Mogok Kerja Tidak Sah & Tanpa Panggilan untuk Kembali Masuk Kerja

LEGAL OPINION
Question: Mogok kerja berhari-hari, bahkan sampai mengganggu aktivitas produksi pabrik, itu artinya para buruh itu mem-PHK dirinya sendiri, kan? Ngak bisa mereka kemudian minta pesangon segala dari manajemen.
Brief Answer: Mogok kerja yang sekalipun benar dilakukan secara tidak sah, semisal rencana mogok tidak dilaporkan kepada otoritas, tidak juga akibat gagalnya perundingan, atau bahkan melakukan tindakan anarkhi yang mengakibatkan kerugian bagi pihak Pemberi Kerja, hal tersebut tetap mewajibkan pihak Pengusaha untuk membayar kompensasi pesangon bila hendak memutus hubungan kerja (PHK) para Pekerja bersangkutan (vide Pasa 161 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan).
Kecuali, bila selama mogok kerja tidak sah tersebut, selama lima hari kerja berturut-turut para Pekerja tersebut tidak masuk untuk bekerja / berproduksi meski telah dipanggil / diperingatkan untuk itu, maka para Pekerja yang melakukan aksi mogok kerja dapat dikualifikasi sebagai “mengundurkan diri”, tanpa hak pesangon.
Yang juga perlu kita ketahui, meski sang Pekerja masuk kerja namun hanya untuk presensi tanpa melakukan kegiatan produktif (meski tidak terdapat halangan dari pihak Pengusaha), sama artinya tetap melakukan mogok kerja alias “mangkir kerja”.
Mengapa demikian? Karena menurut asas hubungan industrial, Pengusaha bersifat solutif, sementara Pekerja pada asasnya bersifat produktif. Itulah sebabnya, mogok kerja tidak hanya dapat terjadi di luar lingkungan kerja, namun juga dapat terjadi di dalam lingkungan pabrik.
Untuk menghadapi Pekerja yang masuk ke lingkungan kerja namun tetap melakukan mogok, maka cukuplah ditempelkan pengumuman seperti spanduk, yang menyatakan perintah untuk kembali produktif, pelanggaran terhadap perintah demikian, sama artinya “mangkir kerja”, yang bilamana selama 5 hari kerja tidak diindahkan pihak Pekerja, dengan tetap bersikap “mangkir”, ancaman putus hubungan kerja dengan kualifikasi “mengundurkan diri” akan menjadi kenyataan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah kaedah yurisprudensi yang telah menjadi norma baku praktik peradilan berdasarkan best practice, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 738 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 15 Desember 2016, perkara antara:
- PT. SAN FU INDONESIA, sebagai Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II dahulu Penggugat; melawan
- 12 orang Pekerja / Buruh, selaku Para Termohon Kasasi I / Para Pemohon Kasasi II dahulu Para Tergugat.
Tanggal 27 November 2014, Para Tergugat meninggalkan tugas dan pekerjaannya yang kemudian melaksanakan mogok kerja. Mogok kerja tersebut semula dilakukan di dalam lingkungan perusahaan. Karena mempertimbangkan berbagai faktor terutama faktor keamanan terhadap barang-barang milik perusahaan maupun faktor kenyamanan bagi pekerja lain yang tidak mogok kerja, maka Para Tergugat dipindahkan lokasi mogok kerjanya ke luar lokasi perusahaan.
Mogok kerja yang dilakukan oleh Para Tergugat, berlangsung sejak tanggal 27 November 2014 dan berakhir pada tanggal 4 Desember 2014, dan terhitung sejak tanggal 27 November 2015 dalam mogok kerja yang dilakukan Para Tergugat melakukan tindakan berupa penutupan gerbang perusahaan dengan sepeda motor dan tenda yang berakibat menimbulkan kerugian bagi Penggugat baik kerugian materiil.
Tanggal 1-10 Desember 2014, karyawan yang masuk baru sebagian, dan sebagian lagi masih belum bisa masuk, sehingga dalam kurun waktu 10 hari tersebut produksi belum berjalan seperti biasa, hasil produksi pabrik rata-rata dibawah kondisi normal, dalam perhitungan ini kerugian perusahaan dinilai sekitar Rp99.418.620,00.
Belum lagi pembatalan pemesanan dari konsumen karena tidak dapat mengirim barang tepat waktu, sehingga perusahaan mengalami penurunan jumlah kapasitas produksi dan terpaksa menghentikan operasional mesin dari sebelumnya 6 mesin, saat ini hanya jalan 3 mesin, mengakibatkan perusahaan berencana secara bertahap akan mengurangi jumlah pekerja yang dikerjakan.
Tuntutan Para Tergugat dalam mogok kerja yang dilaksanakan, adalah berupa tuntutan untuk diangkat sebagai pekerja tetap. Namun Penggugat mendalilkan bahwa Para Tergugat oleh Penggugat telah angkat sebagai pekerja tetap. Karena Para Tergugat sebenarnya telah diangkat sebagai pekerja tetap, maka tindakan Para Tergugat yang meninggalkan pekerjaan dan kemudian melaksanakan mogok kerja terhitung sejak pukul 00.01 WIB, tanggal 27 November 2014 hingga tanggal 4 Desember 2014, sehingga menimbulkan kerugian baik kerugian materiil maupun kerugian immateriil bagi perusahaan, adalah tindakan yang tidak beralasan dan tidak mencerminkan sikap untuk membangun hubungan industrial yang harmonis, sehingga Penggugat tidak dapat melanjutkan hubungan kerja dengan Para Tergugat, yang kemudian terhitung sejak tanggal 19 Desember 2014 Penggugat mengambil tindakan tegas berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Para Tergugat.
Maka yang menjadi alasan Penggugat untuk melakukan PHK terhadap Para Tergugat adalah karena Para Tergugat secara sengaja telah meninggalkan pekerjaanya dan melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Meninggalkan pekerjaan yang menjadi kewajibannya, maka Para Tergugat telah melakukan wanprestasi terhadap unsur perjanjian kerja / hubungan kerja yang salah satunya adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan, yang karenanya selama Para Tergugat meninggalkan pekerjaannya tersebut sangat cukup alasan jika Para Tergugat tidak berhak atas pembayaran upah.
Atas sikap Para Tergugat yang dengan sengaja meninggalkan pekerjaan dan melakukan tindakan yang merugikan Penggugat, Penggugat meminta pengadilan agar dinyatakan PHK terhitung sejak tanggal 19 Desember 2014 dan Para Tergugat hanya berhak menuntut pembayaran uang penggantian hak, perumahan dan pengobatan.
Itulah dalil dari pihak Pengusaha, sementara dari persepsi pihak Pekerja yang mengajukan gugatan balik (rekonvensi), Penggugat selaku perusahaan yang dinilai arogan dalam memperlakukan dan menyikapi persoalan ketenagakerjaan kepada para pekerjanya.
Sejak dikeluarkan surat PHK kepada Tergugat secara sepihak pada tanggal 19 Desember 2014, Penggugat tidak pernah lagi membayar upah secara penuh sejak bulan Desember 2014 hingga November 2015. Sementara ketentuan Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, mengatur:
“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja / buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Sejak dikeluarkannya surat PHK, Para Tergugat sudah tidak diperbolehkan lagi masuk ke lingkungan perusahaan guna melaksanakan kewajibannya sebagai pekerja. Sementara disisi lain, tindakan Penggugat yang melarang Para Tergugat untuk datang dan bekerja ke perusahaan hingga saat ini, dapat dikategorikan sebagai tindakan skorsing terhadap Para Tergugat dengan tetap mewajibkan Penggugat membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh Pekerja, sesuai dengan norma Pasal 155 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja / buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja / buruh.”
Akibat tindakan Penggugat kepada Para Tergugat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan bukan atas kemauan sendiri, melainkan atas larangan dari Penggugat, juga dipertegas pada ketentuan Pasal 93 ayat (2) Huruf (f) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
“Pengusaha wajib membayar upah: pekerja / buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.”
Pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan Pekerja, setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama belum ada putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial, maka hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat secara yuridis masih tetap terjalin, sehingga Tergugat Rekonvensi wajib membayar semua hak-hak yang biasa diterima Para Tergugat secara rutin setiap bulannya.
Tergugat telah selama lebih 11 bulan tidak dibayarkan hak-haknya oleh Penggugat, sementara Tergugat sebagai pekerja yang merupakan tulang punggung keluarga yang harus menafkahi keluarga. Penggugat justru mengajukan gugatan PHK setelah hampir 11 bulan 14 hari melakukan PHK sepihak, merupakan sebentuk tirani.
Terhadap gugat-menggugat demikian, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg, tanggal 12 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Konvensi:
Dalam Eksepsi:
- Mengabulkan eksepsi Para Tergugat;
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
Dalam Rekonvensi:
- Menyatakan gugatan rekonvensi Para Penggugat Rekonvensi tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Pihak Pengusaha maupun Buruh mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat kaedah yurisprudensi serta amar putusan yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 7 Juni 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 20 Juni 2016 dan tanggal 23 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa gugatan Penggugat seharusnya tidak kabur karena dalam dalil gugatan Penggugat pada butir 3 dan 4 secara tegas mendalilkan, bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan mogok kerja yang dilakukan oleh Para Penggugat;
“Bahwa oleh karena Judex Facti belum memeriksa pokok perkara, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 51 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, maka Mahkamah Agung mempertimbangkan pokok perkaranya sebagai berikut:
“Bahwa dalil gugatan Penggugat, Para Tergugat mogok kerja diakui dan Para Tergugat berdasar bukti Tdk/P.dRk-5 dan Tdk/P.dRk-6, telah memberitahukan mogok kerja dan mengakhiri mogok kerja, namun Para Tergugat tidak dapat membuktikan adanya gagal perundingan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 4 Kemenakertrans Nomor 232/Men/2003, sehingga mogok kerja tersebut tidak sah, dan disisi lain Penggugat tidak melakukan pemanggilan untuk bekerja kembali sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 6 Kepmenakertrans Nomor 232/Men/2003;
“Bahwa terhadap peristiwa hukum diatas, maka dengan mempertimbangkan hubungan kerja antar Penggugat dengan Tergugat tidak mungkin lagi dipertahankan, karena Penggugat tidak bersedia lagi, maka untuk kemanfaatan para pihak, patut dan adil hubungan kerja diputus dengan memperoleh 1 (satu) kali Uang Pesangon, Upah Penghargaan Masa Kerja dan Upah Penggantian Hak, sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Upah Proses, adil diberikan sebesar 3 (tiga) bulan upah, dengan masa kerja dan upah sebagaimana bukti-bukti Penggugat dan Para Tergugat perhitungannya sebagai berikut: ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I PT. SAN FU INDONESIA dan menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi II: SUWARDI dan kawan-kawan serta membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg, tanggal 12 Mei 2016, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I PT. SAN FU INDONESIA tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 220/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg, tanggal 12 Mei 2016;
- Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi II: 1. SUWARDI, 2. LILI HAMBALI, 3. UJA, 4. ADE SAMSU RIZAL, 5. ADE SUMITRA, 6. ENDANG KOMARUDIN, 7. ADANG, 8. SENDI HALIM, 9. ADE SOPANDI, 10. DARSIM, 11. SITI HALIMAH dan 12. CARMAN CASMITA tersebut;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM KONVENSI:
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Para Penggugat Rekonvensi dengan Tergugat Rekonvensi putus;
3. Menghukum Tergugat Rekonvensi membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Para Penggugat Rekonvensi 1 (satu) kali Pasal 156 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Upah Proses 3 (tiga) bulan kepada Para Penggugat, masing-masing sebesar: ...;
4. Menolak gugatan Para Penggugat Rekonvensi untuk selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.