Lex Posterior Vs. Lex Spesialis, Konteks Kodifikasi Parsial Terbuka

ARTIKEL HUKUM
Banyak diantara kalangan Sarjana Hukum maupun Akademisi di Tanah Air yang tidak menyadari bahaya dibalik perbenturan konsep asas “Lex Spesialis” terhadap keberlakuan asas “Lex Posterior”. Dalam psrspektif “Lex Spesialis Derogat Legi Generalis”, dimaknai bahwa undang-undang yang lebih spesifik gender-nya (atau yang lebih khusus sifat karakter normanya), maka menyimpangi undang-undang yang lebih umum sifatnya.
Masalah atau wacana sengit tidak terhindarkan timbul sebagai konsekuensi logisnya, ketika parlemen hendak menyusun dan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang didalamnya mengandung norma-norma pidana khusus seperti perihal pidana terhadap delik tindak pidana korupsi (Tipikor), tindak pidana nark0tika, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, yang mana meski kesemua norma khusus tersebut sejatinya telah diatur atau mendapat pengaturan dalam undang-undang khusus, semisal Undang-Undang tentang Tipikor, Undang-Undang tentang Terorisme, Undang-Undang tentang nark0tika, Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang tentang Anti Money Laundry, dan lain sebagainya.
Pertanyaan utama yang mengemuka, bila memang parlemen hendak merevisi undang-undang spesifik demikian, mengapa tidak dilakukan secara revisi “parsial terbuka” dengan merevisi masing-masing Undang-Undang sektoral demikian?
Dalam subklasifikasi spesies, kita mengenal istilah seperti: kingdom, genus, dan spesies. Dapat diumpamakan, UUD NKRI 1945 merupakan Kingdom, sementara KUHP merupakan Genus, dan Undang-Undang tentang Tipikor merupakan Spesies.
Kita perlu memahami, bahwasannya KUHP merupakan norma pengaturan pidana yang bersifat umum semata, bukan yang bersifat khusus corak karakternya, mengingat extra-ordinary crime membutuhkan pendekatan berbeda dalam penegakan, aparatur, sanksi, sistem pembuktian, serta penindakannya.
Maka, apa motif tersembunyi dibalik niat parlemen ketika hendak membentuk KUHP yang justru mengatur pula norma pidana khusus, memperkuat undang-undang khusus yang telah ada, atau justru sebaliknya: agenda tersembunyi untuk memperlemah keberlakuan undang-undang yang bersifat khusus pengaturannya?
Kita tidak boleh lupa, bahwa antara Undang-Undang tentang Tipikor, sebagai contoh, adalah satu derajat dengan KUHP, yakni sesama genus Undang-Undang. Maka berlaku-lah asas “Lex Posterior Derogat Legi Posteriori”, yang artinya undang-undang yang lebih baru dibentuk mengesampingkan undang-undang yang lebih lama keberlakuannya.
Menjadi pertanyaan yang patut kita introspeksi, bila Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kemudian disahkan parlemen bersama pemerintah, lalu keberlakuan efektifnya ialah jauh setelah pembentukan Undang-Undang yang bersifat khusus, maka apakah artinya RKUHP yang mengatur pula norma khusus, mengesampingkan keberlakuan berbagai Undang-Undang yang bersifat khusus demikian?
Ambil contoh Undang-Undang tentang Tipikor, yang didalamnya mengandung norma sebagai landasan yuridis pembentukan lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertanyaannya, bila saja KUHP yang baru disahkan dikemudian hari, ternyata mengatur pula norma-norma perihal Tipikor, namun tanpa menyertakan peraturan perihal eksistensi KPK, maka apakah artinya KPK gugur secara sendirinya disaat RKUHP disahkan menjadi KUHP?
Contoh lainnya, bila dalam Undang-Undang tentang Tipikor, antara pelaku otak intelektual dan pelaku penyertaan yang membantu terselenggaranya Tipikor, masing-masing dihukum sebagai pelaku Tipikor, maka dalam KUHP dikenal konsep “pengurangan 1/3 ancaman hukuman bagi pelaku penyertaan / pelaku perbantuan”. Artinya, bila kemudian pelaku tindak pidana korupsi tertangkap-tangan melakukan korupsi bersama-sama seorang pelaku yang membantu terwujudnya rencana korupsi, maka aturan manakah yang akan diberlakukan? KUHP, ataukah tetap merujuk pada Undang-undang tentang Tipikor?
Pertanyaan berikutnya, bila KUHP hanya mengatur sebagian kecil perihal Tipikor, sementara meski Undang-Undang tentang Tipikor mengatur secara holistik perihal Tipikor, maka apakah artinya berbagai kaedah norma Tipikor “mati” secara sendirinya ketika KUHP disahkan dikemudian hari? Bila norma-norma yang ada di Undang-Undang Tipikor, tidak di-reproduksi dalam RKUHP yang menjelma KUHP, maka apakah artinya norma-norma tersebut artinya tidak lagi diakui (kehilangan validitas) dengan tidak dibuatnya pengaturan yang sama dalam KUHP?
Sejatinya, ketika pemerintah dan parlemen sepakat untuk membentuk kebijakan “kodifikasi parsial terbuka”, maka cukup merancang RKUHP yang bersifat umum, tanpa menyentuh norma-norma tindak pidana khusus. Ketika KUHP yang baru disahkan kemudian, mengatur pula norma-norma pidana yang bersifat khusus, maka akan terjadi perbenturan / konflik asas hukum, sebagaimana telah diutarakan dimuka, disamping membuka peluang “jual-beli / negosiasi pasal”, semisal sebagaimana telah sering terjadi, yakni tindak pidana fidusia, dimana Jaksa Penuntut Umum dapat menggunakan pasal-pasal pidana KUHP dalam dakwaannya, namun ada juga Jaksa yang secara konsisten menggunakan ketentuan pidana dalam Undang-Undang tentang Fidusia.
Ketika kini kebijakan legislasi Nasional telah menjurus pada kebijakan “kodifikasi parsial terbuka”, maka sudah sepatutnya kebijakan demikian dilanjutkan secara konsisten, dengan tidak kembali melangkah mundur dengan secara implisit menghapus keberlakuan penerapan “kodifikasi parsial terbuka”. Konsistensi merupakan soko-guru kepastian hukum.
Kebijakan legislasi Nasional tidak dapat bersikap simpang-siur dengan membentuk RKUHP yang mencakup pula berbagai norma pidana bersifat khusus, namun disaat bersamaan melahirkan berbagai Undang-Undang yang bersifat Khusus. Hal tersebut diistilahkan sebagai overlaping yang tampak disengaja, karena tidak mungkin Sarjana Hukum penyusun naskah akademik tidak menyadari benturan asas demikian, yang akan menyukarkan implementasi dalam praktiknya disamping menciptakan ketidak-pastian hukum serta membuka lebar-lebar ruang negosiasi pasal bagi mafia kasus.
Mungkin hal tersebut juga dapat terjadi, ditengarai akibat lemahnya sistem pendidikan hukum di Perguruan Tinggi, dimana konsep paling mendasar seperti asas-asas hukum saja, tidak diberikan pemahaman secara mendalam bagi para mahasiswa peserta didik. Ketika landasan fondasi ilmu hukum tidak tertanam secara kokoh, yang kemudian terjadi ialah seperti praktik hukum di Tanah Air: penegakan hukum tidak konsisten, menciptakan preseden buruk yang seolah melestarikan dan memelihara para bandit dan kriminal seolah negara ini adalah negara tanpa hukum—dimana berbagai undang-undang dan aturan pidana ataupun aturan administrasi diterbitkan, namun pelanggaran di lapangan lebih banyak diabaikan oleh para penegak hukum yang memonopoli hak penggunaan senjata api, memonopoli kewenangan penerbitan izin dan/atau penindakan (semisal pembangunan rumah tanpa IMB yang seringkali diabaikan pemerintah daerah), dan akses peradilan pidana.
Kesan “tebang pilih” dan terbitnya aturan yang “segunung” hanya sebagai “kecentilan” atau gimmick semata, karena memang tidak pernah ditegakkan secara serius juga tidak pernah ditegakkan secara konsisten oleh para aparatur pemegang kekuasaan monopolistik tersebut di Indonesia. Produktifitas pembentukan legislasi tidak sejalan dengan konsistensi dan keseriusan untuk menegakkannya, adalah omong-kosong belaka—suatu prestasi palsu yang manipulasi dan cenderung membodohi publik dengan berbagai harapan palsu dibalik regulasi yang ada, dengan jargon: “Jika ada pelanggaran terhadap peraturan, laporkan saja!”—menjadi dua pertanyaan baru: lapor kemana, dan apakah ada jaminan laporan akan ditindak-lanjuti? Melapor tanpa ditindak-lanjuti, sama artinya membuat masalah baru dikemudian hari bagi pihak warga pelapor.
Lihat saja nasib Peraturan Daerah DKI Jakarta yang melarang warga membakar sampah sembarangan sehingga membayakan kesehatan warga lainnya oleh polusi udaha (asap), disertai ancaman sanksi pidana. Namun baik polisi maupun aparatur Pemerintah Daerah, sama sekali tidak memiliki itikad baik untuk menegakkan aturan tersebut, sekalipun warga setempat telah secara resmi mengadukan dan melaporkan.
Sama seperti nasib Perda IMB, dan nasib Perda-Perda maupun undang-undang lainnya yang mengatur sanksi pidana. Jangankan Perda, norma pidana dalam KUHP sekalipun, dalam praktiknya korban kerap ditelantarkan oleh kepolisian yang memegang kendali monopolistik atas penggunaan borgol, sel tahanan, senjata api, maupun akses peradilan pidana.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.