Aspek Hukum Menyepakati Kepura-Puraan, Pura-Pura Tidak dapat Disepakati karena Tiada yang dapat Disepakati dari Kepalsuan

LEGAL OPINION
PERIKATAN KONTRAKTUAL PURA-PURA, PENYELUNDUPAN HUKUM
Question: Apa memang benar-benar demikian, bisa terjadi perjanjian dibatalkan dengan alasan dulu bikin perjanjian itu dengan dilandasi motif pura-pura saja? Gimana pula hakim bisa simpulkan itu pura-pura saja atau tidaknya?
Brief Answer: Untuk langsung ke pusat permasalahan, jawaban yang SHIETRA & PARTNERS berikan ialah berupa pertanyaan introspektif berikut: bagaimana mungkin suatu kepura-puraaan dapat disepakati? Menyepakati kepura-puraan, apakah dapat dikategorikan sebagai “causa yang sahih” syarat sah perjanjian vide Pasal 1320 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?
Pada prinsipnya, apa yang telah disepakati, tidak dapat dibatalkan secara sepihak karena para pihak yang bersepakat terikat dalam perikatan didalamnya yang telah disepakati (Pasal 1338 Ayat ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sama absurd-nya seperti tidaklah dapat seseorang suami membatalkan perikatan perkawinan dengan alasan telah terjadi pernikahan pura-pura. Kepura-puraan tidak pernah dilandasi itikad baik.
Kaedah yang terkandung dalam norma Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata merupakan jaring pengaman (safety nett), bagi para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perikatan kontraktual perdata. Betapa tidak, salah satu pihak yang sebelumnya telah saling bersepakat, dapat saja menggunakan dalil bahwasannya kesepakatan tempo hari hanya “candaan”, “guyonan”, atau “pura-pura” belaka. Maka, apakah dirinya berhak menyatakan kesepakatan demikian adalah batal adanya? Kepura-puraan bukan untuk disepakati. Sekali menyepakati, maka konsekuensi yuridisnya harus berani ditanggung.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret, sebagaimana tidak dapat SHIETRA & PARTNERS benarkan praktik demikian yang bila dibiarkan terus terjadi, berpotensi merusak sendi-sendi asas hukum perikatan perdata, menjadi preseden buruk dikemudian hari, yang salah satunya penulis mengkritisi putusan Mahkamah Agung RI sengketa wanprestasi register Nomor 220 PK/Pdt/2016 tanggal 22 Juni 2016, perkara antara:
- PT. ASURANSI PRISMA INDONESIA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat; melawan
- WISNU SUHARDONO, S.E., selaku Termohon Peninjauan Kembali semula Penggugat.
Singkatnya, Penggugat memberi sejumlah uang pada Tergugat, lalu Tergugat memberikan perjanjian jual-beli saham perseroan Tergugat, namun kemudian Penggugat menggugat Tergugat dengan alasan bahwasannya jual-beli saham itu hanya bohong-bohongan belaka, tidak dapat menjadi dasar seolah Penggugat telah membeli saham Tergugat, sehingga pemberian uang oleh Penggugat kepada Tergugat dimaknai sebagai hutang-piutang. Dan itulah yang kini hendak dituntut oleh Penggugat lewat gugatan ini, agar dana pemberian dapat dikembalikan kepada dirinya, lengkap dengan permintaan bunga tentunya.
Terhadap gugatan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 966/Pdt.G/2008/PN Jkt. Sel. tanggal 26 Mei 2009, dengan amar : “Menolak gugatan pihak Penggugat untuk seluruhnya”. Namun dalam tingkat banding, yang kemudian menjadi amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 636/PDT/2010/PT DKI. tanggal 8 Desember 2011, sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan Para Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi);
3. Menyatakan jual-beli saham antara Penggugat dengan Tergugat I adalah jual beli pura-pura dan batal demi hukum;
4. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk mengembalikan uang kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditambah bunga sebesar Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung lewat putusannya Nomor 1948 K/Pdt./2012 tanggal 26 Februari 2013, menyatakan: “Menolak permohonan kasasi” yang diajukan oleh Tergugat, sekaligus mengukuhkan putusan Pengadilan Tinggi.
Tergugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa tidak adanya bukti tertulis perjanjian hutang-piutang, dan berpendirian bahwa dana yang diserahkan Penggugat adalah untuk keperluan jual-beli saham perseroan Tergugat.
Berdasarkan bukti perjanjian yang ada, sangat jelas bahwa hubungan hukum yang terjadi antara Penggugat terhadap Tergugat, adalah murni suatu Perjanjian Pembelian Saham atau Penyertaan Modal pada perseroan Tergugat, berupa Akta Perjanjian Pengambilan Saham Baru, yang dibuat di hadapan seorang Notaris, yang ditanda-tangani oleh Penggugat dan Tergugat, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat para pihak.
Dengan demikian, kedudukan Penggugat saat kini merupakan salah satu pemegang saham dari Tergugat, sesuai dengan ketentuan dalam Undang Undang Perseroan Terbatas, karena nama Penggugat kini ada dalam RUPSLB perseroan Tergugat, yang telah disetujui atau dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan ada dalam daftar pemegang saham perseroan. Dengan demikian kedudukan Penggugat sebagai pemegang saham sudah sah menurut hukum dan disetujui oleh pejabat yang berwenang.
Singkat kata, hubungan hukum hanya terjadi antara Penggugat dan Tergugat merupakan hubungan hukum pembelian saham. Dimana dengan pembelian saham akhirnya Penggugat secara sah telah duduk sebagai salah satu pemegang saham dalam perseroan Tergugat. Sehingga dalam hal ini sama sekali tidak ada wanprestasi yang dilakukan Tergugat dalam perjanjian pinjam uang—karena memang tidak pernah ada perjanjian pinjam-meminjam demikian.
Dimana terhadap argumentasi-argumentasi cukup berbobot dari pihak Tergugat, Mahkamah Agung tetap membuat pendirian serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, tidak beralasan  sebab telah diajukan dan dipertimbangkan dengan tepat dan benar dalam putusan Judex Facti / Pengadian Tinggi dan Judex Juris, bahwa hubungan hukum antara Penggugat dengan Para Tergugat pada dasarnya hutang piutang, sedangkan jual-beli saham hanya formalitas yang bersifat pura-pura dan dengan tidak dikembalikannya pinjaman kepada Penggugat, maka Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi);
“Bahwa oleh karena itu alasan peninjuan kembali Pemohon Peninjauan Kembali tidak memenuhi ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 200;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Para Pemohon Peninjauan Kembali: PT. ASURANSI PRISMA INDONESIA dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali: 1. PT ASURANSI PRISMA INDONESIA, 2. ANTON SIMON ARSJAD PONTO, 3. DRS. MUSRIZAL MASZDI, 4. CHOUDHRY MANAF, S.H., 5. Drs. AISAR RIFKI INDRA KESUMA, 6. SUPANDI WIRADIMADJA, 7. SHAFAAT ANDIKA RAMLY, 8. DRA. MAUDY SRI CHADIJAH, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.