LEGAL OPINION
PERJANJIAN TIDAK
DAPAT MELANGGAR NORMATIF UNDANG-UNDANG
Question: Memang dulu pernah ada konflik dengan atasan,
tapi apa boleh sekarang seorang pegawai dirumahkan tanpa ada batas waktu yang
jelas?
Brief Answer: Sekalipun benar adanya pelanggaran indisipliner
yang dilakukan oleh seorang Pekerja / Buruh, pihak Pengusaha tidak dapat
menerapkan kebijakan “dirumahkan” atau “diistirahatkan” tanpa suatu batasan
waktu, terlebih bila ternyata pelanggaran indisipliner yang dilakukan oleh sang
Pekerja bersifat pembelaan diri yang wajar, seperti menolak mutasi yang tidak
patut dan tidak layak.
Bila hal demikian sampai terjadi, demi mendapat
kepastian hukum, sang Pekerja berhak untuk mengajukan gugatan pemutusan
hubungan kerja (PHK) terhadap Pengusaha ke hadapan Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) setempat, guna mendapat kompensasi berupa pesangon.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk cerminan sebagaimana putusan Mahkamah
Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 137 K/Pdt.Sus-PHI/2017
tanggal 9 Maret 2017, perkara antara:
- PT. SINAR MUSI JAYA, sebagai Pemohon
Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- YUDI SUSANTO, selaku Termohon
Kasasi dahulu Penggugat.
Alasan diajukannya gugatan adalah karena adanya perselisihan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat yang
didasarkan pada surat Tergugat tertanggal 29 Februari 2016 perihal
Pemberitahuan Pengistirahatan Penggugat sebagai Karyawan yang tanpa
batas.
Penggugat selaku Karyawan dari PT. Sinar Musi Jaya, telah bekerja sejak 2
Juli 2007 sampai dengan tanggal 29 Februari 2016, dengan masa kerja 8 tahun 7
bulan. Semula pada tanggal 10 Agustus 2015 Penggugat dimutasikan oleh Direktur,
dari mekanik PT. Sinar Musi Jaya Pusat (Palembang) menjadi Mekanik PT. Sinar
Musi Jaya Cabang Lahat, dengan atau tanpa kenaikan gaji dan uang makan. Atas
mutasi tersebut, Penggugat dengan loyalitas tinggi tetap menjalankannya.
Namun kemudian pada tanggal 28 Januari 2016, Penggugat dipanggil atasan Penggugat
yaitu Kepala Cabang Lahat dan Penggugat ditanyakan secara lisan perihal akan kembali
dimutasikan ke PT. Era Energy Mandiri, Penggugat menyatakan bersedia
dimutasikan, tetapi Penggugat mengajukan permohonan kenaikan gaji, serta
disediakan mess khusus karyawan. Namun demikian, pada tanggal 3 Februari 2016
Penggugat mendapatkan Surat Peringatan (SP) III karena Penggugat dianggap
menolak dimutasikan ke PT. Era Energy Mandiri, yang merupakan badan hukum
berbeda.
Tanggal 22 Februari 2016, Penggugat dipanggil kembali oleh Tergugat, dan saat
itu Tergugat memberikan Surat Keputusan Mutasi kepada Penggugat yang ditanda-tangani
oleh Direktur PT. Sinar Musi Jaya, dimana Penggugat kembali dimutasikan lagi ke
PT. Era Energy Mandiri Lahat dengan tidak menyetujui permohonan yang pernah
diajukan oleh Penggugat.
Oleh sebab Penggugat menolak untuk dimutasikan ke PT. Era Energy Mandiri,
Tergugat langsung menerbitkan Surat tertanggal 29 Februari 2016 perihal
pemberitahuan pengistirahatan Penggugat sebagai karyawan PT. Sinar Musi Jaya
yang ditanda-tangani oleh Direktur PT. Sinar Musi Jaya.
Sejak diterbitkan surat pengistirahatan Penggugat sebagai Karyawan PT.
Sinar Musi Jaya tertanggal 29 Ferbuari 2016 yang tanpa batas tersebut,
Penggugat merasa telah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Tergugat,
tanpa mendapatkan hak-hak normatif Penggugat.
Sejak Tergugat menyatakan bahwa Penggugat menolak dilakukan mutasi ke PT.
Era Energy Mandiri, oleh karenanya pelanggaran yang dilakukan Penggugat tersebut
menurut Tergugat adalah pelanggaran disiplin, serta tidak melaksanakan Tupoksi
(Tugas, Fungsi dan Tanggungjawab) Perusahaan, oleh karenanya perbuatan
Penggugat merupakan pelanggaran biasa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 161
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memberi hak
kompensasi pesangon terhadap PHK.
Atas perselisihan yang dialaminya, kemudian Penggugat meminta mediasi kepada
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Palembang untuk memfasilitasi Perselisihan
Hubungan Industrial antara Penggugat dan Tergugat, namun dari pihak Tergugat
tidak pernah hadir dalam perundingan Tripartit tersebut, tanpa keterangan yang
jelas.
Disnaker Kota Palembang selaku Mediator untuk itu menerbitkan surat Anjuran
tertanggal 16 Mei 2016, menganjurkan pihak Tergugat agar membayar hak-hak normatif
Penggugat. Mediator pada Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang kemudian menerbitkan
“risalah mediasi” tertanggal 09 Mei 2016, yang intinya menyatakan bahwa tidak
terjadi kesepakatan antara masing-masing pihak, dan menyatakan bahwa pihak Pekerja
akan meneruskan masalahnya ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI) guna penyelesaian lebih lanjut.
Sementara itu dalam sanggahannya pihak Terggugat mendalilkan, gugatan
yang diajukan oleh Penggugat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidaklah
jelas, karena hingga saat ini Tergugat tidak pernah menyatakan baik secara
lisan maupun melalui surat adanya keputusan memberhentikan Penggugat, namun
Tergugat hanya “mengistirahatkan” Penggugat, kebijakan mana diterbitkan karena
Penggugat tidak bersedia dimutasi / dipindah-tugaskan ke PT. Era Energy Mandiri
yang merupakan perusahaan rekanan Tergugat.
Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Palembang kemudian
menjatuhkan putusan Nomor 38/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Plg., tanggal 29 September
2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang bahwa atas gugatan
Penggugat pihak Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan bahwa
gugatan Penggugat obscuur libel, karena yang diajukan Penggugat adalah mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja sedangkan sampai saat ini Tergugat tidak pernah menyatakan
baik lisan maupun tertulis memberhentikan Penggugat namun hanya mengistirahatkan
Penggugat karena tidak bersedia dimutasikan / dipindah-tugaskan ke tempat yang
baru yaitu PT. Era Energy Mandiri;
“Menimbang, bahwa setelah
Majelis Hakim mencermati bukti-bukti dan fakta-fakta dalam persidangan,
walaupun Tergugat membantah pernah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
Penggugat dan hanya melakukan pengistirahatan saja, namun pada kenyataannya
Tergugat sudah tidak membayarkan lagi gaji Penggugat selama diistirahatkan
dan dengan ucapan terima kasih atas sumbang saran dan pelaksanaan tugas pekerjaan
yang telah dilakukan Penggugat sebagaimana yang tertuang dalam bukti P-1 dan
bukti T-13 telah menunjukkan bahwa terdapat maksud dari Tergugat untuk
mengakhiri hubungan kerja dengan Penggugat;
“Menimbang, bahwa selain hal
tersebut diatas, pengistirahatan yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat
dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas, sehingga menimbulkan ketidak-pastian
status hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat;
“Menimbang, bahwa sebelum
Penggugat diistirahatkan oleh Tergugat, kepada Penggugat telah diberikan sanksi
berupa Surat Peringatan I, II dan III, maka guna memberikan kepastian hukum dan
memenuhi rasa keadilan, Majelis Hakim berkesimpulan pengistirahatan yang
dilakukan oleh Tergugat terhitung sejak tanggal 29 Februari 2016 merupakan bentuk
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat karena
melanggar ketentuan yang diatur dalam peraturan perusahaan berupa tidak
bersedia melaksanakan mutasi yang dilakukan oleh Tergugat hal tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa oleh karena
telah terjadi pemutusan hubungan kerja berdasarkan Pasal 161 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka sesuai
ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Penggugat berhak memperoleh Uang Pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa terhadap
bukti T-2 berupa Surat Pernyataan yang telah ditanda-tangani oleh Penggugat
yang berisi antara lain ‘apabila terjadi PHK Penggugat tidak akan menuntut uang
pesangon dalam bentuk apapun pada Tergugat’, menurut Majelis Hakim hal tersebut
tidak dapat menghilangkan / menghapuskan hak-hak Penggugat yang timbul
akibat pemutusan hubungan kerja karena Surat Pernyataan tersebut tidak sesuai /
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dibidang
Ketenagakerjaan;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus terhitung
mulai tanggal 29 Februari 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar semua hak-hak Penggugat yang timbul
akibat pemutusan hubungan kerja, dengan rincian sebagai berikut:
a. Uang Pesangon = 7 x Rp4.000.000,00 = Rp28.000.000,00.
b. Uang Penghargaan Masa Kerja = 3 x Rp4.000.000,00 = Rp12.000.000,00.
Jumlah = Rp40.000.000,00.
c. Uang Penggantian Hak 15% x Rp40.000.000,00. = Rp 6.000.000,00.
Jumlah total = Rp46.000.000,00.
Terbilang (empat puluh enam juta rupiah);
4. Menolak gugatan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan
bahwa tidak ada satupun surat yang disampaikan kepada Penggugat mengenai
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tidak ada PHK antara Pemohon Tergugat terhadap
Penggugat.
Ketentuan Pasal 161 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan, Pekerja / Buruh yang mengalami PHK memperoleh uang pesangon sebesar 1 kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar 1 kali
ketentuan Pasal 156 Ayat (3), dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal
156 Ayat (4). Ketentuan tersebut hanya relevan terhadap pekerja yang
nyata-nyata mengalami PHK.
Yang ada hanyalah surat pengistiratan terhadap Penggugat dan surat pengistirahatan
ini muncul dikarenakan Penggugat tidak mau dimutasikan / dipindah-tugaskan oleh
Tergugat ke PT. Era Energy Mandiri yang merupakan perusahaan rekanan Tergugat.
Pengadilan Hubungan Industrial berkesimpulan Tergugat wajib membayar
pesangon, merupakan kesimpulan yang keliru karena tidak ada PHK yang dilakukan Tergugat
terhadap Penggugat. [Note SHIETRA & PARTNERS: Pihak Pengusaha telah
melakukan pelanggaran berat dengan memutasi karyawannya ke badan hukum yang
berbeda, namun dengan penuh percaya diri menuding sang Pekerja yang menolak
mutasi ilegal demikian sebagai “pelangaran berat”.]
Dimana terhadap permohonan kasasi yang diajukan sang Pengusaha, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut tidak
dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi
yang diterima tanggal 28 Oktober 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 22
November 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang tidak salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan Judex Facti, Penggugat menolak
mutasi dan Tergugat tidak memanggil masuk kerja melainkan mengistirahatkan
Penggugat, oleh karenanya demi kepastian hukum dan keadilan, hubungan kerja
Penggugat dengan Tergugat berakhir dengan kualifikasi pelanggaran karena
menolak perintah dan Penggugat berhak mendapatkan kompensasi berupa
uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa
Kerja sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak
sebagaimana Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. SINAR MUSI JAYA tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi: PT. SINAR MUSI JAYA tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA &
PARTNERS:
Mutasi yang diperintahkan pihak Pengusaha sebagaimana kasus diatas, ialah
mutasi yang bersifat ilegal, oleh sebab Penggugat karena dimutasikan / dipindah-tugaskan
ke PT. Era Energy Mandiri yang merupakan perusahaan rekanan Tergugat, alias ke
badan hukum yang berbeda sehingga dapat menghapus masa kerja sang Pekerja.
Dengan demikian pertimbangan hukum Mahkamah Agung cenderung kurang ideal,
karena sang Pekerja tidak dapat disebut sebagai “menolak” mutasi, namun “mutasi
tersebut tidaklah sah” sehingga tidak relevan dengan sikap sang Pekerja yang
menolak “mutasi tidak sah” demikian.
Mengapa kemudian Mahkamah Agung membuat
pernyataan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa “hubungan kerja Penggugat dengan Tergugat berakhir dengan kualifikasi
pelanggaran karena menolak perintah”?
Banyak kalangan litigator di Tanah Air yang menengarai, Mahkamah Agung RI
tidak pernah benar-benar secara teliti memeriksa kronologi suatu perkara yang
dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diputus. Bukanlah suatu kemustahilan
realita lapangan yang ada, mengingat membanjirnya tumpukan berkas perkara
permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, dimana sebagian besar diantaranya
merupakan upaya hukum yang spekulatif, yang cenderung menghisap banyak waktu
dan sumber daya para Hakim Agung RI yang terbatas.
Dampak dominonya, kualitas putusan Mahkamah Agung
kerap kali dijumpai dibawah kualitas rata-rata sebuah putusan yang ideal. Secara
tidak langsung, dampaknya cukup fatal karena menurunkan kualitas putusan. Ketika
Mahkamah Agung RI menekankan kuantitas, tidak bisa dihindari kualitas yang
kemudian akan dikorbankan, sebagai harga yang harus dibayar mahal akibat
berbagai aksi spekulatif para pengacara “spekulan” itu sendiri.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.