Bermaksud Menolong, Berujung Pidana Penjara

LEGAL OPINION
KEBENARAN HUKUM BERSIFAT KEBENARAN NISBI, AMBIGU YANG DILEMATIS
Question: Jika seorang dihadapkan pada keadaan dilematis, posisinya sukar, semisal pilihannya hanya melanggar hukum atau harus menderita kerugian yang tidak diinginkan, itu bagaimana dari sudut pandang hukumnya? Ada kalanya, keputusan yang cepat harus dibuat.
Brief Answer: Kebenaran terbagi dalam dua kategori, yakni: Kebenaran Nisbi, dan Kebenaran Absolut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang disebut dengan “nisbi” (nis·bi), dimaknai sebagai “hanya terlihat (pasti; terukur) kalau dibandingkan dengan yang lain; dapat begini atau begitu; bergantung kepada orang yang memandang; tidak mutlak; relatif: betapa -- nya moral itu; cantik itu -- , bergantung kepada yang melihat.”
Sementara itu yang disebut dengan perspektif hukum atau sudut pandang yuridis, kebenaran dipandang semata-mata berdasarkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang belum tentu lolos “uji moril”. Sebaliknya, yang dapat dibenarkan oleh “uji moril”, belum tentu dibenarkan oleh hukum negara.
Itulah sebabnya, perspektif hukum dapat juga disebut sebagai perspektif “prosedural” dan persepsi “legalitas”. Dalam satu titik tertentu, momen yang paling krusial ialah ketika “Kebenaran Hukum” berbenturan atau memiliki konflik nilai dengan “Kebenaran Moril”.
Sifat kedua dari “Kebenaran Hukum”, sifatnya sangat tentatif, dalam artian bilamana peraturan perundang-undangan berubah pada suatu ketika, maka apa yang sebelumnya “dilarang” menjadi “dibolehkan”. Berkebalikan dengan itu, “Kebenaran Moril” sifatnya cenderung lebih rigid dan tidak lekang oleh waktu.
Bagaimana bila antara kedua “kebenaran” demikian, pada suatu waktu dapat saling berkonflik? Itulah salah satu anekdot, bahwa kebenaran selalu berwajah ganda dalam kehidupan sosial dalam negara berhukum.
PEMBAHASAN:
Dilematika demikian akan tampak kentara, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Pengadilan Negeri Kediri perkara pidana register Nomor 38/Pid.Sus/2014/PN.Kdr tanggal 10 April 2014, yang menjarat seseorang yang bermaksud hendak menolong, justru dijadikan ‘pesakitan’ karena dianggap melanggar Undang-Undang tentang Kesehatan.
Bermula pada tanggal 07 Desember 2013, terdakwa memasukkan obat jenis Cytoyek ke dalam kemaluan FB dan menyuruh FB minum suatu obat, padahal saat itu FB sedang hamil sehingga mengakibatkan janin yang dikandung FB lahir dalam keadaan meninggal dunia.
Awalnya terdakwa sudah berpacaran dengan FB selama satu tahun dan mereka sudah melakukan hubungan layaknya suami istri sejak bulan Juni 2012. Dari hubungan tersebut FB akhirnya hamil. Tanggal 4 Desember 2013, FB berada di tempat tinggal terdakwa, mengeluh kesakitan di bagian perutnya. Kemudian dari kemaluan FB mengeluarkan darah. Namun tetap saja FB melakukan hubungan badan dengan terdakwa.
Tanggal 6 Desember 2013, FB mengatakan kepada terdakwa bahwa janin yang ada di dalam kandungannya tidak bergerak, selanjutnya terdakwa pamit kepada FB untuk pergi membeli obat cytotek. Tanggal 07 Desember 2013 sekira, FB masih merasakan sakit dan mengeluarkan darah, kemudian terdakwa memberikan FB obat-obatan yang dibelinya, dengan alasan untuk menghilangkan rasa sakit.
Tanggal 07 Desember 2013, FB merasakan sakit yang sangat hebat di perutnya dan mengeluarkan darah secara terus-menerus. Namun karena pendarahan yang dialami FB semakin banyak, akhirnya terdakwa memutuskan membawa FB ke rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, FB diperiksa oleh dokter jaga. Dokter melakukan pertolongan persalinan secara normal kepada FB, akan tetapi ternyata bayi yang dilahirkan FB dalam kondisi sudah meninggal dengan keadaan lebam-lebam di bagian kepala dan perut membesar, terdapat kulit yang mengelupas di bagian kepala, tangan, dan kaki.
Terdakwa mengetahui fungsi obat cytotek tersebut dari keterangan teman terdakwa, dimana fungsi obat cytotek adalah untuk membuka rahim, meski obat Cytotek tidak dijual bebas dan untuk membelinya harus dengan resep dokter.
Adapun maksud tujuan terdakwa memberikan obat cytotek dan sejenis obat lainnya, ialah agar janin yang ada dalam kandungan FB bisa keluar karena pada saat itu FB mengatakan bahwa janin dalam kandungannya tidak bergerak dan mengeluarkan darah terus, sehingga terdakwa simpulkan bahwa janin tersebut sudah meninggal, sehingga terdakwa berniat mengeluarkan janin dalam kandungan FB, agar nyawa FB selamat.
Terdakwa mengetahui, bahwa orang yang bisa memastikan bahwa janin dalam kandungan seseorang dikatakan meninggal adalah dokter atau ahli. Penggunaan obat cytotek yang tidak tepat bisa mengakibatkan kontraksi terus-menerus dan bisa mengakibatkan kematian terhadap janin.
Adapun pada bayi yang meninggal dunia dalam kandungan terjadi perubahan-perubahan, yakni timbul lepuh-lepuh pada kulit, lepuh-lepuh ini mula-mula terisi cairan jernih kemudian menjadi merah, lepuh-lepuh ini akan pecah atau mengelupas sehingga kulit bayi mengelupas dan ini terjadi 48 jam setelah awal mati.
Dalam kasus ini ada korelasi satu sama lain, dimana pemberian obat cytotek dapat menimbulkan kontraksi rahim atau merangsang terjadinya persalinan. Tindakan aborsi terdiri dari dua jenis, yakni:
1. Aborsi Spontan atau alami yang artinya keguguran kandungan yang terjadi dengan sendirinya atau terjadi secara alami;
2. Aborsi Provocatus adalah kesengajaan pengguguran kandungan dan ada dua macam jenis Aborsi Provocatus yaitu:
a. Abortus Provocatus Medikalis yang artinya suatu kesengajaan pengguguran kandungan, indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hdup di luar kandungan.
b. Abortus Provocatus kriminalis yang artinya suatu kesengajaan melakukan pengguguran kandungan yang tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat indikasi kedaruratan medis.
Terhadap dakwaan pihak Jaksa Penuntut, terhadapnya Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan subsideritas, maka Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer sebagaimana diatur dalam Pasal 194 Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 Ayat (2);
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah menunjukkan sikap batin dari pelaku tindak pidana yang mempunyai maksud atau kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut dan juga harus mengetahui akan akibat dari perbuatannya tersebut;
“Menimbang, bahwa menurut Profesor SIMONS, perbuatan menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan telah dipandang sebagai ‘suatu afdrijving’ atau suatu ‘abortus’ (Drs. PAF LAMINTANG, SH, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan Serta Kejahatan Yang Mebahayakan Bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, 1985, hal 76);
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 75 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009, diatur bahwa larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan:
1. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
2. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan;
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 76 Huruf (b) Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata bahwa pada hari Sabtu tanggal 07 Desember 2013 terdakwa telah memasukkan obat jenis Cytotek ke dalam kemaluan FB dan menyuruh FB minum obat seperti minyak ikan warna keemasan, padahal saat itu FB sedang hamil, sehingga mengakibatkan janin yang dikandung FB lahir dalam keadaan meninggal dunia;
“Menimbang, bahwa terdakwa mengetahui fungsi obat cytotek tersebut dari keterangan senior / teman terdakwa, yang mana fungsi obat cytotek adalah untuk membuka rahim. Dan tujuan terdakwa memberikan obat cytotek dan obat seperti minyak ikan warna keemasan tersebut agar janin yang ada dalam kandungan FB bisa keluar karena FB mengatakan bahwa janin dalam kandungannya tidak bergerak dan FB mengeluarkan darah / flek terus sehingga terdakwa simpulkan bahwa janin tersebut sudah meninggal. Kemudian terdakwa berniat mengeluarkan janin dalam kandungan FB agar nyawa FB selamat;
“Menimbang, bahwa obat Cytotek tidak dijual bebas dan untuk membelinya harus dengan resep dokter, dan terdakwa mengetahui kalau orang yang bisa memastikan bahwa janin dalam kandungan seseorang dikatakan meninggal adalah dokter atau ahli;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa sengaja menyuruh FB yang sedang hamil untuk mengkonsumsi obat Cytotek, padahal sebelumnya terdakwa telah mengetahui obat Cytotek dapat merangsang / menimbulkan kontraksi uterus / rahim;
“Bahwa maksud terdakwa menyuruh FB minum obat Cytotek tersebut adalah untuk mengeluarkan janin dalam kandungan FB agar nyawa saksi Fransiska selamat, namun ternyata perbuatan terdakwa tersebut tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat indikasi kedaruratan medis yang sesuai dengan Pasal 75 Ayat 2 dan terdakwa tidak berhak melakukan tindakan aborsi karena terdakwa bukanlah tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
“Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 194 Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer;
“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan primer telah terbukti maka dakwaan subsider tidak perlu dipertimbangkan lagi;
“Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya;
“Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
Keadaan yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan nilai moral dan kesopanan dalam masyarakat;
Keadaan yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa bersikap sopan di persidangan;
- Terdakwa merasa bersalah, menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Tanpa Hak Dengan Sengaja Melakukan Aborsi Yang Tidak Sesuai Dengan Indikasi Kedaruratan Medis’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.