Ambivalensi Luka Berat akibat Penganiayaan

LEGAL OPINION
PIDANA ANAK NAKAL 1/2 MAKSIMUM ANCAMAN PENJARA ORANG DEWASA
Question: Itu gimana cara hitungnya, hukum pidananya, bila yang dijadikan terdakwa ialah seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah? Jika si anak berkelahi dengan teman-temannya, memakai sebilah belati, bila korbannya terluka meski tidak tewas, itu pidananya bagaimana?
Brief Answer: Perihal ancaman sanksi hukuman pidana maksimum terhadap anak, berlaku norma Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang telah menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa.
Memang, baru akan menjadi membingungkan, bila seandainya seorang anak dibawah umur melanggar delik pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki ancaman pidana penjara seumur hidup, atau bahkan vonis hukuman mati, maka bagaimanakah cara menghitung separuh (1/2) dari ancaman vonis sanksi pidana demikian?
Namun tidak pernah dijumpai dalam praktik peradilan adanya pelaku pembunuhan berencana atau bandar obat bius yang berlatar belakang anak dibawah umur, sehingga hanya menjadi sebatas wacana, walau kecenderungan usia kedewasaan kian relatif dari segi ilmu psikologi maupun ilmu biologi-genetik.
Terlepas dari hal tersebut, praktik peradilan selama ini cenderung berlaku “lembek” terhadap seorang Terdakwa Anak, meskipun perbuatan pidana yang dilakuakn oleh sang Terdakwa Anak tergolong kejam dan mengancam korban jiwa karena terkait aksi kriminalitas disertai penggunaan senjata tajam.
Satu hal yang menarik—sekaligus ironi—ialah perihal ketentuan “luka berat”. Semisal pelaku memakai senjata tajam sekalipun, meski sang korban terkena tusukan namun dapat pulih karena daya metabolisme tubuhnya tinggi dan mendapat penanganan medis yang segera secara memadai, maka pelaku hanya dikenakan pidana “penganiayaan ringan”, alih-alih divonis sebagai “penganiayaan yang mengakibatkan luka berat”.
Sebaliknya, bila korbannya bertubuh lemah dan tidak memiliki kemampuan menghindari dari serangan / tikaman senjata tajam, yang membuat sang korban tewas ditempat akibat senjata tajam tersebut, maka sang pelaku dapat didakwa telah melakukan “penganiayaan yang mengakibatkan luka berat” atau bahwa divonis sebagai seorang “pembunuh”.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin faktor eksternal (diluar diri niat batin maupun perilaku pelaku) seperti faktor kondisi dari korbannya (semisal tingkat keparahan luka maupun dapat atau tidaknya korban membela diri dari serangan), menjadi penentu berat atau ringannya pelanggaran pidana yang dilakukan oleh si pelaku.
Semestinya, idealnya, delik ditentukan dari potensi ancaman yang secara nyata ditampilkan oleh si pelaku, terlepas apapun “variabel bebas”-nya, “variabel terikat”-nya ada pada niat batin (mens rea) dan perilaku (actus reus) si pelaku. Senjata tajam dan senjata api secara nature bersifat mematikan dan dapat membunuh, terlepas korbannya mampu selamat atau tidak dari kondisi kritis.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Pengadilan Negeri Bulukumba perkara pidana dengan pelaku anak register Nomor 65/Pid.B/2013/PN.BLK. tanggal 11 Juni 2013, dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Hakim Tunggal Pengadilan Khusus Anak membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan Terdakwa, dihubungkan dengan bukti surat Visum Et Revertum yang dihadirkan di persidangan, maka diperoleh fakta-fakta hukum yang pada pokoknya:
- Bahwa pada tanggal 14 April 2013 sekitar jam 01.30 WITA, bertempat di ... , terdakwa sedang bertengkar mulut dengan seseorang dan hal itu dilihat oleh saksi (korban) Andi dan saksi Condeng;
- Bahwa terdakwa yang emosi terhadap saksi korban Andi dan saksi Condeng, seketika membuka jok motornya dan mengambil sebilah pisau lalu mengejar saksi Andi;
- Bahwa saksi korban Andi berusaha lari menjauhi terdakwa, namun terdakwa yang terus mengejar saksi korban, berhasil manikamkan pisaunya;
- Bahwa akibat itu saksi korban Andi dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah H. Andi Sulthan Daeng Radja Kabupaten Bulukumba untuk mendapat pertolongan dan dirawat lebih intens, dan sebagaimana Visum Et Repertum Nomor ... , dengan hasil pemeriksaan terhadap saksi korban Andi:
- Luka tusuk pada punggung belakang, panjang satu koma lima centimeter, dalam satu koma lima centimeter;
- Luka tusuk pada bawah ketiak kiri mengarah belakang, panjang satu koma lima centimeter, dalam enam centimeter;
- Luka lecet pada lengan kiri;
- Luka lecet pada telapak tangan kanan;
- Luka lecet pada betis kiri;
- Luka lecet pada punggung kaki kiri;
- Luka lecet pada punggung kaki kanan;
Dengan kesimpulan: luka tersebut akibat benda tumpul dan benda tajam;
- Bahwa terdakwa lahir pada tanggal 18 Juli 1995 dan belum pernah kawin;
“Menimbang, bahwa selanjutnya apakah Terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum? Maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan pasal dakwaan primair Penuntut Umum, yakni terhadap Pasal 351 Ayat (2) KUHPidana dengan unsur dan uraian yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Unsur barangsiapa;
Menimbang, bahwa orang yang dihadapkan di persidangan perkara ini identitas terdakwa adalah Terdakwa Anak;
2. Unsur melakukan penganiayaan;
“Menimbang, bahwa sebelum menguraikan fakta yang menjadi dasar untuk membuktikan unsur ini, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan menguraikan arti kata unsur tesebut sehingga menjadi terang maknanya;
“Menimbang, bahwa arti dari ‘penganiayaan’ menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah ‘dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau luka, dan termasuk dalam pengertian ini adalah sengaja merusak kesehatan seseorang’;
“Menimbang, bahwa kesengajaan dapat dirumuskan sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak;
“Bahwa saksi korban Andi berusaha lari menjauhi terdakwa, namun terdakwa yang terus mengejar saksi korban berhasil manikamkan pisaunya dari belakang dan mengenai punggung saksi korban sehingga saksi korban jatuh tersungkur ke jalan;
“Bahwa ketika saksi korban berusaha berdiri membalikkan badannya, terdakwa kembali menikamkan pisaunya dan mengenai tubuh bagian bawah ketiak kiri saksi korban Andi;
“Menimbang, bahwa ketika itu teman-teman saksi korban berdatangan mendekat, selanjutnya terdakwa kabur meninggalkan lokasi tersebut dan membuang sebilah pisau yang baru saja ia gunakan menusuk saksi korban;
“Dan berdasarkan uraian tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat unsur kedua ini telah terpenuhi;
3. Unsur berakibat luka berat;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud luka berat dalam unsur ini adalah hanya sebagai akibat daripada penganiayaan tersebut;
“Menimbang, bahwa sebagaimana Pasal 90 KUHPidana, luka berat berarti:
1. Penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. Dimana bahwa luka atau sakit yang bagaimanapun besarnya, apabila masih dapat disembuhkan dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut, tidak dapat digolongkan sebagai luka berat;
2. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian. Dimana apabila keadaan tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian itu hanya bersifat sementara, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai luka berat;
3 Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indera. Pancaindera ialah penglihatan, penciuman, pendengaran, apa yang dirasakan oleh lidah dan rasa yang terdapat di seluruh tubuh. Dimana orang yang menjadi buta sebelah matanya atau tuli sebelah telinganya, belum dapat dikategorikan dengan luka berat, karena dengan mata yang lain ia masih dapat melihat atau dengan telinga yang lain ia masih dapat mendengar; [Note SHIETRA & PARTNERS: Selama ini mungkin warga masyarakat berasumsi bahwa teori hukum pidana maupun peraturan perundang-undangan bersifat ideal. Namun, siapa yang rela menjadi korban kehilangan separuh indera penglihatannya, dan dianggap sebagai luka ringan?]
4. Mendapat cacat besat. Dimana keadaan perubahan tubuh menjadi buruk karena rusak anggota tubuhnya, seperti hidungnya romping atau seluruh jari tangan yang membusuk dan sebagainya;
5. Lumpuh. Dimana seseorang tidak dapat lagi menggerakkan anggota tubuhnya;
6. Tidak sempurna akal (tenaga faham) lebih lama dari empat minggu. Dimana akal fikiran terganggu, tidak dapat berfikir dengan normal, yang berjalan / berlangsung selama lebih dari empat minggu. Dan apabila berlangsung kurang dari empat minggu, belumlah dapat dikatakan luka berat;
7. Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.
“Menimbang bahwa dalam perkara ini saksi (korban) Andi dirawat selama sekitar 5 (lima) hari di Rumah Sakit Umum Daerah Bulukumba. Dan sekitar 15 (lima belas) hari sejak peristiwa penikaman tersebut saksi (korban) Andi sudah kembali mengikuti aktifitas perkuliahan di Kota Makassar hingga sekarang. Dimana kini kondisi kesehatan saksi (korban) Andi sudah mulai pulih;
“Dan berdasarkan uraian tersebut diatas, Hakim berpendapat unsur ketiga ini tidak terpenuhi; [Note SHIETRA & PARTNERS: Ditikam senjata tajam dan hampir merenggut nyawa, dikatakan sebagai “bukan luka berat” oleh Hakim. Bandingkan dengan kasus seorang korban yang karena mampu bela-diri, maka dirinya hanya menderita luka lecet di kulit tangan, dengan korban yang tidak mampu memberi perlawanan sehingga tewas seketika oleh senjata tajam yang sama. Senjata tajam, ialah untuk membunuh atau dapat mematikan, dan dengan teori ‘kesengajaan sebagai kemungkinan’, seharunys luka berat atau tidaknya bukan dilihat dari sudut pandang kondisi korban, namun dari ancaman nyata perbuatan pelaku yang berpotensi mematikan.]
“Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dalam dakwaan primair Penuntut Umum tidak terpenuhi, sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan primair tersebut;
“Menimbang, bahwa selanjutnya apakah Terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsidair Penuntut Umum, maka Hakim akan mempertimbangkan Pasal 351 ayat (1) KUHPidana, dengan unsur yang pada pokoknya sebagai berikut: barangsiapa melakukan penganiayaan;
“Menimbang, bahwa oleh karena unsur ‘barang siapa’ dan unsur ‘penganiayaan’ telah diuraikan sebagaimana uraian unsur kesatu dan kedua dalam pasal dakwaan primair, dan oleh Hakim telah kedua unsur tersebut telah dinyatakan terpenuhi pada diri dan perbuatan Terdakwa, maka untuk menguraikan unsur ini Hakim cukup menyatakan mengambil alih seluruh uraian unsur sebagaimana pasal dakwaan primair diatas;
“Dan berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat unsur ‘barangsiapa melakukan penganiayaan’ ini telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana uraian tersebut di atas maka seluruh unsur Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi pada diri dan perbuatan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi pada diri dan perbuatan Terdakwa, sehingga Hakim berpendirian bahwa Terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum tersebut, yang kualifikasinya akan disebutkan sebagaimana dalam amar putusan ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Akta Kelahiran Warga Negara Indonesia Nomor ... , terdakwa Terdakwa Anak lahir tanggal 18 Juli 1995 dan hingga kini belum pernah kawin;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan ‘Anak’ berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
“Sedangkan dalam Pasal 1 Angka (2), yang dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian diatas, dimana Terdakwa melakukan suatu tindak pidana, telah berumur lebih dari 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, sehingga Terdakwa dalam perkara ini adalah ‘anak’, berdasarkan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
“Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana dinyatakan bahwa ‘penganiayaan’ dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
“Menimbang, bahwa dalam surat tuntutan pidananya Penuntut Umum menuntut agar Terdakwa dijatuhi dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan;
“Menimbang, bahwa Pembimbing Kemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bulukumba dalam laporan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukannya merekomendasikan sebaiknya terdakwa diberikan tindakan dengan mengembalikan kepada orang-tuanya untuk dididik dan dibina secara kekeluargaan dengan memperhatikan Pasal 24 Ayat (1) huruf (a) Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997;
“Menimbang, bahwa dalam laporan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bulukumba, didapati bahwa di lingkungan masyarakat sekitar merasa khawatir dan cemas atas perbuatan terdakwa sebagaimana dalam perkara ini;
“Bahwa melalui laporan Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Bulukumba tersebut, bahwa orang tua terdakwa dan keluarga mereka selama ini telah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap terdakwa namun terdakwa kadang tidak mendengarkan nasehat orang tuanya, namun demikian orang tua terdakwa mengharapkan anaknya diberi keringanan hukuman;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terhadap Terdakwa haruslah dijatuhi pidana atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Yang kemudian dalam Ayat (2) lebih lanjut dinyatakan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan ialah pidana penjara, kurungan, denda, atau pengawasan;
“Menimbang, bahwa dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mana menentukan bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama adalah ½ (satu per dua) dari maksimum pidana penjara bagi orang dewasa;
“Menimbang, ... Hak Asasi Anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dan dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian sebagaimana diatas maka dalam perkara ini Hakim berpendapat bahwa pidana yang patut dijatuhkan kepada Terdakwa dalam perkara ini adalah pidana pokok berupa pidana penjara, sebagaimana Pasal 23 Ayat (1) s/d. (3) Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, namun demikian Hakim memandang adalah patut apabila memberikan hukuman yang lebih ringan namun tetap memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk tetap dapat berkembang yang merupakan bagian dari hak asasi manusia;
“Menimbang, bahwa mengenai pemidanaan terhadap Terdakwa bukanlah semata-mata sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukannya, melainkan pemidanaan lebih sebagai upaya pendidikan yuridis, intelektual dan moral untuk menyadarkan Terdakwa agar menyesali perbuatannya dan tidak melakukan tindak pidana serupa maupun tindak pidana lainnya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang lebih baik, patuh dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat;
“Menimbang, bahwa sebelum Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Terdakwa, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa telah meresahkan, dengan berbuat melampaui batas kepatutan dan menimbulkan kerugian dan potensi bahaya bagi orang lain;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa berterus terang, mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan lagi melakukan perbuatan pidana;
- Terdakwa masih muda dan diharapkan dikemudian hari masih luas kesempatan untuk dapat menginsyafi dan memperbaiki perilakunya;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa Terdakwa Anak tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primair terhadap Pasal 351 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa Terdakwa Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Penganiayaan’ sebagaimana dakwaan subsidair terhadap Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
5. Memerintahkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa diperhitungkan dan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.