Resiko Hukum Menyewakan Bangunan SHGB yang Akan Habis Masa Berlakunya

LEGAL OPINION
Hak Guna Bangunan adalah Quasi Hak Milik
Question: Beberapa tahun lagi HGB gudang saya akan habis. Ada pihak yang mau menyewa gudang saya itu untuk masa sewa yang panjang. Baiknya bagaimana, apa tidak ada resiko bila diizinkan menyewa meski HGB sudah mau akan berakhir sisa masa berlakunya?

Brief Answer: Idealnya, ketika masa berlaku Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) akan berakhir, hubungan sewa-menyewa diputus, atau diperhitungkan sejak awal membuat ikatan sewa-menyewa dengan penyewa bangunan / gedung. Setelah perpanjangan / pembaharuan SHGB telah didapatkan, barulah sewa-menyewa dapat dibuat kembali.
Sebab, ketika HGB habis masa berlakunya, sementara objek fisik bidang tanah / bangunan masih dikuasai pihak penghuni (dalam hal ini penyewa), maka dikhawatirkan pihak penghuni tersebut akan mengajukan hak atas tanah sementara SHGB belum mendapat perpanjangan hak ataupun pembaharuan hak atas tanah.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS menjadikan cerminan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sengketa tanah register Nomor 527/PDT.G/2013/PN.JKT.PST. tanggal 08 Juli 2014, perkara antara:
- PT. PERUSAHAAN PERDAGANGAN PERINDUSTRIAN DAN PEMBANGUNAN (PT. OEI), sebagai Penggugat; melawan
1. AHLI WARIS LIEM TOENG LIN, selaku Tergugat; dan
2. KANTOR PERTANAHAN JAKARTA PUSAT, selaku Turut Tergugat.
Objek tanah yang disengketakan dalam perkara ini berdiri diatas tanah bekas Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), akan tetapi masa berlaku haknya telah habis sejak tanggal 23 September 1980, sehingga tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara—demikian dalil Tergugat maupun pihak Kantor Pertanahan. Namun, apakah yang kemudian menjadi pertimbangan hukum pengadilan?
Semula, objek tanah milik Penggugat tersebut, tanpa sepengetahuan serta tanpa seijin Penggugat (PT. OEI) sebagai pemegang HGB, Tergugat telah menguasai atau bermaksud hendak menguasai tanah HGB tersebut. Indikasi demikian secara nyata dan objektif serta konkrit, telah dilakukan Tergugat dalam bentuk tindakan berupa pengajuan permintaan pengukuran persil atas objek tanah SHGB kepada Turut Tergugat (Kantor Pertanahan Jakarta Pusat) yang telah menjadi Surat Ukur tertanggal 1 Oktober 2013.
Ternyata, permohonan pengukuran persil yang diajukan Tergugat kepada Turut Tergugat, mendapat respon dan pelayanan dari Turut Tergugat. Meskipun, Penggugat telah mengingatkan Turut Tergugat sehubungan dengan permintaan pengukuran persil dimaksud, lewat surat perihal: Keberatan atas proses pengajuan Pengukuran persil diatas SHGB No. 51 / Kebon Kelapa.
Hingga kini, proses pengukuran atas sebagian tanah SHGB No. 51 milik Penggugat, telah menjadi Surat Ukur. Berarti tindakan perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan Tergugat dan Turut Tergugat atas penguasaan tanah milik Penggugat secara tanpa hak dan secara melawan hukum, masih berlanjut. Sehingga, tidak ada jalan lain bagi Penggugat untuk mempertahankan hak dan kepentingannya, selain daripada mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Objek SHGB diperoleh Penggugat (PT. OEI) pada tanggal 28 Desember 1963 yang merupakan Konversi dari Eigendom Verponding. Tanah yang disengketakan dalam perkara ini, tidak pernah dipindah-tangankan kepada siapapun, termasuk kepada Tergugat baik dalam bentuk jual-beli, tukar-menukar maupun dalam bentuk hibah.
Memang benar, bahwa masa berlaku SHGB No. 51 adalah 20 tahun, sehingga hak itu berakhir pada 23 September 1980. Namun Penggugat pada tanggal 23 September 1980 telah mengajukan perpanjangan atau pembaharuan hak, sehingga menjaid bukti bahwa objek tanah tidak dalam kondisi terlantar. Akan tetapi sampai sekarang, tanpa suatu penjelasan apapun dari pihak yang berwenang, tidak pernah diberikan jawaban dan penjelasan dalam bentuk apapun.
Sampai saat ini, tanah terperkara tidak pernah diambil dan dipergunakan oleh pemerintah maupun instansi pemerintahan manapun untuk dijadikan proyek pembangunan bagi penyelenggaran kepentingan umum, sehingga masih tetap melekat kepemilikan Penggugat atas SHGB No. 51 dimaksud.
Selain masih melekat hak kepemilikan Penggugat atas tanh SHGB No. 51, Penggugat juga mempunyai “HAK PRIORITAS” (Priority Rights) untuk mendapat hak baru atasnya dari siapapun juga. Yang dapat mengesampingkan “hak prioritas” Penggugat atas tanah tersebut, hanya apabila tanah itu diambil dan “diperlukan untuk proyek pembangunan bagi penyelenggaran kepentingan umum”.
Bertitik tolak dari fakta hukum demikian, hak kepemilikan maupun hak prioritas Penggugat untuk memperoleh hak baru atas objek tanah eks-HGB, tidak dapat digoyahkan dan disingkirkan oleh pihak manapun, kecuali apabila dipergunakan untuk membangun proyek kepentingan umum.
Adapun hubungan hukum (rechtsverhoveding) antara Penggugat dengan Tergugat atas tanah terperkara, adalah sebatas hubungan sewa-menyewa pemakaian tanah, meski bentuk hubungan perjanjian sewa-menyewa dilakukan secara lisan. Jika bukan karena perjanjian pemakaian tanah secara lisan, maka dapat diartikan bahwa selama ini Tergugat telah menyerobot tanah hak milik Penggugat.
Status yang dimiliki Tergugat diatas tanah terperkara hanyalah sebatas “HAK SEWA”. Ikatan perjanjian sewa-menyewa yang berbentuk lisan bermula antara Penggugat dengan ayah Tergugat yang bernama LIEM TOENG LIN pada tahun 1947. Setelah Liem Toeng Lin meninggal, hubungan sewa-menyewa tersebut dilanjutkan oleh Tergugat yang berstatus sebagai “anak” atau “ahli waris” dari Liem Toeng Lin selaku penyewa.
Terhutang sejak tahun 1981, Tergugat “ingkar janji” (wanprestasi) untuk membayar sewa diatas dan atas keingkaran itu Penggugat telah menegur dan memperingatkan Tergugat. Akan tetapi teguran dan peringatan Penggugat itu tidak ditanggapi Tergugat, dikarenakan SHGB habis masa berlaku pada tahun 1980.
Selanjutnya, Tergugat menguasai objek tanah, bahkan lebih ekstrim lagi yakni dalam bentuk mengajukan permohonan Pengukuran Persil kepada Turut Tergugat. Sementara merujuk norma Pasal 1967 KUHPerdata, maka gugatan yang diajukan Penggugat belum melampaui jangka waktu 30 tahun, sehingga hak gugat belumlah kadaluarsa (verjaring).
Hal itu terjadi karena adanya “pencegahan kadaluarsa” (stuiting, interruption) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1989 jo. Pasal 1979 KUHPerdata, oleh sebab adanya surat peringatan tanggal 2 Januari 1987. Berarti, dengan adanya pernyataan tanggal 2 Januari 1987 dikaitkan dengan pengajuan gugatan pada tanggal 21 November 2013, berarti pengajuan gugatan yang diajukan Penggugat adalah 26 tahun, Dengan demikian, belum melampaui jangka waktu 30 tahun sebagaimana yang ditentukan Pasal 1967 KUH Perdata.
Tanggal 1 Oktober 2013, diterbikan Surat Ukur oleh Turut Tergugat untuk kepentingan Tergugat, yang secara “tanpa hak” (zonderrecht) dan tanpa setahu atau tanpa seizin Penggugat, selaku pemilik bidang tanah dan sekaligus sebagai pihak yang menyewakan kepada Tergugat.
Tujuan Tergugat mengajukan permintaan pengukuran persil tersebut adalah dalam rangka untuk memperoleh status hak atas tanah, padahal Tergugat mengetahui atau patut mengetahui, objek tanah adalah milik Penggugat, dimana kedudukan hukum Tergugat berada diatasnya adalah berstatus sebagai penyewa semata.
Terhadap Permohonan Pengukuran yang diajukan Tergugat, Turut Tergugat justru merespon dan melayaninya, meskipun Penggugat telah mengingatkan Turut Tergugat terhadap SHGB yang dimiliki Penggugat. Dengan demikian terdapat keberatan atas proses pengajuan pengukuran persil diatas SHGB dimaksud.
Teguran dan peringatan yang Penggugat sampaikan kepada Turut Tergugat, memang ditanggapi dengan Surat, namun respon yang diberikan antara lain berisi argumentasi yang menyatakan, bahwa tanah terperkara atau tanah objek yang dipermasalahkan Penggugat “BERSTATUS TANAH NEGARA” tanpa memperdulikan dan memperhatikan Permohonan Perpanjangan HGB dimaksud, maupun HAK PRIORITAS yang melekat kepada SHGB milik Penggugat.
Sehubungan dengan fakta-fakta diatas, terlihat jelas bahwa Tergugat dan Turut Tergugat telah “MENGUASAI” sebagian tanah milik Penggugat yang terdapat dalam SHGB No. 51 seluas ± 280m², tanpa izin ataupun persetujuan Penggugat, dalam bentuk pengukuran persil dalam rangka memberi status hak kepemilikan kepada Tergugat, maka menurut Pasal 1365 KUH Perdata, beralasan untuk menyatakan Tergugat dan Turut Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, mengingat Penggugat telah menjelaskan fakta yang membuktikan telah mengajukan permohonan perpanjangan atas SHGB No 51 tertanggal 23 September 1980. (Note SHIETRA & PARTNERS: Pihak Kantor Pertanahan “tersandera”, akibat tidak memberi respon yang patut terhadap permohonan pelayanan yang diajukan Penggugat pada tahun 1980.)
Untuk itu, menjadi beralasan bila Penggugat meminta kepada Pengadilan, agar mencantumkan amar yang memberi “HAK PRIORITAS” kepada Penggugat untuk memperoleh perpanjangan maupun hak baru dari pihak manapun.
Penggugat juga menuntut kepada Majelis Hakim agar menyatakan secara tegas, bahwa status keberadaan Tergugat diatas bisdang tanah terperkara semata sebagai “PENYEWA” dalam rangka melanjutkan hak sewa secara lisan dari orang tuanya (LIEM TOENG LIN). Dengan gugatan ini pula, Penggugat menuntut supaya hubungan sewa-menyewa diakhiri, serta sekaligus Tergugat dihukum untuk menyerahkan dan mengembalikan penguasaan fisik objek tanah dalam keadaan kosong tanpa syarat.
Selain itu, Penggugat berhak menuntut pembayaran ganti kerugian berupa biaya sewa yang tidak dibayarkan oleh keluarga Tergugat sejak tahun 1980. Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang digugat atau obyek sengketa adalah sebidang tanah yang telah diukur oleh Turut Tergugat atas permohonan Tergugat, maka dengan diajukannya permohonan tersebut tentu tempat dan batas batas tanah obyek sengketa tersebut sudah ada dalam permohonan pengukuran tanah obyek sengketa dimaksud, sehingga batas-batas sudah jelas, oleh karena Turut Tergugat sudah mengadakan pengukuran atas tanah obyek sengketa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1, bahwa benar obyek sengketa adalah hak dari Penggugat yang berakhir pada tanggal 23 September 1980, dan sebagaimana dalam bukti P-5 dan P-8 bahwa Penggugat telah mengajukan permohonan perpanjangan SHGB Nomor 51/Kebon Kelapa kepada Turut Tergugat pada tanggal surat 12-9-1980, agenda tanggal 16-9-1980 diterima 23-9-1980;
“Menimbang, bahwa menurut KEPUTUSAN PRESIDEN Nomor : 32 Tahun 1979 Tentang POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT MENYEBUTKAN:
Pasal 1 :
1). Tanah Hak guna usaha, Hak Guna Bangunan dan hak pakai asal konversi hak barat jangka waktunya akan berakhir selambat-selambatnya pada tanggal 24 September 1980 sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersagkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara;
2). Tanah-tanah tersebut ayat (1), ditata kembali penggunaannya, penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan:
a. Masalah tata guna tanahnya;
b. Sumber daya alam dan lingkungan hidup;
c. Keadaan kebun dan penduduknya;
d. Rencana pembangunan di daerah;
e. Kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah / penghuni bangunan;
Pasal 2: ‘Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggarap sendiri tanah / bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apa bila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 dan P-5 tersebut terbukti bahwa Penggugat mempunyai itikat baik dan sadar hukum sebagaimana dalam Pasal 2 KEPPRES Nomor 32 Tahun 1979, Penggugat telah memohon untuk mendapatkan pengakuan hak atas HGB Nomor 51/Kebon Kelapa kepada Turut Tergugat;
“Menimbang, bahwa atas permohonan Penggugat tersebut, Turut Tergugat sampai saat ini belum pernah menanggapinya, apakah permohonan dari Tergugat dikabulkan ataukah ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-13A, pada tahun 1975, 1976, 1977, 1978, 1979, 1980, orang tua Tergugat sebagai penyewa tanah obyek sengketa;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti P-6B, surat tertanggal 11 Oktober 1996 Nomor ... , Tergugat mengakui bahwa tanah obyek sengketa adalah hak dari Penggugat yang disewa oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti P-7 adanya surat tagihan sewa atas tanah obyek sengketa dari Penggugat kepada Tergugat, yang belum dibayar sejak tanggal 11-12-1981 sampai dengan tahun 2012;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-18 adalah peta atas tanah obyek sengketa yang tidak dibantah oleh Tergugat maupun Turut Tergugat, karenanya keberadaan atas tanah obyek sengketa sudah benar adanya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-4 dan P-8 benar Penggugat adalah yang berhak atas Hak Guna Bangunan Nomor 51/Kebon Kelapa;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti P-14, hingga tahun 2005. Jika Penggugat melepaskan haknya atas sebagian tanah dari Hak Guna Bangunan Nomor 51/Kebon Kelapa, maka ada perjanjian antara Penggugat dengan yang menginginkan pelepasan tersebut, sehingga dengan demikian bahwa fihak ke tiga masih mengakui Hak Guna Bangunan Nomor 51/Kebon Kelapa adalah hak dari Penggugat;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti P-15 , terbukti pada tanggal 26 Pebruari 1973, orang tua Tergugat bernama Agus Setiadi (dahulu bernama Liem Toeng Lin) telah hibah wasiat bangunan rumah diatas tanah obyek sengketa kepada isterinya bernama Hartina Gunawan dahulu bernama Bong Njoen Sia dan anaknya bernama Rudy Setiadi dahulu bernama Lim Tek Liong (Tergugat);
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-16, P-17 kemudian dibuatlah keterangan hak mewaris dan hibah bagian warisan kepada Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-2 dan P-3 bahwa Penggugat mengajukan surat keberatan kepada Turut Tergugat atas pengukuran yang dilakukan oleh Turut Tergugat terhadap tanah obyek sengketa karena atas permintaan / permohonan dari Tergugat;
“Menimbang, bahwa atas bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat tersebut, Tergugat telah mengajukan bukti-bukti untuk mempertahankan dalil-dalil sangkalannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T/PR-1A, T/PR-1B, T/PR-1C dalam pasal 2 (dua) menyebutkan ‘Perseroan didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya’, sehingga adalah tidak benar jika Penggugat sudah berakhir status badan hukumnya;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti T/PR-7, T/PR-8, T/PR-9, bahwa yang menjadi obyeknya adalah bangunan yang berdiri diatas tanah yang disewa dari Penggugat;
“Menimbang, bahwa dari bukti T/PR-10A, benar Tergugat telah mengajukan permohonan pengakuan hak atas tanah obyek sengketa kepada Turut Tergugat, sedangkan bukti T/PR-10B Tergugat adalah yang memiliki bangunan diatas obyek sengketa, dan dalam bukti T/PR-10C Tergugat menyatakan tanah obyek sengketa tidak dalam sengketa;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti T/PR-11 dan bukti T/PR-12, atas permohonan dari Tergugat tersebut telah diadakan pengukuran oleh Turut Tergugat atas tanah obyek sengketa;
“Menimbang, bahwa sebagaimana dalam bukti T/PR-13A dan bukti T/PR-13B, orang tua Tergugat bernama Liem Toeng Lin masih membayar uang sewa tanah obyek sengketa untuk jangka waktu sampai dengan tanggal 15 September 1980;
“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti surat yang diajukan oleh Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat tersebut dapat ditarik suatu rangkaian peristiwa hukum atas tanah obyek sengketa sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan bukti P-1 Penggugat mempunyai tanah hak guna bangunan dengan nomor : 51/Kebon Kelapa yang berakhir tanggal 23 September 1980;
- Bahwa berdasarkan bukti P-9A,P-9B,P-10A, P-10B, P-11A P-11B, Penggugat didirikan dengan jangka waktu yang tidak ditentukan;
- Bahwa Penggugat telah mengajukan perpanjangan Hak Guna Bangunan nomor 51/Kebon Kelapa tanggal surat 12-9-1980, agenda tanggal 16-9-1980 kepada Turut Tergugat;
- Bahwa dengan demikian, Penggugat telah beritikat baik untuk mengajukan perpanjangan Hak Guna Bangunan Nomor 51/Kebon Kelapa sebelum habis masa berakhirnya Hak Guna Bangunan tersebut kepada Turut Tergugat, akan tetapi tidak ada jawaban dari Turut Tergugat;
- Bahwa Liem Toeng Lin (orang tua Tergugat) telah membeli bangunan yang berdiri diatas tanah obyek sengketa dengan hak menyewa tanah dari Penggugat;
- Bahwa Liem Toeng Lin menghibahkan bangunan yang berdiri diatas tanah obyek sengketa yang disewa dari Penggugat kepada Hartina Gunawan (Bong Njoen Sia) dan Rudi Setiadi (Lim Tek Liong / Tergugat);
- Bahwa Liem Toeng Lin telah meninggal dunia pada tanggal 13 Desember 1973;
- Bahwa Tergugat masih mengakui bahwa bangunan rumah yang didapat dari orang tuanya tersebut adalah berdiri di atas tanah obyek sengketa hak dari Penggugat yang disewa sejak orang tua Tergugat bernama Liem Toeng Lin;
- Bahwa Tergugat melalui kuasanya pernah berkeinginan untuk menggantikan hak tanah obyek sengketa kepada Penggugat;
- Bahwa orang tua Tergugat bernama Liem Toeng Lin masih membayar sewa tanah obyek sengketa kepada Penggugat;
- Bahwa Tergugat tanpa sepengetahuan ataupun seijin Penggugat mengajukan permohonan pengakuan hak dan pengukuran tanah obyek sengketa kepada Turut Tergugat, dan oleh Turut Tergugat telah diadakan pengukuran;
- Bahwa Penggugat telah mengajukan keberatan kepada Turut Tergugat atas pengukuran tanah obyek sengketa oleh Turut Tergugat atas permohonan Tergugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sebenarnya Tergugat mengetahui dan membenarkan bahwa tanah obyek sengketa adalah hak dari Penggugat;
“Menimbang, bahwa terbukti Tergugat telah mengajukan permohonan hak dan pengukuran atas tanah obyek sengketa kepada Turut Tergugat, yang seharusnya Turut Tergugat memberikan hak kepada Penggugat atas permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan Nomor 51/Kebon Kelapa yang sesuai dengan Pasal 2 keputusan presiden Nomor 32 Tahun 1979 tersebut, namun Turut Tergugat tetap memproses permohonan yang diajukan oleh Tergugat tersebut;
“Menimbang, bahwa menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: ‘Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain wajib orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, bahwa proses pengukuran atas tanah obyek sengketa oleh Turut Tergugat atas permohonan Tergugat adalah melanggar hukum dan merugikan orang lain yaitu Penggugat, dengan demikian Petitum angka 3 (tiga) gugatan Penggugat haruslah dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas telah terbukti bahwa SHGB Nomor 51/Kebon Kelapa adalah atas nama Penggugat yang permohonan perpanjangannya telah diajukan kepada Turut Tergugat, karenanya petitum angka 4 (empat) gugatan Penggugat haruslah dikabulkan;
“Menimbang, bahwa telah terbukti bahwa Penggugat adalah pemegang hak guna bangunan nomor 51/Kebon Kelapa dan telah didaftarkan permohonan perpanjangan haknya, dan sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, maka Penggugat mempunyai prioritas atas hak tanah obyek sengketa tersebut, maka petitum angka 5 (lima) gugatan Penggugat haruslah dikabulkan;
“Menimbang, bahwa telah terbukti bahwa orang tua Tergugat bernama Liem Toeng Lin menyewa tanah obyek sengketa kepada Penggugat, dan terbukti pula Tergugat mengakui dan berkeinginan untuk membeli tanah obyek sengketa dari Penggugat, juga terbukti bahwa Tergugat yang melanjutkan hak sewa dari orang tuanya, maka angka 6 (enam) petitum gugatan Penggugat haruslah dikabulkan dengan perbaikan redaksional dari ‘menjatuhkan’ menjadi ‘menyatakan’;
“Menimbang, bahwa telah terbukti tanah obyek sengketa adalah hak dari Penggugat yang disewa oleh Liem Toeng Lin (orang tua Tergugat) dan sewa tersebut dilanjutkan oleh Tergugat, kemudian Tergugat berusaha untuk mendapatkan hak atas obyek sengketa dari Turut Tergugat tanpa sepengatahuan Penggugat, maka sudah sepantasnya Tergugat dihukum untuk menyerahkan tanah obyek sengketa kepada Penggugat dalam keadaan kosong tanpa beban apapun, karenanya angka 7 (tuju) petitum gugatan Penggugat haruslah dikabulkan;
“Menimbang, bahwa atas perbuatan Tergugat tidak membayar sewa tanah obyek sengketa kepada Penggugat, sebagaimana dalam bukti T/PR-13B, sewa tahun 1980 satu tahunnya sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) sehingga jika Penggugat menuntut uang sewa sebesar Rp. 2.000.000,- x 32 adalah tidak masuk akal, bahwa benar ada kerugian Penggugat atas perbuatan Tergugat yang tidak membayar uang sewa tersebut, namun tidak sebesar yang dituntut oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa menurut hemat Majelis adalah selama 14 tahun Tergugat tidak membayar uang sewa kepada Penggugat, yang tentu saja dari tahun ke tahun berikutnya besarnya uang sewa pasti tidak selalu sama, karenanya Majelis secara global akan menentukan besarnya kerugian sebesar Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah);
“Menimbang, bahwa terbukti Tergugat mengajukan permohonan pengukuran dan pengakuan hak atas tanah obyek sengketa kepada Turut Tergugat, sehingga menimbulkan kerugian bagi Tergugat, maka sudah sepatutnya kepada Turut Tergugat dihukum untuk mentaati putusan ini;
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas ternyata Penggugat berhasil membuktikan dalil gugatannya, sedangkan Tergugat dan Turut Tergugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan Tergugat dan Turut Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum atas pelaksanaan proses pengukuran persil tanah terperkara;
3) Menyatakan Penggugat pemegang HGB atas tanah terperkara sebagaimana tertuang dalam SHGB No. 51/Kebon Kelapa yang proses perpanjangan HGBnya sedang berjalan;
4) Menyatakan Penggugat mempunyai ‘HAK PRIORITAS’ untuk memperoleh perpanjangan HAK maupun untuk memperoleh hak baru atas tanah terperkara;
5) Menyatakan status keberadaan Tergugat diatas tanah terperkara adalah menyewa melanjutkan hak sewa orang tuanya Liem Toeng Lin;
6) Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara dalam keadaan kosong dan baik tanpa syarat kepada Penggugat;
7) Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat Sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);
8) Menghukum Turut Tergugat untuk mentaati putusan ini;
9) Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.