Tarik-Menarik Kepentingan Kreditor Pemegang Agunan Vs. Pekerja atas Upah Tertunggak di PTUN

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS FUNGSI PRESEDEN / YURISPRUDENSI SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK KEPASTIAN HUKUM
Question: Ada teman yang memiliki pabrik dengan jumlah pegawai yang cukup banyak bekerja disana, butuh dana dan bermaksud meminjam dari saya. Kalau dikasih pinjaman, sebenarnya ada resiko tidak bagi kreditor bila suatu ketika perusahaan debitor kolaps, dan para buruhnya menuntut gaji mereka yang belum dibayar perusahaan debitor? Apalagi Pak Hery (SHIETRA & PARTNERS) dulu pernah sampaikan, ketika debitor pailit, seringkali para pekerjanya mengajukan klaim piutang upah yang luar biasa fenomenal dibesar-besarkan.
Brief Answer: Sepanjang statusnya ialah sebagai Kreditor Separatis pemegang jaminan kebendaan, seperti agunan aset benda tidak bergerak yang diikat sempurna Hak Tanggungan, maka kekhawatiran demikian tidak relevan. Kedudukan Kreditor Preferen seperti piutang buruh atas gaji terutang maupun piutang Kantor Pajak, dibawah kedudukan derajat Kreditor Separatis (yang juga lebih sering dikenal dengan istilah secured creditor).
Sepanjang agunan telah dikat sempurna, maka wanprestasinya debitor memberi hak bagi Kreditor Separatis untuk melakukan “parate eksekusi” terhadap agunan. Barulah menjadi resiko laten, bilamana debitor jatuh pailit, dan Kredior Separatis tidak segera memulai proses “parate eksekusi” pada masa insolvensi, maka agunan akan dimaknai sebagai telah “ditelantarkan” dan seketika itu juga selewatnya masa insolvensi, agunan jatuh kedalam “boedel pailit” dan dikuasai Kurator untuk dilikuidasi dan menjadi hak pelunasan para Kreditor Preferen.
PEMBAHASAN:
Sedikit-banyak ilustasi konkret berikut dapat menjadi cerminan, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar register Nomor 18/G/2016/PTUN-DPS tanggal 15 Desember 2016, perkara antara:
- NGAKAN GEDE ANGGA PRAWIRA, sebagai Penggugat; melawan
- KEPALA KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG (KPKNL) DENPASAR, selaku Tergugat.
Yang menjadi Objek Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat untuk dinyatakan batal atau tidak sah, ialah Surat Penetapan Jadwal Lelang yang diterbitkan Kantor Lelang Denpasar tertanggal 20 Juli 2016, tentang Lelang atas Aberu Villas. Sementara itu, Penggugat merupaakn eks-karyawan di Aberu Villas.
Penggugat diberhentikan sebagai karyawan Aberu Villas sejak Harry Suganda selaku pemilik, jatuh pailit, menyebabkan Penggugat selaku pihak yang menjalankan kegiatan operasional sehari-hari Aberu Villas, kini menjadi kehilangan mata pencaharian.
Akibat diberhentikannya Penggugat dari Aberu Villas, maka timbul hak Penggugat atas pesangon dan hak pekerja lainnya yang menjadi kewajiban / utang pemilik Aberu Villas untuk melunasinya, dan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1331 KUHPerdata yang mengatur bahwa seluruh harta kekayaan si berutang menjadi jaminan pembayaran utangnya, maka dengan demikian Aberu Villas merupakan harta kekayaan yang menjadi jaminan pembayaran utang pemilik Aberu Villas kepada Penggugat atas pesangon dan hak pekerja lainnya.
Disimpulkan, kaitan Penggugat dengan Aberu Villas (Objek Lelang), Aberu Villas merupakan jaminan pembayaran utang pemilik Aberu Villas kepada Penggugat selaku pekerja atas pesangon. Posisi Penggugat selaku eks-karyawan sangat lemah, dimana piutang Penggugat atas pesangon dan hak pekerja lainnya tidak dijamin dengan hak jaminan kebendaan, sedangkan Penggugat terkena imbas putusan pailit pemilik Aberu Villas.
Yang meresahkan Penggugat, hak atas pesangon yang dijamin dari harta kekayaan pemilik menjadi tidak jelas, terlebih Aberu Villas telah dijual melalui lelang yang pelaksanaannya ditetapkan Tergugat. Akibat pemberhentian sebagai karyawan serta tidak terjaminnya pembayaran piutang atas pesangon dari penjualan Aberu Villas dalam lelang yang pelaksanaannya telah ditetapkan Tergugat berdasarkan Objek Sengketa.
Penggugat melihat juga kejanggalan mengenai penentuan harga penjualan Aberu Villas yang lebih rendah dari harga pasar dalam lelang yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh KPKNL Denpasar, sebesar Rp. 29.000.000.000,00. Sementara menurut Penggugat harga penjualan yang sesuai nilai pasar di sekitar Aberu Villas, sekurang-kurangnya Rp. 40.000.000.000,00.
Sementara itu pihak Tergugat dalam sanggahannya menerangkan, Obyek Sengketa mempunyai titik singgung dengan keperdataan, dimana surat penetapan jadwal lelang terbit karena adanya permohonan lelang dari Kurator PT. Rockit Aldeway (dalam Pailit) dan Harry Suganda (dalam Pailit) yang terjadi akibat dari adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Kepailitan serta lelang itu sendiri merupakan ruang lingkup perbuatan hukum perdata, yang mana sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.
Meski sebenarnya pihak Penggugat selaku Kreditor Preferen tidak perlu mengajukan gugatan apapun, karena agunan telah ditelantarkan oleh Kreditor Separatis sehingga jatuh kedalam penguasaan Kurator, sehingga hak pelunasan sepenuhnya menjadi hak Kreditor Preferen, namun mungkin alasan sebenarnya dibalik gugatan ini ialah harga penjualan lelang oleh Kurator yang jauh dibawah nilai harga pasar—sebagaimana kerap terjadi dalam praktik likuidasi oleh kalangan Kurator.
Dimana terhadap gugatan sang mantan Pekerja, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut objek atau materi atau pokok sengketanya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah diatur tentang kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara;
“Menimbang, bahwa kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan:
‘Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.’
“Menimbang, bahwa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Vide Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009).
“Bahwa ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara di atas, oleh Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah diperluas sehingga mencakup pula:
- penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
- bersifat final dalam arti lebih luas;
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
- Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat;
“Menimbang, bahwa terkait dengan pengertian tentang Suatu Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa terdapat keputusan-keputusan yang dikecualikan atau tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum;
“Menimbang, bahwa yang menjadi alasan Penggugat mengajukan Gugatan pembatalan Obyek Sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat adalah karena Penggugat belum mendapatkan pesangon sehingga jika Aberu Villas tidak dinyatakan pailit dan tidak dilelang, maka hak-hak Penggugat Prinsipal dapat terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Prabukti dari Tergugat berupa Risalah Lelang Nomor 413/2016 tanggal 9 September 2016 yang diserahkan pada Pemeriksaan Persiapan tanggal 30 Nopember 2016, dinyatakan bahwa Permohonan Pelaksanaan Lelang dilaksanakan terhadap 1 (satu) Bidang Tanah berikut bangunan dengan Sertipikat Hak Milik Nomor ... , seluas 3100 m2 atas nama Harry Suganda yang terletak di ... , yang dijaminkan ke PT. Bank Negara Indonesia (Persero) dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Putusan Pailit Nomor 106/Pdt.Sus-PKPU/2015/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 11 Pebruari 2016;
“Menimbang, bahwa permohonan lelang tersebut diajukan oleh Kurator PT. Rockit Aldeway (Dalam Pailit) dan Harry Suganda (Dalam Pailit) berdasarkan Surat Permohonan Lelang tanggal 13 Mei 2016 hal Permohonan Penetapan Tanggal Lelang atas Harta Pailit PT. Rockit Aldeway (dalam Pailit) dan Harry Suganda (dalam Pailit);
“Menimbang, bahwa dengan adanya perjanjian antara Debitor dalam hal ini PT. Rockit Aldeway dan Harry Suganda dengan Kreditor dalam hal ini PT. Bank Negara Indonesia (Persero) dikaitkan dengan pengertian Kepailitan tersebut diatas, maka terkait erat pula dengan Pengertian Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu Perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih sehingga dalam peristiwa tersebut timbul suatu hubungan hukum keperdataan antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban masing masing pihak maka apabila dikemudian hari ternyata bermasalah maka penyelesaian masalah tersebut menjadi kewenangan Pengadilan Umum;
“Menimbang, bahwa terkait dengan syarat legalitas formal subyek dan obyek lelang yang didalilkan oleh Penggugat dan dikaitkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Majelis Hakim berpendapat apabila syarat tersebut tidak terpenuhi karena terkait dengan kepemilikan / hubungan hukum adalah perbuatan keperdataan, sehingga haruslah diselesaikan di Peradilan Umum;
“Menimbang, bahwa oleh karena dasar dari pelaksanaan lelang pada tanggal 9 September 2016 tersebut timbul karena adanya suatu hubungan hukum keperdataan yang menjadi kewenangan Peradilan Umum maka berdasarkan Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bukan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 47 K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 dan Putusan Nomor 245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001 dinyatakan bahwa:
- Risalah Lelang bukan merupakan Keputusan Badan / Pejabat TUN, tetapi merupakan Berita Acara hasil penjualan lelang atas barang tereksekusi;
- Risalah Lelang tidak ada unsur beslissing, maupun penyataan kehendak dari pejabat kantor lelang;
- Risalah Lelang adalah merupakan tindak lanjut / pelaksanaan dari suatu putusan badan peradilan;
- Dan apabila dalam pelaksanaan lelang baik sebelum atau pada saat lelang dilaksanakan ada hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan merugikan pihak si terhutang / si terlelang, maka pihak yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan pembatalan risalah lelang kepada badan peradilan umum dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheids daad) dan bukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara;
“Menimbang, bahwa Surat Keputusan yang dimohonkan batal atau tidak sah adalah Surat Penetapan Jadwal Lelang yang Ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar Nomor ... tanggal 20 Juli 2016, tentang Lelang atas Aberu Villas pada tanggal 09 September 2016 tersebut bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bersifat final dan belum menimbulkan akibat hukum bagi terpailit, karena setelah dikeluarkan surat yang menjadi objek sengketa tersebut diatas masih ada rangkaian proses lainnya yang harus ditempuh oleh kurator / pemohon lelang sebelum pelaksanaan lelang, baik itu berupa pengumuman lelang maupun tindakan hukum lainnya kemudian dikaitkan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Lelang diatas, risalah lelang itu sendiri dinyatakan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa:
‘Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.’
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum diatas, majelis Hakim berpendapat bahwa Obyek Sengketa a quo tidak bersifat final dan tidak menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat, maka Obyek Sengketa a quo bukanlah Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara;
“Menimbang, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan tentang alasan yang dijadikan dasar Penggugat mengajukan gugatan adalah karena Penggugat telah diberhentikan sebagai karyawan Aberu Villas dan belum diberikan pesangon dan karena posisi Penggugat sangat lemah dimana piutang Penggugat dan pekerja lain atas pesangon tidak dijaminkan dengan hak jaminan kebendaan sehingga Penggugat merasa bahwa dengan dilelang-nya Aberu Villas tersebut maka hak Penggugat untuk mendapatkan pesangon dari hasil penjualan Aberu Villas tidak dapat dipenuhi, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1331 KUHPerdata yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh harta kekayaan si berutang menjadi jaminan pembayaran utangnya, maka dengan demikian Aberu Villas merupakan harta kekayaan yang menjadi jaminan pembayaran utang pemilik Aberu Villas kepada Penggugat atas pesangon dan hak pekerja lainnya;
“Menimbang, bahwa adanya hubungan hukum antara karyawan (pekerja / buruh) dengan pengusaha harus berdasarkan Perjanjian Kerja karena hubungan kerja yang bersifat abstrak dapat dijadikan sesuatu yang nyata atau konkrit dengan adanya Perjanjian Kerja. Dan dengan adanya perjanjian kerja itulah maka akan lahir perikatan antara pihak pengusaha dengan karyawan sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa: ‘Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pekerja / buruh (P/B, karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.’;
“Menimbang, bahwa dengan adanya perjanjian kerja tersebut maka apabila dikaitkan dengan hak pekerja berupa upah yang berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa ‘Upah adalah hak pekerja yang dibayarkan oleh pengusaha atau pemberi kerja sebagai imbalan atau suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan’, maka apabila terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekerja / karyawan mengenai upah termasuk perselisihan hak yang penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dalam Pasal 55 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan Peradilan Umum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat, terdapat permasalahan antara antara Penggugat dengan pemilik Aberu Villas tempat dimana Penggugat pernah bekerja yang bersifat keperdataan dan harus diselesaikan secara hukum terlebih dahulu melalui Peradilan Umum khususnya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI);
“Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan diatas, maka Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa pokok gugatan yang mendasari gugatan Penggugat merupakan sengketa hukum dalam ranah hukum perdata, dan bukan sengketa Tata Usaha Negara yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga harus diselesaikan melalui Peradilan Umum, karena itu Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar harus menyatakan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut;
“Menimbang, bahwa oleh karena Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar menyatakan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka terhadap Eksepsi Tergugat tentang Kewenangan Absolut Pengadilan telah beralasan hukum sehingga haruslah dinyatakan diterima;
“Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi dari Tergugat tentang Kewenangan Absolut Pengadilan dinyatakan diterima, maka Eksepsi yang lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi dan gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak diterima (Niet ovankelijk verklaard);
M E N G A D I L I :
I. DALAM EKSEPSI:
- Menerima Eksepsi Tergugat tentang Kewenangan Absolut Pengadilan;
II. DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.