Kantor Pengacara Dilarang Berbentuk Perseroan Terbatas

ARTIKEL HUKUM
Membaca judul artikel diatas, pastilah sebagian besar kalangan Advokat akan mencibir, mengerutkan kening, atau menganggap bahwa penulisnya tidak memahami hukum korporasi secara baik dan benar. Justru karena itulah, tulisan singkat ini hendak membuktikan bahwa asumsi tidak pernah bersifat empirik tanpa pembuktian—bukti argumen mana akan penulis uraian dalam tulisan sederhana ini untuk meluruskan persepsi yang telah salah-kaprah ditengah masyarakat bahkan ditengah kalangan profesi hukum itu sendiri.
Terdapat pendapat di tengah kalangan profesi Advokat di Tanah Air, bahwa untuk mengamankan diri di tengah profesi mereka sebagai lawyer, agar dapat “bersembunyi” ketika klien yang tidak puas hendak menuntut / menggugat pengacaranya tersebut, yakni dengan cara membentuk kantor hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pandangan yuridis demikian, sama sekali KELIRU, menjadi bukti bahwa Advokat bersangkutan, tidak kompeten dibidang hukum korporasi.
Bukan karena masalah tidak berani menghadapi resiko usaha ataupun tidak berani mempertanggung-jawabkan layanannya kepada sang klien, namun secara yuridis-normatif, keinginan kalangan pengacara untuk membentengi diri dengan cara mendirikan badan hukum Perseroan Terbatas sebagai payung kantor hukum mereka, adalah suatu hal yang mustahil. Lantas, dimanakah letak “salah kaprah”-nya praktik yang selama ini terjadi, dimana berbagai kantor hukum Advokat berbentuk Perseroan Terbatas kian menjamur?
Ambil contoh sebuah surat kuasa khusus untuk menggugat, surat kuasa demikian berisi komponen “pemberi kuasa” dan pihak “penerima” kuasa”. Mari kita bedah satu per satu, agar mampu mejelaskan postulat kemustahilan demikian. Siapakah yang dapat menjadi “pemberi kuasa”? Yakni, bisa perorangan, bisa pula korporasi atau badan hukum lainnya.
Betul bahwa badan hukum merupakan subjek hukum yang manunggal, independen, berdiri sendiri, terpisah dari entitas individu para pendirinya ataupun pengurusnya, memiliki kekayaan sendiri sekalipun pengurusnya silih-berganti, serta dapat digugat dan menggugat (itu juga sebabnya sebuah legal entity seperti badan hukum perseroan dapat berkedudukan sebagai pelapor pidana selaku korban tindak pidana, juga dapat dituntut sebagai terdakwa / pesakitan di meja hijau).
Namun sebuah badan hukum seperti Perseroan Terbatas tidak dapat diberikan Surat Kuasa Khusus. Hanya Firma dan CV yang dapat menerima Surat Kuasa Khusus, oleh sebab Firma maupun CV adalah “badan usaha”, bukan “badan hukum”, sehingga segala yang melekat pada individu pribadi pemilik atau sang pengurus, itulah representasi badan usaha yang bersangkutan. Kekayaan antara pengurus dan badan usaha yang diurusnya, melebur tanpa pemisahan, hingga taraf “tanggung-renteng”.
Badan hukum seperti Perseroan Terbatas, bukanlah Advokat, sekalipun pekerja atau direkturnya seorang Advokat (ingat-ingat pula, hak dan kewajiban Perseroan Terbatas tetap melekat, sekalipun pengurusnya silih-berganti menjadi dikomandoi oleh bukan seorang Advokat), sehingga tidaklah mungkin badan hukum seperti Perseroan Terbatas diberikan Surat Kuasa Khusus untuk menggugat.
Advokat hanya menjadi profesi orang-perorangan, bukan profesi badan hukum. Tidak ada perizinan Advokat untuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas—karena bila ada izin semacam itu, maka seluruh direktur maupun pegawainya tidaklah perlu mendapat sumpah sebagai seorang Advokat ataupun izin beracara, karena sebagai legal mandatory maka konsekuensi logisnya seluruh pegawai dapat beracara dengan memakai izin Advokat Perseroan Terbatas tempatnya bernaung. Rezim hukum Undang-Undang tentang Advokat belum sampai kearah pemberian izin demikian.
Keberatan kedua, bila Surat Kuasa Khusus dapat diberikan kepada badan hukum Perseroan Terbatas, maka para direktur dan pegawainya tidak perlu seorang Advokat. Perseroan Terbatas tersebut bahkan dapat men-sub-kontrakkan Surat Kuasa Khusus yang diperolehnya, untuk kemudian diterbitkan Surat Kuasa Substitusi.
Pertanyaannya, badan hukum Perseroan Terbatas (rechts persoon) yang bukanlah Advokat (ingat, tiada satupun klausul dalam Undang-Undang tentang Advokat yang menyatakan non natuurlijk person dapat diberi izin Advokat), dapat memberikan Kuasa Substitusi kepada pihak lain? Yang tidak berwenang, bagaimana mungkin dapat melimpahkan wewenang delegasi?
Itulah tips, bagi Anda bila sedang menghadapi lawan (entah sebagai penggugat atau sebagai tergugat) yang mana penerima Surat Kuasa-nya ialah badan hukum Perseroan Terbatas. Cukup simak komparasi para pihak dalam Surat Kuasa Khusus tersebut, bila disebutkan “PT. ... sebagai Penerima Kuasa”, maka seketika itu juga ajukan eksepsi di hadapan Majelis Hakim, dengan argumentasi sebagaimana telah SHIETRA & PARTNERS ulas diatas—tentunya dengan mencantumkan nama penulis sebagai bagian dari Hak Moril penulis selaku pencetus argumentasi sebagaimana ulasan artikel ini.
Dalam hukum acara perdata, tidak penting kuasa hukum berasal dari kantor hukum mana, tapi siapa Advokat yang menerima Surat Kuasa bersangkutan. Dengan kata lain, status Advokat melekat pada masing-masing individu, bukan pada kantor yang menjadi tempat mereka bernaung.
Sebagai contoh, separuh penghuni kantor hukum biasanya terdapat paralegal yang tidak memegang lisensi beracara. Pertanyaannya, bila badan hukum Perseroan Terbatas yang diberi merek “PT. ... Law Office” demikian diberikan Surat Kuasa Khusus, artinya para paralegal yang bekerja dibawah naungan Perseroan Terbatas tersebut juga dapat bersidang secara mandiri tanpa dipandu oleh pengacara—lihat bagaimana Mahkamah Agung RI pada medio pertengahan tahun 2018 telah menjatuhkan putusan uji materiil yang pada pokoknya melarang paralegal Lembaga Bantuan Hukum untuk maju bersidang secara mandiri.
Lebih ekstrem lagi, bila badan hukum Perseroan Terbatas memang diperkenankan untuk diberi dan menerima Surat Kuasa Khusus untuk bersifat sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat, maka tidak perlu ada seorang pun advokat yang menjadi pegawai dari badan hukum Perseroan Terbatas tersebut.
Justru karena status dan perizinan Advokat ialah bersifat individual-personal, maka hanya dapat diberikan kepada para “person” (subjek hukum manusia). Sekalipun seorang klien menunjuk sebuah kantor hukum, tetap saja Surat Kuasa Khusus hanya dapat diberikan kepada masing-masing Advokat (meski dalam satu-kesatuan Surat Kuasa) yang bernaung dibawah atap kantor hukum tersebut, minus para paralegal juga minus resepsionis ataupun office boy. Kini, setelah menyimak seluruh rangkaian ulasan, masih adakah yang meragukan kebenaran substansi antara judul artikel dengan batang tubuhnya?
Mengingat izin beracara di persidangan hanya dapat melekat pada pribadi individu per individu, secara personal, maka adalah suatu langkah atau harapan yang percuma, bila seseorang Advokat hendak bersembunyi dan melindungi dirinya dibalik payung Perseroan Terbatas. Sikap demikian justu mencerminkan sikap kerdil Advokat yang bersangkutan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.