Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri terkait Sengketa Kepemilikan Tanah Vs. PTUN

LEGAL OPINION
Question: Jadi statusnya dulu ketika lahan yang kami pinjamkan dalam keadaan bidang tanah belum bersertifikat, namun mendadak kini pihak penyewa memiliki sertifikat tanah atas lahan kami, yang tampaknya diminta secara diam-diam ke BPN tanpa sepengetahuan kami, dengan mengaku-ngaku sebagai pemilik. Jika mau kami permasalahkan hal ini, gugatnya ke PTUN agar sertifikat itu dapat dibatalkan?
Brief Answer: Perihal keberatan atas terbitnya suatu sertifikat hak atas tanah, bila dilandasi atau dilatar-belakangi suatu hubungan keperdataan berupa sengketa kepemilikan, maka itu menjadi domain / kewanangan yurisdiksi absolut Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus, dengan atau tanpa menyertakan pihak Kantor Pertanahan sebagai Turut Tergugat—terlepas benar atau tidaknya pihak pejabat Kantor Pertanahan telah melanggar prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah terhadap objek bidang tanah yang dipersengketakan.
Tidak bisa juga lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) disalah-gunakan oleh suatu pihak dengan maksud untuk merintangi amar putusan Pengadilan Negeri, bila perkara sengketa kepemilikan atas bidang tanah sebelumnya telah pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa Tata Usaha Negara register Nomor 194 K/TUN/2017 tanggal 9 Mei 2017, perkara antara:
- INDO WARA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat; melawan
I. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN ENREKANG; sebagai Termohon Kasasi I, semula selaku Terggugat; dan
II. ALIAS, selaku Termohon Kasasi II dahulu sebagai Tergugat II Intervensi.
Yang menjadi obyek sengketa adalah Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 81 / Tallu Bamba, tanggal 27-11-2001, seluas 514 M2, atas nama Neneng, yang mana lokasi bidang tanahnya berada ditengah-tengah tanah milik Penggugat.
Lahan tersebut semula adalah tanah negara yang kemudian dibuka dan dijadikan tanah kebun produktif oleh Ambe Wajong bersama isterinya bernama Indo Gati (para orang tua Penggugat) pada tahun 1930-an dan dimiliki seluruhnya selama puluhan tahun lamanya atau hingga tahun 1975 dengan cara bercocok-tanam seperti menanami pohon kelapa, pohon mangga dan lain-lain. Setelah itu lahan tersebut diwarisi oleh Penggugat selaku anak / ahli waris.
Bermula pada tahun 1975 sebelum orang tua Penggugat, orang yang bernama Marang bersama isterinya yang bernama Neneng, datang menemui Indo Gati untuk meminjam sementara sebagian tanah milik Indo Gati untuk ditempati sementara mendirikan rumah panggung, dengan perjanjian lisan apabila pemilik tanah atau ahli warisnya dikemudian hari membutuhkan kebun / perumahan tersebut, akan dikembalikan tanpa syarat-syarat apapun oleh pihak peminjam tanah.
Ketika itu Indo Gati memenuhi permintaan demikian, dengan mengizinkan mereka untuk menempati sementara tanah milik Penggugat dengan luas yang dikuasai oleh Marang / Neneng (suami / isteri) adalah seluas kurang lebih 514 M2, sementara bidang tanah lain di sekitarnya sebagian besar masih dikuasai dan dimiliki oleh Penggugat hingga saat kini. Setelah Marang dan isterinya yang bernama Neneng meninggal dunia, maka tanah seluas 514 M2 tersebut dilanjutkan penguasaannya oleh anaknya (ahli warisnya) bernama Neimar hingga sekarang ini.
Kepercayaan yang diberikan oleh orang tua Penggugat, justru kemudian disalah-gunakan, dimana dengan itikad buruk Neneng memohonkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Enrekang untuk diterbitkan Sertipikat Hak Milik atas nama Neneng, meski tanah tersebut bukan miliknya, karena mereka hanya sebatas meminjam dari Indo Gati untuk numpang sementara mendirikan rumah panggung diatasnya.
Penerbitan sertipikat SHM yang dilakukan oleh Tergugat (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Enrekang) diatas bidang tanah yang merupakan tanah warisan dari orang tua Penggugat, dinilai telah bertentangan dengan norma Pasal 31 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa: Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, dimana penerbitan SHM tersebut juga melanggar penetapan “data fisik” batas-batas bidang tanah yang seharusnya ada persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 17, yang mengatur:
(1) Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan, dan;
(2) Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik, diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.”
Dengan demikian Kantor Pertanahan Kabupaten Enrekang telah melanggar Asas Kecermatan dan Asas Kehati-hatian, oleh sebab seharusnya pihak Kantor Pertanahan bertindak cermat dan berhati-hati dalam menyelidiki apakah permohonan sertipikat yang diajukan terhadapnya dilakukan oleh orang yang benar-benar berhak mengajukannya.
Sementara dalam bantahannya, pihak Tergugat Intervensi selaku pemilik sertifikat hak atas tanah mengajukan sanggahan, bahwa Penggugat tidak pernah menguasai secara fisik objek sengketa dan juga tidak jelas kepemilikannya atas tanah objek sengketa, oleh karena hanya berbatasan dengan tanah objek sengketa sehingga mengklaim tanah objek sengketa adalah miliknya,
Ternyata, sebelumnya para pihak telah bersengketa di Pengadilan Negeri perkara perdata dan telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Enrekang sebagaimana putusan Nomor 10/Pdt.G/2015/PN.Enr tanggal 22 Maret 2016, dimana Penggugat melawan Tergugat II Intervensi, yang amar putusannya menyatakan: “menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya”.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 20/G/2016/PTUN.Mks. tanggal 29 Juni 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatas kemudian dikoreksi tanpa mengubah substansi oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar lewat putusan Nomor 119/B/2016/PT.TUN.MKS. tanggal 17 November 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar:
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum tersebut diatas, bahwa Penggugat / Pembanding tidak dapat membuktikan dalil mengenai perjanjian pinjam tanah secara lisan, dan tanah yang diberikan hak atas tanah dimaksud dalam sertifikat obyek sengketa a quo berasal dari tanah negara dan tanah hak adat, maka mejelis berpendapat bahwa Penggugat / Pembanding tidak dapat membuktikan adanya hubungan hukum dengan tanah dimaksud dalam sertifikat obyek sengketa a quo, oleh karena itu Penggugat / Pembanding tidak mempunyai kepentingan untuk mengajukan gugatan terhadap sertifikat obyek sengketa aquo, dengan demikian eksepsi Tergugat II Intervensi / Terbanding tentang gugatan Penggugat dikualifikatoir, beralasan hukum untuk diterima;
MENGADILI :
1. Menerima permohonan banding dari Penggugat / Pembanding;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Nomor 20/G/2016/PTUN.Mks. tanggal 29 Juni 2016 yang dimohonkan banding tersebut;
“MENGADILI SENDIRI :
DALAM EKSEPSI:
- Menyatakan menerima eksepsi Tergugat II Intervensi / Terbanding tentang gugatan Penggugat diskualifikatoir;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan gugatan Penggugat / Pembanding tidak diterima.”
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa objek bidang tanah Sertifikat Hak Milik No. 81/Tallu Bamba tersebut telah salah lokasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena amar putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar sudah benar, dengan perbaikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa pengujian kebenaran perjanjian pinjam-meminjam tanah bukan kewenangan hakim Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, untuk menguji keabsahan sertifikat objek sengketa terlebih dahulu harus diputuskan oleh Peradilan Perdata, apakah benar orang tua Penggugat meminjamkan tanah kepada Ma’arang dan istrinya bernama Neneng;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: INDO WARA, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: INDO WARA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.