Kerugian Tidak Menuangkan Kesepakatan Pembagian Warisan Tanpa Akta Otentik

LEGAL OPINION
SENGKETA TANAH WARIS, BUKAN KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Question: Bisa tidak, gugat ke PTUN terkait sengketa sertifikat tanah yang semula ada masalah warisan keluarga?
Brief Answer: Selesaikan dahulu sengketa waris antar ahli waris di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, barulah menuntut eksekusi data yuridis sertifikat hak atas tanahnya ke PTUN bila Kantor Pertanahan tidak mengindahkan amar putusan Pengadilan Negeri yang telah membagikan boedel waris pada masing-masing ahli waris yang berhak. PTUN tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa kepemilikan, namun menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
Memang akan tampak kontradiktif, bilamana Anda telah memegang akta otentik berupa Akta Keterangan / Pembagian waris yang dibuat oleh Kepala Desa setempat atau oleh Pejabat Publik lainnya, namun PTUN masih berpendirian bahwa Anda harus terlebih dahulu bersengketa di Pengadilan Negeri, sementara tidak ada satupun ahli waris yang mengajukan gugatan keberatan terhadap Akta Keterangan Waris demikian.
Sekalipun demikian, untuk mengantisipasi kemubaziran, mengingat terdapatnya praktik peradilan yang hidup di PTUN, maka SHIETRA & PARTNERS rekomendasikan mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri / Agama setempat.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah waris register Nomor 155 K/TUN/2017 tanggal 17 April 2017, perkara antara:
- HAJJA MURISNA, AE, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN, selaku Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat.
Adapun yang menjadi Objek Gugatan tiga buah Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama Muhammad Rizal, yang baru Penggugat ketahui eksistensinya pada saat adanya Pengumuman Lelang Eksekusi tanggal 16 Desember 2015 yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Pangkajene dan telah pula dimuat pada surat kabar, sehingga membuat Penggugat merasa kaget dan keberatan terhadap keberadaan Objek Gugatan, bahkan sebelum penetapan lelang eksekusi pernah juga di atas lokasi tanah milik Penggugat dipasang pengumuman bahwa “tanah ini akan dilelang eksekusi oleh Pengadilan Negeri Pangkep”.
Terhadap eksistensi Objek Gugatan, Penggugat mengajukan gugatan sengketa Tata Usaha Negara Makassar untuk memohonkan pembatalan ketiga SHM yang terbitkan diatas tanah milik Penggugat. Asal-muasal tanah milik Penggugat adalah merupakan pembagian tanah warisan dari orang tuanya bernama H. Ambo Empang Dg. Teppo. Almarhum meninggal dunia tanggal 12 Nopember 1980 dan Hajja Haderah almarhumah meninggal dunia tanggal 19 Nopember 1980.
Atas pernikahan almarhum H. Ambo Empang Dg. Teppo dengan isterinya almarhumah Hajja Haderah, lahirlah 9 orang anak / keturunan. Setelah keduanya meninggal dunia, para ahli waris / anak kandung pewaris sebanyak 9 orang secara musyawarah / mufakat telah membuka dan membagi harta warisan mereka secara adil untuk dikuasai dan dimiliki kepada masing-masing ahli waris, termasuk Penggugat, sesuai Berita Acara Pembagian Harta Warisan dan Lampirannya yaitu Daftar Pembagian Warisan, yang ditanda-tangani segenap para ahli waris, bertanggal 13 Desember 1996.
Penggugat mendapatkan bagian warisan berupa sebidang tanah. Namun diatas bidang tanah milik Penggugat tersebut justru kemudian terbit 3 buah SHM yang kini menjadi Objek Sengketa, agar dapat dibatalakan oleh PTUN. Sertipikat-sertipikat Hak Milik tersebut berada ditengah-tengah tanah milik pengugat, oleh karena itu berdasarkan norma Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Penggugat mempunyai kepentingan mengajukan gugatan terhadap Objek Sengketa.
Setelah dibentuknya kesepakatan oleh para ahli waris almarhum H.A.E. Teppo dan Hj.Haderah, maka sembilan orang anak membubuhi tanda-tangannya d atas Berita Acara Pembagian Harta Warisan, maka selanjutnya mereka menguasai dan memiliki sesuai bagiannya masing-masing selama puluhan tahun lamanya, sedangkan tanah bagian warisan milik penggugat adalah bidang tanah yang justru diterbitkan Objek Sengketa oleh Tergugat. Tanah milik Penggugat adalah bagian warisan dan atau milik sah Penggugat, demikian fakta hukumnya.
Setelah Penggugat menerima bagian warisan, suatu waktu Penggugat menyuruh adik kandungnya yang bernama Muh. Rizal, AE, S.E., untuk menjaga dan mengurusi para penyewa tanah milik Penggugat tersebut. Namun Penggugat tidak menyangkan dan atau tidak pernah mengetahui kalau adik kandungnya yang telah diberikan amanah untuk menjaga dan mengawasi tanah milik Penggugat terhadap orang-orang yang menyewa di atasnya, ternyata secara diam-diam telah mengurus Sertipikat Hak Milik mengatas-namakan dirinya atas tanah milik Penggugat, sebab sekiranya Penggugat mengetahui hal tersebut pasti Penggugat keberatan dan tidak mengijinkannya untuk mengurus Sertipikat Hak Milik keatas namanya, dimana yang bersangkutan bukanlah sebagai pemilik atas tanah tersebut.
Senerbitan Sertipikat Hak Milik (Objek Sengeta) yang dilakukan oleh Tergugat (Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pangkep) diatas bidang tanah yang selama ini merupakan tanah milik penggugat sebagai warisan dari orang tuanya, menurut Penggugat merupakan perbuatan melawan hukum, khususnya Pasal 31 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur: “Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai data fisik dan data yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah.”
Penerbitan sertipikat Objek Sengketa melanggar pula penetapan batas-batas tanah yang seharusnya ada persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan, kemudian menempatkan tanda-tanda batas disetiap sudut tanah tersebut, sebagaimana norma Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang mengatur:
(1) Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas disetiap sudut bidang tanah yang bersangkutan dan:
(2) Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.”
Tindakan Kepala Kantor Pertanahan bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (general principle of good governance) khususnya Asas Ketelitian, Asas Kecermatan, Asas Kehati-hatian, serta Asas Kepastian hukum oleh karena seharusnya Tergugat  selaku Kepala Kantor Pertanahan bertindak cermat dan berhati-hati dalam menyelidiki, apakah permohonan sertipikat yang dĂ­ajukan terhadapnya dilakukan oleh orang yang benar-benar berhak mengajukannya.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar kemudian menjatuhkan putusan Nomor 19/G/2016/PTUN.Mks., tanggal 27 Juni 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena substansi yang dipermasalahkan oleh Penggugat menyangkut unsur keperdataan maka salah satu unsur kumulatif dari unsur pengertian sengketa Tata Usaha Negara tidak terpenuhi yaitu unsur sengketa dibidang Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Peratun, sehingga sengketa dalam perkara a quo tidak termasuk kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Peratun;
MENGADILI :
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar lewat putusan Nomor 127/B/2016/PT.TUN.MKS, tanggal 27 Oktober 2016.
Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa akta mengenai pembagian warisan almarhum H. Ambo Empang Dg. Tappo, mengenai pembagian warisan tersebut merupakan kewenangan sepenuhnya almarhum pewaris, dimana hak Penggugat sudah cukup dibuktikan dengan keberadaan akta kesepakatan pembagian warisan yang telah disetujui oleh semua ahli waris, dimana mengikat semua ahli waris. [Note SHIETRA & PARTNERS: Masalahnya, Penggugat tidak menuangkan kesepakatan segenap ahli waris tersebut kedalam Akta Otentik pejabat yang berwenang, sehingga belum memiliki kekuatan hukum mengikat keluar.]
Pihak yang memohon untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah, biasanya selama ini dipersyaratkan secara mutlak adalah bukti Pembayaran Pajak (PBB) terakhir. Terhadap SHM yang diterbitkan pada tanggal 14 Maret 2012, maka mutlak dilampirkan prasyarat berupa bukti pembayaran PBB tahun 2012, padahal yang membayar pajak PBB-nya tahun 2012 adalah pihak Penggugat.
Disamping itu, karena yang menguasasi fisik bidang tanah yang disertipikatkan oleh Tergugat, maka mengapa sertifikat hak atas tanah justru diterbitkan atas nama orang lain? Hal tersebut mengindikaskan prosedur penerbitan sertipikat Objek Sengketa telah jelas melanggar asas kepastian hukum tentang pendaftaran sporadik hak atas atnah sebagai data yuridisnya.
Mengignat data yuridis berupa pihak pembayaran PBB dan data penguasa fisik permohonan pendaftaran hak atas tanah ternyata ‘tidak sesuai dengan fakta empirik yang sebenarnya’, maka sudah sepatutnya Penggugat menuntut agar Objek Sengketa dibatalkan.
Dimana terhadap keberatan yang diajukan Penggugat, meski argumentasinya memiliki bobot logis, oleh sebab dengan adanya surat kesepakatan (dibawah tangan) Pembagian Waris yang tidak pernah digugat oleh pihak ahli waris manapun sehingga nilai kekuatan pembuktiannya sedikit-banyak memiliki daya ikat hukum, disamping adanya cacat prosedural penerbitan sertifikat, secara klise Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa oleh karena masih terdapat permasalahan keperdataan antara Penggugat dan pemegang sertipikat objek sengketa a quo terkait sengketa kewarisan mengenai siapa yang berhak atas tanah dimaksud dalam objek sengketa a quo, maka tidak termasuk kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan pengujian sertipikat objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, terlebih dahulu harus diputuskan masalah keperdataan melalui Peradilan Perdata; [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah kelemahan utama akta dibawah tangan pembagian waris, tanpa dikukuhkan / dituangkan dalam Akta Otentik.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: HAJJA MURISNA, AE, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: HAJJA MURISNA, AE, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.