Keputusan Fiktif-Positif Bernuansa Rezim Fiktif-Negatif

LEGAL OPINION
SIKAP STATUS QUO KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Question: Sekarang katanya bila masyarakat mengajukan perizinan usaha (terkait pelayanan publik) ke instansi pemerintah, tidak juga dapat kabar setelah lama ditunggu-tunggu, itu artinya sudah dikabulkan ya?
Brief Answer: Mulanya, rezim Hukum Tata Usaha Negara menganut asas keputusan “fiktif-negatif”, dalam artian bila terhadap suatu input berupa permohonan warga tidak kunjung mendapat respon output tertulis berupa “mengabulkan”, tidak juga pernyataan “menolak” terhadap permohonan warga tersebut (alias tiada surat keputusan konkret apapun, sehingga diistilahkan sebagai “fiktif”), maka permohonan dimaknai sebagai telah “ditolak” (“negatif”).
Namun rupanya bandul rezim Hukum Administrasi Negara telah bergeser, dimana kemudian pembaharuan Hukum Tata Usaha Negara yang diadopsi ialah asas keputusan “fiktif-positif”, dimana tiadanya suatu surat keputusan pejabat tata usaha negara yang konkret terhadap permohonan pelayanan publik yang diajukan oleh warga, maka sikap diam / pasif demikian dimaknai sebagai “menerima” atau “mengabulkan” permohonan sang warga pemohon (“positif”).
Meski demikian, bandul rezim hukum kembali bergeser seakan tidak mampu berdiri tegak secara mantap pada suatu haluan posisi yang tetap dan mapan. Seakan terdesak oleh rasionalisasi terhadap kendala yang timbul dalam praktik implementasi asas yang diamanatkan undang-undang, Mahkamah Agung RI membentuk sebuah kaedah norma (judge made law), yang menyebutkan bahwa asas “fiktif-positif” demikian tidak terjadi secara otomatis, namun harus terlebih dahulu memenuhi aspek formil-prosedural—yang dengan kata lain condong kepada paradigma “fiktif-positif bernuansa fiktif-negatif”.
Mengapa disebut sebagai asas Tata Usaha Negara yang tidak esensial? Sebabnya karena baik sifat keputusan “fiktif-negatif” maupun “fiktif-positif”, keduanya sama-sama perlu dimintakan konkretisasi asas lewat gugatan ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang mana kini sikap diam / pasif penyelenggara negara tidak lagi dimaknai sebagai telah “menerima” ataupun “mengabulkan” permohonan pemohon (semisal terdapat tahapan prosedural layanan publik yang tidak terpenuhi oleh pemohon), oleh karena lebih tepat disebut sebagai asas keputusan yang bersifat “status quo”.
Pertanyaan dengan logika awam yang sederhana berikut seakan tidak mampu dijawab oleh Mahkamah Agung RI, yakni: Bila memang terdapat syarat atau prasyarat mutlak yang tidak dipenuhi oleh pemohon, mengapa tidak juga segera menerbitkan surat keputusan yang isinya menyatakan “menolak” permohonan pemohon? Mengapa justru membiarkan warga pemohon bertanya-tanya tanpa kepastian? Mau sampai kapan statusnya dibiarkan “mengambang” demikian?
Semangat yang melandasi pembentukan asas “fiktif-positif”, yakni pembuat undang-undang hendak meletakkan beban prestasi bagi pihak penyelenggara negara untuk secara serius melayani publik dan mendorong mereka untuk memberi kepastian hukum serta kepastian tindak-lanjut layanan bagi warga pemohon. Daripada mendiamkan tanpa kepastian, lebih baik segera menerbitkan surat keputusan yang isinya “menolak” permohonan pemohon, disertai alasan penolakan yang tidak ambigu agar dapat segera dipenuhi / dilengkapi oleh pemohon, atau agar pemohon dapat segera mengambil langkah upaya hukum konkret seperti gugatan ke PTUN bila merasa seluruh tahapan prosedural telah dilalui.
Namun pasca digesernya kembali asas Tata Usaha Negara Indonesia kepada rezim “status quo”, mengakibatkan para Aparatur Sipil Negara dapat bertindak sewenang-wenang “diatas angin” dengan membiarkan / mendiamkan / menelantarkan berbagai permohonan warga, dimana warga tidak mendapat kepastian hukum apapun apakah permohonannya telah “diterima” ataukah “ditolak”—alias, status mengambang demikian “menyandera” warga pemohon karena tidak tahu akan dibawa kemana tindak-lanjut permohonannya tersebut.
Pendirian Mahkamah Agung RI demikian dapat menjadi pintu masuk penyalah-gunaan tanggung-jawab jabatan penyelenggara negara, yang setiap waktu dapat berlindung dan bersembunyi dibalik sifat asas “status quo” yang tidak memiliki kejelasan demikian.
Perhatikan pertanyaan hukum yang tidak lagi dapat terhindari, berikut ini sebagai konsekuensi logisnya: Apakah hanya untuk mengetahui apakah permohonan telah dikabulkan atau tidaknya, apakah untuk dapat mengetahui ada kekurangan persyaratan permohonan atau tidaknya, apakah harus lewat cara menggugat ke pengadilan terlebih dahulu, baru penyelenggara negara mau memberi jawaban dan uraian penjelasan?
PEMBAHASAN:
Pasal 1 Angka (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Mempeoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah, menyebutkan:
“Termohon adalah badan dan/atau Pejabat Pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam permohonan dari pemohon.”
Mahkamah Agung RI sejatinya memperkeruh dan membuat blunder yang lebih tidak pasti dalam ranah pelayanan publik di Indonesia. Hukum yang baik, idealnya tidak menyentuh ranah “status quo” (alat perlindungan diri dan justifikasi yang sempurna bagi penyelenggara negara), namun sarat akan penjelasan dan keputusan yang tegas dan eksplisit—hukum yang baik tidak boleh bersifat implisit.
Kaedah yurisprudensi yang kini telah dibakukan sebagai norma hukum bentukan praktik peradilan demikian, SHIETRA & PARTNERS sarikan dari putusan Mahkamah Agung RI sengketa Tata Usaha Negara register Nomor 175 PK/TUN/2016 tanggal 22 Desember 2016, perkara antara:
- KEPALA KANTOR DINAS PERTAMBANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Termohon I; melawan
- PT. COALINDO UTAMA, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon; dan
- KEPALA DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI KABUPATEN BARITO TIMUR, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon II.
Pemohon mengajukan permohonan untuk memperoleh “keputusan penerimaan permohonan terhadap permohonan Pemohon” yang diajukan oleh PT. Coalindo kepada Kepala Kantor Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah (Termohon I), terkait permohonan Pemohon yang diterima Termohon I pada tanggal 22 April 2016 yang belum / tidak ditindak-lanjutinya dengan menerbitkan rekomendasi “clear and clean” atas Izin Usaha Pertambangan PT. Coalindo Utama.
Begitupula terhadap permohonan Pemohon kepada Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barito Timur (Termohon II), mengenai permohonan Pemohon yang diterima oleh Termohon II pada tanggal 21 April 2016 yang belum dan/atau tidak ditindak-lanjuti dengan melegalisasi semua dokumen perijinan PT. Coalindo Utama sebagai syarat untuk diterbitkannya rekomendasi “clear and clean” atas Izin Usaha Pertambangan milik PT. Coalindo Utama—yang mana terhadap kedua permohonan tersebut berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, merupakan kewajiban Termohon I dan Termohon II untuk menindak-lanjutinya permohonan layanan publik yang diajukan warga masyarakat.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Sebenarnya permasalahan hukum yang terjadi ialah sederhana, yakni sikap abai Termohon II untuk melegalisasi berbagai dokumen perizinan yang telah diterbitkan oleh Termohon II sendiri. Tiada alasan logis apapun untuk menolak permohonan legalisasi dokumen perizinan yang diterbitkan oleh instansi pemerintah bersangkutan. Hanya saja, Pemohon secara prematur mendudukkan Termohon I sebagai tergugat dalam perkara ini, yang terbukti akan fatal akibatnya sebagaimana akan kita simak dalam amar putusan Mahkamah Agung nanti pada gilirannya.]
Pemohon merasa sudah memiliki segala izin legalitas, mulai dari Izin Kuasa Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan, Izin Eksplorasi Pertambangan, Izin Operasi Pertambangan, hingga dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Dengan sudah lengkapnya legalitas dan perizinan Pemohon, maka Pemohon berhak mengajukan penerbitan sertifikat clear and clean oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Untuk dapat terbitnya sertifikat clear and clean dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dibutuhkan persyaratan adanya rekomendasi Clear and Clean—yang mana bila sebelum Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan, rekomendasi tersebut diterbitkan oleh Bupati Barito Timur melalui Termohon II, dan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, rekomendasi diterbitkan oleh Gubernur Kalimantan Tengah melalui Termohon I.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemohon sudah berulang kali baik menghadap Termohon I maupun Termohon II agar rekomendasi clear and clean tersebut dapat segera diterbitkan, namun Pemohon selalu di-“pingpong” oleh Termohon I dan Termohon II yang dalam hubungan dengan kewenangan untuk melakukan pengesahan / melegalisir dokumen-dokumen yang diperlukan, terjadi saling lempar-melempar tanggung-jawab kewenangan antara Termohon II dengan Termohon I, dengan dalih / alasan, bahwa pihak Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barito Timur (Termohon II) menyebutkan tidak bisa melegalisir dokumen tersebut karena merupakan kewenangan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah (Termohon I) berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Surat Edaran Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 540/229/DISTAMBEN tanggal 6 Maret 2015.
Sebaliknya, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah (Termohon I) beralasan menyatakan bahwa pihaknya juga tidak bisa melagalisir dokumen-dokumen tersebut dikarenakan belum adanya serah-terima dan pelimpahan dokumen Perizinan C & C IUP atas nama PT. Coalindo Utama dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Barito Timur (Termohon II). Selain daripada itu, baik Termohon I maupun Termohon II menyatakan oleh karena adanya permasalahan tumpang-tindih dengan perizinan PT. Padang Mulia, dimana PT. Padang Mulia telah mengajukan keberatan.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, terjadinya tumpang-tindih perizinan merupakan beban tanggung-jawab Termohon untuk segera mengatasi dan menyelesaikan, bukan justru melimpahkan beban tanggung-jawab demikian terhadap masyarakat.]
Rentetannya, Termohon I menyatakan belum dapat menerbitkan clear and clean sebagai penyebab utama tidak / belum dilegalisasinya semua dokumen Pemohon oleh pihak Termohon II, dan oleh karena adanya permasalahan tumpang-tindih dengan perizinan PT. Padang Mulia. [Note SHIETRA & PARTNERS: Pertanyaannya, mau sampai kapan Pemohon masih harus menunggu tanpa kepastian? Menyikapi permasalahan lempar-melempar kewenangan, adalah bukan urusan Pemohon selaku warga masyarakat. Justru adalah merupakan tanggung-jawab para Termohon selaku instansi pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa internal demikian, sehingga tidak berlarut-larut yang mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik.]
Perihal isu tumpang-tindih dengan perizinan PT. Padang Mulia, sebenarnya telah diselesaikan sejak terbitnya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 606 K/TUN/2015 tanggal 14 Desember 2015, dalam perkara PT. Padang Mulia vs. Bupati Barito Timur atas penciutan keempat atas luasan areal tambang PT. Padang Mulia, yang kesimpulannya : tidak terdapat adanya tumpang-tindih antara areal tambang Pemohon dengan luasan areal tambang PT. Padang Mulia.
Lagipula dengan terjadinya tumpah-tindih perizinan, merupakan cerminan betapa tidak bertanggung-jawabnya pihak Termohon selaku instansi pemegang kewenangan penerbitan izin. Hal kedua, terkait kaitan erat tanggung-jawab antara Termohon I dan Termohon II, karena kedua instansi vertikal tersebut saling melempar tanggung-jawab, maka adalah patut bila keduanya ditarik sebagai Termohon.
Dengan tidak / belum ditindak-lanjutinya permohonan Pemohon, dikaitkan kaedah Pasal 53 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus permohonan tersebut untuk memperoleh keputusan “penerimaan permohonan”.
Terhadap permohonan Pemohon, yang kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangka Raya Nomor 19/P/FP/2016/PTUN.PLK., tanggal 07 Juni 2016, lengkap dengan pertimbangan hukumnya yang cukup bijaksana, sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap dalil Termohon I mengenai tumpang-tindih lahan dengan PT. Batubara Kalimantan dan tumpang-tindih WIUP dengan PT. Padang Mulia, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak Permohonan Pemohon, oleh karena permohonan pemohon adalah sebatas legalisasi dokumen perizinan, dimana dokumen yang dimiliki oleh Pemohon adalah dokumen yang sah dan belum ada surat keputusan tata usaha yang mencabutnya;
“Menimbang bahwa selanjutnya Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila ditemukan tumpang-tindih lahan maupun WIUP dengan pihak lain dan ada pihak lain yang merasa dirugikan kepentingannya, maka untuk menyelesaikan persengketaan yang ada harus diselesaikan dalam mekanisme gugatan di Pengadilan;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan;
2. Mewajibkan kepada Termohon II untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai permohonan pemohon dengan surat permohonan pemohon tertanggal 21 April 2016 dengan melegalisasi semua Dokumen Perijinan PT. Coalindo Utama seluas 315 Ha. di Kabupaten Barito Timur sebagai syarat untuk diterbitkannya rekomendasi clear and clean atas Izin Usaha Pertambangan PT. Coalindo Utama seluas 315 Ha. di Kabupaten Barito Timur oleh Gubernur Kalimantan Tengah melalui Termohon I;
3. Mewajibkan kepada Termohon I untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai permohonan pemohon dengan surat permohonan Pemohon tertanggal 21 April 2016 dengan melakukan legalisasi sendiri atas semua Dokumen Perijinan PT. Coalindo Utama seluas 315 Ha di Kabupaten Barito Timur sebagai syarat untuk diterbitkannya rekomendasi clear and clean atas Izin Usaha Pertambangan PT. Coalindo Utama seluas 315 Ha di Kabupaten Barito Timur dan selanjutnya menerbitkan rekomendasi clear and clean atas Izin Usaha Pertambangan PT. Coalindo Utama seluas 315 Ha di Kabupaten Barito Timur oleh Gubernur Kalimantan Tengah melalui Termohon I.”
Pihak pemerintah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa PTUN jelas nyata-nyata keliru menerapkan hukum, yang semula hanya menekankan dibatasi pada persoalan legalisasi dokumen perizinan. Fokusnya legalisasi. Tidak lebih dan tidak kurang hanya sebatas legalisasi. Tetapi kenyataannya, gugat-permohonan Pemohon juga berisi permohonan “rekomendasi clear and clean” dan bukan semata permohonan “legalisasi dokumen perizinan”.
Bukti surat yang diajukan Pemohon ialah “permohonan clear and clean”, namun yang dijadikan dasar pertimbangan putusan adalah persoalan legalisasi. Dengan tidak dapat membedakan mana yang legalisasi dan mana yang permohonan clear and clean, nyata sekali kekeliruan atau kekhilafannya bahwa putusan PTUN bersifat ambigu. Legalisasi dan permohonan clear and clean merupakan dua hal yang berbeda, sehingga tidak boleh dianggap sama.
Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan Pasal 12 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sebenarnya telah menegaskan siapa yang paling bertanggung-jawab, sehingga tidak sepatutnya lagi mempertontonkan sikap saling melempar tanggung-jawab:
(1) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal atau gubernur terdapat tumpang-tindih WIUP dengan WIUP lain yang sama komoditas, Direktur jenderal atau gubernur melakukan:
a. Penciutan WIUP, apabila sebagian WIUP tumpang-tindih, atau;
b. Penerapan sistem permohonan pertama pencadangan wilayah yang telah memenuhi persyaratan, mendapat prioritas pertama untuk diberikan IUP (first come first served), apabila seluruh WIUP tumpang-tindih;
(2) Dengan memperhatikan asas kemanfaatan, keterbukaan, keadilan, dan kepentingan nasional dan/atau daerah, Direktur Jenderal atau gubernur dapat melakukan penyelesaian lain terhadap IUP yang WIUP-nya tumpang tindih sama komoditasnya.”
Namun yang kemudian menjadi dalil alasan Termohon, PT. Padang Mulia sudah terlebih dahulu mendapat sertifikat clear and clean dari Dirjen Minerba. Tidaklah dibenarkan adanya CnC diatas CnC. Tumpang-tindih WIUP itu dapat dibuktikan dengan adanya Surat Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 250 Tahun 2010 tentang Penciutan Ketiga Luas Wilayah Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Kepada PT. Padang Mulia tanggal 18 Oktober 2010.
Dimana terhadap keberatan yang diajukan pihak pemerintah, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang berakhir secara anti-klimaks, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan, Judex Facti pengadilan tingkat pertama yang putusannya bersifat final dan mengikat (berkekuatan hukum tetap) telah melakukan kekhilafan yang nyata, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa lembaga ‘fiktif-positif’ didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimaksudkan untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas pelayanan yang berdasar hukum, bukan sebaliknya, sehingga dapat mengacaukan esensi kualitas pelayanan publik dengan cara mengabulkan permohonan pemohon yang tidak berdasar hukum melalui celah keterlambatan pejabat melakukan pelayanan;
- Bahwa in casu, permohonan Pemohon (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) dalam fiktif-positif tetap harus dinilai kelengkapan syarat permohonannya, apakah terpenuhi atau tidak, dan dalam hal ini adanya permohonan untuk legalisasi atas dokumen perizinan dan permohonan pernyataan clear and clean, merupakan dua hal yang berbeda, sehingga permohonan mengenai hal tersebut harus dipisahkan;
- Bahwa selain itu, apabila terdapat tumpang-tindih Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan PT. Padang Mulia harus diselesaikan lebih dahulu, dan Direktur Jenderal atau Gubernur dapat menyelesaikannya dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: Kepala Kantor Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah, dan oleh sebab itu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangka Raya Nomor 19/P/FP/2016/PTUN.PLK., tanggal 07 Juni 2016, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: KEPALA KANTOR DINAS PERTAMBANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangka Raya Nomor 19/P/FP/2016/PTUN.PLK., tanggal 07 Juni 2016;
MENGADILI KEMBALI:
- Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Tidak sepatutnya Mahkamah Agung RI menolak seluruh permohonan Pemohon, cukup sekiranya bila permohonan Pemohon dikabulkan sebagian sesuai asas “ex aequo et bono” yang juga diminta Pemohon dalam surat permohonannya, dengan memerintahkan baik Termohon I ataupun Termohon II untuk melegalisasi dokumen-dokumen perizinan milik Pemohon.
Justru karena tidak juga bersedianya pihak Termohon untuk melegalisasi, bahkan saling melempar tanggung-jawab dengan alasan adanya tumpang-tindih perizinan yang bukan urusan Pemohon, maka gugat-permohonan ini diajukan sebagai harapan / opsi terakhir yang masih terbuka. Tidak mungkin gugat-permohonan ini sengaja diajukan bila bukan dilandasi keterpaksaan yang amat sangat dari posisi dilematis Pemohon yang statusnya digantung tanpa kepastian.
Ketika pengadilan justru menutup pintu akses langkah / upaya hukum, sama artinya menutup pintu keadilan menuju kesewenang-wenangan aparatur negara yang lalai dalam menjalankan tugasnya, bahkan dapat menjadi dalil “membentengi diri” yang sangat sempurna.
Bagaimana pun, kekeliruan administrasi sehingga dapat terjadi tumpang-tindih perizinan, merupakan kesalahan internal pribadi instansi vertikal dari Termohon, tidak sepatunya beban kesalahan demikian dilemparkan menjadi beban Pemohon.
Jika Termohon memang menolak permohonan Pemohon, mengapa Termohon tidak menerbitkan surat penolakan sehingga Pemohon dapat mengambil sikap lebih lanjut untuk mengatasinya, mengakibatkan Pemohon untuk justru mencurahkan dan menguras sumber dayanya untuk mengajukan gugatan ini? Apakah putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas membawa sebentuk kemajuan bagi praktik Tata Usaha Negara, atau justru sebaliknya, mengakibatkan kemunduran yang fatal?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.