Upah Proses hanya bagi Masa Kerja Lebih dari 1 Tahun

LEGAL OPINION
Question: Sebelum genap satu tahun bekerja sebagai Pekerja Tetap, perusahaan mendadak secara sepihak mem-PHK (pemutusan hubungan kerja). Selain bisa gugat untuk dapat pesangon, bisa dapat apa lagi?
Brief Answer: Acapkali terjadi, Upah Proses lebih patut diperjuangkan ketimbang pesangon, karena setidaknya Upah Proses dapat menuntut 6 bulan Upah. Sementara itu bagi seorang Pekerja / Buruh dengan masa kerja dibawah 3 tahun, maka nilai hak tuntut pesangon sangat minim. Terlebih bagi Pekerja dengan masa kerja 1 tahun kebawah, menjadi sangat lebih tidak layak untuk mengajukan gugatan. Mengapa?
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mengandung kaedah norma ‘karet’, berbunyi: “Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan.” Namun yang menjadi polemik, seperti apakah ‘citarasa’ keadilan, terutama terkait Upah Proses? Penjelasan Resmi undang-undang bersangkutan tidak memberikan penjelasan.
Namun terdapat kaedah norma bentuk praktik peradilan sebagai suatu “judge made law”, dimana Mahkamah Agung RI membuat pendirian hukum bahwa: “mengenai upah proses, tidak diberikan demi memenuhi rasa keadilan dan kebiasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, oleh karena masa kerja Penggugat kurang dari satu tahun.”
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 829 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 6 Oktober 2016, perkara antara:
- PT. HAKADIKON BETON PRATAMA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat I; melawan
- TJAN MULYA SANTOSA TJANDRA, sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
1. AKADRI SUIWITO, selaku Direktur PT. Hakadikon Beton Pratama, sebagai Turut Termohon Kasasi II dahulu Tergugat II;
2. ADI SUSANTO, selaku Komisaris PT. Hakadikon Beton Pratama, sebagai Turut Termohon Kasasi III dahulu Tergugat III.
Penggugat telah bekerja pada Tergugat sejak tanggal 1 Mei 2014 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager pada PT. Hakadikon Beton Pratama.Namun pada tanggal 12 Oktober 2015, Penggugat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh Komisaris dan Direktur PT. Hakadikon Beton Pratama, karena dianggap terlalu berpihak pada Direktur Utama dan dianggap sebagai duri dalam daging bagi mereka.
Penggugat berkeberatan untuk mengundurkan diri, selanjutnya secara sepihak Tergugat II Dan Tergugat III, yang mengatas-namakan PT. Hakadikon Beton Pratama secara mendadak menerbitkan Surat Pemecatan tanpa melalui prosedur hukum, yang isinya memberhentikan secara sepihak Penggugat pada tanggal 12-Oktober-2015 tanpa memberikan kompensasi pesangon.
Penggugat berupaya melangsungkan perundingan Tripartit melalui Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali (Disnaker), akan tetapi pihak Hakadikon tidak berkenan menghadiri perundingan. Karena dianggap terjadi deadlock, selanjutnya Mediator Disnaker menyarankan agar menempuh upaya hukum gugatan ke PHI untuk menyelesaikan permasalahan.
Dengan demikian PHK yang dilakukan Tergugat merupakan tindakan sepihak tanpa mendapat penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industial, sehingga berdasarkan Pasal 151 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), PHK menjadi batal demi hukum.
Berlandaskan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 13/2003, bahwa: “Apabila Pekerja tidak menerima Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 Ayat (1), Pekerja / Buruh dapat mengajukan gugatan ke Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial.”
Tindakan Tergugat yang dengan sengaja memberhentikan Penggugat dengan tujuan agar Tergugat terhindar dari Kewajiban membayar hak–hak normatif Penggugat seperti uang pesangon maupun upah selama proses PHK, jelas jelas ini merupakan tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Sementara dalam sanggahannya pihak Tergugat III mendalilkan, Penggugat telah keliru menarik Tergugat III sebagai pihak dalam perkara ini, karena ketentuan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan, dalam hal perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan sebagai suatu badan hukum, maka perseroan diwakili oleh Direksinya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Sebagaimana diakui dan disebut dalam surat gugatannya, Penggugat mengetahui dengan jelas bahwa kedudukan Tergugat III pada PT. Hakadikon Beton Pratama hanyalah sebatas sebaga Komisaris, sehingga dengan kedudukan yang demikian, gugatan Penggugat yang mendudukkan Tergugat III sebagai salah satu tergugat dalam perkara ini terkait perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum PT. Hakadikon Beton Pratama, adalah gugatan tidak akurat.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Denpasar telah memberikan putusan Nomor 15/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Dps tanggal 31 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa hasil pemeriksaan di persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan adanya kesalahan Penggugat yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja, namun dalam perkara ini Penggugat tidak menuntut untuk dipekerjakan kembali, tetapi menuntut kompensasi berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Upah Proses, maka dalam hal mana dapat dikatakan bahwa pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh para Tergugat terhadap Penggugat adalah pemutusan hubungan kerja atas keinginan bersama antara Penggugat dan para Tergugat serupa dengan pemutusan hubungan kerja, karena pekerja telah memasuki masa pension sesuai ketentuan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana essensi kesamaannya adalah pekerja tidak terbukti melakukan kesalahan akan tetapi pekerja dapat menerima pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan tersebut diatas, maka Penggugat berhak memperoleh kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja, berupa: Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa Penggugat berhak juga atas upah proses penyelesaian perkara perselisihan a quo sesuai ketentuan Pasal 155 Undang Undang Nomor 13 tahun 2016 tentang Ketenagakerjaan, terhitung sejak tanggal diterbitkannya SK Pemberhentian Nomor ... tanggal 12 Oktober 2015 sampai dengan pembcaan putusan a quo tanggal 31 Maret 2016 atau selama 5 (lima) bulan dengan rincian: Rp15.000.000,00 x 5 = Rp75.000.000,00;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat I putus sejak tanggal 31 Maret 2016;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang pesangon kepada Penggugat: 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sebesar Rp69.000.000,00 dengan rincian:
- Uang pesangon: (Rp15.000.000,00 x 2 ) X 2 = Rp60.000.000,00;
- Penggantian hak: 15% x Rp60.000.000,00 = Rp9.000.000,00;
5. Menghukum Tergugat I untuk membayar upah proses kepada Penggugat selama tidak dipekerjakan dari bulan Oktober 2015 sampai dengan dinyatakan putus hubungan kerjanya pada tanggal 31 Maret 2016, sebesar (Rp15.000.000,00 x 5) = Rp75.000.000,00;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 12 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 6 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar tidak salah menerapkan hukum:
“Namun demikian mengenai upah proses tidak diberikan demi memenuhi rasa keadilan dan kebiasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, oleh karena masa kerja Penggugat kurang dari satu tahun;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. Hakadikon Beton Pratama tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. HAKADIKON BETON PRATAMA tersebut;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 15/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Dps tanggal 31 Maret 2016, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat I telah melanggar ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat I putus sejak tanggal 31 Maret 2016;
4. Menghukum Tergugat I untuk membayar uang pesangon kepada Penggugat: 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sebesar Rp69.000.000,00 (enam puluh sembilan juta rupiah), dengan rincian:
- Uang pesangon: (Rp15.000.000,00 x 2 ) X 2 = Rp60.000.000,00;
- Penggantian hak: 15% x Rp60.000.000,00 = Rp9.000.000,00;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.