Korelasi Hukum Likuidasi & Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Di undang-Undang Asuransi ada dibilang, kalau perusahaan asuransi dicabut izinnya oleh pemerintah, kan harus likuidasi. Tapi kenapa ini sekarang malah digugat pailit oleh otoritas?
Brief Answer: Antara likuidasi dan kepailitan, pada esensinya sama saja, meski likuidasi akan berbiaya lebih ekonomis ketimbang kepailitan yang akan menguras banyak sumber daya keuangan debitor pailit atas berbagai tagihan biaya kepailitan dan fee kurator yang tidak pernah sedikit jumlahnya. Meski demikian, dari perspektif kepentingan kreditor, kepailitan lebih akuntabel dan transparan ketimbang likuidasi dilakukan sendiri oleh pihak debitor.
Pada prinsipnya, likuidasi merupakan kebijakan internal pelaku likuidasi. Sementara kepailitan merupakan daya paksa tekanan eksternal, bilamana Termohon Pailit tidak berkenan untuk melikuidasi dirinya sendiri. Namun esensi akhirnya sama saja: membubarkan sekaligus mencairkan seluruh hak dan kewajiban.
PEMBAHASAN:
Terdapat ilustrasi konkret yang cukup kompleks namun sarat akan kaedah hukum, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepailitan register Nomor 1016 K/Pdt.Sus-Pailit/2016 tanggal 13 Desember 2016, perkara antara:
- PT. ASURANSI SYARIAH MUBARAKAH, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit; melawan
- DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, selaku Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit.
Pemohon Pailit adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sementara itu Termohon merupakan Perusahaan Asuransi yang memperoleh izin usaha dalam bidang asuransi jiwa. Merujuk Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, disebutkan:
“Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan Perasuransian yang sebelumnya berada pada Menteri Keuangan, kini beralih menjadi kewenangan OJK.
Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian:
“Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.”
Penjelasan Resmi:
“Sejalan dengan ruang lingkup tugas Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beralih menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini.”
Pasal 2 Ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU, mengatur pula:
“Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
Sementara itu Pasal 55 ayat (1) UU OJK mengatur:
“Sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.”
Sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Pencabutan Izin Usaha PT. Asuransi Syariah Mubarakah tanggal 28 Desember 2012, Pemohon telah menerima banyak pengaduan dari masyarakat pemegang polis yang diterbitkan oleh Termohon, berkaitan dengan tidak dibayarkannya manfaat asuransi yang seharusnya menjadi kewajiban Termohon untuk melunasinya.
Pemohon menegaskan, pernyataan pailit terhadap Termohon sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan pemegang polis terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya.
Terhadap penerbitan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pencabutan Izin Usaha PT. Asuransi Syariah Mubarakah, Termohon pernah menggugat keputusan pencabutan izin usaha Termohon melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang terregister dalam perkara Nomor 39/G/2013/PTUN-JKT, dengan amar: “Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Selanjutnya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara Nomor 206/B/2013/PT.TUN.JKT menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, lalu Termohon mengajukan upaya hukum kasasi namun kini masih dalam proses pemeriksaan oleh Mahkamah Agung RI.
Sebelumnya juga, Pemohon pernah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon dalam perkara yang terregister pada Nomor 08/PDT-SUS-PAILIT/2016/PN.NIAGA.Jkt.Pst, dimana Majelis Hakim menerbitkan putusan dengan amar: “Menolak Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon Otoritas Jasa Keuangan terhadap Termohon PT. Asuransi Jiwa Mubarakah.”
Adapun kini, dalil Pemohon, perkara kepailitan adalah sebuah permohonan, bukanlah gugatan, untuk itu, permohonan kepailitan tidak dikenal asas “ne bis in idem”, hal ini sebagaimana terdapat dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 703 K/Pdt.Sus/2012.
Dengan demikian, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebelumnya, yang pada pokoknya menolak permohonan pailit Pemohon, tidak menghalangi Pemohon untuk mengajukan kembali permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon.
Sebelum tiba pada amar putusan, perlu SHIETRA & PARTNERS kutipkan kaedah norma Pasal 142 Ayat (1) huruf (f) Undang Undang Nomor 40 Tahun 200 tentang Perseroan Terbatas, yang berbunyi, yang mengatur:
“Pembubaran Perseroan terjadi (j) karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Penjelasan Resmi:
“Yang dimaksud dengan dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi adalah ketentuan yang tidak memungkinkan Perseroan untuk berusaha dalam bidang lain setelah izin usahanya dicabut, misalnya izin usahaperbankan, izin usaha perasuransian.”
Senada dengan itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan pula, terhadap izin usaha yang telah dicabut tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha (Pasal 43 UU Perasuransian) dan selanjutnya harus melakukan proses pembubaran atau likuidasi (Pasal 44). Berikut kutipan Pasal 43 Ayat (1) UU Perasuransian:
“Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya wajib menghentikan kegiatan usahanya ”
Merujuk pula Pasal 44 Ayat (1) UU Perasuransian:
Paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud da-lam Pasal 6 ayat (1) huruf c untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan membentuk tim likuidasi.”
Terhadap permohonan pernyataan pailit demikian, Pengadilan Niaga pada Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 36/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 6 September 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Termohon Pailit keliru menterjemahkan ketentuan Pasal 142 ayat (1) huruf Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dan Pasal 143 ayat 1 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tersebut, yang seharusnya mengajukan permohoncm likuidasi adalah perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, bukan kreditornya, maka dengan demikian eksepsi Termohon Pailit tersebut patutlah ditolak;
“Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Termohon Pailit tersebut Majelis Hakim berpendapat tidak beralasan menurut hukum, bahwa keteetntuan Pasal 51 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK (POJK) Nomor 28 tersebut mengatur tenggang waktu untuk diterima atau ditolaknya oleh OJK atas permohonan kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan tidak mengatur tentang baias waktu OJK untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga atas permohonan kreditor kepada OJK;
“Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan yang diuraikan diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan telah memenuhi ketentuan Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 serta permohonan pernyataan pailit telah memenuhi persyaratan Pasal 2 Ayat 1 dan pembuktiannya secara sederhana sebagaimana ditentukan Pasal 8 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, oleh karenanya cukup beralasan menurut hukum permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon terhadap Termohon Pailit untuk dikabulkan;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan permohonan pernyataan pailit dari Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Termohon PT. Asuransi Syariah Mubarakah pailit dengan segala akibat hukumnya;
3. Menunjuk saudara: ... , Hakim Niaga pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas;
4. Mengangkat saudara : ... Sebagai kurator dalam kepailitan PT. Asuransi Syariah Mubarakah.”
Termohon Pailit mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa merujuk ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Pasal 43—44 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Pemohon Pailit telah mencabut izin usaha Pemohon Kasasi sehingga untuk selanjutnya bentuk penyelesaian kewajiban Termohon kepada para nasabahnya adalah melalui likuidasi, bukan kepailitan.
Mekanisme hukum yang berlaku untuk penyelesaian hutang-piutang terhadap kreditor, harus diselesaikan dengan cara likuidasi sesuai Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Perasuransian yang diajukan secara tersendiri oleh Termohon, sementara pengajuan kepailitan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang Perasuransian hanya dapat dilakukan oleh Pemohon terhadap perusahaan yang statusnya masih sebagai badan hukum aktif, alias tidak dalam kondisi izin usahanya dicabut sebagaimana kondisi Termohon.
Termohon menilai Pengadilan Niaga telah secara sengaja mengesampingkan dan/atau menghilangkan frase kata “segera” yang justru sebagai petunjuk penting dalam ketentuan Pasal 55 Ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015, yang mengatur:
“Apabila OJK menyetujui permohonan untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit Perusahaan, maka OJK segera menyampaikan permohonan pemyataan pailit Perusahaan kepada pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Termohon menyimpulkan, bahwa Pemohon dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Termohon, namun secara hukum permohonan pailit tersebut telah lewat jangka waktu, alias kadaluarsa. Kata “segera” dalam Pasal 55 ayat 5 POJK 28 jelas dan tanpa perlu ditafsirkan secara detail menunjukkan adanya jangka “waktu” bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan kepailitan atas nama kreditor terhadap Termohon.
Dimana terhadap keberatan-keberatan demikian, Mahkamah Agung membuat rasionalisasi pertimbangan hukum serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 14 September 2016 dan kontra memori tanggal 23 September 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti sudah tepat dan tidak salah dalam menerapkan hukum karena telah terbukti syarat adanya pailit terhadap Pemohon Kasasi / Termohon Pailit karena terdapat fakta bahwa Pemohon Kasasi / Debitor mempunyai lebih dari 2 (dua) kreditor dan tidak membayar lunas lebih dari satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta pembuktiannya sederhana karena faktanya utang-utang tersebut belum dibayar lunas dan telah jatuh waktu dan dapat ditagih, hal tersebut tidak dibantah Pemohon Kasasi/Debitor Pailit;
“Bahwa oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU permohonan Pemohon telah memenuhi syarat dan berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dalil permohonan Pemohon tersebut telah dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga permohonan Pailit Pemohon dapat dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pdt.Sus/Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 6 September 2016 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. ASURANSI SYARIAH MUBARAKAH tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ASURANSI SYARIAH MUBARAKAH tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.