Pemerintahan yang Membumi Ialah Pemerintah yang Merakyat

ARTIKEL HUKUM
TELAAH SOSIOLOGIS KAJIAN FALSAFAH KEKUASAAN MONOPOLISTIK
Penulis tidak pernah dapat membenarkan praktik monopolisme layanan publik maupun monopoli usaha, baik itu diselenggarakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun oleh Badan Usaha Milik Negara / Daerah. Betul bahwa banyak segala aspek / hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara demi sebanyak-banyaknya kemakmuran rakyat.
Masalahnya, tanpa diimbangi dengan daya tekan dari publik / rakyat / konsumen / masyarakat, berupa daya tawar yang seimbang, maka cita-cita yang ideal sebagaimana diamatkan oleh Konstitusi Republik Indonesia demikian, tidak akan pernah terwujud (utopia).
Pada dasariahnya, antara Negara (yang direpresentasi oleh Aparatur Sipil Negara maupun BUMN) dan Rakyat Sipil, tidak dalam posisi setara (un-equal), namun bersifat hubungan Superior dan Subordinat. Sejak berdirinya hukum negara, rakyat yang semula berkarakter “otonom” (independen) menjelma “heteronom” (dependen), akibat dicabutnya banyak hak-hak seorang individu kedalam kekuasaan monopolistik negara—sebagai contoh kebebasan untuk menggunakan senjata api / tajam, kebebasan untuk “main hakim sendiri”, kebebasan untuk tidak dipungut pajak, kebebasan untuk tidak diperintah, kebebasan untuk menjadi hakim maupun algojo, kebebasan untuk tidak dibebani segala kewajiban ataupun perintah dan larangan, juga bebas dari segala keharusan untuk memiliki izin.
Telampau abstrak untuk dapat penulis uraikan secara sederhana, perihal dilematika tidak seimbangnya posisi dominan otoritas ketika berhadapan dengan sipil. Namun untuk singkatnya, karena posisi yang tidak pernah sejajar demikian, secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan daya tawar warga masyarakat menjadi demikian minim di mata pemerintah selaku otoritas negara. Untuk memudahkan pemahaman, tidak ada pilihan selain mencoba membuat bahasan tampak sesederhana mungkin lewat contoh-contoh ilustrasi konkret yang kemungkinan besar pernah kita alami dan jumpai sendiri dalam keseharian.
Contoh pertama, dalam hal administrasi kependudukan. Banyak syarat dalam prosedural yang irasional yang selama ini disyaratkan oleh pemerintah dalam setiap layanan catatan sipil yang harus dihadapi warga masyarakat selaku sipil. Se-absurd apapun, tetap saja warga hanya dapat tunduk dan ikut serta pada “aturan main” yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah—banyak diantara aturan main tersebut, yang senyatanya sudah usang dan ketinggalan zaman.
Bayangkan, sistem komputerisasi telah demikian canggih, namun dalam setiap permohonan layanan publik, selalu saja masih dimintakan berkas arsip berupa fotokopi kertas-kertas yang tidak pernah sejalan dengan program “go green” atau “global warming”, tidak ubahnya sistem yang diterapkan 20 tahun lampau saat belum dikenal luasnya penggunaan komputerisasi, wajib melampirkan kartu keluarga meski telah terdapat e-KTP, rencana untuk menikah harus disertai surat keterangan belum menikah, dsb—meski semua data Nomor Induk Kependudukan yang bersifat unik untuk masing-masing warga negara, telah terekam dalam komputer milik pemerintah, lengkap dengan data-data yang terkandung didalamnya.
Bisa saja seorang warga komplain, bahwa tidak perlu memboroskan sumber daya alam ataupun ekonomi untuk segala pemborosan dokumen demikian. Cukup disediakan alat scanner di setiap kantor pelayanan publik, dan simpan data elektronik tersebut dalam perangkat harddisk di sebuah server yang dapat bersifat permanen tanpa harus menyiapkan gudang untuk menumpuk berkas-berkas yang menggunung kuantitasnya.
Mengurusi berkas-berkas fisik justru membuat sumber daya manusia internal Aparatur Sipil Negara itu sendiri terhisap untuk memanajemen berkas fisik, mulai dari pengumpulan, pemilahan, peng-arsip-an, hingga penggudangan. Kalau perlu, warga pemohon pelayanan publik dapat meng-upload foto dokumen-dokumen persyaratan perizinan ke website milik pemerintah, seperti yang selama ini telah berjalan pada secara baik dan efektif pada Kementerian Perdagangan (satu-satunya instansi pemerintah yang responsif dan inovatif disamping memiliki kepedulian konkret terhadap pelaku usaha).
Namun, bagai pepatah menyebutkan: “Anjing menggonggong, khafilah berlalu.” Tetap saja setiap warga negara harus ikut aturan main yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah. Jika tidak, maka semakin banyak hak-hak kewarganegaraan yang akan tercabut dari seorang individu. Jangan lupa, mereka memegan kekuasaan monopolistik. Anda tidak punya pilihan lain. Jika Anda punya pilihan lain, kantor-kantor negara tersebut “tidak akan laku”, sepi dari “konsumen” dan menjadi sarang laba-laba dan kelelawar.
Contoh lainnya, dalam setiap layanan publik pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), warga pemohon diwajibkan oleh petugas loket (berseragam polisi) di kantor SATPAS untuk membeli polis asuransi. Padahal, setiap pemilik kendaraan bermotor telah diwajibkan membayar polis asuransi Jasa Rahardja dalam setiap tahun pembayaran pajak kendaraan bermotor, yang mana dibebankan pada pemilik Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK).
Bagaimana mungkin, seorang pemilik SIM membeli polis asuransi kecelakaan tanpa mengendarai kendaraan bermotor? Justru perlindungan asuransi kecelakaan bermotor itu melekat secara “droit de suit” mengikuti benda objek kendaraan bermotor. Kecuali, seorang pejalan kaki pemilik SIM ditabrak kendaraan bermotor saat dirinya sedang berjalan kaki menyeberangi zebra cross, itu lain soal. Sebetulnya secara yuridis bagi pemohon SIM tidak diwajibkan membeli polis asuransi, karena akan overlaping dengan asuransi yang telah diwajibkan bagi pemilik STNK. Asuransi jiwa melekat pada kendaraan, demi melindungi pula penumpang kendaraan bersangkutan. Apakah penumpang juga harus memiliki Surat Izin Menumpang (SIM)?
Begitupula ketika mengurus perpanjangan STNK 5 tahun-an, yang mewajibkan pemilik kendaraan untuk membuat plat nomor baru di kantor SAMSAT milik pemerintah. Ketika warga pembayar pajak kendaraan bermotor akan mengambil plat nomor baru, kembali dipungut “pungutan liar” (pungli). Bukan soal nominalnya, tapi kalikan dengan jumlah masyarakat pemohon setiap harinya, berapa banyak pemerintah telah memeras warga-negaranya sendiri.
Adakah mereka merasa malu, memakai seragam polisi pula? Bila pelakunya ialah preman penjahat, adalah wajar. Namun pelaku pelanggaran hak-hak publik justru paling banyak dijumpai pada berbagai instansi pemerintahan. Tidak ada kewajiban bagi seorang penjahat untuk menghormati hak-hak seorang sipil.
Sebaliknya, adalah tugas dan kewajiban Kepolisian maupun Aparatur Sipil Negara manapun untuk melayani dan mengayomi serta melindungi sipil, namun menjadi kontradiktif bila mereka justru berlaku persis sebaliknya secara kontras dan dipertontonkan pula secara vulgar.
Anda dapat saja melaporkan berbagai pelanggaran yang dilakukan penyelenggara negara, namun yakinlah usaha Anda akan sia-sia (atau seringkali bahkan menjadi kesia-siaan dan bumerang bagi pihak Anda sendiri karena tiadanya jaminan tindak-lanjut terhadap laporan Anda), karena memang tidak ada kemauan seluruh lapisan pejabat struktural pemerintah untuk perubahan mental para Aparatur Sipil Negara, sehingga mental-mental “membudaki” sipil demikian memang terkesan sengaja dipelihara sehingga menjadi “budaya” tersendiri yang mendarah-daging.
Jika memang efek jera terjadi, tidak mungkin begitu masih jamak dijumpai maraknya aksi korupsi, kolusi, nepotisme, hingga praktik pengabaian oleh para Aparatur Sipil Negara (jangan katakan secara naif bahwa Anda tidak tahu, semua ini telah menjadi “rahasia umum”). Tidak ada tindak lanjut, maka tiada efek jera.
Jangankan hukuman / sanksi yang terlampau ringan, sering kali aduan dan pelanggaran tidak mendapat tindak-lanjut. Kotak aduan sekadar menjadi “polesan bibir” dari “kecentilan” gimmick. Lihatlah iklan di media massa, menampilkan citra seolah polisi ialah kawan warga masyarakat, bahwa Aparatur Sipil Negara siap melayani Anda, dan segala jargon “pepesan kosong” lainnya. Membodohi publik lewat kebohongan yang menjadi pembodohan bagi publik.
Begitupula saat pembuatan SIM, penulis pribadi pernah mengalami pungutan liar saat mengambil berkas permohonan, yang mana bila tidak diberikan, berkas proses permohonan tidak akan penulis peroleh. Mau tidak mau penulis berikan dana pungli sebagaimana permintaan oknum pemeras demikian, tanpa kuitansi resmi. Itulah akibat dari praktik monopoli layanan publik.
Salah satu kebutuhan pokok manusia, selain sandang dan pangan, ialah papan (rumah tinggal, bukan rumah / tanah untuk tujuan investasi). Namun lihatlah praktik yang terjadi di berbagai Kantor Pertanahan di Indonesia, kantornya mewah, petugasnya rapih dan tampak elit / berkelas, namun ketika permintaan pungli yang mereka ajukan tidak Anda layani (terbalik, bukannya warga yang dilayani oleh kantor pelayanan publik, namun justru warga sipil yang harus melayani Aparatur Sipil Negara yang notabene telah digaji dengan Uang Rakyat), maka jangan harap berkas permohonan layanan Anda akan diproses. Jadilah, Anda akan terdorong untuk memberi pungli sekalipun petugas tidak meminta, dengan harapan “uang pelicin” demikian akan membuat para petugas / pejabat tidak akan lagi mempersulit Anda.
Disinilah terjadi ajang akobratik “moralis-kemunafikan”, dimana petugas yang Anda beri “uang pelicin” akan sigap dan melayani Anda secara semestinya (karena memang sudah tugasnya), dan Anda pun akan mengucap “terimakasih” kepada petugas / pejabat bersangkutan. Padahal, mereka telah menahan berkas Anda secara disengaja (sengaja ditelantarkan), dengan tujuan mendorong Anda menawarkan “uang pelicin”, dan diakhir proses ditutup dengan ucapan “terimakasih” dari Anda, yang membuat mereka merasa bangga seakan telah menjadi pahlawan bagi Anda.
Cobalah Anda datangi Kantor Pertanahan dekat kediaman Anda. Blangko permohonan pelayanan semestinya dapat diperoleh oleh publik secara tanpa pungutan apapun. Namun dengan alasan masyarakat hanya dapat mendapatkan blangko permohonan di kios fotocopy dalam lingkungan Kantor Pertanahan yang menjual (secara usaha swasta karena tanpa kuitansi resmi pemerintah) secara monopoli blangko permohonan layanan pertanahan, mau tidak mau publik harus membayar blangko permohonan yang dibanderol seharga Rp. 10.000;- untuk setiap blangkonya.
Bagaimana mungkin, toko swasta memonopoli dengan menjual blangko resmi pemerintahan untuk tujuan permohonan pelayanan publik bagi masyarakat? Namun praktik demikian telah lama terjadi di berbagai Kantor Pertanahan di Indonesia secara masif. Blangko yang pastilah dicetak dengan “Uang Rakyat”, namun oleh pejabat Kantor Pertanahan diletakkan (dititipkan) kepada kios / gerai fotocopy yang dikelola oknum Kantor Pertanahan, untuk kemudian mengutip pungutan liar kepada warga pemohon layanan pertanahan dengan alasan terselubung “biaya fotocopy”, biaya yang terlampau mahal untuk blangko kertas murahan, dan cobalah kalikan dengan jumlah ratusan pemohon setiap harinya.
Apa dasar hukum dari berbagai pungutan yang diakal-akali demikian? Sama seperti sistem “penunjukkan langsung” oleh berbagai BUMN/D dengan alasan jika proyek kerja hanya untuk 1 tahun kalender, maka dibolehkan. Terder baru diwajibkan bila kontrak kerja selama lebih dari 1 tahun kalender masa kerja. Yang kerap terjadi, perusahaan swasta yang mendapat proyek dari berbagai BUMN/D tersebut, setiap tahunnya menerima “penunjukkan langsung” lewat “pendekatan” politis, dengan alasan kontrak kerja hanya untuk 1 tahun maka tender tidak diwajibkan, namun senyatanya setiap tahunnya untuk selama belasan tahun ini, perusahaan swasta penerima proyek kontrak kerja setiap tahunnya demikian adalah perusahaan yang sama—mengakali kewajiban tender dengan membuat kontrak kerja bersifat parsial 1 tahun demi 1 tahun. Itulah yang penulis maksud sebagai upaya “akal-akalan”. Kreatifitas bangsa Indonesia ialah sifat kreatif yang tidak sehat.
Pemerintah kerap memandang masyarakat sipil sebagai “sapi perahan” atau “mesin ATM”. Menjadi sipil yang mencari nafkah sebagai pengusaha swasta ataupun pekerja, penuh dengan resiko, tidak hanya dapat menghasilkan untung, namun juga dapat menghasilkan “merugi”. Namun ternyata Aparatur Sipil Negara pandai membuat justifikasi diri terhadap sikap korup dirinya sendiri, dengan menyatakan bahwa, “Kan, kalian para pengusaha, mendapat untung, lalu apa salahnya kami minta sedikit?!”
Itulah lontaran ungkapan yang kerap penulis jumpai, seolah mereka tidak digaji setiap bulannya oleh “Uang Rakyat”. Pekerja dapat terkena PHK karena perusahaan tutup bangkrut. Pengusaha pun dapat merugi, bukan hanya potensi mendapat untung, atau bahkan jatuh pailit dan asetnya dieksekusi oleh kreditor.
Tetap saja, secara tidak berhati nurani semua resiko itu dilimpahkan oleh Aparatur Sipil Negara ke bahu publik sipil sebagai beban yang lebih membebani meski berbagai “kebebasan” dan “kekuatan” publik sipil telah banyak dicabut dan dihisap untuk memberi kekuasaan monopolistik terhadap para Aparatur Sipil Negara bersangkutan.
Mestinya mereka merasa “malu” telah menyalah-gunakan kewenangan monopolistik yang dicabut dari rakyat (dengan menghisap kebebasan kaum sipil), bukannya justru “sok kuasa”. Manusia dilahirkan sebagai makhluk merdeka dan bebas, namun hukum negara justru mencabut hak-hak kebebasan dan kemerdekaan seorang individu, untuk kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Aparatur Sipil Negara pemegang hak monopolistik yang kemudian justru menghianati dan “durhaka” terhadap rakyat sipil.
Masalah utamanya bukanlah sedangkal demikian, namun semua itu adalah kebutuhan pokok warga masyarakat, mengapa kemudian dimonopolir oleh Aparat Sipil Negara? “Negara” itu BUKANLAH Aparatur Sipil Negara, tapi “segenap bangsa secara kolektif”. Selama ini seakan-akan yang dimaksud dengan “negara” ialah identik dengan “Aparatur Sipil Negara” yang memegang kekuasaan monopolistik dalam setiap aspek kenegaraan, sumber daya, akses publik, maupun pelayanan umum. Padahal, yang dimaksud dengan “negara” ialah “segenap kolektif bangsa”.
Teori klasik membagi negara menjadi unsur pemerintahan, rakyat, dan teritori, serta kedaulatan. Mengapa saat kini amanat konstitusi justru ditafsrikan sebagai “seluruh sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah”? Padahal frasa yang asli ialah “dikuasai oleh negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (bukan demi kemakmuran pemerintah)”.
Dengan kata lain, “pemerintah” tidak identik dengan “negara”. Baik “pemerintah” maupun “rakyat”, sama-sama merupakan unsur pembentuk “negara”. Sampai disini saja kita sudah mampu melihat ada kekeliruan besar dalam Hukum Tata Negara di Indonesia, yang sudah sedemikian jauh “salah kaprah”, melenceng dari amat konstitusi.
Baru-baru ini penulis punya pengalaman pribadi bersentuhan dengan kantor pelayanan publik yang menguasai hajat hidup orang banyak lainnya, yang melangsungkan praktik monopoli usaha secara sempurna, yakni Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kebutuhan  akan air bersih, Anda dapat substitusi dengan air tanah. Namun bagaimana dengan listrik? Di kantor PLN wilayah kecamatan yang mewah tersebut, petugas loket hanya satu orang, sementara warga pemohon layanan mengantri demikian banyaknya dan demikian lamanya harus menunggu (suatu pemborosan waktu publik yang tidak termaafkan). Sama seperti yang terjadi pada kantor-kantor pelayanan publik lainnya seperti Kantor Dinas Catatan Sipil.
Meski demikian, di berbagai kantor tersebut terdapat banyak Pegawai Negeri Sipil alias Aparatur Sipil Negara. Dimana mereka bersembunyi, dan apa saja kerja mereka selama ini? Kembali lagi, di-mind set mereka, warga masyarakat pembayar pajak-lah, yang harus melayani dan meladeni mereka, bukan sebaliknya. Konon, hampir 80 % APBN/D dialokasikan hanya untuk gaji pegawai pemerintah. Belanja modal dan infrastruktur, dengan demikian hanya 20 %.
Alangkah terkejut, penulis mendapat respon yang sangat tidak simpatik oleh petugas kantor PLN, bahkan terkesan arogan dan sarkastik (merasa berhak untuk menghakimi sipil selaku pelanggan), dengan demikian menyepelekan pengaduan penulis terkait tidak logisnya bila penghuni rumah kini hanya berjumlah separuh dari tahun sebelumnya, namun justru tagihan listrik justru meningkat, dengan berseru lancang : “Jangan pakai logika!” Rupanya PLN selama ini memperlakukan rakyat selaku konsumen sebagai keledai bodoh yang mana aturan main PLN tidak bersandarkan pada logika logis apapun. Di PLN, logika manusia tidak diakui, juga tidak ditanggapi. Kegilaan, itulah aturan main yang berlaku di PLN.
Petugas PLN yang sama, kemudian memberi tanggapan terhadap pengaduan penulis bahwa pemakaian listrik sebesar Rp. 700.000;- hanya untuk rumah berpenghuni 2 orang, adalah: “Ah, segitu mah, kecil! Rumah saya sendiri segitu tagihannya.” Tapi petugas tersebut tidak menyebutkan berapa anggota keluarganya yang menghuni di rumahnya. Kecil? Rupanya petugas PLN sudah sangat kaya raya, sehingga merasa seenaknya meremehkan rakyat sipil dengan menyebutkan bahwa sejumlah nominal tagihan yang dibebankan demikian, adalah “kecil”.
Permasalahannya bukanlah nominal tersebut, namun adalah bentuk arogansi PLN selaku BUMN. Secara vulgar eksplisit maupun secara tidak langsung, petugas PLN seakan hendak berkata: “Ya sudah, kalau Anda tidak suka, putus saja sambungan listriknya.”
Seburuk apapun pelayanan publik oleh penyelenggara negara ataupun oleh BUMN/D pemegang monopoli layanan publik maupun monopoli usaha, bisakah kita bersikeras protes, bersikeras ditindak-lanjuti proses permohonan yang kita ajukan, atau bahkan memilih untuk berhenti berlangganan dan menjadi konsumen dari penyelenggara negara ataupun kompetitor lainnya?
Mari kita bercermin pada praktik BUMN/D dibidang perbankan. Kini, hampir tidak satupun kalangan BUMN/D perbankan yang menampilkan wajah arogansi terhadap calon konsumen ataupun terhadap nasabah selaku pelanggannya. Mengapa? Karena bila publik tidak puas, dapat mengambil opsi untuk berpindah pada perbankan swasta yang jauh lebih ramah, lebih responsif, yang lebih bersimpatik pada Anda, yang lebih mau tahu kebutuhan Anda, yang lebih solutif, yang lebih aplikatif, yang lebih mau mendengarkan suara Anda, dan lebih sigap. Masih berani sok “jual mahal”?
Selama ini, POLRi hanya membuat dan menayangkan iklan pencitraan diri, yang menyatakan agar publik selaku korban kejahatan tidak perlu ragu melaporkan pelanggaran yang dialaminya ke pihak kepolisian, dimana polisi ada untuk melindungi, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Seolah, polisi selalu siap bagi Anda. Faktanya, Anda hanya akan membuang waktu dan biaya berurusan dengan kepolisian, sekalipun benar Anda adalah korban.
Pemerintah, selama ini hanya cukup puas berhenti pada politik pencitraan. Seandainya terdapat “polisi swasta”, yakni polisi yang dapat disewa oleh publik POLRI untuk menegakkan hukum, maka yakinlah, polisi akan ditinggalkan oleh masyarakat dan menjadi musuh publik secara terang-terangan. Sayangnya, sekali lagi, POLRI dan jajaran vertikal dibawahnya, masih memegang kekuasaan monopolistik.
Sebagai cerminan, di Amerika Serikat, Private Military Company (militer swasta) yang kian digandrungi otoritas Amerika Serikat untuk disewa, menjadi saingan / kompetitor terang-terangan bagi tentara resmi pemerintah Amerika Serikat.
Petugas PLN lainnya memberi jawaban yang lebih menyerupai “benteng alasan / alibi yang klise” dengan tanggapan terhadap kenaikan tagihan sementara pemakaian senyatanya menurun karena total penghuni berkurang separuh: “Tarif Dasar Listrik sudah naik!” Padahal, untuk pelanggan 1.300 VA keatas, sejak tahun 2017—2018 Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak mengalami kenaikan. Hanya pelanggan non subsidi 900 VA / Watt saja yang mengalami kenaikan harga tarif listrik
 Konsumen yang tidak mengerti, tentunya mudah dikelabui oleh alasan klise klasik demikian: “Tarif sudah naik!” TDL secara yuridis, hanya dapat dinaikkan lewat Surat Keputusan Menteri, bukan secara seenaknya mendalilkan tarif telah naik setiap kali warga masyarakat mengajukan komplain terhadap tagihan.
Justru disitulah masalah utamanya terletak, selama ini pihak pemerintah / BUMN yang telah memiliki kedudukan superior ketimbang publik, diberikan pula kekuasaan monopolistik dalam aspek penyelenggaraan negara maupun monopolistik dunia usaha. Alhasil, aparatur sipil negara kian “besar kepala”, semakin “sok jual mahal”, kian “sombong / arogan”, dan semakin “menginjak-injak kepala rakyat / konsumen”, atau juga kian “menghisap dan memeras rakyat / konsumen”.
Segila apapun aturan main mereka, seaneh apapun cara mereka memberi pelayanan, setidak-manusiawi apapun mereka dalam membebani harga nominal tagihan, pertanyaannya: “Kita selaku publik sipil ini, mau pindah ke kompetitor lain mana?” Justru kelemahan publik itulah yang kemudian dieksploitasi secara baik oleh penyelenggara negara, yang menindas rakyat lewat memanfaatkan daya tawar sipil yang lebih lemah dari mereka yang diberi kekuasaan monopolistik.
Lord Acton pernah berkata: “Power tend to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.” Ketika kedudukan posisi tawar publik sipil jatuh hingga derajat paling terbawah dari titik nadir demikian akibat tidak seimbangnya posisi tawar dan diperparah oleh praktik monopolistik aparaturnya, maka pada saat itulah rakyat dieksploitasi habis-habisan oleh penyelenggara negara (in casu pemerintah).
Sebenarnya, standar moralitas penyelenggara negara menjadi rambu pengaman tipe sistem negara berbentuk pemerintahan, dimana sebagian warga diberi hak kekuasaan monopolistik sekaligus diberi gaji dari “Uang Pajak yang bersumber dari Uang Rakyat” (jangan pernah lagi gunakan istilah “Uang Negara”), maka “standar moral” diharapkan mampu membuat para penyelenggara senantiasa mengerem “birahi” / “libido” mereka untuk memeras ataupun memandang rendah warga masyarakatnya.
Lagi-lagi, Bangsa Indonesia adalah bangsa agamais yang korup, dan hal ini sudah tidak lagi terbantahkan—semua orang sudah mafhum akan hal ini, kecuali para pelaku korup yang tentunya tidak akan mau mengakuinya. Standar moral yang korup tidak dapat menjadi rambu pengaman oleh praktik-praktik “corrupt abolutely” demikian. Mungkin karena sebab terlampau agamais itulah, seakan dirinya dapat hidup tenang meski telah berbuat korup dan culas terhadap warga negara lain.
Kini, ketika akses penjualan bahan bakar kendaraan bermotor telah dibuka bebas bagi praktik kompetisi usaha yang sehat dan kompetitif, dimana BUMN bernama Pertamina tidak lagi diberi posisi istimewa untuk membuka SPBU secara monopolistik, tidak lagi diberi keistimewaan menjual BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi (masih ada, namun dibatasi kuota), maka perlahan namun pasti, bila Pertamina masih “sok jual mahal”, masih membiarkan konsumen diberi “solar / bensin yang bercampur air”, atau “pembelian yang liter-nya kurang dari uang yang dibayarkan konsumen”, Pertamina akan menuju “gulung tikar” (suatu keniscayaan).
Kini, layanan backbone internet bukan lagi menjadi monopoli penyelenggaraan Telkom selaku BUMN, mengakibatkan di beberapa daerah, masyarakat tidak lagi mengenal apa itu perusahaan bernama Telkom, karena mereka menjadi konsumen layanan jasa perusahaan internet swasta yang lebih kompetitif, lebih memahami konsumen, lebih mengerti konsumen, lebih melayani konsumen, lebih menghargai konsumen, lebih mau mendengarkan suara dan aspirasi konsumen, lebih sigap melayani konsumen, dan lebih mencintai konsumen.
Apa jadinya bila kemudian penyelenggaraan televisi digital, diberikan ke tangan TVRI secara monopolistik sebagaimana diniatkan oleh para pembentuk undang-undang di parlemen yang menyerupai “menara gading” itu? TVRI merupakan stasiun televisi berbentuk badan hukum menyerupai BUMN. Namun lihatlah kini, TVRI telah gagal melayani publik, dimana justru statiun televisi swasta yang lebih banyak melayani publik dengan memberi tayanan hiburan serta acara edukasi yang lebih mendidik ketimbang BUMN tersebut. Kini, sebagian besar anak muda di Indonesia bahkan tidak lagi mengenali nama TVRI. “Siapa itu TVRI?
Sejatinya, semua BUMN ataupun penyelenggara negara yang memegang kekuasaan monopolistik, adalah para pecundang—meski masih eksis hingga hari ini bukan karena hasil usaha kompetitif mereka, yang selama ini berlindung dibalik kekuasaan monopolistik yang mereka kuasai secara monopolir. Lihat saja nasib dan rekam jejak TVRI, selaku stasiun televisi milik pemerintah, gagal total dalam hal menyuguhkan tayangan, terlebih gagal total menjual slot tayangan iklan sehingga praktis TVRI bukan mendatangkan keuntungan bagi negara, sebaliknya banyak menguras “Uang Rakyat”, dan memboros-boroskannya setiap tahun, hingga saat ini. bila TVRI dimasukkan ke “peti es”, setidaknya anggaran untuk operasional TVRI cukup untuk membantu para korban busung lapar di berbagai pelosok terpencil di Tanah Air.
Singkat kata, tiada kompetisi (maka) tiada layanan yang inovatif, tiada akan pernah terwujud pelayanan publik yang ideal, namun justru sebaliknya—daya tawar akan menjadi timpang (berat sebelah) akibat tiadanya kompetitor dimana masyarakat selaku konsumen semestinya dapat memilih seandainya “keran” untuk kompetisi demikian dibuka lebar.
Tidak diperbaiki sekalipun, selama sifat monopolistik demikian dipelihara dan dilestarikan, BUMN/D ataupun penyelenggara negara yang melayani secara buruk demikian akan tetap eksis menjadi raja yang menginjak-injak kepala rakyat sipil. Itulah daya merusak pemberian kuasa / kewenangan monopolistik. Untuk apa dipermudah, bila bisa dipersulit? Untuk apa dilayani, bila rakyat yang akan terpaksa melayani? Untuk apa meng-koreksi diri, bila tidak mungkin ada kompetitor pesaing?
Secara falsafah, sebenarnya tidak tepat juga rakyat disebut sebagai “konsumen” di mata BUMN ataupun penyelenggara negara. Mengapa? Yang disebut dengan “konsumen”, konotasinya membeli secara “sukarela”. Sekali lagi, kita perlu memahami dan menyadari, layanan seperti administrasi kependudukan, perihal pertanahan / pemukiman, listrik, air bersih, bahan bakar, adalah kebutuhan pokok, bukan komoditas yang bersifat tersier (namun bedakan dengan tanah yang dimiliki untuk tujuan investasi, bukan untuk tujuan dihuni oleh dirinya pribadi).
Bandingkan pula, di Amerika Serikat, yang dikenal hanya istilah “civil servant”, alias “pembantu bagi rakyat sipil”. Dilekati status demikian, para aparatur negara di Amerika Serikat menjadi sadar akan tugas dan kewajiban yang diemban olehnya. Sebaliknya, di Indonesia, yang terjadi sebaliknya “civilians is our servant”.
Suka atau tidak suka, harus tetap diakses oleh publik, karena berbagai aspek tersebut merupakan “kebutuhan pokok” manusia. Memakan makanan di restoran mewah, itu adalah konsumsi. Namun mengakses suplai beras dan sembilan bahan pokok di pasar tradisional, sejatinya tidak dapat disebut sebagai konsumsi ataupun status warga masyarakat sebagai konsumen—itu adalah kebutuhan pokok yang sifatnya kebutuhan primer, bukan tersier.
Seperti halnya rumah tinggal, itu bukanlah suatu ajang “konsumsi”, tapi kebutuhan pokok. Hanya ketika seseorang memiliki lebih dari satu rumah, tepatnya untuk tujuan investasi, maka itu dapat disebut sebagai “konsumen” perumahan. Sementara adalah sangat tidak tepat bila kebutuhan akan listrik dan air bersih disebut sebagai “konsumsi” dan “konsumen”. Pengunjung fasilitas tempat hiburan seperti kolam renang atau layar bioskop, barulah dapat disebut sebagai “meng-konsumsi” produk air dan listrik.
“Konsumsi” konotasinya ialah dilandasi oleh “keinginan”, bukan “kebutuhan”. Memakai baju mewah ialah keinginan, bukan fungsi dasariah dari sebuah pakaian yang tujuannya untuk menutup kemaluan dan melindungi diri dari cuaca. “Kebutuhan” ialah “kebutuhan”, sementara “konsumsi” ialah “konsumsi”. Dua hal yang saling berbeda, dan tidak dapat dipertukarkan.
Bila memang Aparatur Sipil Negara merupakan “abdi rakyat”, karena telah digaji oleh “Uang Rakyat”, mengapa publik atau kita sebagai rakyat sipil, tidak dapat memecat Aparatur Sipil Negara yang telah bersikap arogan dan tidak patut terhadap rakyat sipil? Sekalipun Anda yang telah membayar pajak, yang notabene menjadi sumber gaji mereka, tetap saja mereka tidak memandang Anda sebagai “bos” mereka. Justru secara “durhaka” mereka yang akan memerintah-merintah dan sok berkuasa terhadap Anda. Anda bahkan tidak diberi hak untuk membela diri terlebih untuk memecat mereka, dan mereka akan juga terus “besar kepala” sambil terus menginjak-injak kepala Anda lewat “perintah-perintah” mereka.
Setiap kantor negara, merupakan kantor yang dibangun oleh “Uang Rakyat”. Anehnya, rakyat harus ikut aturan main yang diterapkan oleh pemerintah, dimana rakyat tidak boleh masuk bila memakai sandal atau bila memakai celana pendek. Slogan “di dalam rumah yang berlaku ialah aturan tuan rumah” hanya relevan dalam konteks “sipil” berhadapan dengan “sipil”. Namun dalam konteks “pemerintah” VS. “sipil”, maka yang “tuan rumah” itu siapa? Sejak kapan “Negara” ini adalah milik “Pemerintah”? untuk itu, kita perlu urai dan jawab terlebih dahulu: Mana yang lebih tinggi derajatnya dalam sebuah negara, “pemerintah” ataukah “rakyat”?
Lihatlah tingkah-polah para aparatur kepolisian, anggota institusi tersebut memegang kekuasaan monopolistik untuk menegakkan supremasi hukum pidana, monopoli menyandang senjata api dan borgol, memonopoli hak untuk menangkap, menahan, menggeledah, dan menyidik, hingga monopolistik untuk mengakses peradilan pidana bersama dengan anggota Lembaga Kejaksaan.
Tanpa “uang pelicin”, sekalipun Anda menjadi korban penganiayaan, perusakan properti, hingga pengancaman pembunuhan, laporan / aduan Anda tidak akan diproses oleh pihak berwajib. Ketika kita selaku warga sipil ditelantarkan / diabaikan, kemana lagi kita dapat mengadu?
Hendaknya kita tidak meremehkan pertanyaan demikian. Karena itulah esensi Hukum Tata Negara yang paling ideal. Jika Anda merasa diri Anda pakar dalam konsepsi Hukum Tata Negara, hendaknya Anda jawab terlebih dahulu pertanyaan retoris diatas. Masalahnya, para pakar Tata Negara kita terlampau sibuk bongkar-pasang pasal undang-undang terkait kekuasaan politik dalam Pemilu dan hak-hak politik pejabat negara, tidak pernah bersedia untuk menyentuh sendi-sendi paling esensial dalam falsafah kenegaraan.
Tahu jugakah Anda, bahwa pemerintah melalui PLN telah melakukan pembohongan dan pembodohan publik dengan menyatakan bahwa ada harga tarif listrik untuk pemakaian beban puncak (sore hingga malam hari) yang lebih mahal dibanding pemakaian listrik saat waktu subuh dan pagi hari yang lebih murah. Ternyata, semua pernyataan tersebut BOHONG belaka. Cobalah Anda mintakan rincian tagihan pemakaian listrik rumah Anda, maka akan Anda dapati bahwa tarif pemakaian listrik Anda “dipukul rata”. Sekalipun Anda memakai listrik di subuh hari, saat orang lain sedang tertidur lelap, maka harga tagihan yang dibebani pada Anda tetap saja dengan masyarakat yang memakai listrik disaat sore atau malam hari saat beban puncak.
Bila polisi saja demikian kotornya, maka sekotor apakah mental dan karakter para penjahatnya? Akankah para anggota kepolisian di Tanah Air lebih jahat, daripada para penjahat yang semestinya mereka tangkap dan pidanakan? Sejatinya, polisi demikian lebih jahat daripada para penjahat manapun. Penjahat tidak punya kewajiban melindungi rakyat, juga tidak mendapat gaji dari “Uang Rakyat'” Alih-alih menjalankan tugas-kewajibannya melindungi dan melayani warga masyarakat, pihak kepolisian justru menjadi musuh dari masyarakat. Teringatlah pada pesan Alm. Satjipto Rahardjo: “Sapu yang kotor, tidak dapat dipergunakan untuk membersihkan kotoran.”
Akhir kata, meski bukan yang terakhir, perihal kebutuhan pokok, posisi rakyat bukanlah selaku “konsumen”, namun dalam hal ini rakyat menyerupai 'shareholder' yang menyerupai 'pemilik' terhadap berbagai sumber daya negara. Semua yang terkait sumber daya negara, bukanlah milik pemerintah, namun milik “negara'” dimana rakyat menjadi 'pemegang saham'-nya.
Oh, jadi Anda tidak puas atas pelayanan kami? Ya sudah, dengan senang hati akan kami putus sambungan listrik Anda.”
“Oh, jadi Anda tidak senang dengan pelayanan kami selaku polisi? Ya sudah, kami tidak mau tindak-lanjuti laporan atau aduan Anda. Anda mau apa dan bias apa sekarang?”
Oh, jadi Anda ingin protes karena permohonan sertifikat tanah Anda tidak kami proses selama bertahun-tahun. Ya sudah, Anda lapor saja sana sama presiden atau menteri.”
Oh, masak bodoh ... Kami berikan pelayanan buruk sekalipun, Anda bisa memecat kami?“, dan segala jenis respon dengan nada serupa. Singkat kata, kita semua selaku warga sipil, yang harus senantiasa menuruti kemauan para Aparatur Pemerintahan yang justru bermental menuntut untuk dilayani oleh warga masyarakatnya, alih-alih melayani warga pembayar pajak. Wajah yang ditampilkan, bukanlah “civil servant”, namun “bos berseragam minta pungli”.
Sadarkah Anda, bahwa pemerintah selama ini melakukan praktik monopoli usaha dalam setiap layanan publik maupun penyelenggaraan negara yang mereka selenggarakan? Sebagai contoh, setiap 5 tahun sekali pemilik kendaraan bermotor diwajibkan mengganti plat nomor tanda kendaraan. Pihak kepolisian (POLRI) dalam hal ini bermain dengan “memancing di air keruh” berupa monopoli usaha penjualan plat nomor kendaraan bermotor, yang harganya lebih mahal daripada plat nomor kendaraan yang dijual bebas di pasaran, dengan kualitas bahan plat dan cetakan / cat yang jauh dibawah kualitas plat nomor kendaraan yang dijual bebas di luar.
Pihak Korps Lalu Lintas (Korlantas) POLRI tampaknya tidak cukup puas dengan mark-up biaya tes kesehatan bagi pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM) maupun masyarakat yang hendak memepanjang SIM, kini dengan tamaknya masih hendak memeras rakyat dengan dibebani kewajiban tes psikologi yang (tentunya) hanya formalitas berbiaya tinggi.
Bayangkan, untuk “tes kesehatan” yang hanya dites membaca huruf atau angka selama 15 detik di layar monitor, satu orang pemohon dikenakan biaya Rp. 25.000;-. Kalikan dengan ribuan pemohon setiap harinya. Padahal semua tes itu hanya formalitas belaka, alias tiada yang tidak pernah lulus tes kesehatan. Namun POLRI belum puas memeras rakyat, dengan kembali membebani rakyat dengan membayar biaya tes psikologi yang tentunya hanya “ekonomi biaya tinggi” dan formalitas belaka. Kalikan dengan jutaan pemohon yang merupakan pengendara perpanjangan SIM maupun warga pemohon baru.
Belum puas juga, kini (sebenarnya sudah sejak dahulu kala) POLRI mempersukar pemohon SIM untuk lulus ujian praktik, dengan seketika menyuruh pemohon untuk langsung menjalani tahap tes terakhir yang paling sukar (tanpa pemanasan dengan rangkaian lengkap seluruh trayek ujian praktik, karena setiap kendaraan berbeda karakter sehingga butuh adaptasi pengendara dengan kendaraannya).
Tujuannya, agar masyarakat pemohon merasa terpaksa harus mengikuti kursus mengemudi seharga Rp. 500.000;- rekanan (swasta) pejabat Korlantas POLRI yang bertempat di dalam komplek SATPAS POLRI—kursus mana ternyata hanya formalitas belaka. Kini, pejabar Korlantas POLRI sudah tidak lagi berminat dengan uang sogokan senilai Rp. 20.000;- agar diluluskan tes praktik, namun secara akal-akalan meng-create agar masyarakat pemohon SIM harus setidaknya merogoh kocek hampir mencapai Rp. 1.000.000;- untuk mendapat SIM A kendaraan roda empat.
PT. Pos Indonesia (Persero) memiliki kantor cabang yang paling luas jaringannya dari Sabang hingga Merauke. Namun akibat tidak kompetitif, segmen pasar diserap sepenuhnya oleh perusahaan logistik kompetitor, akibat “sok jual mahal” BUMN ini tidak lagi dekat di hati masyarakat yang dapat memilih untuk berhubungan dengan perusahaan kurir / ekspedisi swasta.
Praktis, PT. Pos Indonesia saat kini hanya eksis dari monopoli penjualan materai, leges, monopoli usaha jasa pengiriman dari badan karantina bea dan cukai atas barang yang diimpor penduduk Indonesia, dengan harga pengepakan ulang dan pengiriman yang luar biasa mahalnya dengan bukti kuitansi yang sangat tidak resmi dan sangat tidak memadai (hanya selembar kertas berukuran 3 x 3 cm yang ditulis tangan manual berisi biaya tagihan pengepakan dan pengiriman dari badan karantina ke alamat penerima paket, setelah berbulan-bulan barang impor yang hanya berupa sepaket kecil kartu cetakan tertahan di Bea dan Cukai Indonesia).
Tanpa diberikan kekuasaan monopolistik demikian, berbagai BUMN/D maupun kantor pelayanan publik yang diselenggarakan Aparatur Sipil Negara, akan kalah bersaing dengan kompetitor swasta dan akan “gulung tikar” alias tinggal sejarah. Mungkin saja negara ini akan lebih baik bila diurus oleh pihak swasta agar kompetitif dan semangat melayani masyarakat dengan baik ketimbang diurus oleh para Aparatur Sipil Negara yang “kerja atau tidak kerja, tetap digaji oleh Uang Rakyat”.
Tender, merupakan salah satu mekanisme yang dilandasi semangat kompetitif, dimana falsafahnya para kompetitor saling mengedepankan pelayanan yang paling efektif serta paling efisien. Namun, pemerintah acapkali “mengakalinya” (lihat praktik di Pelindo yang selama ini terjadi) ketentuan tender, dengan melakukan “penunjukan langsung” terhadap pihak pengusaha tertentu (rekanan pribadi pihak pejabat pemerintah, alias kolusi). Penunjukkan langsung tanpa tender dimungkinkan, sepanjang kontrak kerja sama hanya selama 1 tahun.
Namun yang selama ini sudah terjadi, selama belasan atau bahkan puluhan tahun, pihak pengusaha penerima “penjunjukkan langsung” yang sama (pihak yang “itu itu lagi”) yang memonopoli proyek pemerintah, dengan setiap tahunnya ditunjuk sebagai penerima proyek pengerjaan. Sehingga, sekalipun telah puluhan tahun menerima / memegang proyek pengadaan barang / jasa pemerintah, selama kontrak dipecah menjadi untuk per setiap 1 tahun, maka tender dapat di-“akali” sepenuhnya sebagaimana telah terjadi selama ini.
Berangkat dari persepsi demikian, penulis sepakat sepenuhnya bila manajemen pengelolaan berbagai Lembaga Pemasyarakatan dipercayakan kepada pihak swasta agar lebih profesional, lebih kompetitif, serta lebih efisien, demi pelayanan terbaik terhadap publik sipil. Bahkan jika perlu seluruh penyelenggara negara digantikan pihak sipil, agar hanya yang paling kompetitif yang dapat memanajerial negeri ini (meritokrasi).
Sudah saatnya seluruh Aparatur Sipil Negara tersebut dipecat, dan digantikan dengan swasta yang lebih kompetitif dan lebih memiliki kemauan untuk melayani, bukan meminta dilayani seperti yang terjadi selama ini. Kompetisi yang fair mengedepankan keunggulan layanan, menjadi hamba dari konsumen / sipil. Sebaliknya, intervensi / kekuasaan pemerintah yang bersifat monopolistik mematikan sifat kompetitif, sehingga pada gilirannya sipil selaku publik (rakyat) yang diharuskan membayar mahal.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.