Aspek Hukum Hak Politik Pejabat (Penjahat) Negara

ARTIKEL HUKUM
Ketika Konstitusi Dimaknai Membela Pelaku Korupsi yang Hendak Menjadi Kepada Daerah
Sebenarnya Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya Nomor 72/PUU-X/2012 tertanggal 16 Mei 2013, telah membuat pertimbangan hukum sebagai berikut, sebagai sebentuk norma bentukan Mahkamah Konstitusi:
“Menimbang, bahwa terhadap syarat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf (g) dan Pasal 51 Ayat (1) huruf (g) UU 8/2012 adalah sama dan sebangun dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Menurut Mahkamah, setelah adanya Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, pembentuk Undang-Undang telah melakukan perubahan ataupun perumusan norma sesuai dengan putusan Mahkamah a quo.
Perubahan ataupun perumusan norma baru oleh pembentuk Undang-Undang tersebut termuat dalam Penjalasan Pasal 12 Huruf (g) dan Penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Huruf (g) UU 8/2012 menyatakan, ‘Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.’” [Note SHIETRA & PARTNERS: Silahkan sandingkan dengan bunyi amar putusan Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2015 sebagaimana akan diurai diakhir bahasan.]
Syarat-syarat diatas bagi seorang mantan narapidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan umum, sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, telah secara kumulatif diakomodasi oleh parlemen selaku Lembaga Legislatif ketika melakukan revisi undang-undang yang lebih baru dan menempatkannya dalam penjelasan pasal undang-undang yang dibentuk kemudian oleh pembentuk Undang-Undang, meski Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang bersifat “membuat norma hukum baru” yang bersifat erga omnes (berlaku umum)—maka adalah keliru pula bila disebutkan bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya bersifat internal tanpa mengikat publik.
Semula, perihal ketentuan bagi calon peserta pemilihan umum (pemilu) yang disyaratkan “tidak pernah dipidana”, telah diperiksa dan diputus oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007, dengan substansi pertimbanga hukum sebagai berikut:
“... Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi ‘tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih’ yang tercantum dalam Pasal 12 Huruf (g) dan Pasal 50 Ayat (1) Huruf (g) UU 10/2008 serta Pasal 58 Huruf (f) UU 12/2008, merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.”
Kaedah “norma baru” bentukan Mahkamah Konstitusi RI diatas kemudian diambil-alih oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, yang kemudian diperkuat kembali dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009 tertanggal 20 April 2010, yang diantaranya menyatakan:
“... Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif.”
Berlanjut pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015, “norma hukum baru” bentukan Mahkamah Konstitusi pada tahun-tahun sebelumnya kemudian dipermasalahkan oleh Pemohon Uji Materiil terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015), dimana terhadapnya Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Permasalahan yang harus dijawab adalah bagaimana dengan ketentuan Pasal 7 huruf (g) UU 8/2015 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon? Menurut Mahkamah, UU 8/2015 sebenarnya sudah mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009, akan tetapi hal itu tidak diatur dalam norma Pasal 7 Huruf (g), melainkan diatur dalam Penjelasan Pasal 7 Huruf (g) Undang-Undang a quo, sehingga antara Pasal 7 Huruf (g) dengan penjelasan Pasal 7 Huruf (g) terdapat pertentangan, yaitu norma Pasal 7 Huruf (g) melarang mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, namun Penjelasan Pasal 7 Huruf (g) membolehkan mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota.
“Padahal, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2005 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-III/2005 tertanggal 19 Oktober 2005, antara lain menyatakan bahwa penjelasan pasal dari satu Undang-Undang tidak boleh membuat norma baru yang justru mengaburkan makna dari norma yang terdapat dalam pasal tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah terdapat pertentangan antara Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 dengan penjelasan pasalnya.
“Bahwa dalam Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 menentukan, ‘tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.’ Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
“Ketika Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Hal ini sebangun dengan ketentuan Pasal 35 Ayat (1) Angka (3) KUHP bahwa terpidana dapat dicabut ‘hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum’.
“Perbedaannya adalah, jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang, sedangkan hak-hak politik yang dicabut dari terpidana berdasarkan Pasal 35 Ayat (1) Angka (3) KUHP dilakukan dengan putusan hakim.
“Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD RI 1945;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, menurut Mahkamah Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 harus ditafsir sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009 dan menjadikan Penjelasan Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015 menjadi bagian dari norma Pasal 7 Huruf (g) UU 8/2015, agar tidak terjadi pertentangan antara norma dan penjelasannya.
“Bahwa, Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009, telah menentukan syarat bagi seseorang yang akan mengisi jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan;
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
“Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 7 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
1.2. Pasal 7 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak mempunya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
1.3. Penjelasan Pasal 7 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.4. Penjelasan Pasal 7 Huruf (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.5. Pasal 45 Ayat (2) Huruf (k) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.6. Pasal 45 Ayat (2) Huruf (k) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,”
Terlepas dari apapun polemik dan kontroversi diseputarnya, adalah menarik untuk kita kritisi pernyataan Mahkamah Konstitusi tahun 2015, dalam pertimbangan hukumnya yang menyebutkan bahwa: “pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-Undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD RI 1945.”
Pertanyaannya, bukankah Mahkamah Konstitusi sendiri yang telah menyatakan bahwa limitasi yang diatur dalam norma undang-undang terkait calon peserta Pemilu Kepala Daerah, hanyalah bersifat “semata-mata persyaratan administratif”? Menjadi pertanyaan retorika sekaligus dialektik-antitesis, apakah “pembatasan-pembatasan” bukan merupakan sebentuk cara-cara untuk “mencabut” hak pilih? Lantas, dimana korelasinya dengan pernyataan “semata-mata persyaratan administratif”?
Hal kedua yang lebih menimbulkan polemik tak berkesudahan akibat tidak taat-asas Majelis Hakim Konstitusi RI tahun 2015, disebutkan bahwa pencabutan / pembatasan hak politik hanya dapat dicabut oleh vonis hakim berupa “pidana tambahan” putusan perkara pidana. Namun mengapa kita lupa, kewenangan demikian diberikan kepada hakim pemutus berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana KUHP itu sendiri adalah “undang-undang” yang sederajat dengan undang-undang lainnya—alias tidak lebih tinggi derajatnya dengan Undang-Undang tentang Pemilu Kepala Daerah yang justru merupakan lex spesialis dari KUHP.
Jika parlemen selaku pembentuk undang-undang dapat memberi kewengan demikian bagi kalangan hakim, pertanyaan logika yang tidak dapat kita hindari ialah: mengapa kemudian pembentuk undang-undang tidak dibolehkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk membuat undang-undang yang lebih baru dan lebih spesialis sifatnya dari KUHP?
Hal ketiga yang jauh lebih bebahaya, meski segelintir pihak yang menyadarinya, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015 tersebut, hanya mencabut hak politik mantan terpidana yang tidak “secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Kita telah menyimak dalam uraian sebelumnya diatas, bahwa terdapat 4 buah syarat kumulatif bilamana pencabutan / pembatasan hak politik demikian tidak diberlakukan bagi seorang mantan terpidana, namun kini Mahkamah Konstitusi yang diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim tahun 2015, menyimpangi preseden putusan Mahkamah Konstitusi yang ada sebelumnya, dengan menjadikan limitasi 4 syarat menjadi hanya sebatas 1 buah syarat semata.
Sebagai kesimpulan, Mahkamah Konstitusi tahun 2015, telah melakukan praktik pelanggaran asas larangan “nebis in idem”. Alih-alih sebagai “pengawal konstitusi / the guardian of constitution”, Mahkamah Konstitusi RI tahun 2015 justru menampilkan wajah “pelanggar konstitusi”, dengan menafikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi warisan sebelumnya yang telah merupakan yurisprudensi tetap.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.