LEGAL OPINION
Question: Ini sekarang mengapa bisa banyak modus, ada orang yang sudah meninggal dunia, tapi seolah-olah masih hidup dan menjual tanahnya ke orang lain. Apalagi penjualannya itu ada akta otentiknya. Padahal, mana mungkin orang sudah mati masih bisa jual tanah? Kalau pun memang almarhum pernah beri surat kuasa untuk menjual, meninggalnya pemberi kuasa kan, menggugurkan pemberian kuasa. Apa jadinya yang nanti akan terjadi, kalau sampai ada sengketa kasus atau modus semacam itu? Sudah rusak moral ini bangsa, pake kebohongan untuk menggugat pula.
Brief Answer: Majelis Hakim Pengadilan akan mencocokkan tanggal antara “kejadian hukum” kematian dan tanggal “perbuatan hukum” pengalihan hak yang dilakukan oleh yang bersangkutan, apakah logis atau dapat ditarik persangkaan bahwa perbuatan hukum jual-beli demikian tidak mungkin terjadi, karena fakta yang ada menunjukkan bahwa pihak penjual sudah meninggal dunia sebelum perbuatan hukum dilakukan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagai cerminan dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 986 K/Pdt/2016 tanggal 15 Juni 2016, perkara antara:
- ADIELI ZEGA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- SOKHIFAO ZEGA als AMA SOTI, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat adalah salah seorang ahli waris dari almarhum Latigo Zega als. Ama Musi. Semasa hidupnya, Latigo Zega memiliki seorang Istri bernama Ramida Zega als Ina Musi, serta memiliki 2 orang anak laki-laki. Semasa hidupnya, ayah kandung Penggugat memiliki sebidang tanah berupa sawah, dengan luas seluruhnya ± 3.690,75 m2.
Tanah (sawah) tersebut diperoleh Ayah Kandung Penggugat melalui pembelian dari almarhum Donisi Zega alias Ama Atiria (dalam hal ini Ayah Kandung Tergugat pada tahun 1970), sesuai Surat Perjanjian Pembelian Tanah tertanggal 25 Maret 1970 yang juga ikut ditanda-tangani oleh Tergugat.
Pada tahun 2006, sebahagian tanah yang telah dibeli ayah Kandung Penggugat tersebut seluas: ± 238 m2) telah dihibahkan kepada Pemerintah untuk dijadikan tapak los pekan (untuk pasar) Bogali, sesuai Surat Penyerahan Tanah tertanggal 19 September 2006 dan Berita Acara Penyerahan Tanah tertanggal 2 Oktober 2006.
Selanjutnya pada tahun 2007, sebahagian tanah yang telah dibeli ayah Kandung Penggugat tersebut seluas: ± 120 m2 telah dijual kepada Kharisma Zega, sesuai Surat Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi tanggal 19 April 2007. Berlanjut pada tahun 2012, sebahagian tanah yang telah dibeli ayah Penggugat tersebut seluas ± 565 m2 telah dijual kepada Fo’arota Zega alias Ama Lestari, sesuai Surat Perjanjian Jual Beli Tanah tertanggal 9 Januari 2012, dan terakhir tanah milik ayah Penggugat seluas ± 211 m2 dihibahkan untuk dibuat Jalan DPDK.
Dengan dihibahkan dan dijual sebahagian tanah yang telah dibeli ayah kandung Penggugat dari ayah kandung Tergugat, maka posisi luas tanah saat ini adalah ± 3.690,75 m2 – ± 1.134,00 m2 = sekarang sisa luas tanahnya ± 2.556,75 m2.
Tanah milik ayah Penggugat yang sebelumnya satu hamparan, maka dengan dibangunnya Jalan DPDK di tengah tanah sengketa, maka tanah sengketa menjadi 2 hamparan. Dimulailah pada tanggal 19 Juni 2013, Tergugat menyerobot tanah yang telah dibeli ayah Kandung Penggugat dengan cara meletakkan sebuah kijang batu diatas tanah milik Penggugat. Kejadian tersebut langsung dilaporkan Ibu kandung Penggugat kepada Kepala Dusun.
Menanggapi laporan Penggugat, pada tanggal 24 Juni 2013 Kepala Dusun I Desa Hilisalo’o mengadakan rapat yang dihadiri Kepala Desa Hilisalo’o, Sekretaris Desa Hilisalo’o, para aparat desa, tokoh-tokoh masyarakat tanpa dihadiri Tergugat, meski telah diundang.
Sebagai hasil rapat desa tanggal 24 Juni 2013, dengan pertimbangan karena masih ada hubungan keluarga antara Penggugat dengan Tergugat, maka disarankan kepada keluarga Penggugat untuk memberikan sebahagian tanah tersebut kepada Tergugat dengan lebar 8 meter dan panjang sampai batas kebun Sokhi’ato Zega als. Ama Masa. Untuk menguatkan hasil rapat desa tersebut, dituangkan dalam Berita Acara Rapat tertanggal 22 Juli 2013.
Namun ternyata Tergugat tidak bersedia menerima hasil rapat tertanggal 24 Juni 2013 tersebut, sehingga pada tanggal 1 Juli 2013 memasuki lagi tanah milik keluarga Penggugat dengan menanam pisang dan memasang pilar diatas bidang tanah.
Atas tindakan penyerobotan tersebut, Ibu kandung Penggugat membuat laporan ke Polres Nias di Gunungsitoli. Ternyata laporan dugaan tindak pidana tersebut hingga ini belum ada tindak-lanjut, bahkan penyidik menyarankan kepada Penggugat agar menempuh jalur hukum perdata dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gunungsitoli.
Walaupun sudah dirapatkan di forum Desa dan telah dilaporkan ke Polres Nias, ternyata tindakan Tergugat menguasai tanpa hak tanah milik keluarga Penggugat semakin menjadi-jadi dengan merusak seluruh tanaman milik keluarga Penggugat.
Sejak Desember 2013 hingga sekarang, Tergugat sudah memasang pondasi bangunan untuk membuat rumah diatas bidang tanah sengketa, yang menurut hukum perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Akibat perbuatan Tergugat, Penggugat mengalami kerugiaan materiil dan oleh karenanya dalam gugatan ini menuntut agar Tergugat dihukum membayar kerugian berupa pengrusakan ubi jalar dengan cara menyemprot dengan racun rumput sebesar Rp50.000.000; serta terhadap pengrusakan tanah dengan cara membangun pondasi, membuat pondokan / bangunan sebesar Rp50.000.000.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Gunungsitoli kemudian menjatuhkan putusan Nomor 11/Pdt.G/2014/PN.Gst., tanggal 14 Januari 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap surat bukti P-2, ... , P-11 hanyalah berupa surat yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antara Penggugat dan Tergugat yang dilaksanakan di desa dan juga surat laporan kepolisian, sehingga Majelis Hakim berpendapat bukti surat tersebut tidak berkaitan langsung dengan inti pokok gugatan dan bukan merupakan bukti kepemilikan yang sah terhadap suatu barang yang dalam hal ini adalah tanah sawah objek sengketa sehingga bukti ini tidak akan dipertimbangkan lebih lanjut;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan Putusan Nomor 128/PDT/2015/PT.MDN., tanggal 9 September 2015. Selanjutnya Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara seksama memori kasasi tanggal 20 Oktober 2015 dan jawaban memori tanggal 3 November 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Gunungsitoli tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa tidak pernah terjadi jual-beli objek sengkata antara orang tua Penggugat sebagai pembeli dengan Donisi Zega als. Ama Atiria yaitu Ayah Kandung Tergugat, disebabkan surat jual-beli sawah yang dibuat tanggal 25 Maret 1970 adalah cacat hukum, karena si penjual yaitu orang tua Tergugat tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu pada tanggal 16 Maret 1970;
- Bahwa dengan demikian objek sengketa adalah milik Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi ADIELI ZEGA tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ADIELI ZEGA tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.