Sengketa Kekayaan Intelektual Merek Termasuk Hukum Publik, Tidak Murni Perdata

LEGAL OPINION
Question: Ada rekanan lisensi francise kami yang masih saja pakai logo kami meski kerja-sama telah berakhir. Apa bisa pelanggaran itu kami gugat ke Pengadialn Negeri dikemudian hari, yang pastinya ada kerugian akibat pemakaian logo dan merek kami secara ilegal demikian?
Brief Answer: Idealnya, pihak pemilik lisensi waralaba sesegera mungkin menghentikan praktik penggunaan secara ilegal merek suatu waralaba yang jika memang telah berakhir masa berlaku perjanjian penggunaan lisensinya. Ada sesuatu yang menjadi “batu sandungan” sekalipun dalam kontrak waralaba telah diatur perihal sanksi berupa sejumlah nominal tertentu bila suatu pihak melanggar suatu Hak Kekayaan Intelektual, namun tetap harus dibuktikan dan sangat bergantung pada amar putusan Pengadilan Niaga, bukan Pengadilan Umum untuk memutus perkara perjanjian yang tersandung pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual, sekalipun memang memiliki nuasa “perbuatan melawan hukum” (tortious liabilities).
PEMBAHASAN:
Bidang usaha Franchise / Waralaba terdapat pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1997, dimana pada Pasal 1 terdapat definisi yuridis:
1) Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa.
2) Pemberi Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
3) Penerima Waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi waralaba.
Terdapat ilustrasi konkret perihal perjanjian yang “bernuansa publik”, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk kaedah yurisprudensi putusan Mahkamah Agung RI sengketa waralaba terkait HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) register Nomor 2787 K/Pdt/2012 tanggal 27 November 2013, perkara antara:
- HR. AZIS SUDARYANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- RIZAL DIANSYAH, SE., AK., selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Bermula pada tanggal 09 Maret 2005, Penggugat dan Tergugat menanda-tangani Perjanjian Franchise (Waralaba) LP31 (PROFESSION CENTER) Cabang Surabaya untuk jangka waktu 5 tahun yang akan berakhir pada bulan Juni 2010.
Perjanjian Waralaba merupakan perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba, dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba (Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 12/M-DAG/PER/3/2006).
Mengacu pada ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, semua kesepakatan yang dibuat secara sah berlaku sebagai ‘undang-undang’ bagi mereka yang saling mengikatkan diri, tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Penggugat tertarik untuk investasi pada Franchise (Waralaba) LP31, karena dalam brosur promosi Tergugat disebutkan bahwa investasi dalam paket pendidikan LP31 akan menguntungkan yang dalam jangka waktu 5 tahun, akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp2.091.241.300,- sebagaimana Proyeksi Pendapatan Analisa Keuangan Pembukaan Cabang LP31 Type B yang tercantum dalam brosur promosi yang diterbitkan oleh Tergugat.
Berdasarkan perjanjian, Tergugat sebagai Pemberi Waralaba (Franchisor) program pendidikan, berkewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan dan secara spesifik ditentukan dalam perjanjian. Namun dalam kenyataannya Tergugat tidak memenuhi prestasinya, antara lain:
1. Tergugat tidak memberikan materi ajaran sebagai bahan yang diajarkan sepenuhnya, sehingga Penggugat tidak dapat menjalankan proses belajar-mengajar secara lengkap;
2. Tergugat tidak pernah mengundang Penggugat dalam RAKERNAS yang merupakan forum untuk membahas evaluasi, rencana dan strategi pendidikan LP3I ke depan antara Tergugat dengan seluruh Investor dan Branch Manager.
Penggugat kemudian menyampaikan keluhan berupa komplain kepada Tergugat, namun tidak mendapat tanggapan sebagaimana mestinya, dan barulah pada tanggal 5 Mei 2010 Tergugat memberikan tawaran yang pada intinya memberikan kompensasi berupa perpanjangan perjanjian franchise selama satu periode (5 tahun) tanpa dikenakan biaya tarif franchise, namun disertai ‘embel-embel’ persyaratan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh Penggugat.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Tergugat secara implisit mengakui perbuatannya telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian franchise. Akibatnya, kualitas pendidikan dan siswa LP3I di tempat Penggugat berkurang, hal mana jelas telah menyimpang dari maksud dan tujuan dibuat dan disepakatinya Perjanjian Waralaba.
Selain itu sebagai akibat dari tidak ditepatinya Perjanjian Franchise oleh Tergugat, Penggugat tidak dapat melaksanakan program pendidikan sebagaimana paket yang ditawarkan Tergugat, dimana Penggugat juga tidak dapat melaksanakan pembahasan evaluasi, rencana, ataupun strategi pendidikan LP3I kedepan yang semestinya difasilitasi oleh Tergugat setiap tahun dalam rapat kerja nasional bersama-sama dengan seluruh Investor.
Penggugat untuk itu mengklaim telah mengalami kerugian, karena Franchise LP3I, berupa kerugian investasi usaha karena paket yang tidak lengkap dan mengakibatkan target tidak terpenuhi sebagaimana proyeksi pendapatan yang dibuat oleh Tergugat, sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010.
Sementara dalam sanggahannya pihak Tergugat mendalilkan, hubungan hukum berdirinya LP3I berdasarkan Perjanjian Franchise (Waralaba) LP3I adalah antara Penggugat selaku Franchisee (Penerima Waralaba) dengan Yayasan Lembaga Pendidikan Dan Pengembangan Profesi Indonesia (Yayasan LP3I) selaku Franchisor (Pemberi Waralaba).
Dengan demikian sebagai pihak yang digugat oleh Penggugat seharusnya langsung ditujukan terhadap Yayasan LP3I, bukan justru terhadap Presiden Direktur LP3I, karena kedudukan hukum Presiden Direktur LP3I adalah hanya terbatas dalam menjalankan kuasa atas apa-apa yang dikuasakan kepadanya yang bertindak untuk dan atas nama Yayasan LP3I selaku badan hukum.
Tergugat juga mengajukan gugatan balik (Gugatan Rekonvensi), dengan dalil bahwa terhitung sejak berdirinya LP3I Cabang Surabaya tanggal 09 Maret 2005, sudah terdapat niat yang tidak baik dari Penggugat, oleh sebab Penggugat tidak memberikan laporan bulanan kepada Terggugat meski telah diberi teguran untuk itu,
Kejadian demikian justru membuktikan Penggugat telah ingkar atas Peijanjian Franchise. Penggugat juga ditengarai melakukan penyimpangan dari Standard Performance (Standar Operating Procedure) yang berlaku di LP3I, dimana Rugi dan Laba tidak pernah dilakukan Audit (External Audit). Pembukuan atas neraca rugi dan laba usaha, sama sekali tidak pernah dilakukan audit yang disepakati para pihak yang sebenarnya merupakan kewajiban hukum Penggugat, sehingga dengan demikian atas dalil kerugian Penggugat adalah tidak bisa dipertanggung-jawabkan sekaligus telah melanggar Pasal 11 Perjanjian Franchise.
Dengan demikian, hingga saat ini Tergugat sebagai pemilik Merek dan cipta LP3I, tidak mengetahui dengan pasti berapa sesungguhnya jumlah kerugian atau keuntungan Penggugat dengan memakai merek milik Tergugat tersebut. Dengan tidak pernah dilakukannya audit oleh pihak independen, maka terbuka kemungkinan Penggugat menutup-nutupi informasi internal cabang LP3I yan dikelolanya, dan telah melakukan penyelundupan hukum yang sebenarnya untung dinyatakan sebaIiknya sebagai telah merugi.
Penggugat juga diklaim telah tidak membayar Fee Organisasi maupun Fee Marketing (Continuing Franchise Fee) sejak berdirinya LP3I Surabaya yang dikelola Penggugat, serta tidak memberikan laporan bulanan. Justru hal demikian membuktikan bahwa Penggugat yang telah ingkar terhadap Peijanjian Franchise.
Begitupula program pendidikan yang dibuka oleh Penggugat telah melampaui ijin yang diberikan oleh Tergugat sebagai pemegang Hak Franchise, yang dibuktikan dengan Penggugat mendirikan Program D2 dan D3 yang merupakan kompetensi jenjang Pendidikan Tinggi, beriklan seolah-olah ada kerjasama dengan CPA Australia dan DEAKIN University tanpa ijin dari Tergugat, padahal status pendidikan Penggugat adalah Pendidikan Luar Sekolah (Non Formal) dan bukan jenjang Pendidikan Tinggi.
Terhadap Perjanjian Franchise yang berakhir Juni 2010, Penggugat berkewajiban hukum memperhatikan hak-hak Warga Belajar yang terdaftar sampai program pendidikan mereka berakhir dengan tidak diperkenankan untuk lagi tetap menerima Warga Belajar Tahun Ajaran Baru 2010-2011.
Namun walaupun Perjanjian Franchise telah berakhir pada bulan Juni 2010, faktanya Penggugat masih tetap menggunakan Hak Cipta dan Merek LP3I dengan tetap menerima Warga Belajar Tahun Ajaran Baru 2010-2011, meski Perjanjian Franchise sebagaimana dalam Pasal 12 telah mengatur:
“Investor / Penggugat menjamin dan berjanji baik selama Perjanjian ini berlangsung ataupun setelah pengakhiran Perjanjian ini oleh karena sebab apapun juga, Investor / Penggugat tidak akan untuk kepentingannya sendiri dan/atau untuk kepentingan pihak lain mendirikan lembaga dengan program pendidikan yang sama, baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung menggunakan, meniru atau mengambil manfaat dari Hak Kekayaan Intelektual, Standard Performance, Sistem Pendidikan (kurikulum), Ilmu Pengetahuan dan/atau informasi rahasia dagang lainnya yang merupakan milik LP31, dan apabila hal itu terjadi, maka Penggugat / Investor bersedia membayar ganti-rugi kepada LP31 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) yang diserahkan secara tunai dan sekaligus tanpa melalui putusan pengadilan.”
Perbuatan Penggugat dengan demikian menimbulkan kerugian kepada Tergugat dan telah dapat dikualifikasi sebagai telah Wanprestasi (ingkar janji), maka Penggugat harus bertanggung-jawab memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata yang mengatur:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berhutang tidak memenuhi kewajibannya mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.”
Terhadap manuver gugat-menggugat antar para pihak demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan tertuang dalam register Nomor 226/PDT.G/2010/PN.JKT.PST., tanggal 5 Januari 2011, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
DALAM KONVENSI:
- Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI:
- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebahagian;
- Menyatakan Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan wanprestasi;
- Menghukum Tergugat untuk membayar ganti-rugi sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat 3 Perjanjian Franchise / Waralaba No. ... tanggal 9 Maret 2005;
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusan No. 589/PDT/2011/PT.DKI, tanggal 2 Februari 2012, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam pokok perkara Hakim Tingkat Pertama dalam amar putusan-nya berkesimpulan menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya, dengan pertimbangan dan alasan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa kebenaran adanya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat sebagaimana dalam perjanjian Franchise / Waralaba No. ... tanggal 9 Maret 2005 adalah tidak dibantah oleh Tergugat (bukti P-1 yang sama dengan T-1);
- Bahwa ternyata tidak ada satu pasal pun dalam perjanjian tersebut yang menentukan adanya jaminan keuntungan yang harus diterima pihak Penggugat dan tidak ada juga kewajiban Tergugat untuk mengikut-sertakan Penggugat dalam rapat kerja nasional LP3I, sebagaimana dalil Penggugat untuk menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
- Adanya bukti T-7 berupa tanda-terima materi ajaran (SAP) dari Tergugat kepada Penggugat, diperkuat dengan keterangan Drs. Jaenuddin Akhmad, SE., MM., yang membuktikan telah diberikan materi ajaran kepada Penggugat;
“Sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut Hakim Tingkat Pertama berkesimpulan bahwa dalil dalil gugatan Penggugat tidak beralasan / tidak terbukti, dan oleh karena itu harus ditolak;
“Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi dapat menerima dan sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama dalam pokok perkara, dan pertimbangan tersebut diambil-alih sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri, oleh karenanya putusan Hakim tingkat pertama dalam pokok perkara dapat dipertahankan dan dikuatkan;
Dalam Rekonvensi:
“Menimbang, bahwa dalil gugatan Tergugat sekarang Terbanding pada pokoknya adalah bahwa Penggugat sekarang Pembanding telah melakukan wanprestasi karena:
- Tidak memberikan laporan bulanan kepada Tergugat;
- Tidak membayar fee organisasi dan fee marketing;
- Menyalah-gunakan ijin Program Profesi 1 tahun;
“Menimbang, bahwa dari surat bukti P-1 yang sama dengan bukti T-1 (berupa perjanjian Franchise / Waralaba tanggal 9 Maret 2005) tidak ada satu pasalpun dalam perjanjian tersebut yang mewajibkan Penggugat untuk memberikan laporan setiap bulannya kepada Tergugat, sehingga dalil Tergugat mengenai hal itu menurut Hakim tingkat pertama tidak terbukti dan harus ditolak;
“Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 7 ayat 1.1 b Continuing Franchise Fee berupa fee organisasi mensyaratkan harus ada perhitungan dari total pendapatan kotor, sedangkan pihak Tergugat Rekonvensi sendiri tidak ada mengajukan bukti mengenai pendapatan kotor yang diterima Penggugat, oleh karena itu Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat bahwa dalil gugatan Penggugat Rekonvensi mengenai hal itu tidak terbukti dan harus ditolak, mengenai pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama tentang hal itu menurut Pengadilan Tinggi sudah tepat dan benar, oleh karena itu oleh Pengadilan Tinggi dapat dikuatkan dan dipertahankan;
“Menimbang, bahwa mengenai dalil gugatan Tergugat yang menyatakan Penggugat telah menyalahgunakan ijin Program Profesi 1 tahun sebagaimana bukti T-19 berupa Kalender LP3I Karmen College, bukti T-20 berupa Surat Teguran dari Tergugat kepada Penggugat No. ... tanggal 27 November 2007, bukti T-23 berupa kwitansi pendaftaran Program Business Management Profesi 2 tahun serta D3 yang diperkuat dengan keterangan saksi Drs. Lasimun yang menerangkan kalau Penggugat telah merubah nama LP3I Profession Center Surabaya menjadi LP3I Karmen College tanpa ijin dari Tergugat sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 Ayat (3) perjanjian Franchise / Waralaba yang melarang Penggugat mendirikan lembaga dengan program pendidikan yang sama, baik secara sendiri maupun bekerjasama dengan pihak lain baik secara langsung maupun tidak langsung menggunakan, meniru atau mengambil manfaat dari hak milik intelektual, standar performance, sistim pendidikan (kurikulum), ilmu pengetahuan dan/atau informasi rahasia dagang lainnya yang merupakan milik LP3I, dan apabila hal tersebut dilanggar oleh Penggugat, maka dia bersedia membayar ganti-rugi kepada LP3I sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang diserahkan secara tunai dan sekaligus tanpa melalui putusan pengadilan, maka berdasarkan bukti-bukti tersebut diatas Majelis Hakim tingkat pertama berkesimpulan bahwa Tergugat Rekonvensi telah melakukan wanprestasi dengan menyalahi isi dari pada perjanjian tersebut, dan harus dihukum untuk membayar ganti rugi kepada LP3I sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), sehingga tuntutan Tergugat mengenai hal itu patut dikabulkan;
“Menimbang, bahwa pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama tersebut menurut Pengadilan Tinggi sudah tepat dan benar, sehingga dapat dikuatkan dan dipertahankan;
“Menimbang, bahwa mengenai alasan yang dikemukan Pembanding semula Penggugat Konvensi / Penggugat dalam memori banding pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa dalam kenyataannya Terbanding / Tergugat tidak pernah memberikan materi bahan-bahan pelajaran secara lengkap kepada Pembanding / Penggugat (sebagaimana bukti P-6);
2. Surat teguran dari Terbanding / Tergugat tidak pernah diterima Pembanding / Penggugat;
3. Terbanding / Tergugat Konvensi tidak pernah mengundang Pembanding / Penggugat Konvensi dalam forum Rakernas untuk membahas evaluasi, rencana dan strategi pendidikan LP3I ke depan;
“Menimbang, bahwa mengenai hal-hal tersebut menurut Pengadilan Tinggi telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tingkat pertama dalam pertimbangan putusannya, maka alasan-alasan memori banding Pembanding / Penggugat tersebut tidak perlu dipertimbangkan lagi dan harus ditolak;
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat Konvensi / Penggugat;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 05 Januari 2011 Nomor: 226/PDT.G/2010/PN.JKT.PST. dengan memperbaiki mengenai formulasi amar putusan dan mengenai kepada siapa dilakukan pembayaran ganti rugi tersebut, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Konvensi:
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat Konvensi sekarang Pembanding untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
- Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sekarang Terbanding untuk sebahagian;
- Menyatakan Tergugat Rekonvensi sekarang Pembanding telah melakukan perbuatan wanprestasi;
- Menghukum Tergugat Rekonvensi sekarang Pembanding untuk membayar ganti-rugi kepada Penggugat Rekonvensi sekarang Terbanding sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 ayat 3 Perjanjian Franchise / Waralaba No. ... tanggal 9 Maret 2005;
- Menolak gugatan Tergugat sekarang Terbanding untuk selebihnya.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terlepas dari alasan-alasan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat Judex Facti / Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sepanjang gugatan rekonvensi telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa benar antara Tergugat dengan Penggugat memang telah membuat Perjanjian Franchise / Waralaba No. ... dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa Perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya, namun demikian Perjanjian tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu bertentangan dengan Undang-Undang, karena berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan HaKI, yang mengharuskan adanya putusan Pengadilan;
- Bahwa di persidangan Tergugat tidak mengajukan bukti sah berupa putusan Pengadilan Niaga yang menunjukkan adanya pelanggaran Undang-Undang Merek oleh Tergugat Rekonvensi / Penggugat Konvensi;
- Bahwa sengketa HaKI adalah sengketa dibidang hukum publik sehingga untuk membuktikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan HaKI harus didasarkan pada putusan Pengadilan, dan oleh karena itu ketentuan Pasal 2 ayat 3 Perjanjian Waralaba No. ... dalam perkara a quo (bukti T-I) yang menghilangkan keberadaan putusan Pengadilan, harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum;
- Bahwa dengan pertimbangan tersebut maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa Judex Facti yang telah mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Tergugat tersebut harus dibatalkan, dan Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan Rekonvensi dari Tergugat harus ditolak;
- Bahwa terhadap Eksepsi dan Pokok Perkara, Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan dan putusan Judex Facti yang telah menolak Eksepsi dan Pokok Perkara;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HR. AZIS SUDARYANTO dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 589/PDT/2011/PT.DKI., tanggal 2 Februari 2012 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 226/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 5 Januari 2011 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HR. AZIS SUDARYANTO tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 589/PDT/2011/ PT.DKI., tanggal 2 Februari 2012 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 226/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 5 Januari 2011;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM KONVENSI:
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat Konvensi untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI:
- Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Akan lebih ideal bila dalam amar putusan korektifnya Mahkamah Agung menyatakan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagai “tidak dapat diterima” alih-alih dinyatakan “ditolak”—yang konsekuensi yuridisnya akan melekat status “nebis in idem” bila diajukan gugatan ulang di peradilan manapun atas pokok perkara tersebut. Mengapa?
Karena gugatan rekonvensi pihak Tergugat hanya sebatas keliru yurisdiksi peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, agar dikemudian hari pihak Tergugat tetap dapat mengajukan gugatan ulang di hadapan Pengadilan Niaga.
Namun Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara diatas justru “mengunci” hak pihak Tergugat untuk mengajukan gugatan dengan telah memberi kekuatan hukum atas pokok perkara. Mungkin akan lebih bijak bila pihak Tergugat selaku pemilik merek waralaba untuk tidak mengajukan rekonvensi, sekalipun tergoda untuk itu, dan memilih untuk mengajukan gugatan tersendiri secara mandiri / terpisah ke hadapan Pengadilan Niaga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.