Antara Dicabut Hak Seorang Warga dan Mencabut Haknya Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Kita perlu memiliki kemampuan untuk menelaah, agar tidak terjebak oleh persepsi dangkal prematur diri kita sendiri. Adalah sebuah permainan logika yang “mematikan” bila kita tidak memiliki kemampuan mendasar demikian. Lewat beberapa ilustrasi berikut, diharapkan kita dapat memahami keterampilan sederhana untuk mampu menempatkan segala sesuatu di tempat semestinya, sesuai konteks dan proporsinya.
Sebagai contoh, kita kerap menyimak wacana bahwa bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan yang berjenis extra ordinary crime, maka sang pelaku akan dicabut hak politiknya. Adakah Anda dapat menemukan ada yang ganjil dari pernyataan demikian diatas? Penulis akan berikan petunjuk, cobalah untuk tekankan pada frasa “dicabut”. Kini, tanyakan pertanyaan berikut ini: “Dicabut oleh siapa? Oleh siapa dan kepada siapa?”
Secara ilmu logika “kelirumologi”, paradigma sebagaimana contoh ilustrasi diatas adalah keliru seutuhnya, karena tidak sesuai pada konteks tempat fenomena demikian ditempatkan sesuai “kotak”-nya. Dalam hal seseorang warga telah diingatkan oleh peraturan perundang-undangan (asas legalitas dan publisitas) bahwa bila melakukan suatu tindak pidana kejahatan yang luar biasa sifatnya, seperti korupsi salah satu contohnya, namun warga tersebut tetap juga melanggar, bahkan secara disengaja, maka hak politiknya akan tercabut.
Tercabut oleh siapa? Tentu saja dicabut oleh diri sang pelaku itu sendiri. Dirinya menghendaki hal tersebut sebagai “kesengajaan sebagai kepastian”. Sementara itu paradigma yang selama ini berkembang di tengah masyarakat, seakan timbul kesan bahwa yang mencabut ialah negara. Para pakar Hukum Tata Negara pun seakan terdorong untuk memberikan pesan bernada moralis: “Tidak ada yang boleh mencabut hak politik seorang warga, termasuk oleh negara dan pemerintah sekalipun.”
Namun siapa yang boleh melarang, bila sang pelaku memang berminat untuk mencabut hak politiknya sendiri? Sama seperti aturan pidana yang melarang seorang warga untuk mencabut nyawa warga negara lain, namun norma demikian tidak dapat mencegah seseorang untuk membunuh dan mencabut nyawa dirinya sendiri.
Sama seperti seseorang mencabut hak pilihnya sendiri dalam Pemilihan Umum (Pemilu), dengan cara memilih “golongan putih” (Golput) atau bahkan memilih “kotak kosong” sehingga calon kepada daerah kalah oleh “kotak kosong”. Semua itu sah-sah saja adanya, siapa juga yang berhak untuk melarang? Hak itu tidak dapat dipaksakan sifatna.
Setidaknya para “pakar” tersebut berhenti dahulu sejenak, untuk mencerna keadaan dan kontekstual permasalahan, sebelum terlampau cepat mengambil kesimpulan tanpa telaah yang berdialektik. Kasus posisi yang benar terjadinya ialah: mereka sendiri yang mencabut hak mereka dengan tetap berbuat kejahatan, meski telah dilarang dan diperingatkan akan konskuensi dari pelanggaran demikian.
Sudah diberikan peringatan lewat asas publisitas peraturan perundang-undangan, bahwasannya: jika kamu ... maka kamu akan ... . Jika tetap dilanggar, siapa yang paling patut dipersalahkan? Sama juga seperti hak untuk hidup sebagai non derogable rights (hak yang tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun), tapi jika warga tersebut hendak “bunuh diri” di tangan algojo, bisakah hukum melarang?
Bunuh diri ada banyak ragam, derivasi, serta macamnya. Salah satunya ialah dengan cara melakukan kejahatan yang diancam vonis pidana hukuman mati. Contoh yang paling sederhana, seorang maling melarikan diri saat hendak ditangkap, atau bahkan melakukan perlawanan meski telah diberi tembakan peringatan oleh pihak berwajib, maka ketika dirinya dilumpuhkan dengan “timah panas”, atau bahkan hingga tewas seketika ditempat, maka cobalah Anda tanyakan pertanyaan sederhana berikut kepada diri Anda sendiri: Apakah ia korban atau selaku pelaku kejahatan? Apakah ia dibunuh atau membunuh dirinya sendiri?
Bisakah Anda menjawabnya? Sifat pertanyaan bukanlah permainan logika, namun kita sedang bicara perihal “akal sehat” dari orang-orang yang sehat akal-jiwanya. Pertanyaan retorika demikian tidak akan mampu dijawab bila kita sebelumnya tidak melakukan upaya pemberian definisi terhadap masalah yang terjadi.
Semua penjahat telah mafhum, melarikan diri saat akan di-“amankan” pihak berwajib, maka aparat memiliki hak untuk menggunakan senjata api. Namun bila dengan sengaja masih juga menantang maut, siapa yang sejatinya paling menginginkan konsekuensi fatalistis demikian jika bukan si pelaku pelanggar itu sendiri?
Terlepas dari hal tersebut, warga dengan budaya hidup yang kurang sehat akan cenderung berkiblat pada kebiasaan mencari pembenaran diri. Sebagai contoh, jelas hukum karma merupakan hukum alam yang mengikat setiap individu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab akan akibat karmanya. Namun secepat perbuatan jahat yang mereka lakukan, secepat itu jugalah dirinya melakukan berbagai pembenaran dan “penghiburan” diri lewat harapan semu bernama: “penghapusan dosa / hukuman”.
Berharap tetap berbuat jahat, korupsi, namun disaat bersamaan tetap mengharapkan pula terpilih dan menjabat sebagai kepala daerah. Berbuat dosa, namun merasa berhak atas surga. Selalu terdapat perbedaan kontras antara “dijebloskan ke neraka” dengan menggali “lubang kubur sendiri”, bukankah begitu adanya?
Yang sungguh-sungguh dapat diistilahkan dengan “negara / pemerintah mencabut hak”, ialah ketika warga negaranya tidak diberi pilihan lain untuk bersikap. Opsi yang ada hanya bersifat linear, dan hal demikian sejatinya sangat jarang terjadi. Seorang penjahat dapat saja memilih untuk menyerahkan diri tanpa perlawanan.
Namun ketika seorang warga sejatinya dapat menjadi warga yang patuh hukum dangan diberi opsi atau memilih sikap yang tidak dilarang oleh hukum, akan tetapi justru memilih untuk menjadi pelanggar hukum, maka adalah sang warga itu sendiri yang mencabut haknya untuk hidup, dengan tetap melanggar larangan yang diatur oleh hukum.
Menantang maut, ibarat harus berani terbakar bila berani bermain api. Yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang, pepatah sudah sejak lama memberi wejangan demikian. Bila Anda sengaja melupakan nasehat tersebut, maka sama artinya Anda sengaja menjebloskan diri Anda sendiri. bukan “diceburkan”, namun “menceburkan diri sendiri” ke dalam lembah kenistaan.
Sama seperti orang yang lebih tua harus dihormati, sebagai bagian dari etika sosial. Akan tetapi bagaimana bila konteksnya ialah jika orang yang lebih tua itu berjalan melawan arus, melawan hukum, tidak memberi teladan baik bagi generasi muda, tapi bahkan merenggut ruang gerak generasi muda dengan bersikap penuh arogansi terhadap kaum muda, maka itu sama artinya dirinya yang meminta untuk tidak dihormati. Sikapnya sendiri yang meminta untuk tidak dihormati. Pelanggar hukum memang sejatinya sedang meminta untuk ditindak, karena hanya orang yang sudah tidak sehat jiwanya, melanggar hukum namun tetap mengharap penghormatan.
Kita tidak dapat secara naif memandang hukum, seperti halnya buku-buku teks anak-anak Sekolah Dasar yang dijejali teori oleh guru mereka di sekolah, bahwa adalah baik untuk bertanya pada polisi agar tidak tersesat, meski senyatanya bertanya pada polisi akan membuat kita dapat tersesat. Hukum itu murni, namun tidak naif adanya. Hendaknya kita tidak terjebak dalam akrobatik kata-kata yang cenderung membiaskan isu pokok masalah sebenarnya.
Begitupula dengan aksi seperti kudeta. Makar adalah tindakan yang ilegal, di negara beradab manapun itu, pastilah dilarang dan mendapat penentangan dari komunitas internasional. Namun bagaimana jika kondisinya ialah pemerintah suatu negara memeras kehidupan warga dengan berbagai kebijakan yang menekan kaum marginal, maka sama artinya otoritatif pemerintahan meminta atau bahkan mendorong secara non verbal agar para rakyatnya mengangkat senjata melawan pemerintahan yang sedang berkuasa. Tinjau kembali kejatuhan rezim Orde Lama dan Orde Baru, bernasib tragis lewat aksi demonstrasi mahasiswa yang serupa. Para presiden tiran tersebut yang memintanya, bukan sebaliknya.
Pada dasarnya, tiada warga yang menghendaki aksi berdarah seperti kudeta. Hidup dalam kondisi damai saja sudah cukup berat, lantas untuk apa diperberat dan diperkeruh oleh berbagai aksi peperangan, bahkan berbagai perang saudara seperti terjadi di Timur Tengah?
Kini, dunia internasional pun tidak lagi menaruh banyak simpatik atas aksi berdarah tanpa henti di negara-negara Timur Tengah, karena terlampau masif dan terus berulang terjadi, seakan hendak menyatakan pada komunitas global, bahwa memang peperangan itulah yang menjadi bagian dari keseharian dari hidup dan kehidupan negara-negara di Timur Tengah.
Sekalipun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengerahkan sejumlah prajurit sebagai misi perdamaian untuk meredakan ketegangan perang saudara di Timur Tengah, hal demikian hanya akan berlangsung temporer, karena setelah para pasukan PBB ditarik kembali, maka perang saudara akan kembali pecah oleh sulut yang kecil sekalipun. PBB akhirnya menyerah dan lebih condong bersikap pragmatis, dan kini hanya dapat memberi komentar bernuansa apatis: itu (perang saudara) kemauan mereka sendiri. Mereka yang memang menginginkan peperangan dengan diperangi dan memerangi negara tempat tinggalnya sendiri.
Ada pula perbedaan antara negara yang membuat bodoh warga negaranya dengan warga yang memang menginginkan untuk menjadi bodoh dengan tidak mau mengikuti program belajar yang diselenggarakan pemerintah. Ada pula perbedaan antara kewajiban bagi negara untuk memelihara kesehatan penduduknya, dengan keinginan pribadi sang penduduk untuk jatuh sakit dengan pola dan kebiasaan hidup tidak sehat. Kebebasan untuk tidak diperbudak, namun anggota partai politik mana yang tidak secara sukarela menjadi “budak” modern demikian?
Negara memang diamanatkan undang-undang untuk memelihara kondisi jalan raya agar tidak membahayakan pengemudi kendaraan bermotor. Namun bila seorang pengendara bersikap ugal-ugalan dan tewas dalam kendaraan yang dilajukannya melampaui kecepatan ambang batas, maka kecelakaan itulah yang memang diinginkan oleh sang pengemudi, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan kewajiban negara untuk memperhatikan keselamatan para warga pengguna jalannya. Sama seperti pemakaian barang madat, semua orang tahu bahayanya, dan disadari sepenuhnya bahwa berani mencobanya berani sudah siap mati “bunuh diri”, atau setidaknya menjadi zombie hidup.
Dipenjara ialah perampasan terhadap kemerdekaan seorang individu. Tentu saja penahanan ialah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Namun bila Anda sudah tahu bahwa hukum pidana mengatur sanksi bagi pelanggarnya, meski demikian tetap juga dilanggar, maka sejatinya warga negara tersebut yang menjebloskan dirinya sendiri ke balik jeruji penjara, dengan meminjam kaki pihak berwajib. Para kriminil tersebut sejatinya hanya sedang meminjam tangan-tangan para algojo untuk mengeksekusi dirinya.
Sudah jelas dilarang, mengapa masih dilanggar juga? Sudah jelas diatur ancaman sanksi hukumannya, mengapa masih diterobos juga sambil “memasang” badan? Sudah jelas korupsi melanggar hak asasi rakyat atas perekonomian yang merata dan terdistribusi, mengapa masih juga menuntut agar hak asasi bagi dirinya sendiri digaungkan dan diagungkan?
Bangsa Indonesia bahkan masih tidak mampu membedakan antara “dinistakan” dengan “menista” diri sendiri, “dicemarkan nama baik” dengan “mencemarkan nama sendiri”, “dieksekusi vonis mati” dengan “bunuh diri”, hingga perihal “dicabut hak politik” dengan “mencabut hak politik sendiri” sebagaimana kini sedang hangat-hangatnya menjadi polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan.
Kita baru sebatas menyinggung kulit dari isu-isu yang sederhana, lantas bagaimana dengan daya berpikir yang jauh lebih kompleks? Sangat memprihatinkan sekali bila demikian kenyataannya, dengan daya nalar bangsa kita ini. Berbagai lulusan bergelar doktoral dicetak setiap tahunnya, maupun sarjana-sarjana baru berotak cemerlang, namun untuk persoalan paling mendasar, yakni untuk mendefinisikan permasalahan, minim sekali keterampilan demikian yang dapat mereka miliki.
Albert Einstein pernah berpesan: mampu mendefinisikan masalah, berarti hampir seluruh dari masalah tersebut telah terpecahkan. Gagal mendefinisikan, maka kegagalan-lah, yang menjadi ujung hasilnya. Sayangnya, kita memiliki kebiasaan untuk terlampau cepat mengambil kesimpulan tanpa merasa perlu untuk membuat pertimbangan apapun. Entah sejak kapan, kebudayaan asal bicara ini bermula.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.