Eksekusi Perjanjian Bersama Pekerja & Pengusaha lewat Penetapan Pengadilan, Bukan Berbentuk Gugatan

LEGAL OPINION
TERSANDERA OLEH PERJANJIAN BERSAMA YANG SUMIR (Non-Executable)
Question: Dulu antara para pegawai dan manajemen, pernah ada buat kesepakatan negosiasi dalam perjanjian bersama, dan sudah juga didaftarkan di pengadilan. Kini perusahaan kembali melanggar isi kesepakatan dalam perjanjian bersama yang dulu sudah disepakati. Tindak-lanjutnya yang paling ideal, seperti apa agar tidak kontraproduktif?
Brief Answer: Sebenarnya sudah sangat terbantu sekali keberadaan Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri, karena dapat menjadi instrumen paling efisien sebagai jalur eksekusinya, maka dari itu tidak lagi dibutuhkan gugatan apapun untuk mengeksekusinya, namun cukup berupa permohonan penetapan eksekusi kepada pengadilan dahulu Perjanjian Bersama pernah didaftarkan.
Dengan kata lain, pada saat Perjanjian Bersama secara resmi telah didaftarkan, maka pihak yang kemudian melanggar dapat dieksekusi isi Perjanjian Bersama tersebut secara seketika tanpa perlu menempuh upaya hukum gugatan ataupun formal prosedural seperti perundingan tripartit yang dimediasi oleh Dinas Tenaga Kerja setempat.
Mahkamah Agung RI pernah membuat pendirian, bahwa apabila surat Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan penetapan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Kesepakatan Bersama didaftarkan, sehingga bukanlah dengan cara mengajukan gugatan.
Perjanjian Bersama sangat “sakral”, karena sifat mengikatnya memiliki kekuatan hukum yang setara dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang tidak lagi mampu disimpangi oleh perkara gugatan apapun—sehingga tidak dapat disepelekan saat memutuskan untuk menyepakatinya.
Bayangkan apa yang akan terjadi bila tertib asas dalam hukum acara perdata tidak ditaati, maka antara putusan perkara gugatan dapat tumpang-tindih (overlaping) dengan isi Perjanjian Bersama. Karenanya, perkara yang menyangkut Perjanjian Bersama, tidak lagi dapat diajukan gugatan perdata, namun cukup mengeksekusinya semata.
Yang jarang diketahui oleh masyarakat awam, kerap dijumpai isi Perjanjian Bersama yang sumir sifatnya, yakni tidak memiliki kaedah sanksi untuk dieksekusi bila salah satu pihak melanggar atau tidak mengindahkan isi Perjanjian Bersama.
Semisal Perjanjian Bersama menyepakati agar para Pekerja kembali dipanggil untuk masuk bekerja. Maka bila pihak Pengusaha melanggar, eksekusi berbentuk semacam apa yang dapat diharapkan? Tidaklah mungkin jurusita pengadilan akan setiap harinya mengawal para Pekerja tersebut untuk memasuki lingkungan kantor / pabrik tempatnya bekerja.
Perjanjian Bersama perlu memuat klausul alternatif yang dapat dieksekusi secara real dan secara efektif, semisal bila pihak Pengusaha tidak memanggil masuk bekerja, maka Pekerja berhak atas kompensasi pesangon sejumlah sekian. Perjanjian Bersama yang substansinya sumir, akan menyukarkan posisi hukum pihak Pekerja itu sendiri dikemudian hari untuk eksekusinya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 36 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 22 Februari 2017, perkara antara:
- 10 orang Pekerja, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Penggugat; melawan
- PT. BATARASURA MULIA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Antara Para Penggugat dengan Tergugat pernah mengadakan Kesepakatan Bersama pada tanggal 2 Oktober 2014, yang pada pokoknya kedua belah pihak sepakat, dengan substansi:
1. Untuk menjaga kelangsungan kerja pekerja dan kelangsungan usaha bagi pengusaha, maka perusahaan diberikan kesempatan untuk menjalankan usahanya seperti biasa tanpa ikut campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan mulai tanggal 2 Oktober 2014;
2. Bagi pekerja yang masih menunggu diluar pabrik maka diinformasikan pengaturan mulai bekerjanya paling lambat tanggal 6 Oktober 2014 untuk dipekerjakan kembali;
3. Menyangkut permasalahan kedua belas pekerja yang terkena pengakhiran hubungan kerja, maka akan dibahas lanjutan dengan melibatkan pihak terkait paling lambat tanggal 6 Oktober 2014;
4. Pengusaha membuka ruang yang seluas-luasnya untuk mengkomunikasikan dengan pekerja terkait permasalahan-permasalahan yang ada;
5. Perusahaan berkomitmen untuk menjalankan isi PB yang telah disepakati termasuk tindakan koreksi atas kekeliruan implementasi PB selama ini;
6. Kedua belah pihak sepakat untuk saling mendukung langkah-langkah penyelamatan perusahaan agar perusahaan tetap terus bertahan ditengah kesulitan yang ada, seperti langkah perbaikan yang mendukung efektifitas kerja dan efisiensi kerja.
Kesepakatan Bersama ini dibuat dan disepakati pihak perusahaan dan pihak pekerja. Perjanjian Bersama demikian memiliki kekuatan mengikat berdasarkan norma Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: “Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.”
Kesepakatan Bersama tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung. Akan tetapi dalam implementasinya, Tergugat tidak melaksanakan isi Kesepakatan Bersama yang telah disepakati, khususnya pada klausul: “Bagi pekerja yang masih menunggu di luar pabrik, maka diinformasikan pengaturan mulai bekerjanya paling lambat tanggal 6 Oktober 2014 untuk dipekerjakan kembali.”
Sampai dengan gugatan diajukan tanggal 21 April 2016, Tergugat belum pernah memanggil Para Penggugat untuk dipekerjakan kembali, yang telah diperjanjikan sesuai Kesepakatan Bersama, paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2014, sehingga Tergugat telah melanggar Kesepakatan Bersama.
Sejak Kesepakatan Bersama tanggal 2 Oktober 2014 disepakati, Para Penggugat yang seharusnya dipekerjakan kembali paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2014 sampai dengan gugatan ini diajukan pada tanggal 21 April 2016, belum pernah dipanggil untuk menghadap Tergugat dan atau untuk bekerja selama 18 bulan tanpa ada iktikad baik untuk dipanggil untuk bekerja kembali.
Para Penggugat selama 3 bulan setelah Kesepakatan Bersama, telah mengirim surat tertanggal 13 Januari 2015, menyatakan “siap untuk dipekerjakan kembali”. Akan tetapi, Tergugat menolak untuk mempekerjakan kembali, sehingga Tergugat dengan demikian mengingkari isi Kesepakatan Bersama. Maka berdasarkan norma Pasal 169 Ayat (1) Huruf (d) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
Pekerja / buruh dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: d.) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja / buruh; c.) “Tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih.”
Selanjutnya berdasarkan norma Pasal 169 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja / buruh berhak mendapat Uang Pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Karena disebabkan dilanggarnya Kesepakatan Bersama oleh pihak Tergugat, Para Penggugat dengan demikian berhak mengajukan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja dengan kompensasi pesangon. Selanjutnya tanggal 7 Januari 2015 terbut Surat Anjuran Mediator Dinas Tenaga Kerja, dengan substansi sebagai berikut:
1. Agar pengusaha PT. Batarasura Mulia mempekerjakan kembali Tusiyan, dkk. 79 orang yang nama-namanya disebut dibawah ini (isi dalam lampiran) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengusaha PT. Batarasura Mulia memanggil secara tertulis sdr. Tusiyan, dkk. 79 orang yang nama-namanya tersebut di dalam lampiran (di atas) untuk bekerja kembali paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima Anjuran ini;
b. Pekerja sdr. Tusiyan, dkk. 79 orang yang nama-namanya tersebut pada butir (1) di atas, melapor diri secara tertulis kepada pengusaha PT. Batarasura Mulia untuk bekerja kembali paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima Anjuran ini;
2. Agar pengusaha PT. Batarasura Mulia membayar hak-hak pekerja selama pekerja tidak dipekerjakan;
3. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima Anjuran ini.”
Dikarenakan Tergugat menolak mengindahkan anjuran Disnaker, maka Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial agar hubungan hukum menjadi jelas dan pasti, yakni meminta PHK sekaligus kompensasi pesangon.
Terhadap gugatan para Pekerjan, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 55/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 22 Agustus 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Para Penggugat mendalilkan Tergugat tidak melaksanakan Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Oktober 2014, sehingga sebagai upaya hukum Para Penggugat mengajukan gugatan a quo dan seluruh petitum gugatan a quo didasarkan pada Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Oktober 2014;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat demi tertib hukum dan agar tidak terjadi tumpang tindih perkara a quo, maka upaya hukum terhadap Kesepakatan Bersama atau Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan dan telah mempunyai Akta Bukti Pendaftaran, yaitu sebagaimana Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1 A Khusus, bukan dengan gugatan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka terhadap seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat, dikarenakan seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat didasarkan pada Kesepakatan Bersama tertanggal 2 Oktober 2014 yang telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1 A Khusus dengan Akta Pendaftaran Nomor 1656/BP/2016/PHI/PN.Bdg., Majelis Hakim berpendapat berdasarkan Pasal 7 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, dimana upaya hukum terhadap tidak dilaksanakannya Kesepakatan Bersama tersebut oleh salah satu pihak, adalah permohonan penetapan eksekusi bukan dengan gugatan, maka terhadap seluruh permohonan petitum gugatan Para Penggugat dinyatakan ditolak untuk seluruhnya;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
- Menolak gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.”
Fatalistis karakter putusan demikian tidak terlepas dari sumirnya isi Perjanjian Bersama. Cobalah kita ajukan pertanyaan yuridis berikut, agar tidak terkesan “naif”: Bila pihak Pengusaha menolak mengindahkan isi Perjanjian Bersama perihal memekerjakan kembali para Pekerja-nya, maka seperti apakah bentuk eksekusinya? Itulah yang disebut sebagai Perjanjian Bersama yang sumir. Mengeksekusi agar Pengusaha mau menerima kembali pekerjanya, eksekusi real seperti apa yang rasional?
Ceritanya akan menjadi lain, bilamana Perjanjian Bersama mengakomodasi juga sanksi secara tegas bila isi perjanjian dilanggar, semisal: diberikan hak bagi Pekerja untuk mengajukan PHK dengan kompensasi 2 kali ketentuan pesangon bila Pengusaha melanggar isi Perjanjian Bersama, maka ketentuan sanksi itulah yang dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Para pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, tanpa mau menyadari kelemahan isi Perjanjian Bersama, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 15 September 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 27 September 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa semula Para Pemohon Kasasi menyampaikan pemberitahuan untuk mogok kerja selama 30 hari, akan tetapi mogok kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 4 Kepmenaker Nomor 232/Men/2004 yaitu mogok kerja dapat dilakukan setelah dilakukan perundingan dan gagal. Namun kemudian dicapai kesepakatan bersama antara Termohon Kasasi dan Pemohon Kasasi tanggal 2 Oktober 2014 yang telah didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial Klas IA Khusus Bandung;
- Bahwa apabila Kesepakatan Bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan penetapan eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Kesepakatan Bersama didaftarkan sebagaimana ketentuan Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesain Perselisihan Hubungan Industrial, jadi tidak dengan cara mengajukan gugatan seperti dalam perkara a quo;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi SLAMET RIYADI, dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
 M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. SLAMET RIYADI, 2. SUWANDI, 3. ANDI SUPRIYADI, 4. UKAR, 5. EKO PRIYANTORO, 6. WAHONO, 7. JOKO WARSITO, 8. DODI SURYANTO, 9. RATNO SUMARJI, dan 10. DEDE SUDARYAT tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.