Mengundurkan Diri karena Usia Tua, Dimaknai sebagai Pensiun yang Tetap Berhak atas Pesangon

LEGAL OPINION
HUBUNGAN KERJA PUTUS KARENA PENSIUN
Question: Udah tua, udah tidak sanggup lagi jika kerja terus seperti bila masih muda. Tapi perusahaan belum mau juga kasih pensiun meski sudah waktunya dan sudah baik-baik dimohonkan ke manajemen. Gimana solusinya? Yang pasti mau pensiun tapi tetap berhak atas pesangon.
Brief Answer: Pensiun (bila umur telah memasuki usia pensiun pada usia lazim umumnya), dapat terjadi atas dua kemungkinan inisiatif, yakni pemutusan hubungan kerja (PHK) karena dipensiunkan oleh Pemberi Kerja, namun dapat juga atas inisiatif Pekerja / Buruh dikala Pemberi Kerja tidak kunjung bersedia (lalai ataupun disengaja) mem-PHK meski sang Pekerja telah berusia lanjut.
Seorang Pekerja yang mem-pensiukan dirinya sendiri, cukup dilakukan dengan cara “mengundurkan diri”, dimana pengunduran diri demikian dimata hukum akan dimaknai sebagai “pensiun” yang memberi hak bagi sang Pekerja untuk menuntut kompensasi sejumlah pesangon.
Pendirian hukum demikian terpaksa disikapi oleh praktik peradilan sebagai “pensiun”, oleh sebab mengingat masifnya praktik hubungan industrial yang tidak dilandasi kejujuran, dalam artian pihak Pengusaha membiarkan Pekerja-nya yang telah berusia lanjut untuk terus bekerja, sehingga mendorong mereka untuk berinisiatif mengundurkan dirinya sendiri, dimana dengan demikian pihak Pengusaha tidak perlu membayar pesangon apapun—terlebih bila ternyata sang Pekerja tidak pernah disertakan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Praktik penyelundupan hukum demikian tidak dapat dibiarkan berlangsung tanpa sentuhan rasionalisasi hukum, maka jadilah intervensi hakim pengadilan berupa kaedah normatif bentukan peradilan, yang sekalipun tidak akan kita jumpai pasalnya dalam peraturan perundang-undangan namun telah menjelma “the living law”.
Dengan kata lain, seorang Pekerja yang telah beruzia lanjut sejatinya tidak perlu mengajukan “permohonan pensiun” (yang mana dapat ditolak permohonan demikian), namun cukup “pengunduran diri” (secara sepihak dari pihak sang Pekerja itu sendiri) tanpa harus menunggu itikad pihak Pemberi Kerja, karena yang diajukan bukanlah “pensiun dini” (ketika usia sang Pekerja masih belum memasuki usia pensiun).
Kesimpulannya, hanya “pensiun diri” yang mensyaratkan persetujuan dari pihak Pengusaha. Untuk selebihnya, tidak disyaratkan adanya permohonan pensiun ataupun izin persetujuan dari pihak Pengusaha. Hanya saja, sengketa hubungan industrial dalam konteks “pengunduran diri karena usia pensiun” tidak dapat diberikan Upah Proses, karena memang tujuannya ialah untuk pensiun.
PEMBAHASAN:
Kaedah normatif demikian merupakan bentukan praktik peradilan sebagai suatu best practice guna mencairkan kekakuan yuridis undang-undang terkait ketenagakerjaan—terutama perihal pengunduran diri yang sangat rigid atau tidak dinamis pengaturan pasal-pasalnya (Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan hanya memberi kompensasi Uang Pisah terkait “pengunduran diri”, tanpa hak untuk menuntut pesangon).
Judge made law demikian sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 1124 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 19 Oktober 2017, perkara antara:
- PT. Alfo Citra Abadi, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- SELO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Terhadap gugatan sang Pekerja yang telah berusia 57 tahun dan telah bekerja selama 20 tahun pada Tergugat, Pengadilan Hubungan Industrial Medan kemudian menjatuhkan putusan dalam register Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn tanggal 06 April 2017, dengan pertimbangan hukum serta amar putusan yang bernuansa elaboratif penuh kebijaksanaan dan menarik untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sebagaimana didalilkan dalam gugatannya pada tanggal 1 Agustus 2016 Penggugat menemui Tergugat untuk meminta Tergugat memberikan hak-hak Penggugat sebagai karyawan yang telah memasuki usia pensiun, yang kemudian permintaan ini direspon oleh Tergugat dengan memerintahkan Penggugat menulis surat pengunduran diri, surat perjanjian bersama serta surat pernyataan dan selanjutnya memberikan gaji Penggugat untuk bulan Agustus 2016 dengan ditambah pembayaran uang tali-asih sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa tentang hak-hak Penggugat yang tidak dipenuhi oleh Tergugat, selanjutnya dilakukan mediasi di dinas ketenagakerjaan dimana sesuai dalil Penggugat setelah mediasi Tergugat berjanji akan memberikan uang pisah sesuai ketentuan Pasal 167 ayat (5) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi:
Dalam hal pengusaha tidak mengikut-sertakan pekerja / buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja / buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).’
“Menimbang, bahwa untuk menentukan besaran hak-hak Penggugat, Majelis Hakim perlu membuktikan lebih lanjut, penyebab pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat;
“Menimbang, bahwa dalam jawabannya Tergugat mengakui Penggugat telah bekerja selama 20 (dua puluh) tahun dan tidak terdapat satupun dalil dari Tergugat yang mengindikasikan bahwasanya Penggugat adalah pekerja / buruh yang tidak kompeten;
“Menimbang, bahwa mengingat Penggugat telah berusia 57 tahun, perusahaan tidak patut untuk menempatkan Penggugat bekerja di dapur kecil yang berurusan dengan api dan peleburan, meskipun pekerjaan ini didukung oleh alat-alat pelindung seperti helm, kacamata dan sebagainya, terutama karena perusahaan hanya melindungi pekerja dengan jaminan kesehatan yang minim;
“Menimbang, bahwa selanjutnya melihat kepada bukti-bukti yang diajukan kedua pihak tentang perselisihan hubungan kerja dalam perkara a quo, Majelis Hakim menilai tentang surat pengunduran diri yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat, surat perjanjian bersama, dan surat pernyataan oleh Penggugat untuk membuktikan pengunduran diri yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, merupakan manipulasi yang dilakukan oleh Tergugat (Ic; PT. Alfo Citra Abadi);
“Menimbang, bahwa setelah 20 (dua puluh) tahun mendedikasikan diri pada Tergugat (Ic; PT. Citra Alfo Abadi), dan karena telah memasuki usia pensiun, Penggugat meminta kepada Tergugat untuk memberikan hak-hak Penggugat;
“Menimbang, bahwa sebagaimana didalilkan Penggugat, saat Penggugat mengajukan keinginannya untuk pensiun, Tergugat (Ic; PT. Citra Alfo Abadi) memerintahkan Penggugat untuk membuat surat pengunduran diri, yang mana perintah ini diikuti oleh Penggugat yang sekaligus membuat surat perjanjian bersama dan surat pernyataan di waktu yang sama;
“Menimbang, bahwa dengan ditandatangani surat pengunduran diri dan kesepakatan lainnya, Penggugat juga menerima uang goodwill (tali kasih) sejumlah Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang merupakan kompensasi pengunduran diri Penggugat, dimana menurut Tergugat kompensasi ini merupakan uang penggantian hak yang diperoleh pekerja sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan pemberian uang goodwill (tali asih) didalam bantahannya Tergugat menyatakan seharusnya hanya memberikan uang penggantian hak sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah keseluruhan pesangon yang berjumlah Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) tersebut, dimana kalau dijumlahkan adalah sebesar Rp.5.400.000,00 (lima juta empat ratus ribu rupiah) dan dalam hal ini Tergugat memberikan Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk Penggugat;
“Menimbang, bahwa atas dalil Penggugat dan bantahan Tergugat tersebut, Majelis Hakim perlu menilai kembali satu persatu bukti surat yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja Penggugat berikut hak-hak normatif yang mengikutinya;
“Menimbang, bahwa dalam bukti T-1 Penggugat telah menerima uang sejumlah Rp.10.000.000,00(sepuluh juta rupiah) dari Tergugat (Ic; PT. Citra Alfo Abadi). Sesuai dengan bukti tersebut uang ini merupakan uang goodwill (tali asih) karena berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat;
“Menimbang, bahwa selanjutnya pada bukti T-2 adalah persetujuan bersama yang menerangkan bahwasanya Penggugat tidak akan mengajukan tuntutan di kemudian hari;
“Menimbang, bahwa selanjutnya pada bukti T-3 adalah surat pengunduran diri Penggugat, dan bukti T-4 berupa surat pernyataan tentang penerimaan hak-hak Penggugat yang telah sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai pengajuan surat pengunduran diri yang diikuti oleh surat pernyataan dan surat perjanjian bersama adalah tindakan yang tidak lazim dan berlebihan. Jika faktanya Penggugat mengundurkan diri karena usia pensiun, sudah menjadi kewajiban Tergugat untuk memberikan hak-hak normatif Penggugat sesuai ketentuan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa seluruh bukti tersebut pada pokoknya adalah tentang kesepakatan atas pengakhiran hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat akibat pengunduran diri yang dilakukan Penggugat, dimana kesepakatan dimaksud pada dasarnya berimplikasi kepada pengajuan hak-hak Penggugat sebagai pekerja di kemudian hari;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, Majelis Hakim berkesimpulan Tergugat telah memanipulasi Penggugat dengan cara mengarahkan Penggugat untuk melakukan pengunduran diri yang bertujuan melindungi kewajiban Tergugat dalam membayar hak-hak normatif Penggugat, dengan membuat kesepakatan bersama melalui surat perjanjian bersama yang diikuti oleh surat pengunduran diri dan surat pernyataan, sehingga Majelis Hakim memutuskan bahwa surat pengunduran diri (vide bukti T-2), surat perjanjian bersama (vide bukti T-3) dan surat pernyataan (vide bukti T-4) adalah tidak sah dan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan Penggugat / buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat Penggugat / serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan Penggugat / buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial.
“Menimbang, bahwa atas dasar daripada ketentuan perundang-undangan diatas, jelas Tergugat telah melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap Penggugat dengan memerintahkan Penggugat membuat surat pengunduran diri, surat perjanjian bersama dan surat pernyataan yang merupakan bentuk manipulasi Tergugat terhadap pembayaran hak-hak yang seharusnya diterima oleh Penggugat yang telah mengabdi selama 20 (dua puluh) tahun dan telah memasuki usia pensiun;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, terbukti Tergugat telah melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak kepada Penggugat tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial, maka pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalil Penggugat dan bantahan Tergugat, terbukti hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat tidak dapat dilanjutkan dan dinyatakan putus karena alasan pensiun;
“Menimbang, bahwa oleh karena adanya pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat maka telah menjadi konsekuensi logis pemenuhan hak-hak pekerja oleh pengusaha;
“Menimbang, bahwa Penggugat telah berusia 57 (lima puluh tujuh) tahun dan berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggara Program Jaminan Sosial yang berbunyi ‘Untuk pertama kali usia pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun.’ maka berdasarkan ketentuan tersebut Penggugat berhak menerima hak-haknya sesuai dengan Pasal 167 ayat (5) jo. Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan yakni sebesar:
- Uang Pesangon : 2 x 9 bulan x Rp. 2.250.000,- = Rp. 40.500.000,-
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 7 x Rp. 2.250.000,- = Rp. 15.750.000,-
Jumlah = Rp. 56.250.000,-
- Uang Pengganti Hak : 15 % x Rp. 56.250.000,- = Rp. 8.437.500,- +
Total = Rp. 64.687.500,-. (terbilang : enam puluh empat juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah);
“Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat telah menerima Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sebagai uang tali-asih, maka Tergugat berwajiban membayarkan kekurangan daripada hak-hak Penggugat yakni sebesar Rp.54.687.500,00 (lima puluh empat juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan petitum Penggugat angka 5 (lima) untuk membayar upah proses penyelesaian kepada Penggugat sebesar 6 (enam) bulan gaji pokok tidak dapat dipenuhi oleh Majelis Hakim karena tidak memenuhi Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga petitum tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan surat Pengunduran diri tanggal 01 Agustus 2016 yang dibuat Penggugat atas suruhan Tergugat, adalah tidak syah dan bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Membatalkan surat Pengunduran diri Penggugat tanggal 01 Agustus 2016;
4. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat karena pensiun sejak Agustus 2016;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi pesangon sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat secara tunai sebesar; Rp. 64.687.500,00 (total pesangon) dikurangi Rp.10.000.000,00 (yang telah dibayar), sehingga total kewajiban Tergugat pada Penggugat yang harus dibayar adalah Rp.54.687.500,00 (lima puluh empat juta enam ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dapat dibenarkan, karena berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup dan tidak bertentangan dengan hukum, dimana hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus karena pensiun, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. ALFO CITRA ABADI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. ALFO CITRA ABADI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.