secara fisik oleh sang pemilik SHM, meski senyatanya dihuni oleh para penyewa belaka.
Bila kita mau untuk bersikap konsisten, seyogianya syarat mutlak “menguasai secara fisik” demikian harus menjadi “prasyarat” juga sekaligus sebagai “penetapan bersyarat batal” bila syarat “menguasai secara fisik” demikian dikemudian hari ternyata dilanggar oleh pemilik sertifikat hak atas tanah.
Sesederhana itu saja solusi konkretnya, dimana sekalipun seseorang telah memegang dan memeroleh sertifikat hak milik, namun bila dikemudian harinya dirinya tidak lagi menguasai fisik bidang tanah tersebut, maka sertifikat hak milik akan “batal” akibat keberlakuan “penetapan bersyarat batal”. Dengan terpaksa, para tuan tanah-tuan tanah tersebut akan menjual tanah-tanahnya sehingga dapat diakses oleh publik yang lebih membutuhkan, karena memang seseorang secara fisik hanya sanggup menguasai satu tempat tinggal bernama “domisili rumah”.
Regulator dan otoritas pertanahan di Indonesia tergolong sangat “lembek” dalam menerapkan asas-asas hukum pertanahan, bahkan kerap kalah dalam gugatan akibat acapkali melanggar aturan yang dibuat oleh instansi Kementerian Pertanahan itu sendiri.
Salah satu contohnya, ialah konsep yang sangat urgen berupa “pajak progresif pertanahan”, yang memungkinkan desakan bagi para partikelir untuk secara terpaksa melepas tanahnya agar dapat diakses warga masyarakat yang belum memiliki rumah atau ladang sendiri. Namun draf regulasi tersebut nasibnya selalu kandas ditengah jalan, akibat derasnya arus intervensi para penguasa tanah yang merasa terancam oleh ketentuan demikian.
Bila perihal konsep “pajak progresif pertanahan” yang demikian urgen saja gagal untuk diangkat sebagai regulasi yang mengikat umum, maka terlebih asas utama pertanahan: Tanah memiliki fungsi sosial, terutama perihal “penguasaan” yang harus dimaknai sebagai secara de facto “bersyarat batal” bila si pemilik sertifikat hak atas tanah kemudian tidak lagi menguasai fisik bidang tanah.
Sesederhana itu saja, namun siapa yang berani untuk mengeksekusi gagasan-gagasan yang meski telah mendesak untuk diberlakukan demikian? Badan Pusat Statistik telah secara tidak sempurna merumuskan parameter penentu inflasi, karena sejatinya harga tanah yang di-“goreng” oleh para pemodal tanah (cukong tanah / partikelir) serta mahalnya biaya sewa rumah / ladang, adalah faktor yang paling menyumbang kenaikan inflasi moneter nasional, bukan kenaikan harga telur ayam yang disebut-sebut sebagai penyumbang faktor inflasi.
Kebutuhan pokok lain, seperti pangan maupun bahan bakar minyak, masih dapat dicari substitusinya serta harganya yang relatif masih terjangkau. Harga daging sapi naik, ada substitusi daging ikan. Namun perihal harga tanah maupun harga sewa tanah yang kian tidak terkontrol, bahkan pemerintah gagal untuk menetapkan semacam “harga eceran tertinggi” seperti halnya diberlakukan dalam kebijakan pangan. Namun bagaimana mungkin dapat menetapkan kebijakan pangan yang pro rakyat, bila para petaninya saja masih menyewa sawah dari pemilik tanah yang entah selama ini tinggal dimana?
Pemerintah justru me-liberal-kan penguasan hak atas tanah, mengakibatkan harga tanah sepenuhnya ditentukan (disetir) oleh penguasa-penguasa tanah demikian, para tuan tanah demikian, para tengkulak tanah demikian, para pemilik-pemilik sertifikat hak atas tanah demikian.
Harga tanah tidak seyogianya diserahkan pada mekanisme pasar supply and demand, oleh sebab ketimpangan selalu terjadi mengingat keterbatasan sumber daya tanah sementara populasi penduduk terus meningkat. Bergulir, sebagai efek dominonya, saat pemerintah hendak melakukan pembebasan lahan, maka pemerintah disandera oleh kelalaiannya selama ini, yakni membiarkan harga tanah didikte oleh pasar, yang notabene dikuasai oleh para sipil pemodal kuat. Pada saat itulah, pemerintah baru akan menyadari bahwa negara telah kehilangan kedaulatannya di tangan para partikelir tanah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.