Pengusaha / Penjual Nakal Memanfaatkan Kerentanan Irasionalitas Sentimen Konsumen, Dihukum KPPU

LEGAL OPINION
Konsekuensi Yuridis Penerapan Prinsip Single Economic Entity Doctrine (SEED)
Question: Kalau antara supply dan demand tidak seimbang, tentu saja harga jual bisa naik. Wajar bila supply berkurang sementara demand tidak berkurang, maka harga akan naik. Mengapa pemerintah perlu menetapkan Harga Eceran Tertinggi, apa penjual tidak boleh untung?
Brief Answer: Masalahnya, irasionalitas watak konsumen Indonesia telah dikenal baik kalangan produsen pelaku usaha penjual, untuk disalah-gunakan, dimana menurunkan supply tidak berati secara serta-merta akan kehilangan keuntungan karena produk tidak banyak beredar di pasar—justru modus demikian dapat menjadi cara yang selalu ampuh untuk meningkatkan keuntungan secara signifikan, yakni dengan cara sengaja mengurangi supply yang dilempar ke pasar.
Dengan kata lain, alasan berkurangnya supply, bukanlah alasan rasional untuk membenarkan praktik menaikkan harga jual komoditi pangan di pasaran. Pemerintah selaku regulator maupun ajudikator, perlu memahami ketidak-sempurnaan “hukum permintaan dan penawaran” maupun terdapatnya faktor metafisik berupa “irasionalitas sentimen konsumen”—sebagaimana telah diketahui dan dipahami benar fenomena irasional demikian oleh para kalangan produsen maupun pelaku usaha.
Pola metafisik irasional sosial-ekonomi masyarakat Indonesia terkait pasokan bahan pangan, ialah “akan tetap membeli” sekalipun harga di pasaran melampaui angka psikologis yang wajar. Guna menjadi alibi yang sempurna, pihak pengusaha selalu mencari dalil merosotnya produksi ataupun menurunnya produktifitas ternak, dsb.
Namun yang sebenarnya terjadi, secara disengaja faktor produksi dimusnahkan separuhnya oleh produsen / penjual, sehingga harga di pasaran terdongkrak drastis, dan dipastikan akan tetap laku terserap habis oleh pasar / konsumen. Konsumen di pasar mudah disetir oleh kalangan produsen / pelaku usaha, itulah watak yang menjadi ciri khas warga negeri ini.
Bukan perihal boleh atau tidak boleh menarik keuntungan dari masyarakat selaku konsumen, namun pengusaha dan penjual kerap memanfaatkan irasionalitas sifat konsumerisme para konsumen. Bercermin saat harga daging sapi segar meningkat drastis diluar angka fenomenal, sementara daging sapi beku maupun daging asupan hewani substitusi alternatif seperti daging ikan yang terjangkau, justru konsumen Indonesia tetap memilih untuk membeli daging sapi segar yang harganya menembus batas psikologis kewajaran, atau seperti ketika harga cabai ditingkat pasar dan konsumen menjadi demikian meningkat dramatis, tetap saja masyarakat selaku konsumen membelinya.
Nafsu untuk menyetir konsumen dan pasar inilah, yang perlu di-rem, dicegah, dan diantisipasi oleh pemerintah, terutama oleh Kementerian Perdagangan bersama Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Kalangan pengusaha bermodal besar kerap kali melajukan usahanya tanpa rambu-rambu moralitas, dimana kebiasaan pasar yang “pasti akan membeli apapun harganya” itulah yang menjadi basis dari strategi bisnis kalangan pengusaha dalam mengeksploitasi pasar, semudah cukup dengan menghentikan sebagian arus pasokan ke pasar sehingga demand secara sendirinya akan terdongkrak terhadap barang yang direkayasa menjadi kian langka.
Sering kali terjadi, berkurangnya pasokan ke pasar (menurunnya atau merosotnya supply), bukan terjadi secara natural, namun karena “by design”, alias memang telah direkayasa atau dirancang sedemikian rupa secara tersistematis / terstruktur oleh kalangan pelaku usaha seperti importir, pemasok, pengepul, tengkulak, maupun produsen.
Sebagai contoh, over supply daging hewani unggas, bukan ditekan oleh produsen agar pasokan penawaran dan penerimaan dibuat seimbang untuk menjaga harga komoditas tetap stabil, namun justru berbagai unggas yang mereka miliki dimusnahkan separuhnya, sehingga pasokan merosot drastis, mengakibatkan kepanikan pasar, dan berdampak pada psikologi pasar yang berubah irasional sehingga dilepas dengan harga berapa pun konsumen tetap akan membelinya.
Komoditas apapun, mulai dari seperti komoditas bawang merah, cabai, beras, hingga perihal kebutuhan pokok lain seperti perumahan, pada prinsipnya selalu berpotensi terjadinya penyalah-gunaan pelaku usaha terhadap sentimen pasar yang dilandasi psikologi irasional demikian.
Perjanjian antar pelaku usaha / produsen, sebagai contoh, bisa menjelma perikatan bukan yang bukan semata kontraktual bersifat perdata, namun juga berdimensi publik—artinya tidak lagi hanya berdampak pada para pihak yang membuat dan menyepakati perjanjian, ketika substansi perikatan dalam perjanjian tersebut menyangkut aspek publik seperti kartelisasi harga, sehingga pada detik itu jugalah otoritas pengawasan terkait pesaingan usaha dapat melakukan intervensi dan penegakan hukum.
Bagi pelaku usaha (terutama produsen), perhatikan norma Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, yang mengatur: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”
PEMBAHASAN:
Salah satu landmark decision terkait “irasionalitas sentimen pasar” yang diperdaya dan dieksploitasi sepenuhnya oleh kalangan produsen dan penjual, akan tampak jelas sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perkara kartel harga register Nomor 02/KPPU-I/2016 tanggal 13 Oktober 2016, terhadap:
1. Terlapor I : PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tbk.;
2. Terlapor II : PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk.;
3. Terlapor III : PT Malindo Feedmill, Tbk.;
4. Terlapor IV : PT CJ-PIA;
5. Terlapor V : PT Taat Indah Bersinar;
6. Terlapor VI : PT Cibadak Indah Sari Farm;
7. Terlapor VII : PT. Hybro Indonesia;
8. Terlapor VIII : PT. Expravet Nasuba;
9. Terlapor IX : PT. Wonokoyo Jaya Corporindo;
10. Terlapor X : CV Missouri;
11. Terlapor XI : PT. Reza Perkasa;
12. Terlapor XII : PT. Satwa Borneo Jaya.
Kasus bermula ketika harga ayam potong di pasar merangkak yang angka harga yang menembus level kewajaran, membuat masyarakat memekik (meski tetap saja membelinya), sehingga mendorong komisioner KPPU untuk bergerak dan melakukan investigasi.
Dimana terhadap tuntutan yang diajukan oleh investigator KPPU, Majelis Komisi (quasi yudikatif) KPPU membuat pertimbangan serta amar putusan setebal lebih dari 800 halaman, yang salah satu kutipannya sebagai berikut:
“3. Tentang Kewenangan KPPU dalam Perkara A quo;
3.1 Tentang Permasalahan dalam Perkara A quo.
3.1.1 Bahwa Majelis Komisi menilai latar belakang kesepakatan Pemotongan / Pengafkiran Induk Ayam Pedaging (Parent Stock) dan Pemotongan Hatchery Egg Final Stock adalah terkait dengan isu over supply DOC FS. Hal tersebut diketahui berdasarkan fakta persidangan sebagai berikut:
3.1.1.1 Bahwa pada awalnya Asosiasi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR) menyuarakan isu terjadinya over supply;
3.1.1.2 Bahwa isu terkait over supply sudah muncul sejak tahun 2014, dan hal tersebut diakui oleh Asosiasi Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU) (vide bukti B15).
3.1.1.3 Bahwa berkaitan dengan isu over supply tersebut, para pelaku usaha dan peternak telah melakukan serangkaian pertemuan dan pertemuan tersebut diketahui oleh Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Pertanian) (vide bukti B48, B52, B44, B42).
3.1.1.4 Selanjutnya berdasarkan alat bukti diketahui bahwa pada tanggal 19 November 2014 di Ruko GPMT pada pukul 14.00-15.00 WIB telah dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh Bapak Don Utoyo, Bapak Kriss, Bapak Suparman, Bapak Dawami, Bapak Chandra, Bapak Ruri, Ibu Fitri, Bapak Widi, Bapak Sam Hadi, Bapak Feri, dan Bapak Wahyu, yang menyimpulkan pada pokoknya sebagai berikut (vide bukti C12, B14):
a. Pembenahan sisi data base arus supply demand nasional yang menjadi dasar regulasi Pemerintah, kebijakan perusahaan serta investor baru.
b. Segmentasi atau pembagian “kue bisnis” oleh grup.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan akan dibentuk tim Ad Hoc baru (Ad Hoc supply demand) yang diketuai oleh Bapak Chandra dan Bapak Musbar selaku Sekretaris serta dibantu oleh Bapak Feri, Bapak Hartono, Bapak Eko, Bapak Dudung, Bapak Wahyu, Bapak Sam Hadi, Bapak Jamal (pembibitan). Tim Ad Hoc tersebut bertugas sebagai berikut:
a. Membuat parameter untuk penyusunan standarisasi baku “supply” yang disepakati bersama.
b. Membuat parameter untuk penyusunan standarisasi baku “demand” yang disepakati bersama.
c. Hasil kerja dari Tim Ad Hoc akan dipresentasikan dan diajukan ke instansi atau badan negara yang terkait sehingga tidak terjadi kesalahan penghitungan seperti yang terjadi selama ini.
3.1.1.5 Bahwa pada tanggal 26 Februari 2015, asosiasi perunggasan dan para perusahaan pembibitan ayam ras membuat kesepakatan pengurangan telur tetas dan afkir dini Parents Stock pada umur 55 minggu, untuk menjaga keseimbangan supply dan demand. Kesepakatan tersebut diketahui oleh Kementerian Pertanian (vide bukti C1.2).
3.1.1.6 Bahwa pada tanggal 2 April 2015 asosiasi perunggasan dan para perusahaan pembibitan ayam ras membuat kesepakatan yang antara lain berisi (vide bukti C1.4):
a. Pemotongan HE sebesar 40% di Hatchery pada umur 18 hari mulai tanggal 2 April sampai dengan tanggal 16 April 2016 untuk semua perusahaan pembibitan, selanjutnya dibicarakan di Tim Ad Hoc.
b. Pengurangan PS sebesar 10% pada semua umur dalam waktu 2 bulan mulai dari tanggal 3 April sampai dengan tanggal 31 Mei 2015 (umur PS yang dipotong secara progresif akan dihitung oleh Tim Ad Hoc).
Kesepakatan tersebut diketahui oleh Kementerian Pertanian; [Note SHIETRA & PARTNERS: itulah fakta yang paling ironis. Berbagai pihak Kementerian sejatinya tahu dan turut terlibat dalam kesepakatan demikian, namun justru melegalkan praktik yang ilegal.]
3.1.1.7 Bahwa pada tanggal 8 April 2015 asosiasi perunggasan dan para perusahaan pembibitan ayam ras membuat kesepakatan yang antara lain berisi (vide bukti C1.5):
a. Pemotongan HE FS broiler dari hasil cek mesin sesuai dengan hasil kesepakatan tanggal 26 Februari 2015:
- Minggu I bulan April 2015 sebesar 40%.
- Minggu II bulan April 2015 sebesar 40%.
- Minggu III bulan April 2015 sebesar 30%.
- Minggu IV bulan April 2015 sebesar 30%.
- Minggu I bulan Mei 2015 sebesar 30%.
- Minggu II bulan Mei 2015 sebesar 20%.
b. Rencana pelaksanaan pengurangan PS broiler akan dimulai pada minggu IV bulan April 2015 karena dalam pelaksanaannya memerlukan koordinasi terlebih dahulu dengan Tim Teknis dari masing-masing breeder.
c. Persiapan pelaksanaan teknis dan pengawasan pengurangan PS broiler semua umur akan dibicarakan secara internal breeder (GPPU dan ASPARI) dalam waktu dekat.
Kesepakatan tersebut diketahui oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan;
3.1.1.8 Bahwa pada tanggal 22 April 2015 asosiasi perunggasan dan para perusahaan pembibitan ayam ras membuat kesepakatan yang antara lain berisi (vide bukti C1.6):
a. Melaksanakan afkir dini PS di atas umur 55 minggu sebesar 20% (setara dengan 6 ekor juta PS) dan dilaksanakan mulai tanggal 27 April sampai dengan 31 Juli 2015 oleh PT Charoen Pokphand, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Bibit Indonesia (PT Malindo), PT CJ-PIA, PT Wonokoyo, PT Taat Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, PT Expravet Nasuba, dan PT Hybro Indonesia dan besaran prosentase afkir dini PS berlaku sama untuk semua pembibit yang disebutkan diatas.
b. Pemotongan HE situasional sebesar 35% yang berdasarkan data perhitungan kuota oleh tim Ad Hoc dan dilaksanakan oleh seluruh breeding PS.
Kesepakatan tersebut diketahui oleh Kementerian Pertanian;
3.1.1.9 Bahwa pada tanggal 22 April 2015 PT Expravet Nasuba menerima email dari GPPU dan ditujukan juga kepada anggota lainnya, yang berisi tentang adanya rencana melakukan afkir dini PS sebanyak 2 juta ekor (vide bukti B51, T8.4).
3.1.1.10 Bahwa pada tanggal 11 Mei 2015, Ketua GPPU, Ketua ASPARI, perwakilan FPMI, Ketua dan Sekretaris Tim Ad Hoc, pimpinan perusahaan pembibitan, membuat kesepakatan yang antara lain berisi:
a. Pelaksanaan afkir dini PS ditunda, mempertimbangkan dampak dari afkir dini (mengganggu harga livebird dan belum ada kesepakatan dalam teknis pelaksanaan).
b. Cutting HE FS dilaksanakan sesuai kesepakatan sebelumnya, dimulai pada minggu II Bulan Mei (tanggal 11-16 Mei 2015) sebesar 30%, minggu III Bulan Mei (tanggal; 18-23 Mei 2015) sebesar 30% dan minggu IV bulan Mei (tanggal 25-30 Mei 2015) sebesar 20%.
Kesepakatan tersebut diketahui oleh Kementerian Pertanian (dalam hal ini adalah Direktorat Pembibitan Ternak);
3.1.1.11 Bahwa pada bulan Mei 2015 dilakukan pertemuan di rumah makan sekitar Mangga Dua. Dalam pertemuan tersebut pihak Japfa Comfeed menunjukkan simulasi dalam bentuk tabel yang berisi perhitungan pembagian PS yang akan di afkir dini (vide bukti B51).
3.1.1.12 Bahwa simulasi pada pertemuan bulan Mei 2015 telah berulang kali dipaparkan dalam pertemuan-pertemuan, termasuk pertemuan di Kementerian Pertanian pada tanggal 14 September 2015 yang menghasilkan kesepakatan bersama oleh 13 breeder terkait afkir dini PS 6 juta ekor dan jumlah yang akan diafkir oleh PT Charoen Pokphand dan PT Japfa Comfeed (vide bukti B51).
3.1.1.13 Bahwa setelah pertemuan tanggal 14 September 2015 dilakukan pertemuan lain yang bertempat di kantor GPPU di Mangga Dua yang membahas penentuan prosentase PS yang akan diafkir oleh 11 (sebelas) pelaku usaha selain PT Charoen Pokphand dan PT Japfa Comfeed (vide bukti B51).
3.1.2 Berdasarkan uraian fakta tersebut diatas, Majelis Komisi berpendapat bahwa kesepakatan mengenai afkir dini PS secara jelas dilatar-belakangi dan diinisiasi oleh para pelaku usaha, dan bukan merupakan suatu kebijakan resmi dari Pemerintah.
3.1.3 Bahwa oleh karena itu, KPPU berwenang menangani perkara a quo sebagaimana ketentuan Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 1999.
3.2 Tentang Pengecualian UU Nomor 5 Tahun 1999.
3.2.1 Berdasarkan kesimpulan para Terlapor menyatakan pada pokoknya bahwa perkara a quo merupakan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf (a) UU Nomor 5 Tahun 1999 karena kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha tersebut merupakan public cartel.
3.2.2 Bahwa atas kesimpulan tersebut Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut:
3.2.2.1 Bahwa ketentuan Pasal 50 Huruf (a) UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan: ‘Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: (a) Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.’
3.2.2.2 Berdasarkan Pedoman Pasal 50 huruf (a) UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa ketentuan tersebut harus dibatasi hanya kewenangan yang didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau pada Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang tetapi berdasarkan delegasi secara tegas dari Undang-Undang;
3.2.2.4 Berdasarkan Application of Competition Law: Exemptions and Exceptions tersebut dapat disimpulkan bahwa pengecualian atas pemberlakuan hukum persaingan dapat dilakukan dalam hal:
a. Pengecualian harus diberikan dengan klausa batas-waktu dan ketentuan untuk tinjauan periodik.
b. Tinjauan pengecualian harus mencakup analisis dampak efisiensi ekonomi dan kesejahteraan konsumen, dan dalam kerangka biaya-manfaat dapat mengidentifikasi "pemenang" dan "pecundang", dan apakah memberikan manfaat bagi konsumen atau kepentingan ekonomi yang lebih luas.
c. Pengecualian harus diberikan setelah mendengar pendapat umum dan partisipasi pihak yang berkepentingan dan yang terkena dampak.
d. Pengecualian sebisa mungkin harus membatasi persaingan. Di banyak daerah, pengecualian berkaitan dengan industri infrastruktur seperti listrik, telekomunikasi dan transportasi, pendekatan alternatif persaingan yang lebih layak.
e. Pengecualian harus bersifat umum, yang berkaitan dengan jenis kegiatan ekonomi atau pengaturan pada sektor industri yang spesifik.
3.2.2.5 Berdasarkan hal tersebut, Majelis Komisi berpendapt bahwa dalam perkara a quo tidak pernah dilakukan analisis terkait hal-hal sebagaimana telah diuraikan pada butir a sampai dengan e diatas.
3.2.2.6 Berdasarkan alat bukti, Majelis Komisi tidak menemukan satu pun peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memberikan dasar bagi para Terlapor untuk melakukan afkir dini Parents Stock (PS). Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh keterangan Pemerintah (Sdr. Muladno selaku Dirjen PKH) yang menyatakan pada pokoknya tidak ada ketentuan dibidang perunggasan (ayam) yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengukur telah terjadi swasembada atau telah terjadi over supply (vide bukti B11).
3.2.2.7 Berdasarkan keterangan Pemerintah (Sdr. Muladno selaku Dirjen PKH) yang menyatakan bahwa Tupoksi sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian adalah melakukan pembinaan untuk pengembangan produksi peternakan dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas ternak secara umum. Oleh karena itu, terkait tupoksi tersebut telah jelas dimaknai jika kapasitas Pemerintah dalam hal ini Saksi selaku Dirjen PKH bukanlah dalam rangka jabatan dapat memberikan kebijakan baik itu menambah maupun mengurangi supply dan demand, melainkan untuk meningkatkan produksi ternak, produktivitas, dan daya saing ternak secara umum (vide bukti B11).
3.2.2.8 Bahwa berdasarkan keterangan Pemerintah, secara faktual tidak ada data yang valid terkait supply demand, namun hanya menerima secara serta-merta data dari para pelaku usaha yang dikoordinir oleh GPPU selaku asosiasi (vide bukti B11, B15, T2.11). [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah yang disebut dengan negeri ‘salah urus’ dan ‘salah asuh’.]
3.2.2.9 Bahwa dengan demikian, dalam hal ini Dirjen PKH melakukan tindakan tidak atas dasar peraturan perundang-undangan namun justru semata-mata hanya memfasilitasi kepentingan dan keinginan para pelaku usaha. Oleh karena itu, maka tindakan kesepakatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha tidak dapat dikecualikan sebagaimana ketentuan Pasal 50 huruf (a) UU Nomor 5 Tahun 1999.
3.3 Tentang Kapasitas dan Keterlibatan para Terlapor dalam kesepakatan afkir dini.
3.3.1 Bahwa dalam kesimpulan para Terlapor menyatakan pada pokoknya, terdapat kekeliruan dalam menetapkan Terlapor dalam perkara a quo, karena tidak semua Terlapor memiliki PS dan tidak melakukan afkir dini induk ayam PS pedaging, sebagaimana dimaksud dalam obyek perkara a quo.
3.3.2 Bahwa terhadap keberatan para Terlapor sebagaimana diatas, Majelis Komisi terlebih dahulu menguraikan hal-hal sebagai berikut:
3.3.2.1 Bahwa dalam ilmu ekonomi dikenal pendekatan Single Economic Entity Doctrine (SEED), yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi (Alison Jones and Brenda Sufrin, EC Competition Law, Text, Cases, and Materials, Oxford University Press, New York, 2004 hal. 123).
3.3.2.2 Bahwa derajat independensi anak perusahaan dapat dilihat dari berbagai faktor, antara lain kendali induk perusahaan terhadap direksi anak perusahaan, keuntungan yang dinikmati oleh induk perusahaan dari anak perusahaan, dan kepatuhan anak perusahaan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh induk perusahaan. misalnya terkait dengan pemasaran dan investasi.
3.3.2.3 Bahwa konsekuensi dari penerapan Single Economic Entity Doctrine (SEED) ini adalah pelaku usaha dapat diminta pertanggung-jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi.
3.3.2.4 Bahwa dalam ilmu hukum, pada prinsipnya induk perusahaan dapat dikenakan tanggung jawab hukum sebagai akibat dominasi induk perusahaan terhadap pengurusan anak perusahaan yang menjalankan instruksi induk perusahaan.
3.3.2.5 Bahwa Hukum Perseroan memberikan perlindungan kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan dengan berlakunya prinsip limited liability (prinsip tanggung jawab terbatas) atas ketidak-mampuan anak perusahaan menyelesaikan seluruh tanggung jawab hukum pada pihak ketiga.
3.3.2.6 Bahwa keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup menyebabkan induk perusahaan memiliki peran ganda sebagai pemegang saham anak perusahaan sekaligus pimpinan sentral perusahaan grup. Kedudukan induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan menyebabkan induk perusahaan tidak hanya Bertanggung-jawab sebesar nilai saham mengingat peran ganda perusahaan induk.
3.3.2.7 Bahwa kemudian tanggung jawab ini diarahkan kepada perluasan tanggung jawab hukum induk perusahaan sebagai pemegang saham sekaligus sebagai pimpinan sentral perusahaan grup dengan menerapkan prinsip ‘Piercing the corporate veil’ dan prinsip keseimbangan yang berkeadilan antara hak dan kewajiban induk perusahaan, sehingga induk perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas segala akibat hukum yang muncul dari hubungan tersebut.
3.3.2.8 Bahwa pada prinsipnya tanggung jawab hukum dari perusahaan induk (holding company) dalam perusahaan grup dalam hal sebagai pemegang saham, maka pertanggung-jawabannya hanya sebatas nilai saham, namun dalam hal-hal tertentu hukum memperkenankan tanggung jawab hukum pemegang saham melebihi dari tanggung jawab sebatas sahamnya (Piercing the corporate veil).
3.3.2.9 Bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas telah memberikan peluang bagi penerapan Piercing the corporate veil terhadap hapusnya imunitas limited liability induk perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 tidak berlaku apabila terjadi hal-hal berikut:
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi.
3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan.
4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.
3.3.2.10 Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas maka Prinsip hukum Piercing the corporate veil berlaku apabila terbukti hal hal sebagai berikut:
1. Fakta pengendalian induk terhadap anak perusahaan nyata-nyata menyebabkan ketidak-mandirian secara ekonomi anak perusahaan sehingga anak perusahaan hanya menjadi instrumen induk perusahaan karena perbuatan hukum anak perusahaan semata-mata menjalankan instruksi induk perusahaan.
2. Induk perusahaan terbukti menunjukkan itikad tidak baik dengan memanfaatkan anak perusahaan untuk kepentingan induk perusahaan.
3. Induk perusahaan memberikan instruksi kepada anak perusahaan sehingga anak perusahaan wajib menggunakan kekayaannya tidak untuk kepentingan anak perusahaan melainkan untuk kepentingan induk perusahaan, sehingga mengakibatkan anak perusahaan menderita kerugian.
3.3.3 Bahwa atas uraian tersebut diatas, maka Majelis Komisi menilai sebagai berikut:
3.3.3.1 Bahwa dalam persidangan terbukti beberapa pelaku usaha memiliki hubungan afiliasi kepemilikan saham yang sama, sebagaimana berikut:
a. PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk yang memiliki saham di PT Charoen Pokphand Jaya Farm sebesar 90% (vide bukti B42).
b. PT CJ-PIA dan PT Super Unggas Jaya (SUJA) alias Samsung satu grup dengan PT Taat Indah Bersinar, PT Intertama Trikencana Bersinar, dan PT Patriot Intan Abadi (PIA), serta diketahui bahwa Sdr. Hilwan Setiawan merupakan pemegang saham di perusahaan-perusahaan tersebut (vide bukti B47, B48).
c. PT Hybro Indonesia dan PT Ayam Manggis dimana PT Ayam Manggis merupakan investor dari PT Hybro Indonesia dan memiliki saham lebih kurang sebesar 98% (vide bukti B50).
3.3.3.2 Bahwa selain bukti adanya hubungan afiliasi diantara beberapa pelaku usaha, juga terdapat fakta lain mengenai keterlibatan perusahaan-perusahaan terafiliasi tersebut dalam mengikuti rangkaian pertemuan dan menanda-tangani kesepakatan, sebagaimana berikut:
a. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 26 Februari 2016 (vide bukti C1.2).
b. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 13 Maret 2015 (vide bukti C1.3).
c. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 2 April 2015 (vide bukti C1.4).
d. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 8 April 2015 (vide bukti C1.5).
e. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 22 April 2015 (vide bukti C1.6).
f. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 11 Mei 2015 (vide bukti C1.7).
g. Kesepakatan pertemuan pada tanggal 14 September 2015 (vide bukti C1.1).
3.3.3.3 Bahwa selama proses pemeriksaan diketahui PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pakan ternak dan makanan olahan, sedangkan PT Charoen Pokphand Jaya Farm sebagai anak perusahaan bergerak dibidang DOC (mengelola GGPS, GPS, PS).
3.3.3.4 Bahwa diketahui Sdr. Jemmy yang merupakan Direktur Operasional di PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk juga menjabat sebagai Komisaris di PT Charoen Pokphand Jaya Farm. Di samping itu, Sdr. Jemmy merupakan orang yang aktif hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Kementerian dan kehadirannya tersebut dalam rangka jabatan mewakili baik itu PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk maupun PT Charoen Pokphand Jaya Farm, dan bukan Sdr. Jemmy sebagai pribadi atau individu. (vide buki B42).
3.3.3.5 Bahwa meskipun PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk sebagai induk perusahaan yang tidak memiliki usaha dibidang DOC, namun konsekuensi dari penerapan Single Economic Entity Doctrine (SEED), yang memandang hubungan induk dan anak perusahaan, dimana anak perusahaan tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan sebagai satu kesatuan entitas ekonomi, maka sangat tepat apabila PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk sebagai induk perusahaan diminta pertanggung-jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi.
3.3.3.6 Bahwa selama proses pemeriksaan diketahui jika PT Ayam Manggis merupakan investor dari PT Hybro Indonesia, yang memiliki saham lebih kurang sebesar 98%, selain itu diketahui bahwa PT Hybro Indonesia terafiliasi dengan PT Ayam Manggis sebagaimana diakui oleh Terlapor VII dalam Berita Acara Pemeriksaan (vide bukti B50).
3.3.3.7 Bahwa meskipun yang melakukan afkir dini PS adalah PT Ayam Manggis, namun dalam kesepakatan 14 September 2015 yang menanda-tangani adalah Ibu Lilik Wijaya selaku wakil dari Bapak Karman Wijaya, yang merupakan pemilik PT Hybro Indonesia dan juga pemilik PT Ayam Manggis (vide bukti B50).
3.3.3.8 Bahwa tindakan Ibu Lilik Wijaya yang menanda-tangani kesepakatan tanggal 14 September 2015 patut dipertimbangkan karena tindakan Ibu Lilik Wijaya tersebut adalah tindakan dalam rangka jabatan untuk dan atas nama perseroan in cassu PT Hybro Indonesia dan bukan Ibu Lilik Wijaya sebagai pribadi. Oleh karena itu, PT Hybro Indonesia adalah Terlapor yang memenuhi syarat untuk bertanggung-jawab dalam dugaan perkara a quo.
3.3.3.9 Bahwa dengan demikian, Majelis Komisi berpendapat tidak ada kekeliruan dalam menetapkan Terlapor pada perkara a quo.
3.4 Tentang Pendapat Ahli Mengenai Public Cartel;
3.4.1 Dalam kesimpulanya, Terlapor I menyatakan bahwa kesepakatan terkait afkir dini PS dapat dikategorikan sebagai public cartel. Hal tersebut didasarkan pada pendapat ahli yang pada pokoknya menyatakan (vide bukti B31, B35):
- Bahwa kesepakatan yang diinisiasi dan diselenggarakan pemerintah bersama pelaku usaha tidak tepat jika dikategorikan sebagai kartel sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999;
- “yang dibenarkan adalah kartel yang tujuannya tidak komersial, dilakukan tidak secara rahasia, .. dan diterima secara hukum, dan “diijinkan” dari sisi hukum, bisa dijustifikasi dari sisi hukum dan ekonomi, karena yang melakukan adalah pihak berwenang yaitu Pemerintah.”.
- “tetapi yang sekarang menurut saya bukan dilemanya perusahaan besar, tetapi peternak rakyat. Inilah yang menjadi concern Pemerintah dan oleh karena itu Pemerintah pada akhirnya mendengar permohonan dari masyarakat yang diwakili oleh ormas dan yang dimohonkan itu adalah kartel karena sifatnya membatasi. ... Tetapi apakah itu masuk ke dalam kategori kartel menurut Pasal 11 UU No. 5/1999? Jawabannya menurut saya tidak. Yang harus dilihat dalam perkara ini adalah dari sisi kepentingan publiknya.”
- “Sudah saya jelaskan bahwa itu lebih kepada public cartel atau crisis cartel, karena tindakan tersebut diinisiasi oleh Pemerintah dengan tujuan yang jelas dan dilakukan secara terbuka.”
- “Dalam konteks ini adalah kartel yang diinisiasi oleh Pemerintah dan tujuannya untuk kebaikan sektor perunggasan, jadi tidak ada tujuan komersial.”
3.4.2 Berkaitan dengan pendapat ahli tersebut maka Majelis Komisi akan mempertimbangkan fakta yang menjadi latar belakang dibuatnya kesepakatan afkir dini tanggal 14 September 2015 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada pokoknya inisiatif melakukan kesepakatan adalah pelaku usaha;
3.4.3 Bahwa berdasarkan uraian latar belakang kesepakatan, dapat diketahui inisiatif kesepakatan bukan berasal dari pemerintah Bahkan dalam persidangan, pemerintah (dalam hal ini Dirjen PKH-Kementerian Pertanian) justru menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki dan/atau mengetahui data supply dan demmand yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah hanya secara serta merta menerima informasi atau data supply dan demmand yang disampaikan pelaku usaha; [Note SHIETRA & PARTNERS: Yang luar biasa dari modus para ‘komplotan’ pelaku usaha perunggasan ini, bahkan pemerintahan dapat di-‘tunggangi’ secara demikian tersistematis sebagai justifikasi manuver bisnis kartelisasi.]
3.4.4 Bahwa disamping itu, Majelis Komisi berpendapat pemerintah (dalam hal ini adalah Direktur Jenderal PKH) tidak memiliki otoritas untuk mengeluarkan inisiatif memerintahkan pelaku usaha untuk melakukan afkir dini dalam rangka mengurangi over supply karena tugas pokoknya adalah terkait dengan produktifitas sebagaimana keterangan Saksi Dirjen PKH pada Sidang Majelis Komisi tanggal 18 Mei 2016 (vide bukti B11):
3.4.5 Bahwa selanjutnya Majelis Komisi menilai selama proses persidangan tidak ada bukti adanya surat keputusan atau surat penetapan formal yang diterbitkan pejabat pemerintah berwenang yang memerintahkan kepada para Terlapor untuk melakukan afkir dini Parent Stock (PS);
3.4.6 Atas dasar uraian tersebut maka Majelis Komisi berpendapat bahwa kesepakatan afkir dini yang dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 14 September 2015 tidak dapat dikategorikan sebagai public cartel;
4. Tentang Industri Ayam Ras Pedaging (Broiler).
4.1 Tentang Kebijakan Pemerintah terkait ayam ras pedaging (broiler).
4.1.1 Tentang Regulasi terkait peternakan (khususnya terkait ayam ras pedaging).
4.1.1.1 Bahwa industri ayam ras merupakan industri yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha. Para pelaku industri menjalankan bisnisnya dengan membentuk integrasi vertikal dari hulu hingga hilir. Sementara disisi lain, para peternak mandiri sangat tergantung pada para perusahaan terintegrasi sebagai sumber input produksi, sedangkan di sisi hilir, bersaing di pasar yang sama (daging ayam).
4.1.1.2 Bahwa jumlah pelaku usaha integrasi lebih sedikit dibandingkan dengan pelaku usaha pada level semi-integrasi dan pelaku usaha yang tidak terintegrasi. Secara umum pelaku usaha pada tata niaga perunggasan dapat digambarkan dalam bentuk berikut: ...;
4.1.1.3 Bahwa berdasarkan gambar piramida diatas tergambar perusahaan terintegrasi berada pada level puncak piramida dengan jumlah pelaku usaha yang sedikit kemudian diikuti oleh pelaku usaha breeder,
4.1.1.4 Bahwa pelaku usaha breeder dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, Breeder yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan induk yang memiliki usaha terintegrasi. Breeder dalam katagori ini biasanya memiliki GPS sehingga produk jualnya adalah DOC PS dan DOC FS. Kedua, Breeder yang hanya memproduksi DOC FS. Breeder pada kategori ini tidak memiliki GPS sehingga sangat tergantung pada pelaku usaha pembibitan yang memproduksi DOC PS. DOC PS kemudian dibesarkan sampai menghasilkan DOC FS baru kemudian dijual. Breeder dalam kategori kedua pada umumnya masuk sebagai pelaku usaha semi-integrasi karena pada faktanya para breeder memiliki usaha budidaya pembesaran DOC FS sampai dengan LB. Pada level selanjutnya terdapat pelaku usaha peternak / pembudidaya. Level pelaku usaha peternak sampai pada pelaku usaha level terakhir merupakan pelaku usaha yang pada umumnya tidak terintegrasi, kecuali peternak yang memiliki hubungan kemitraan. Pelaku usaha peternak sangat membutuhkan pasokan baik DOC FS, pakan, vitamin dan obat dari pelaku usaha pada level atasnya.
4.1.1.5 Bahwa produk dari pelaku usaha peternak adalah Live Bird. Hasil panen Live Bird kemudian dijual oleh pelaku usaha peternak kepada pelaku usaha broker (bandar atau perantara). Pelaku usaha broker merupakan pelaku usaha yang biasa bersifat perorangan. Sementara pelaku usaha bandar dapat merangkap menjadi broker dan/atau hanya menjadi bandar.
4.1.1.6 Bahwa level yang terakhir adalah pengecer dan/atau pelapak. Pengecer dan/atau pelapak adalah pelaku usaha pada level akhir karena produk yang mereka jual adalah ayam karkas yang akan dikonsumsi oleh konsumen akhir pada industri ayam pedaging. Perbedaan pengecer dan pelapak hanya terletak pada banyaknya jumlah ayam yang mereka jual. Pengecer memiliki jumlah yang lebih besar yang biasanya memberikan pada pelapak untuk dijual pada pasar-pasar tradisional.
4.1.1.7 Bahwa perusahaan integrasi menguasai business process mulai dari hulu sampai hilir, sehingga perusahaan integrasi seharusnya dapat lebih efisien dalam memberikan harga jual ayam hidup pada tingkat konsumen karena tidak melewati rantai pasokan yang panjang.
4.1.1.8 Bahwa perbedaan rantai distribusi tersebut seharusnya yang diatur oleh Pemerintah.
4.1.1.9 Bahwa selain itu, belum ada kebijakan yang diatur oleh Pemerintah terkait perlindungan kepada peternak mandiri, berupa jaminan supply DOC dan pakan.
4.2 Tentang karakteristik industri ayam ras pedaging.
4.2.1 Bahwa ayam ras pedaging atau yang biasa disebut juga sebagai ayam broiler merupakan jenis ayam ras unggulan hasil persilangan dari spesies/ras ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam.
4.2.2 Bahwa dalam perkembangannya pelaku usaha tumbuh dan berkembang sangat pesat, pelaku usaha tidak hanya peternak yang melakukan budidaya bibit ayam (DOC FS) sampai dengan panen ayam hidup (Live Bird).
4.2.3 Bahwa proses bisnis dalam industri ayam broiler dapat dibedakan menjadi beberapa usaha, yaitu usaha secara horizontal dan usaha secara vertikal. Usaha secara horizontal, yaitu: (1) usaha pakan ayam, (2) usaha obat dan vitamin, (3) usaha sarana dan prasarana, dan (4) kelengkapan lainnya. Usaha secara vertikal, yaitu: (1) usaha indukan ayam (PS), (2) usaha bibit ayam usia sehari (DOC FS), (3) usaha budidaya (pembesaran menjadi ayam siap konsumsi / live bird), (4) usaha pedagang / perantara (broker atau pedagang ayam hidup), (5) Rumah Potong Ayam, (6) pedagang pasar / pelapak, (7) pelaku usaha cold storage, dan (8) usaha makanan olahan / food processing.
4.3 Tentang sistem penjualan.
4.3.3 Bahwa peternak berhubungan dengan broker, harga lebih banyak ditentukan berdasarkan kondisi ketersediaan pasokan di pasar dan permintaan konsumen. Peternak mandiri bersaing secara langsung dengan perusahaan terintegrasi yang berproduksi lebih banyak. Perusahaan terintegrasi lebih mudah untuk dapat mempengaruhi harga pasar. Peternak mandiri bertindak sebagai price taker.
4.3.4 Bahwa bandar memiliki peran dalam penjualan daging ayam. Bandar memiliki informasi di tingkat peternak, serta informasi mengenai kebutuhan pasar. Dengan demikian, bandar akan selalu mudah mendapatkan keuntungan, sedangkan bakul / pedagang pengecer berjumlah sangat banyak, bertindak sebagai price taker.
4.3.5 Bahwa peternak mandiri mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena ketergantungan yang sangat tinggi pada perusahaan terintegrasi serta persaingan yang tidak sebanding di pasar daging ayam.
4.3.6 Bahwa kerugian yang dialami peternak mandiri dapat menjadi disinsentif bagi para peternak mandiri maupun peternak potensial.
4.4 Tentang Struktur pasar.
4.4.1 Tentang pemain / perusahaan yang ada dalam pasar.
4.4.1.1. Bahwa pelaku usaha dalam tata niaga perunggasan khususnya untuk ayam pedaging dapat dibedakan menjadi tiga kategori pelaku usaha yaitu pelaku usaha terintegrasi, pelaku usaha semi-integrasi dan pelaku usaha yang tidak terintegrasi. Berikut penjelasannya:
(a) Bahwa pelaku usaha terintegrasi adalah pelaku usaha yang memiliki serangkaian proses produksi dari hulu sampai hilir. Pelaku usaha integrasi dan memiliki pangsa pasar yang dominan biasanya dapat mempengaruhi harga pasar (price maker). Proses produksi pada industri ayam dari hulu sampai hilir dapat dilihat berdasarkan usaha sebagai berikut: pembibitan induk ayam / Grand Parent Stock to Parent Stock (Breeding Farm yang menghasilkan DOC PS), pembibitan ayam pedaging komersial (Breeding Farm yang menghasilkan DOC FS), usaha pakan, vitamin dan obat, usaha bahan baku pakan unggas, usaha budi daya ayam pedaging komersial dan usaha budi daya ayam dengan kemitraan dengan ketentuan yang dibuat oleh Perusahaan Inti, dan pelaku usaha yang membuka pangkalan ayam ras hidup di pasar-pasar tradisional, serta mengusahakan pengolahan ayam siap saji / Food Processing).
(b) Bahwa pelaku usaha semi-integrasi adalah pelaku usaha yang hanya memiliki usaha lebih dari satu rangkaian produksi namun tidak menguasai usaha dari hulu sampai hilir. Pelaku usaha ini biasanya masih memiliki ketergantungan dengan pelaku usaha di sisi hulu dan hilir. Contoh pelaku usaha semi-integrasi adalah peternak budidaya yang juga telah memiliki usaha pakan, namun tidak memiliki induk GPS sehingga tetap harus membeli DOC PS dari pelaku usaha lain dan tidak memiliki rumah potong yang berakibat hasil produksi ayam hidup langsung dijual ke pasar atau ke rumah potong ayam.
(c) Bahwa pelaku usaha yang tidak terintegrasi adalah pelaku usaha yang hanya memiliki satu proses produksi. Pelaku usaha ini tidak memiliki daya tawar dalam pasar dan cenderung menjadi price taker. Pelaku usaha dalam segmen ini merupakan pelaku usaha yang paling besar berdasarkan jumlah. Contoh pelaku usaha dalam sektor ini adalah peternak ayam mandiri, broker (perantara ayam), pelapak dan lain sebagainya.
4.4.1.2 Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan persidangan, pelaku usaha integrasi pada umumnya telah berbentuk badan hukum dan memiliki organisasi perusahaan yang baik bahkan 3 dari 12 pelaku usaha yang menjadi terlapor dalam perkara ini merupakan pelaku usaha integrasi yang telah menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Jumlah pelaku usaha integrasi lebih sedikit dibandingkan dengan pelaku usaha pada level semi-integrasi dan pelaku usaha yang tidak terintegrasi.
4.4.1.3 Bahwa perusahaan pembibitan yang dimaksud dalam perkara a quo adalah perusahaan dengan hasil usaha bibit ayam pedaging. Perusahaan pembibitan disebut juga sebagai breeder. Breeder menjalankan usaha pembesaran ayam indukan (Parent Stock) sampai dengan menghasilkan bibit ayam dan menjualnya kepada peternak / pembudidaya. Perusahaan pembibitan terbagi menjadi 2 (dua) jenis:
(a) Perusahaan pembibitan yang memiliki GPS. Perusahaan ini sangat bergantung pada rekomendasi impor dari Pemerintah untuk pengadaan GPS. Pelaku usaha harus memiliki Great Grand Parent Stock (GGPS) agar tidak ketergantungan dengan impor GPS. Hanya saja sampai perkara a quo berakhir, berdasarkan fakta persidangan perusahaan yang memiliki GGPS di Indonesia hanya 1 (satu) perusahaan, yaitu PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk.
(b) Perusahaan pembibitan yang tidak memiliki GPS. Perusahaan ini sangat tergantung pada perusahaan yang menjual DOC PS. Berdasarkan fakta persidangan breeder yang tidak memiliki ijin impor GPS mau tidak mau harus membeli DOC PS kepada perusahaan pemilik impor GPS. Hal ini sebagaimana keterangan Saksi Sdr. Cecep Moch Wahyudin dalam pemeriksaan. (vide bukti B13)
(c) Bahwa di Indonesia hanya sedikit pelaku usaha yang memiliki ijin impor GPS;
(d) Bahwa perusahaan yang memiliki ijin impor hanya 14 pelaku usaha, sementara pada tahun 2016 turun menjadi 13 pelaku usaha yang memiliki ijin impor GPS. Hal ini sebagaimana keterangan Saksi Dirjen PKH dalam pemeriksaan (vide bukti B11).
4.4.1.4 Bahwa berdasarkan keterangan Saksi Dirjen PKH diketahui fakta afkir dini PS produktif dilakukan oleh breeder yang memiliki ijin impor GPS dan beberapa breeder yang tidak memiliki ijin impor turut berpartisipasi.
4.4.2 Tentang pangsa pasar (market share) masing-masing perusahaan.
4.4.2.1 Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa pangsa pasar GPS tahun 2015 masing-masing perusahaan adalah sebagai berikut:
1. PT Japfa Comfeed Indonesia 35%;
2. PT Charoen Pokphand (PT CPJF) 10%;
3. PT Malindo Indonesia 10%;
4. PT CJ-PIA (PT Super Unggas Jaya) 8%;
5. PT Wonokoyo Jaya 7%;
6. PT Taat Indah Bersinar 5%;
7. PT Cibadak Indah Sari Farm 4%;
8. PT Hybro Indonesia (PT Ayam Manggis) 4%;
9. CV Satwa Borneo 4%;
10. CV Missouri 4%;
11. PT Ekspravet Nusuba 3%;
12. PT Reza Perkasa 2%;
13. PT Karya Indah Pertiwi 1%;
14. PT Cipendawa Agro Industri 3%.
5. Tentang Pasar Bersangkutan;
5.1 Bahwa dalam Laporan Dugaan Pelanggaran dan Kesimpulan Tim Investigator, pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah Pasar Produk Bibit Ayam Pedaging (Broiler) atau Day Old Chick (DOC) Final Stock yang dipasarkan di wilayah Negara Republik Indonesia.
5.2 Bahwa atas penentuan pasar bersangkutan tersebut, para Terlapor menyatakan yang pada pokoknya bahwa pasar produk seharusnya bukan DOC FS melainkan DOC PS karena yang diafkir dini adalah DOC PS. Selanjutnya, jangkauan pasar geografisnya tidak mencakup seluruh wilayah geografis Indonesia karena seluruh Terlapor hanya memasarkan produk ke beberapa daerah di wilayah Indonesia.
5.3 Berkaitan dengan pasar bersangkutan dalam perkara a quo, Majelis Komisi bependapat sebagai berikut:
5.3.1 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka (10) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 definisi mengenai “pasar bersangkutan” adalah sebagai berikut: “pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
5.3.2 Bahwa atas dasar ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa pasar bersangkutan memiliki 2 (dua) dimensi yang meliputi:
5.3.2.1 Dimensi produk (relevant product market) atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut.
5.3.2.2 Dimensi wilayah (relevant geographic market) yang terkait dengan jangkauan atau daerah pemasaran.
5.4 Tentang Pasar Produk.
5.4.1 Bahwa secara umum pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan suatu produk merupakan substitusi atau tidak, biasanya dilihat dari sisi kegunaan (fungsi), karakteristik, dan harga.
5.4.2 Bahwa dari sisi kegunaan (fungsi) secara umum, ayam sebagai produk dapat digolongkan menjadi:
5.4.2.1 DOC Grand Parents Stock (GPS), ayam yang dipelihara untuk menghasilkan DOC Parent Stock (PS).
5.4.2.2 DOC Parent Stock (PS), ayam yang dipelihara untuk menghasilkan DOC Final Stock (FS).
5.4.2.3 DOC Final Stock (FS), ayam yang dipelihara untuk menghasilkan Live Bird (LB).
5.4.2.4 Live Bird (LB), ayam hasil dari pembesaran DOC FS.
5.4.2.5 Karkas ayam, ayam yang sudah dipotong tanpa menyertakan kepala, ceker, dan jeroan.
5.4.3 Bahwa anak ayam adalah sebagai faktor kunci dalam keberhasilan usaha industri ayam pedaging. Day Old Chick Final Stock (DOC FS) merupakan istilah untuk anak ayam yang berumur satu hari. DOC FS merupakan hasil dari Induk Ayam (PS), DOC PS dibesarkan sampai usia 25 minggu kemudian akan terus masuk dalam usia produksi sampai dengan 65 minggu. DOC FS yang diterima oleh peternak adalah tingkatan terakhir dari strain ayam atau biasa disebut Final Stock (FS). DOC FS merupakan hasil seleksi sehingga diperoleh hasil akhir (final) yang betul-betul produktif dan berkualitas. DOC FS merupakan input cost untuk pelaku usaha yang bergerak dalam usaha budidaya (pembesaran) sampai menjadi ayam hidup siap potong (LB).
5.4.5 Bahwa berdasarkan karakteristik, fungsi dan harga produk diatas, terdapat perbedaan yang signifikan antara produk dalam industri ayam, sehingga antara produk yang satu dengan produk yang lain tidak dapat saling menggantikan (bukan substitusi).
5.4.6 Bahwa oleh karena itu, Majelis Komisi berpendapat pasar produk dalam perkara a quo adalah Bibit Ayam Pedaging (Broiler) atau Day Old Chick Final Stock.
5.5 Tentang Pasar Geografis;
5.5.1 Bahwa dalam Laporan Dugaan Pelanggaran telah ditentukan pasar geografis perkara a quo adalah seluruh pelaku usaha yang memasok DOC FS ke seluruh wilayah Republik Indonesia (vide bukti I2).
5.5.2 Bahwa berdasarkan laporan distribusi penjualan, para Terlapor tidak melakukan pembagian wilayah pemasaran DOC FS, dan para Terlapor dapat melakukan pemasaran hingga seluruh wilayah Indonesia.
5.5.3 Bahwa selain itu, secara regulasi terkait ijin pemasaran, para Terlapor tidak dibatasi wilayahnya secara regional, sehingga dalam konteks ini para Terlapor bebas melakukan pemasarannya baik ke dalam maupun ke luar wilayah domisilinya.
5.5.4 Bahwa tidak ditemukan adanya perilaku barrier to entry secara absolut yang dilakukan para Terlapor untuk membatasi pemasaran antar pesaing, sehingga dalam konteks ini pembeli yang berasal dari daerah manapun bebas untuk memilih pasar yang diinginkan.
5.5.5 Bahwa selanjutnya berdasarkan alat bukti dokumen milik para Terlapor, diketahui bahwa adanya penjualan para Terlapor yang dilakukan lintas regional atau di pasarkan secara nasional.
5.5.6 Bahwa oleh karena itu, Majelis Komisi berpendapat pasar geografis yang ditetapkan oleh Investigator telah tepat yaitu seluruh wilayah Indonesia.
5.6 Bahwa atas dasar hal tersebut, maka pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah Pasar Produk Bibit Ayam Pedaging (Broiler) atau Day Old Chick Final Stock yang dipasarkan di wilayah Negara Republik Indonesia.
6. Tentang Over Supply.
6.1 Bahwa berdasarkan kesimpulan Investigator terkait adanya over supply menyatakan, tidak terjadi kelebihan pasokan (over supply) DOC FS karena tidak terdapat data valid yang dapat menunjukkan adanya kelebihan pasokan baik dari pelaku usaha, asosiasi, maupun pemerintah (vide bukti B10, B11, B14).
6.2 Bahwa atas kesimpulan Investigator tersebut, beberapa Terlapor menyatakan telah terjadi kelebihan pasokan (over supply) DOC FS yang diindikasikan melalui adanya penurunan harga ayam hidup (live bird) yang merugikan peternak.
6.3 Bahwa berdasarkan fakta persidangan, Majelis Komisi menilai sebagai berikut:
6.3.1 Bahwa berdasarkan keterangan Pemerintah, secara faktual tidak ada data yang valid terkait supply demand, namun hanya menerima secara serta merta data dari para pelaku usaha yang dikoordinir oleh GPPU selaku asosiasi (vide bukti B11, B15, T2.11).
6.3.2 Bahwa berdasarkan fakta persidangan terdapat Terlapor yang menyatakan tidak mengalami dan tidak mengetahui terkait adanya over supply (vide bukti B43, B45, B46, B47, B48).
6.4 Bahwa dengan demikian isu over supply tidak didasarkan pada data yang valid dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
7. Tentang Kesepakatan Afkir Dini.
7.1 Bahwa pada tanggal 14 September 2015 telah dilakukan kesepakatan yang dilakukan oleh 12 (dua belas) pelaku usaha pembibitan sebagaimana berikut:
7.2 Sebagaimana kesepakatan tersebut bahwa perusahaan yang menanda-tangani kesepakatan adalah:
1. PT Charoen Pokphand Jemmy;
2. PT Japfa Comfeed Indonesia Harwanto;
3. PT Wonokoyo Jaya Corp Heri Setiawan;
4. PT Malindo Rewin;
5. PT Satwa Borneo Tri Susanto;
6. PT Cibadak Indah Sari Suping Susanto;
7. PT Reza Perkasa Samsul Arif;
8. PT Expravet Nasuba Paulus S;
9. PT CJ-PIA J H Park;
10. PT Hybro Indonesia Lilik Widjaja;
11. PT Taat Indah Bersinar Tjandra;
12. CV Missouri Richard.
7.3 Bahwa ruang lingkup kesepakatan tersebut meliputi:
7.3.1 Pemotongan / pengafkiran PS sebanyak 6 juta ekor. Komposisi / mekanisme pemotongan sebagai berikut:
a. 13 perusahaan setuju akan memotong / mengafkir sesuai dengan prosesntase yang disepakati;
b. PT Charoen Pokphand akan memotong antara 44% - 75% atau + 59%. Menunggu keputusan manajemen lebih kurang 1 – 2 hari;
c. Pemotongan HE FS 40% dimulai tanggal 9 – 30 September 2015 dengan pengawasan dilakukan secara cross monitoring yang dievaluasi secara berkala oleh GPPU;
d. Kualitas pengawasan dalam pemotongan tersebut diatas harus ditingkatkan dengan cara cross monitoring dari semua unsur pembibit dan pemerintah;
e. Semua perusahaan yang akan impor bibit harus bergabung dengan GPPU karena ke depan akan dilibatkan dalam penerbitan rekomendasi ekspor / impor;
f. GPPU diharapkan segera mengadakan Munas / Munas Luar Biasa agar terbentuk pengurus yang diterima oleh seluruh anggota;
g. Rapat selanjutnya akan dibuat aturan pendukung dari hulu sampai hilir. Misal di hulu akan diintegrasikan dengan program SPR (Sentra Peternakan Rakyat).
7.4 Tentang pelaksanaan kesepakatan.
7.4.1 Bahwa setelah pertemuan tanggal 14 September 2015 ditindak-lanjuti dengan pertemuan pada tanggal 21 September 2015 terkait proporsi, tetapi pada akhirnya belum ada kesepakatan prosentase yang akan diafkir oleh masing-masing pelaku usaha karena terdapat perbedaan metode penentuan prosentase afkir dini antara PT Charoen Pokphand Indonesia dan PT Japfa Comfeed (vide bukti B14).
7.4.2 Bahwa perbedaan yang dimaksud sebagaimana keterangan Terlapor IX PT Wonokoyo Jaya Corporindo menyatakan apabila penentuan prosentase menggunakan market share akan menguntungkan PT Charoen Pokphand, sedangkan jika menggunakan angka impor GPS akan menguntungkan PT Japfa Comfeed (vide bukti B52).
7.4.3 Bahwa selanjutnya afkir dini tahap I pada akhirnya terlaksana setelah adanya kesepakatan penentuan prosentase diantara kedua perusahaan tersebut yang difasilitasi oleh pemerintah (vide bukti B44).
7.5 Bahwa kesepakatan yang dilakukan oleh para Terlapor efektif telah dilaksanakan berdasarkan bukti pemusnahan tahap I PS sebanyak 2 juta ekor sesuai dengan prosentase yang telah disepakati oleh para Terlapor. (vide, Berita Acara Pemusnahan Terlapor I s.d TerlaporXII).
8. Tentang Kesepakatan Afkir Dini sebagai Perjanjian;
8.1 Bahwa dalam kesimpulannya, Investigator menyatakan kesepakatan yang dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 14 September 2015 adalah merupakan perjanjian;
8.2 Bahwa atas kesimpulan Investigator tersebut, para Terlapor menyatakan kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 14 September 2015 tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999;
8.3 Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut:
8.3.1 Bahwa pengertian perjanjian telah ditetapkan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
8.3.2 Bahwa Perjanjian sebagaimana Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
8.3.3 Bahwa berdasarkan penafsiran sistematis maka pengaturan mengenai Perjanjian terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
8.3.4 Bahwa berdasarkan penafsiran historis dalam memorie van toelichting (risalah pembahasan) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pembuat Undang-Undang diketahui mempunyai keinginan untuk memperluas definisi Perjanjian dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perluasan definisi ini dimaksudkan, bahwa definisi Perjanjian mengacu pada namun tidak terbatas sebagaimana definisi Perjanjian yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
8.3.5 Bahwa Pasal 1313 BW berlaku menyeluruh bagi segala bentuk perjanjian, sedangkan Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah definisi mengenai perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha, tentunya dalam konteks menjalankan kegiatan usaha. UU Nomor 5 Tahun 1999 khususnya mengenai perjanjian adalah bersifat lex specialis derogate lex generalis dari ketentuan hukum perjanjian dalam BW sebagaimana dikuatkan dengan keterangan Ahli Sdr. Prahasto dalam persidangan (vide bukti B39).
8.3.6 Bahwa Majelis Komisi berpendapat kesepakatan tanggal 14 September 2015 adalah perjanjian sebagaimana diatur dalam definisi perjanjian pada Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
9. Tentang Dampak Kesepakatan Afkir Dini;
9.1 Bahwa berdasarkan kesimpulan Investigator terkait dampak kesepakatan afkir dini, menyatakan setelah dilakukan afkir dini terhadap DOC PS terdapat kenaikan harga DOC FS ditingkat breeder. [Note SHIETRA & PARTNERS: itulah bukti konkret empirik, bahwa menurunnya pasokan secara ‘by design’, justru dapat meningkatkan harga produk di pasar akibat rekayasa membuat timpang antara permintaan dan pasokan.]
9.2 Bahwa atas kesimpulan Investigator tersebut, para Terlapor menyatakan pengafkiran dini DOC PS merugikan pelaku usaha pembibitan DOC FS karena mengakibatkan berkurang atau hilangnya DOC FS yang seharusnya dapat dihasilkan dari DOC PS yang diafkir dini. Selain itu, kerugian lain yang dialami Terlapor adalah adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh para Terlapor untuk pelaksanaan afkir dini.
9.3 Bahwa Majelis Komisi sependapat dengan Kesimpulan Investigator yang menyatakan setelah dilakukan afkir dini terhadap DOC PS terdapat kenaikan harga DOC FS ditingkat breeder. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan harga rata-rata pada bulan November dan Desember 2015 pada 11 (sebelas) Terlapor, dibanding dengan harga rata-rata periode Februari sampai dengan Oktober 2015.
9.4 Bahwa dengan adanya afkir dini tahap I sebanyak 2 juta ekor telah menyebabkan terjadinya pengurangan produksi DOC FS sebesar 2.000.000 x 32 = 64.000.000 ekor DOC FS (1 ekor PS menghasilkan 32 ekor FS dalam sisa waktu usia produktif).
9.5.1 Telah terjadi kenaikan harga DOC FS pasca pelaksanaan afkir dini yang dilakukan oleh para Terlapor.
9.5.2 Kenaikan harga-harga tersebut berdampak pada kerugian peternak, baik peternak terintegrasi maupun peternak mandiri, yang nilainya mencapai lebih kurang Rp 224.000.000.000,00 (Dua Ratus Dua Puluh Empat Milyar Rupiah) selama bulan November dan Desember 2015.
9.6 Bahwa potensi kerugian akibat afkir dini dapat ditutup dengan adanya kenaikan harga DOC FS pada bulan November dan Desember 2015, penjualan daging afkir dini PS dengan harga sekitar Rp 20.000/ekor, selain itu terdapat penghematan biaya produksi (seperti pakan, obat-obatan, vitamin, vaksin, dan lain-lain) sebagai akibat adanya afkir dini yang seharusnya dikeluarkan selama 10 minggu (masa sisa produktif). [Note SHIETRA & PARTNERS : Kalkulasi ekonomi telah diperhitungkan dan direncanakan secara matang oleh pelaku usaha sebelum mengeksekusi rencana kartelisasi harga.]
9.7 Bahwa Majelis Komisi berpendapat berdasarkan uraian diatas, afkir dini yang dilaksanakan oleh para Terlapor sesungguhnya tidak menyebabkan kerugian baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, kecuali PT Expravet Nasuba yang memang atas pilihannya sendiri untuk terus mengurangi produksi dan dilakukan sebelum adanya kesepakatan tanggal 14 September 2015. Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan PT Expravet Nasuba dalam persidangan perkara a quo (vide bukti B51).
10. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
10.1 Menimbang bahwa Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.
10.2 Menimbang bahwa untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut:
10.2.1 Unsur Pelaku Usaha.
10.2.1.1 Bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah: Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
10.2.2 Unsur Perjanjian.
10.2.2.1 Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, definisi perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
10.2.2.2 Bahwa esensi perjanjian dalam perkara a quo adalah penanda-tanganan kesepakatan yang dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 14 September 2015 terkait pemotongan bibit Parent Stock (PS) 6 juta ekor, sebagaimana dimaksud dalam bagian Tentang Hukum butir , butir 7, sampai dengan butir 8.
10.2.3 Unsur Pelaku Usaha Pesaing.
10.2.3.1 Bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada didalam satu pasar bersangkutan yang melakukan perjanjian.
10.2.4 Unsur Mempengaruhi Harga dengan Mengatur Produksi dan/atau Pemasaran suatu Barang dan/atau Jasa.
10.2.4.1 Bahwa menurut Pasal 1 Angka (16) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
10.2.4.2 Bahwa mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran yang dilakukan oleh para Terlapor yaitu dengan cara mengurangi atau melakukan afkir dini Parent Stock (PS) yang menyebabkan kenaikan harga DOC FS.
10.2.5 Unsur Mengakibatkan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha tidak Sehat.
10.2.5.1 Bahwa yang dimaksud praktek monopoli dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
10.2.5.2 Bahwa unsur mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para Terlapor telah mengakibatkan supply DOC FS berkurang dan harga DOC FS mengalami kenaikan sebelum dilakukannya pengurangan produksi DOC FS.
10.2.5.3 Bahwa kenaikan harga DOC FS telah memberikan pengaruh pada kenaikan produk turunannya yang pada akhirnya merugikan masyarakat sebagai konsumen.
10.2.5.4 Bahwa dengan adanya kenaikan harga DOC FS, para Terlapor mendapatkan peningkatan pendapatan berdasarkan selisih harga sebelum dan sesudah dilakukannya afkir PS produktif, sebagaimana dimaksud dalam bagian Tentang Hukum butir 9.
11. Tentang Pertimbangan Majelis Komisi Sebelum Memutus;
Menimbang bahwa sebelum memutuskan, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
11.1 Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan bagi Terlapor IV dan Terlapor VII yang tidak bersikap kooperatif dalam menyerahkan data yang diminta Majelis Komisi dalam Sidang Majelis Komisi;
11.2 Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi Terlapor yaitu: Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII yang telah bersikap kooperatif dengan selalu hadir dalam Sidang Majelis Komisi.
11.3 Bahwa Majelis Komisi memiliki pertimbangan lain untuk Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X.
12. Tentang Rekomendasi Majelis Komisi;
Bahwa Majelis Komisi merekomendasikan kepada Komisi agar:
12.1 Presiden dan DPR RI melakukan perubahan UU Nomor 41 Tahun 2014 atas perubahan UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk memberikan perlindungan kepada peternak mandiri dan mencegah terjadinya pemusatan ekonomi di industri perunggasan.
12.2 Kementerian Pertanian membuat aturan atau regulasi yang jelas mengenai perunggasan di Indonesia, sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.
12.3 Kementerian Perdagangan memotong rantai distribusi (off farm) yang panjang di pasar hilir (mulai dari kandang sampai ke pasar tradisional) untuk melindungi para peternak.
12.4 Mendorong Pemerintah c.q. Kementerian Kesehatan dan Instansi terkait dalam koordinasi Kementerian Kesehatan mempromosikan secara massif kepada masyarakat agar beralih dari fresh meat ke frozen meat.
12.5 Pemerintah c.q. Badan Pusat Statistik (BPS) agar dapat membangun sistem informasi / data mengenai neraca kebutuhan / konsumsi dan produksi daging ayam di Indonesia, sehingga dapat menjamin ketersediaan daging ayam dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
13. Tentang Perhitungan Denda;
Menimbang bahwa dalam mengenakan sanksi denda bagi para Terlapor, Majelis Komisi memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:
13.1 Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;
13.2 Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;
13.3 Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
13.4 Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut;
13.5 Bahwa dalam penentuan rentang besaran denda, Perkom menentukan jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh melebihi 10% dari total turn over tahun berjalan dari pihak Terlapor. Apabila 10% turn over lebih besar dari Rp 25.000.000.000,00 maka akan dikenakan denda akhir sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), sementara apabila 10% turn over dari pihak Terlapor lebih kecil dari Rp 25.000.000.000,00 maka akan dikenakan denda akhir sebesar 10% turn over;
13.6 Bahwa dalam perkara a quo nilai turn over atau nilai penjualan dari para Terlapor adalah sebagaimana diuraikan pada butir 5 Tentang Hukum, dimana 10% dari nilai turn over tersebut jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00;
13.7 Bahwa Perkom mengatur juga mengenai pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian besaran nilai dasar denda. Namun, oleh karena nilai 10% turn over jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 sebagai batasan sanksi denda maksimal, maka Majelis Komisi tidak lagi memperhatikan hal-hal dimaksud.
14. Tentang Diktum Putusan dan Penutup;
“Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi
MEMUTUSKAN :
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menetapkan pembatalan perjanjian pengafkiran Parent Stock (PS) yang ditanda-tangani oleh Terlapor I sampai dengan Terlapor XII tanggal 14 September 2015;
3. Menghukum Terlapor I, membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000,00 (Dua Puluh Lima Milyar Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000,00 (Dua Puluh Lima Milyar Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
5. Menghukum Terlapor III, membayar denda sebesar Rp 10.834.542.000,00 (Sepuluh Milyar Delapan Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Empat Puluh Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
6. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp 14.105.202.000,00 (Empat Belas Milyar Seratus Lima Juta Dua Ratus Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
7. Menghukum Terlapor V, membayar denda sebesar Rp 11.540.620.000,00 (Sebelas Milyar Lima Ratus Empat Puluh Juta Enam Ratus Dua Puluh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
8. Menghukum Terlapor VI, membayar denda sebesar Rp 5.360.531.000,00 (Lima Milyar Tiga Ratus Enam Puluh Juta Lima Ratus Tiga Puluh Satu Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
9. Menghukum Terlapor VII, membayar denda sebesar Rp 6.551.760.000,00 (Enam Milyar Lima Ratus Lima Puluh Satu Juta Tujuh Ratus Enam Puluh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
10. Menghukum Terlapor IX, membayar denda sebesar Rp 10.833.755.000,00 (Sepuluh Milyar Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Lima Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
11. Menghukum Terlapor X, membayar denda sebesar Rp 1.215.548.000,00 (Satu Milyar Dua Ratus Lima Belas Juta Lima Ratus Empat Puluh Delapan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
12. Menghukum Terlapor XI, membayar denda sebesar Rp 1.211.331.000,00 (Satu Milyar Dua Ratus Sebelas Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Satu Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
13. Menghukum Terlapor XII, membayar denda sebesar Rp 8.016.723.000,00 (Delapan Milyar Enam Belas Juta Tujuh Ratus Dua Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara ...;
14. Bahwa setelah Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII melakukan pembayaran denda, maka salinan bukti pembayaran denda tersebut dilaporkan dan diserahkan ke KPPU.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.