PERBUATAN MELAWAN HUKUM FUNGSI NEGATIF, LAHIRIAH Versus BATINIAH

LEGAL OPINION
Question: Di dalam teori hukum pidana ada “delik formil”, artinya suatu perbuatan yang dilarang oleh pasal pidana suatu undang-undang ternyata dilanggar, maka si pelaku dikenakan vonis pidana. Masalahnya, bagaimana dengan faktor batin si pelaku? Bukankah asas hukum pidana juga meninjau dari segi aspek faktor batin si pelaku saat melakukan perbuatan hukum? Maksudnya, bagaimana bila pasal pidana “delik formil” semacam itu, ternyata tidak sejalan dengan faktor batin si pelaku?
Brief Answer: Perihal niat batin (mens rea) dari seorang terdakwa, merupakan suatu wujud yang bisa jadi berbeda dari apa yang tampak secara lahiriah / perbuatan fisik (actus reus). Memang menjadi problematika tersendiri, manakala pasal pemidanaan yang mengancam sebuah perilaku tertentu, diterapkan secara membuta tanpa mau mencermati motivasi atau aspek batiniah dari seorang yang didudukkan sebagai seorang terdakwa. Meski, actus reus kadang dapat menjadi petunjuk utama keberadaan mens rea dari seorang terdakwa.
Teori pidana alternatif lainnya, selama ini telah dikenal dengan istilah “perbuatan melawan hukum materiil fungsi negatif”. Artinya, suatu ancaman pemidanaan tidak boleh menyimpang dari asas legalitas, namun legalitas hukum tidak diterapkan secara legalistis-formil, karena memasuki juga faktor niat batin si pelaku, sehingga sekalipun ternyata terbukti seluruh unsur dalam rumusan pasal pidana terpenuhi dari perbuatan terdakwa, akan tetapi bila tiada kesalahan yang terbit dari niat batin sang terdakwa, atau bahkan justru membawa kebaikan bagi masyarakat, vonis yang akan dijatuhkan Majelis Hakim ialah : “Membebaskan Terdakwa dari dakwaan Penuntut Umum”—yang maknanya, sekalipun seluruh unsur pasal pidana terpenuhi dari segi lahiriah, namun perbuatan dalam aspek batinnya bukanlah pidana.
Namun juga, bukan berarti seorang warga dapat secara seenaknya menggunakan segala cara untuk mencapai suatu tujuan (by all means). Niat boleh baik, namun cara mewujudkannya juga harus bersifat baik dan benar. Sikap naif juga bukanlah merupakan alasan justifikasi yang sehat dalam negara hukum, dimana masing-masing warga saling berbagi ruang gerak serta sumber daya, guna menghindari perbenturan-perbenturan yang tidak diberlukan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk ilustrasi konkret dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana kehutanan register Nomor 883 K/Pid.Sus/2015 tanggal 15 Desember 2015, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan pemberian atau janji, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Sementara dalam Dakwaan Alternatif Kedua, didakwa karena menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan, yang diambil atau dipungut secara tidak sah, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 78 Ayat (5) jo. Pasal 50 Ayat (3) Huruf (f) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Bermula saat Terdakwa menyuruh pekerja untuk mengambil 10.000 bibit cemara gunung untuk disemaikan di lahan milik Yayasan Kaliandra, dan Terdakwa juga memberi upah harian sebesar Rp. 35.000,- untuk setiap 1 orang. Sesampainya di Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, mereka tanpa seizin ataupun sepengetahuan dari pejabat yang berwenang, telah mengambil atau memungut bibit cemara gunung sebanyak 4 kali, sehingga mendapatkan 10.000 bibit cemara gunung, dengan cara mencabut bibit cemara gunung tersebut dengan menggunakan tangan, kemudian bibit cemara gunung tersebut dimasukkan ke dalam karung plastik untuk dibawa menuju lahan persemaian Yayasan Kaliandra.
Pada waktu para pekerja menyerahkan bibit cemara gunung kepada Terdakwa, salah seorang pekerjanya sudah memberitahukan kepada Terdakwa bahwa bibit cemara gunung tersebut diambil dari Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo, namun Terdakwa pada waktu itu diam, karena sudah mengetahui bahwa bibit yang diambil oleh pekerja bayarannya berasal dari Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Akibat perbuatan Terdakwa, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo mengalami kerugian senilai Rp. 10.000.000,-.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Negeri Bangil No. 173/Pid.Sus/2014/PN.Bgl tanggal 15 September 2014, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, dengan demikian meskipun perbuatan Terdakwa terbukti melakukan pemungutan bibit cemara gunung di Hutan Tahura, akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dimana maksud dan tujuan dari perbuatan Terdakwa bukan untuk dimiliki atau mencari keuntungan dan juga bukan melakukan pengrusakan hutan, akan tetapi melakukan penyelamatan Hutan Tahura R. Soerjo;
“Menimbang, bahwa perbuatan Terdakwa atas nama Yayasan Kaliandra menurut Majelis merupakan perbuatan yang dapat dikatakan positif, dimana maksud dan tujuan yang dilakukan oleh Terdakwa atas nama Kaliandra guna menyeimbangkan kembali Hutan Tahura yang gundul akibat terbakar dan melakukan pemadaman Hutan Tahura yang sedang terbakar. Sikap penyelamatan alam yang dilakukan Yayasan Kaliandra mempunyai peran penting, tidak hanya alam, tetapi juga masyarakat di sekitar Hutan Tahura;
“Manfaat tersebut guna menjaga kelestarian alam dan satwa yang ada di dalamnya dan juga menjaga kestabilan air tanah yang nantinya juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar Gunung Arjuno atau Hutan Tahura;
“Menimbang, bahwa pengambilan bibit yang dilakukan oleh Terdakwa tidak menimbulkan kerugian ekosistem, bahkan menjaga membantu / mengatur kerapatan pohon cemara gunung, karena jika terlalu rapat dan banyak jumlahnya akan mengganggu kualitas pertumbuhan induk cemara lain, selain itu juga bibit tersebut bukan untuk dijual ataupun untuk kepentingan pribadi Terdakwa maupun Kaliandra, akan tetapi semata-mata untuk ditanam kembali ke Kawasan Hutan Lindung Tahura R. Soerjo. Hal itu juga sesuai dengan keterangan saksi a de charge, yaitu saksi SUPRAPTO, saksi KARNAPI dan saksi TRAWI;
“Menimbang, bahwa apakah perbuatan Terdakwa tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, menurut Majelis perbuatan Terdakwa mengambil dan memindahkan untuk sementara guna disemaikan di suatu tempat guna bibit cemara tersebut memiliki akar yang kuat, kemudian dipindahkan ke tempat Hutan Tahura yang gundul akibat kebakaran hutan (reboisasi), sikap dan batin dari Terdakwa dan Yayasan Kaliandra seperti tersebut menurut Majelis merupakan perbuatan dalam rangka penyelamatan Hutan Tahura yang gundul, dimana lokasi hutan gundul yang akan ditanami ditentukan dengan pihak Tahura.
“Dengan lokasi yang telah dipetakan tersebut, kemudian Yayasan Kaliandra bersama dengan kelompok tani, Tahura dan masyarakat secara bersama-sama melakukan penanaman kembali hutan yang gundul tersebut, dengan demikian meskipun perbuatan Terdakwa terbukti melakukan pemungutan bibit cemara gunung di Hutan Tahura, akan tetapi perbuatan Terdakwa tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dimana maksud dan tujuan dari perbuatan Terdakwa bukan untuk dimiliki atau mencari keuntungan dan juga bukan melakukan pengrusakan hutan, akan tetapi melakukan penyelamatan Hutan Tahura R. Soerjo; [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, yang dilihat dari pengaturan pasal pidana dalam peraturan perundang-undangan, ialah guna suatu tujuan tertentu yang hendak untuk dicapai, bukan untuk aturan itu sendiri. Undang-undang terkait perlindungan ekosistem, norma pidana berupa larangan dibentuk tentunya untuk melindungi ekosistem.]
MENGADILI :
1. Menyatakan bahwa Terdakwa SARIFUDIN LATHIEF bin SAEAN tersebut diatas, tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam Dakwaan Alternatif Pertama maupun dalam Dakwaan Kedua;
2. Membebaskan Terdakwa SARIFUDIN LATHIEF bin SAEAN oleh karena itu dari dakwaan Penuntut Umum tersebut;
3. Memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dari tahanan;
4. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Pihak Jaksa Penuntut mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan yang kurang rasional, dengan argumentasi bahwa unsur “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan” dalam unsur ini bersifat alternatif, artinya apabila salah satu unsur telah terbukti, maka terbuktilah semua unsur-unsur tersebut. Sesuai dengan pengertian memanen atau memungut, dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mengambil, sekalipun untuk keperluan reboisasi.
Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo termasuk dalam hutan konservasi tidak diizinkan untuk dimanfaatkan oleh perorangan atau badan usaha. Sementara itu kerjasama antara Yayasan Kaliandra dan Dinas Kehutanan dalam bentuk reboisasi, dimulai tahun 2010 dan telah berakhir pada tahun 2011, sedangkan pada tahun 2012 sampai dengan sekarang tidak ada kerjasama antara Yayasan Kaliandra dengan Dinas Kehutanan.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagaimana berikut:
- Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Terdakwa. Putusan Judex Facti Pengadilan Negeri Bangil No. 173/Pid.Sus/2014/PN.Bgl tanggal 15 September 2014 yang menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Alternatif Pertama dan Dakwaan Alternatif Kedua dan karena itu membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar, baik mengenai pasal sebagai dasar pembebasan Terdakwa dari dakwaan maupun pasal sebagai dasar hukum putusan perkara Terdakwa;
- Bahwa sesuai dengan uraian putusan Judex Facti berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, tidak terdapat cukup bukti Terdakwa dengan pemberian atau janji, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan perbuatan menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang dan menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan, yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Perbuatan Terdakwa mengambil bibit pinus dibawah pohon sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) bibit, adalah untuk reboisasi Hutan Tahura R. Soerjo, karena sebelumnya ada kerjasama antara Terdakwa atau Yayasan Kaliandra dengan Hutan Tahura R. Soerjo;
- Bahwa berdasarkan keterangan saksi SUPRAPTO, Yayasan Kaliandra pernah mendapat hadiah / Sertifikat Kalpataru lebih dari sekali, oleh karena itu perbuatan Terdakwa bukan merupakan pelanggaran hukum, karena Yayasan Kaliandra adalah yayasan yang bergerak dibidang lingkungan, melakukan penghijauan lahan hutan yang habis terbakar serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk peduli dengan lingkungan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagipula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bangil tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.