3 Tahun Pekerja Kontrak tetap Dipekerjakan, Menjelma PKWTT alias Pekerja Permanen

LEGAL OPINION
Question: Apa yang paling mungkin bisa terjadi, ada beberapa pegawai yang lupa kami buatkan surat PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) baru, lalu setelah lebih dari tiga tahun bekerja, pada tahun berikutnya rencananya hendak kami PHK?
Brief Answer: Secara yuridis, PKWT atau Kerja Kontrak hanya dapat diikat hubungan kerja dalam tempo waktu maksimum 3 tahun, apapun jenis pekerjaannya. Bila PKWT tidak diperbaharui, maka “demi hukum” Pekerja / Buruh bersangkutan akan menjelma Pekerja Permanen / PKWTT.
Bila setelah sang Pekerja “demi hukum” menjelma sebagai Pekerja Tetap, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dari pihak Pengusaha akan berkonsekuensi yuridis berupa kewajiban pembayaran pesangon dua kali ketentuan normal, namun tanpa dibebani Upah Proses apapun—sekalipun Pekerja bersangkutan telah “demi hukum” berstatus PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).
Bila setelah dikalkulasi bahwa beban kewajiban berupa pesangon dua kali ketentuan norma demikian, ternyata masih jauh dibawah ancaman resiko dibebani hukuman untuk membayar Upah Proses yang dapat maksimum 6 bulan upah, maka tentunya tetap menguntungkan pihak Pengusaha atas PHK sepihak demikian.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 773 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 31 Juli 2017, perkara antara:
- PT. ASALTA MANDIRI AGUNG, sebagai Pemohon, semula selaku Tergugat; melawan
- ENDANG KAMALUDIN, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat telah bekerja sejak bulan November 201, 0sehingga telah mempunyai masa kerja 5 tahun lebih dengan jabatan terakhir sebagai operator mesin produksi departemen stamping. Sementara itu Tergugat merupakan perusahaan dengan bidang usaha manufacturing otomotif dan elektronik, dimana Penggugat secara terus-menerus bekerja sebagai operator mesin produksi yang merupakan pekerjaan yang bersifat tetap karena bagian dari kegiatan pokok Tergugat.
Tergugat kemudian memutus hubungan kerja sepihak secara lisan kepada Penggugat. Semula, Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dengan baru satu kali menanda-tangani surat PKWT, yakni pada saat masuk kerja 11 November 2010 untuk jangka waktu selama 1 (satu) tahun, dan sejak berakhirnya PKWT pertama tersebut pada tanggal 9 November 2011, hingga saat kini Penggugat tidak pernah lagi menanda-tangani perjanjian kerja apapun dengan Tergugat. Penggugat tetap bekerja secara terus-menerus di perusahaan Tergugat, namun tanpa surat perjanjian dan tanpa status apapun.
Penggugat juga tidak pernah diberikan salinan PKWT yang pernah ditanda-tanganinya saat masuk bekerja pada Tergugat, sekalipun telah diminta oleh Penggugat. Tanggal 14 Desember 2015, tiba-tiba Penggugat secara lisan Penggugat dinyatakan diputus hubungan kerja (PHK) oleh Tergugat dengan alasan kinerja kurang baik, namun pada saat Penggugat menanyakan bukti alasan tersebut, Tergugat tidak dapat menunjukan bukti kepada Penggugat, dan hanya menyatakan bahwa ini keputusan yang harus diterima Penggugat.
Pada malam itu Penggugat tetap melanjutkan pekerjaannya, namun tiba-tiba dijemput pihak security untuk keluar dari area pabrik. Keesokan harinya Penggugat tetap masuk bekerja seperti biasa, namun lagi-lagi pihak security melarang Penggugat masuk ke area pabrik dengan alasan atas perintah HRD Tergugat.
Alhasil, sejak tanggal 15 Desember 2015 tersebut Penggugat sudah tidak diperkenankan lagi memasuki lingkungan perusahaan Tergugat, dan sejak tanggal tersebut Tergugat sudah tidak lagi membayar hak-hak Penggugat termasuk upah dan hak-hak lainnya.
PHK tersebut haruslah dinyatakan batal oleh pengadilan, agar Tergugat diperintahkan untuk mempekerjakan kembali Penggugat serta membayar hak-haknya terhitung sejak tanggal 15 Desember 2015 sampai dengan masuk bekerja kembalinya Penggugat.
Penggugat untuk merujuk norma Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang pada pokoknya menyatakan terhadap Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis serta menggunakan bahasa Indonesia, yang mana jika tidak dibuat tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Begitu pula norma Pasal 54 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, ditegaskan bahwa perjanjian kerja harus dibuat sekurang-kurangnya 2 rangkap serta pekerja dan pengusaha masing-masing mendapat 1 perjanjian kerja.
Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat secara terus-menerus selama 5 (lima) tahun lebih di bagian operator mesin produksi tanpa adanya perjanjian kerja tertulis dan tanpa ada masa tenggang / jeda waktu apapun. Meski, berdasarkan norma Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada pokoknya menyatakan bahwa PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Disamping itu, Tergugat tidak pernah mencatatkan dan melaporkan keberadaan PKWT kepada Instansi Ketenagakerjaan (Dinas Tenaga Kerja), sekalipun telah ditentukan oleh norma Pasal 13 Kepmenaker Nomor 100/MEN/VI/2004 tanggal 21 Juni 2004, yang mengatur bahwa pengusaha wajib mencatatkan PKWT selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari sejak penanda-tanganan perjanjian.
Dengan demikian status hukum Penggugat haruslah dinyatakan sebagai pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja dengan Tergugat. Pelanggaran lainnya, Tergugat tidak melaksanakan isi Perjanjian Bersama tertanggal 30 April 2015 yang pernah dibuat dan ditanda-tangani sendiri oleh Tergugat dengan Serikat Pekerja.
Perjanjian bersama tersebut pada pokoknya menyatakan, terhadap pekerja yang telah mempunyai masa kerja sekurangkurangnya lebih dari 3 (tiga) tahun bekerja, akan diangkat menjadi pekerja tetap (PKWTT) yang dilakukan pada bulan September 2015 atau selambat-selambatnya pada akhir bulan Desember 2015. Akan tetapi sejak bulan September 2015 hingga diajukannya gugatan ini, pihak Penggugat alih-alih diangkat sebagai Pekerja Permanen, justru Penggugat di-PHK secara sepihak.
Penggugat pernah mengajukan tiga kali surat permohonan perundingan Bipartit kepada Tergugat namun tidak ditanggapi. Maka Penggugat mengajukan permohonan pencatatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ke Dinas Sosial Tenaga Kerja Kabupaten Bogor. Pihak Mediator selanjutnya menerbitkan Surat Anjuran dan Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tanggal 29 Agustus 2016, pada pokoknya sebagai berikut:
“Menganjurkan :
1. Kepada pihak perusahaan agar mempekerjakan kembali saudara Endang Kamaludin dengan status PKWTT dalam jabatan dan posisi semula;
2. Kepada pihak perusahaan untuk membayar upah selama proses;
3. Kepada masing-masing pihak agar memberikan tanggapan / jawaban paling lambat 10 hari kerja setelah diterimanya surat anjuran ini, selanjutnya kepada pihak yang keberatan agar melanjutkan gugatan ke PPHI Provinsi Jawa Barat guna penyelesaian lebih lanjut.”
Oleh karena Tergugat tidak memberikan tanggapan terlebih melaksanakan Anjuran Disnaker, maka inisiatif gugatan diajukan oleh pihak Penggugat demi mendapat kepastian hukum. Terhadap gugatan sang Pekerja yang menuntut dipekerjakan kembali, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 186/PDT.Sus-PHI/2016/PN.Bdg. pada tanggal 6 Maret 2017, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, menurut Majelis gugatan Penggugat cukup jelas, memiliki dasar hukum dan telah memenuhi syarat formil gugatan perkara perselisihan hubungan industrial, hal mana dalam dalil gugatan Penggugat menyatakan pemutusan hubungan kerja batal demi hukum dan menuntut mempekerjakan kembali Penggugat sebagai pekerja tetap, maka terhadap eksepsi Tergugat tersebut Majelis Hakim berpendapat haruslah ditolak;
“Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat tidak pernah menerima surat peringatan dari Tergugat sehingga pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat tanpa adanya kesalahan dari Penggugat;
“Menimbang, ... dimana Tergugat tidak dapat membuktikan adanya kesalahan dari Penggugat, hal ini terbukti dalam surat pemutusan hubungan kerja Nomor ... tanggal 14 Desember 2015 dalam isi suratnya tersebut tidak menyebutkan adanya kesalahan yang dilakukan oleh Penggugat, oleh karena itu hubungan kerja telah diputus oleh Tergugat diluar kesalahan Penggugat dan pengakhiran hubungan kerja tersebut tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka berdasarkan keadilan adalah patut Tergugat diwajibkan untuk membayar uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 Ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sebagaimana Pasal 156 Ayat (3) dan uang penggantian hak sebagaimana Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Penggugat;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung sejak tanggal 14 Desember 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali Pasal 156 Ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sebagaimana Pasal 156 Ayat (3) dan uang penggantian hak sebagaimana Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Penggugat dengan jumlah total sebesar Rp42.745.500,00 dengan perincian sebagai berikut:
- Uang pesangon : 2 x 6 x Rp2.655.000,00 = Rp31.860.000,00;
- Uang penghargaan masa kerja: 1 x 2 x Rp2.655.000,00= Rp5.310.000,00.
- Uang penggantian hak : 15% x Rp37.170.000,00 = Rp5.575.500,00.
Jumlah = Rp42.745.500,00.
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sekalipun Majelis Hakim PHI menolak permintaan Penggugat atas Upah Proses maupun permintaan agar dipekerjakan kembali, Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi Pemohon Kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Bandung pada tanggal 27 Maret 2017, dan kontra memori kasasi yang diterima Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Hubungan Industrial Bandung pada tanggal 17 April 2017 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah benar menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Judex Facti telah benar mempertimbangkan bukti-bukti berkenaan dengan hubungan kerja demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena terbukti hubungan kerja lebih dari 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 59 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
- Bahwa Judex Facti telah benar memberi putusan pemutusan hubungan kerja dengan kompensasi 2 (dua) kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, karena terbukti pemutusan hubungan kerja dilakukan tanpa dasar hukum yang sah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. ASALTA MANDIRI AGUNG tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. ASALTA MANDIRI AGUNG tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.