Polisi Terima Uang dari Pelapor, Dipecat Tidak Hormat oleh Sidang Kode Etik Polisi

LEGAL OPINION
Question: Kalau diancam pemecatan dengan alasan melanggar kode etik profesi satuan kepolisian karena menerima sejumlah uang “terimakasih” dari pelapor, bukankah harus ada putusan pidana gratifikasi dulu, baru bisa diproses oleh majelis kode etik?
Brief Answer: Praktik peradilan memaknai ketentuan hukum perihal sanksi bagi pelanggaran Kode Etik Polisi berupa Pemecatan Tidak dengan Hormat (PTDH), sekalipun belum didahului adanya putusan pidana perihal penerimaan uang dari pihak-pihak terkait perkara yang disedang ditangani oleh anggota polisi bersangkutan, proses sidang etik tetap dapat berjalan dan menjatuhkan keputusan berupa penjatuhan sanksi, sekalipun uang tersebut kemudian dikembalikan oleh pihak yang bersangkutan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa Tata Usaha Negara register Nomor 212 K/TUN/2017 tanggal 05 Juni 2017, perkara antara:
- JUHADI, sebagai Pemohon Kasasi, dahulu sebagai Penggugat; melawan
- KEPALA KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI UTARA, selaku Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat.
Adapun yang menjadi objek sengketa adalah Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tertanggal 22 Juni 2015 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dari Dinas POLRI atas nama JUHADI. Selama 13 tahun sudah Penggugat berkarier sebagai anggota Polri, dimana Penggugat telah beberapa kali naik pangkat dan jabatan, dan terakhir Penggugat ditempatkan dalam Jabatan BA BID PROPAM pada POLDA SULUT dalam pangkat Brigadir.
Bermula, Penggugat termasuk salah satu Penyidik Pembantu dalam penanganan kasus BNI Manado, sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan tanggal 7 Januari 2014. Dalam penanganan kasus BNI Manado, (Penggugat) melakukan pelanggaran hukum mengambil, menerima uang hasil kejahatan, karena situasi dan kondisi pada saat itu dan diperintahkan oleh IPTU Maikel Mamengko sebagai KA-TIM Penyidik untuk memerintahkan uang barang bukti sebesar Rp.2.000.000.000,00 ke mobil jenis Fortuner yang dibawa oleh IPTU Maikel Mamengko dan pada saat itu Pelanggar (Penggugat) tidak mengetahui maksud dan tujuan memindahkan barang bukti tersebut. Penggugat kemudian diberikan uang sebesar Rp40.000.000,00 dari IPDA Wahyudi.
Setelah (Penggugat) menerima uang tersebut, Penggugat merasa telah bersalah, kemudian uang sebesar Rp40.000.000,00 tersebut telah dikembalikan oleh Penggugat kepada Pihak Bank Negara Indonesia Manado, dan sehubungan dengan pengembalian uang tersebut Penggugat telah diajukan, sebagai bukti dalam persidangan Komisi Kode Etik Polri, bahwa uang sejumlah Rp40.000.000,00 tersebut itu merupakan sebagai tanda penghargaan kepada Penggugat dengan ditemukan pelaku pencurian uang BNI Manado, hal ini menurut IPTU Michael Mamengko sebagai KATIM atas persetujuan dari pihak BNI. Tanggal pengembalian 09 Juni 2014.
Walaupun Penggugat telah mengembalikan uang sebesar Rp40.000.000,00 tersebut, namun Tergugat tetap memproses dan menerbitkan Penetapan Penjatuhan Hukuman kepada Penggugat, yaitu Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara tertanggal 15 Juni 2015 tentang Penetapan Penjatuhan Hukuman, dan kemudian Tergugat menerbitkan Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara tertanggal 22 Juni 2015 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas Polri.
Putusan sidang Banding Komisi Etik Polri tertanggal 15 Mei 2015 mengambil Keputusan: menolak permohonan Banding dan menguatkan putusan sidang KKEP. Penggugat menilainya sebagai cacat hukum, oleh karena tahapan pelaksanaan sidang Komisi Banding tidak sesuai dengan amanat Pasal 66 huruf a Perkab Nomor 18 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur: Sidang komisi banding dilaksanakan satu ruangan yang dipimpin oleh Ketua Komisi Banding dan dihadiri oleh Anggota Komisi Banding, dimana pada tanggal 13 Mei 2015 sidang Komisi Banding dalam mengambil keputusan tidak dihadiri oleh anggota Komisi Banding namun diputuskan melalui rapat ANEV yang dihadiri oleh pejabat utama POLDA Sulut yang bukan sebagai Komisi banding sesuai dengan keputusan Kapolda Sulut.
Pada tanggal 01 Maret 2016 Penggugat mengetahui adanya Keputusan Kepala Kepolisian RI tertanggal 22 Juni 2015 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas POLRI atas nama: JUHADI (Penggugat) yang merupakan objek sengketa yang diterbitkan oleh Tergugat. Sanksi penjatuhan hukuman yang dikenakan kepada Penggugat yaitu Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Anggota Polri yang dilakukan oleh Tergugat, dinilai sebagai sanksi hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan Penggugat, karena telah terbukti uang sebesar Rp. 40.000.000,00 tersebut telah dikembalikan Penggugat kepada pihak Bank Negara Indonesia Manado, dan disamping itu Keputusan tersebut adalah Keputusan yang tidak manusiawi, tidak memikirkan masa depan Penggugat yang harus menghidupi keluarga, terlebih untuk biaya pendidikan anak-anak.
Keputusan Tergugat merupakan keputusan yang sepihak dan terkesan pilih kasih, karena selain Pelanggar (Penggugat) yang terkait dengan perbuatan mengambil dan menerima uang hasil kejahatan, juga ada 18 Pelanggar yang terlibat dalam perkara yang sama dalam Pelanggaran Etik Profesi Polri  yang telah disidang dalam Komisi Kode Etik Polri, namun 18 Pelanggar tersebut tidak dikenakan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Komisi Kode Etik Polri hanya memutuskan dengan sanksi yang dalam Putusan adalah: hanya menerapkan melanggar Pasal 21 ayat (4) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Polri.
Terhadap Laporan Polisi tertanggal 9 Juni 2014, Tergugat belum melaksanakan proses penyidikan lebih lanjut atas tindak pidana yang dilakukan Penggugat. Komisi Kode Etik Polri telah menerbitkan Keputusan Komisi Kode Etik Polri tertanggal 02 Maret 2015 berupa penjatuhan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat kepada Pelanggar (sekarang Penggugat), walaupun belum dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian telah melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (1)huruf a dan huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan: Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap:
a. Pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
b. Pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf l.
Karena Penggugat tidak puas terhadap Keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri, maka pada tanggal 12 Maret 2015 Penggugat mengajukan permohonan Banding yang ditujukan kepada Kapolda Sulawesi Utara Selaku Pembentuk Komisi Banding. Terhadap Permohonan Banding yang diajukan tersebut, ternyata ditolak oleh Sidang Komisi Banding sebagaimana putusan sidang Banding Komisi Kode Etik Polri tertanggal 12 Mei 2015. Putusan Sidang Banding Komisi Kode Etik Polri tersebut menyebutkan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan keberatan tersebut Komisi Banding berpendapat:
- Bahwa alasan-alasan dan Pemohon Banding pada intinya mendalilkan bahwa penerapan hukum Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri tersebut tidak sesuai Pasal 22 ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri berbunyi: ‘sanksi administrasi berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) pada huruf d yaitu: melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan atau Kode Etik Profesi Polri diputuskan melalui KKEP setelah lebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan pemohon banding belum diputus dalam sidang pengadilan pidana.’;
“Komisi banding berpendapat tidak dapat dibenarkan karena dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa penerapan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri yang digunakan oleh Komisi Kode Etik Polri telah diatur dengan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2014 tentang Teknis Pelaksanaan Penegakan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri bahwa pelanggaran Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi dapat berdiri sendiri tanpa menunggu putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap di-junto-kan dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota polri.”
Keberatan Penggugat, isi selengkapnya dari Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6N/2014 tanggal 22 Mei 2014 tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Kode Etik Profesi dapat berdiri sendiri tanpa menunggu putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap, maupun terhadap Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri.
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6N/2014 tanggal 22 Mei 2014 tentang Teknis Pelaksanaan Penegakan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, justru menyebutkan: Pelaksanaan sidang Komisi Kode Etik Polri dilaksanakan apabila telah terpenuhinya syarat perkaranya sudah diputus oleh Pengadilan Pidana berkekuatan hukum tetap (inkracht). Yang dimaksud dengan inkracht dalam peraturan ini adalah apabila terhukum sudah menerima Putusan dari Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), atau Pengadilan Tingkat Kedua (Pengadilan Tinggi).
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6N/2014 tanggal 22 Mei 2014 tentang Teknis Pelaksanaan Penegakan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, menyebutkan pula:
“Persangkaan dan tuntutan serta putusan dalam sidang KKEP yang menerapkan Pasal 13 ayat (1) yang terkait dengan pelanggaran sumpah/dan atau janji yang berbunyi tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan wajib terlebih dahulu dilaksanakan mekanisme peradilan umum dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.”
“Persangkaan dan tuntutan serta putusan dalam sidang KKEP yang menerapkan pelanggaran pasal kode etik profesi Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 wajib mempedomani hukum acara sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012 dan dapat memberikan sanksi rekomendasi PTDH sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (4) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, dan dipersyaratkan pula persyaratan Pasal 6 sampai dengan pasal 16 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 agar dijuntokan dengan persangkaan pelanggaran Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003.”
Yang dimaksud dengan sanksi rekomendasi PTDH, menurut Pengertian Kamus Bahasa Indonesia, sifatnya hanya sebatas dalam bentuk rekomendasi, demikian Penggugat mendalilkan. Dengan demikian isi dari Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 maupun Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6N/2014 tanggal 22 Mei 2014, telah jelas pasal-pasalnya pada pokoknya menyebutkan bahwa Pelaksanaan sidang Komisi Kode Etik Polri dilaksanakan apabila telah terpenuhinya syarat perkaranya sudah diputus oleh Pengadilan Pidana berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Penggugat kembali mendalilkan, seharusnya Tergugat mempertimbangkan pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat karena telah jelas Penggugat telah terbukti menerima pemberian berupa hadiah dan itupun telah dikembalikan oleh Penggugat, seharusnya putusan dalam sidang KKEP mempertimbangkan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan Penggugat yang akhirnya menerapkan Pasal 13 ayat (1) yang terkait dengan pelanggaran sumpah/dan atau janji yang berbunyi tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan wajib terlebih dahulu dilaksanakan mekanisme peradilan umum dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Sementara itu terhadap gugatan Penggugat, Tergugat mengajukan eksepsi bahwasannya Gugatan Penggugat telah Lewat Waktu (Daluarsa). Penggugat menyatakan pada tanggal 01 Maret 2016 Penggugat mengetahui adanya Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara tertanggal 22 Juni 2015 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Dari Dinas Polri (PTDH) atas nama JUHADI (Penggugat), adalah tidak benar, karena walaupun Penggugat baru menerima Keputusan tersebut pada tanggal 01 Maret 2016 akan tetapi fakta hukum, Penggugat telah mengetahuinya sejak tanggal 1 Juli 2015 pada saat dilaksananakan Upacara Hari Ulang Tahun Bhayangkara dirangkaikan dengan Upacara Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap 11 Anggota Polri Polda Sulut dan diumumkan Surat Keputusan Kapolda Sulut tentang Anggota Polri yang diberhentikan tidak dengan hormat dari Dinas Polri termasuk salah satunya yaitu Penggugat. Bahkan disampaikan dan diumumkan juga melalui Media Massa (Koran) maupun melalui Media Sosial Online (Internet) sehingga fakta hukum, Penggugat telah mengetahuinya karena sebelum tanggal 1 Juli 2015 Penggugat selalu hadir di Kantor Tergugat dan hak-haknya diberikan, akan tetapi setelah tanggal 1 Juli 2015, Penggugat sudah tidak lagi hadir di kantor Tergugat.
Namun Penggugat baru mengajukan gugatan terpaut satu tahun setelahnya. Adapun norma pengaturan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan sebagai berikut:
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Manado kemudian menjatuhkan putusan register Nomor 20/G/2016/PTUN.Mdo, tanggal 25 Juli 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI
- Menerima eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima.”
Dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar lewat Putusan Nomor 133/B/2016/PT.TUN.Mks, tanggal 02 November 2016.
Selanjutnya, Penggugat mengajukan upaya hukum Kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena putusan Judex Facti sudah benar dan tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa gugatan Penggugat telah lewat waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; {Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah kelemahan utama upaya hukum administrasi berupa permohonan keberatan ke atasan instansi yang bersangkutan, karena membuka potensi resiko hak mengajukan gugatan ke PTUN menjadi kadaluarsa, terlebih bila berlarut-larut hingga tahap permohonan banding administrasi.)
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: JUHADI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JUHADI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.