KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Merokok sebagai Alasan PHK Kategori Kesalahan Berat

LEGAL OPINION
Question: Yang selama kita ini kami ketahui, pelanggaran berat (dalam hubungan industrial) biasanya bersifat fundamentil, seperti mencuri, menganiaya, menggelapkan kekayaan perusahaan, melukai pekerja lain, merusak mesin, atau sejenisnya. Tapi apa bisa, melanggar rambu larangan merokok juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat yang dapat di-PHK (putus hubungan kerja)?
Brief Answer: Bisa saja seorang Pekerja / Buruh yang melakukan kegiatan merokok di lingkungan kerja / pabrik, di-putus hubungan kerjanya dengan mengajukan permohonan PHK ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sepanjang larangan merokok demikian dikategorikan sebagai “kesalahan berat” dalam Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama yang terdaftar di instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat.
Namun juga terdapat sebuah kondisi situasional tertentu, dimana larangan untuk merokok tidak harus selalu tercantum dalam Peraturan Perusahaan, semisal area pabrik yang sangat tinggi tingkat bahayanya bila terdapat pemicu api, maka hal tersebut sudah sepatutnya dipahami secara sadar sepenuhnya oleh seorang Pekerja, maka sekalipun tanpa adanya Peraturan Perusahaan, tetap saja Pekerja pelanggar dikategorikan sebagai “pelanggaran fundamental”. Atau paling tidak terdapat tanda-tanda peringatan larangan untuk itu di lingkungan tempat kerja.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret sebagai cerminan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 221 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 16 Maret 2017, perkara antara:
- AGUS ARIANTO, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Penggugat; melawan
- PT. PERDANA SETIA ABADI JAYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat bekerja pada perusahaan Tergugat sejak tahun 2012, dengan jabatan sebagai operator bagian slitting, dengan status perjanjian kerja waktu tidak tertentu (pekerja permanen). Bermula pada tanggal, 22 Februari 2016, dipanggil oleh Staff HRD dan selanjutnya diberikan surat skorsing yang berlaku dari tanggal 23 Februari 2016 s/d 1 Maret 2016, dengan alasan telah melakukan “kesalahan berat” yaitu “Merokok di area parkiran motor”, yang menurut Tergugat tercantum dalam Pasal 46 Ayat (16) Peraturan Perusahaan PT. Perdana Setia Abadi Jaya: “Merokok atau menyalakan api di dalam lingkungan pabrik di tempat larangan, 1 kali dikenakan sanksi PHK”, sementara itu Penggugat tidak pernah diberikan salinan surat skorsing tersebut.
Meski pihak pekerja tidak pernah diberikan salinan peraturan perusahaan, bahkan tidak pernah mengetahui seperti apa peraturan perusahaan tersebut,  namun sanksi skorsing tetap saja diberikan oleh Tergugat kepada Penggugat.
Setelah Penggugat menjalankan hukuman skorsing, pada tanggal 2 Maret 2016 Penggugat kembali masuk bekerja seperti biasa. Namun pada siang harinya, Tergugat melalui Staff HRD kembali memanggil Penggugat dan langsung memberikan surat PHK terhadap Penggugat, dengan alasan yang sama yaitu kesalahan berat “merokok di area parkiran motor pada pukul 15.15 setelah Penggugat akan pulang kerja” sebagai pelanggaran terhadap peraturan perusahaan.
Tanggal 5 Maret 2016, diadakan perundingan bipartit atas permasalahan PHK terhadap Penggugat, akan tetapi tidak tercapai kesepakatan, dan pihak Tergugat tetap memutuskan untuk melakukan PHK sepihak dengan melakukan setoran tunai ke rekening milik Penggugat pada tanggal 11 April 2016 sejumlah Rp5. 221.913,00 tanpa diketahui oleh Penggugat.
Tergugat kemudian memberitahukan kepada Penggugat tentang setoran tunai tersebut, dan setelah mengetahui perbuatan sepihak Tergugat, Penggugat langsung mengembalikan uang tersebut kepada Manager HRD & GA sebagai pihak yang bertanggung-jawab dalam hubungan Industrial, namun ditolaknya dengan berbagai alasan.
Penggugat menilai, dasar pemberian uang kompensasi PHK tersebut dilandasi oleh itikad buruk Tergugat dan Tergugat menolak untuk menerima pengembalian dari Penggugat, maka pada tanggal 15 Agustus 2016 Penggugat mentransfer uang tersebut ke Nomor Rekening milik Manajer HRD perusahaan sejumlah Rp5.221.913,00.
Keberatan Penggugat, cara-cara demikian tercermin jelas sifat pemaksaan kehendak dilakukan oleh Tergugat, sementara itu prosedur dan tata cara pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat tanpa adanya penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, karenanya PHK sepihak demikian menjadi “batal demi hukum” sebagaimana ditegaskan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Tergugat telah menetapkan dan menyatakan Penggugat telah melakukan kesalahan berat, tanpa adanya putusan Hakim pidana. Untuk itu Penggugat mendalilkan, untuk memberlakukan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, maka mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE.13/MEN/SC-HK/I/2005, terdapat kaedah hukum bahwa PHK dengan alasan kesalahan berat, hanya dapat dilakukan setelah adanya bukti putusan Hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada tanggal 22 Februari 2016 Tergugat telah memberikan sanksi berupa hukuman skorsing terhadap Penggugat, yang berlaku mulai tanggal 23 Februari 2016 sampai dengan 1 Maret 2016, dan telah dijalankan oleh Penggugat tanpa protes. Dengan telah dijalankan sanksi tersebut, maka seharusnya Penggugat tidak dapat dikenakan dua kali hukuman terhadap kesalahan serupa berupa PHK.
Dengan demikian Tergugat telah memberikan dua kali hukuman terhadap satu kesalahan yang sama. Disamping itu, Penggugat tidak lagi dibayarkan upah-nya sejak bulan Maret 2016, ataupun tunjangan hari raya (THR) Tahun 2016. Selanjutnya diajukanlah permohonan Mediasi ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, namun tetap tidak tercapai penyelesaian, sehingga Mediator kemudian menerbitkan Surat Anjuran tertanggal 29 Juni 2016, dengan substansi:
MENGANJURKAN
1. Agar Perusahaan PT. Perdana Setia Abadi Jaya Bekasi dapat mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Ignatius Bayu Malang Sakti dan Sdr. Agus Arianto pada jabatan dan bagian semula terhitung tanggal 11 Juli 2016;
2. Agar Perusahaan Perdana Setia Abadi Jaya Bekasi memberikan tunjangan hari raya Tahun 2016, kekurangan upah pada bulan Januari s.d Februari 2016 yang belum diberikan pimpinan perusahaan dan upah proses bulan Maret 2016, April 2016, dan Juni 2016;
3. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban tertulis ke Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran ini;
4. Apabila pihak-pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak menerima anjuran maka sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Propinsi Jawa Barat di Jalan Suropati Nomor 47 di Bandung.”
Anjuran demikian tidak diindahkan dan hanya berdiam diri, juga tanpa melakukan gugatan PHK terhadap Pengguat, oleh karenanya disimpulkan adanya itikad tidak baik dari Tergugat dalam menyelesaikan perselisihan. Dengan demikian Mediator Disnaker menerbitkan risalah penyelesaian perselisihan hubunan industrial, yang kemudian dijadikan syarat formil untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung Kelas IA Khusus kemudian menjatuhkan putusan Nomor 130/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 2 November 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, ... karena Penggugat telah terbukti melakukan kesalahan berat yaitu merokok di area larangan untuk merokok, sehingga haruslah Penggugat diputuskan hubungan kerjanya dengan alasan mendesak dengan kategori kesalahan berat;
“Menimbang, ... menunjuk skorsing yang dilakukan Tergugat adalah untuk penyelesaian administrasi PHK dan bukan bentuk hukuman yang terpisah dengan sanksi PHK;
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘putus’ hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 2 Maret 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang pisah kepada Penggugat sebesar Rp5.221.913,00 (lima juta dua ratus dua puluh satu ribu sembilan ratus tiga belas rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Hukuman berupa nilai kompensasi PHK yang dijatuhkan oleh PHI, sama besarnya dengan nominal kompensasi PHK yang sebelumnya telah diberikan oleh pihak Pengusaha, membuat gugatan sang Pekerja ibarat ‘bertepuk sebelah tangan’.
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa merokok tidak termasuk dalam kategori “kesalahan berat” sebagaimana dimaksud Pasal 158 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi sejak pasal tersebut dibatalkan lewat putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 12/PUU-1/2003. Merokok tidak pula termasuk kategori “alasan mendesak untuk di-PHK” sebagaimana dimaksud Pasal 1603 KUHPerdata. Merokok di area parkir tidaklah juga dapat dikategorikan sebagai alasan PHK jenis “kesalahan berat”, karena sama sekali tidak relevan.
Penggugat bahkan telah mengajukan bukti berupa Surat Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi tertanggal 12 Agustus 2016, mengenai Informasi hasil Pengawasan PT. Perdana Setia Abadi Jaya oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi, yang menerangkan:
“Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan perusahaan tidak dapat menunjukkan peraturan perusahaan sebagaimana diakui dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 108.”
Surat keterangan tersebut diterbitkan oleh pejabat Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, namun surat otentik tersebut tidak dipertimbangkan bahkan dikesampingkan oleh Majelis Hakim PHI tanpa argumentasi hukum yang memadai.
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang Pekerja, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 26 November 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Desember 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Kasasi / pekerja telah mengakui merokok di area terlarang untuk merokok sebagaimana berdasarkan bukti T-4 dan T.15 yang telah benar dipertimbangkan Judex Facti berupa surat yang ditandatangani oleh pekerja / Penggugat;
- Bahwa perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 46 ayat (16) Peraturan Perusahaan:
- Bahwa adapun dalil memori kasasi pemohon bahwa peraturan perusahaan tidak ada pada perusahaan sesuai Surat Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi (vide bukti P-6), tidak dapat dibenarkan karena sebagaimana bukti T.1 dan T.2 perusahaan telah mengajukan pengesahan sehingga berlaku ketentuan Pasal 112 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga Peraturan Perusahaan sah;
- Bahwa dalam perkara ini pekerja dalam gugatan mengajukan tuntutan ‘ex aequo et bono’, maka Hakim dapat memutus sesuai fakta materiil yaitu terbukti merokok ditempat area dilarang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: AGUS ARIANTO tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi AGUS ARIANTO tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.