Konsistensi Penegakan Hukum sebagai Tulang Punggung Efektifitas Hukum

ARTIKEL HUKUM
Negarawan yang memahami benar perihal hukum, bukan lewat membuat segudang peraturan atau merevisi peraturan perundang-undangan yang sudah ada, namun membuatnya efektif lewat penegakan hukum yang dilandasi komitmen, keseriusan, serta konsistensi. Untuk apa setiap tahunnya gonta-ganti / kutak-kutik aturan hukum, bila dalam implementasi di “akar rumput” sama sekali tidak separuh hati penegakkannya.
Lebih baik aturan hukum yang minim, namun serius dalam penegakannya, daripada sekadar memproduksi “gimmick”. Produktivitas penegakan hukum tidak sejalan dengan berbagai pasal peraturan perundang-undangan yang dicetak diatas kertas. Janganlah merujuk berbagai penjara yang penuh sesak oleh narapidana, karena faktanya para penjahat yang gemar menganiaya dan merusak, dibiarkan lepas di depan mata oleh pihak kepolisian, jauh lebih masif, sekalipun itu kota besar sekaliber DKI Jakarta.
Sebagai contoh, seorang petinggi BNN, Kombespol Sulistian Sujatmoko, menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan perihal pemberantasan nark0tika di Tanah Air sudah memadai, hanya saja masalahnya terletak dalam taraf implementasi yang jauh dari ideal. Tidak perlu berfokus pada pembentukan atau perubahan undang-undang, namun komitmen dalam penegakan aturan hukum yang ada.
Beliau menyampaikan, para bandar nark0tika lebih memilih Indonesia sebagai target pasar peredaran nark0tika, oleh sebab penegakan hukumnya lemah dan para aparatur penegak hukumnya “dapat dibeli”. Tidak ada efek jera karena hukum ibarat (disengaja) menjelma “macan ompong” berhadapan dengan para bandar tersebut yang kuat dalam politik uang.
Para bandar yang telah dihukum di penjara atau bahkan telah dijatuhi vonis mati, ternyata tetap mampu melakukan aktivitas transaksi dan importasi nark0tika kedalam Indonesia yang dikendalikan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Tidak ada lagi yang menakutkan dari aturan hukum di Indonesia karena penegakannya yang tidak serius. Tiada efek sakral dibalik praktik hukum di Indonesia yang sama sekali tidak pernah ditegakkan secara tegak, seakan para berandal demikian memang sengaja dipelihara oleh para petugas yang semestinya menegakkan hukum.
Bila saja dari tahap penangkapan terhadap pelaku kejahatan (maupun kriminalitas umum apapun) dilakukan oleh pihak berwajib secara serius dan konsisten, maka dapat dipastikan terbentuk citra sakral di mata masyarakat lokal maupun masyarakat internasional, sehingga tidak lagi berani mencoba-coba untuk melanggar hukum di sudut tempat mana pun di Indonesia.
Namun penegakan hukum tidak dapat dijalankan separuh hati dan tidak dapat pula bergerak seorang diri. Ketika pihak kepolisian tidak dapat dibeli dengan uang (tidak mempan terhadap praktik suap), maka pihak-pihak yang berkuasa secara materi keuangan dapat melakukan pendekatan terhadap pihak pejabat penuntutan, dan bila pejabat penuntutan juga tidak dapat dibeli, maka kalangan pengadilan mendapat pendekatan dari para mafia kasus. Namun vonis keras dari hakim bukanlah akhir dari segalanya, karena pejabat Lapas sudah diketahui oleh umum kerap bermain dengan para narapidana, bahkan vonis hukuman mati hanya sekadar vonis diatas kertas. Bahkan, Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengaku mengusung pembelaan terhadap konsep hak asasi manusia, pun dapat dibeli suaranya untuk membela para bandar yang akan dieksekusi mati tersebut.
Ibarat kata, peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengancam sanksi pidana, seakan hanya sekadar “kecentilan” dan “kegenitan” legislasi agar dapat disebut sebagai negara beradab dan berhukum, meski senyatanya jauh “panggang dari api”. Semua bunyi aturan berisi perintah dan larangan, hanya menjadi polesan bibir. Pelanggarnya bukan hanya para petinggi negara, namun hampir seluruh kalangan dan tingkat kelas lapisan masyarakat di Indonesia dengan mudahnya melakukan berbagai pelanggaran, tanpa rasa malu dan tanpa rasa takut.
Dapat dikatakan, praktik tidak tegaknya hukum di Indonesia, justru menjadi pintu masuk pelestarian terhadap kejahatan atau bahkan para penjahat itu sendiri yang dipelihara oleh para pejabat pemegang monopoli penggunaan senjata api dan borgol maupun pemegang monopoli penuntutan (kejaksaan) dan kehakiman.
Motifnya, tentu saja simbiosis mutualisme diantara para pelaku kejahatan dan penyelenggara negara: dimana pelaku kejahatan membeli hukum di Indonesia, sementara para penyelenggara negara dan aparat penegak hukum menjadikan para pelanggar tersebut sebagai objek penghisapan dan pemerasan (lewat menjajakan “perlindungan” ataupun “agar dilepas”), dan disaat bersamaan menelantarkan atau bahkan mengabaikan laporan para rakyat yang menjadi korban segala tindak kejahatan demikian. Karena pelakunya merasa bebas berbuat kejahatan, maka tidaklah juga mengherankan bila dikemudian hari pelanggaran yang lebih besar akan kembali terulang oleh pelaku yang sama ataupun terhadap korban yang sama.
Dilematika demikian tidak hanya terjadi dalam konteks lemahnya penegakan terhadap pemberantasan nark0tika, namun segala jenis tindak kejahatan umum lainnya. Para pelaku kejahatan kerap dilepas begitu saja oleh para oknum (oknum yang berjemaah) untuk menjadi “objek sapi perahan” yang harus menyetor sejumlah upeti uang setiap kali berjumpa, atau oknum tersebut meminta sejumlah uang barulah dirinya akan menangkap dan memproses sang pelaku. Kejaksaan juga kerap melakukan praktik transaksional pasal-pasal pidana, sebagaimana telah banyak penulis berikan contoh kasusnya dalam tulisan-tulisan penulis sebelumnya.
Pada gilirannya, hukum di Indonesia sama sekali tidak menawarkan pada masyarakat sebentuk jaminan atapun perlindungan apapun. Aparatur penegak hukumnya justru menjadi agen kejahatan atau bahkan ancaman utama bagi warga yang semestinya dilindungi dan diayomi oleh mereka yang telah digaji dengan “Uang Rakyat Sumber Pajak” (Note Penulis: Mulai kini, hindari penggunaan istilah Uang Negara, seolah-olah para pejabat negara digaji bukan oleh rakyat).
Alhasil, kini ditengah masyarakat Indonesia, berkembang paham “siapa takut?”. Maksudnya, tatkala kita mengancam pihak lain yang hendak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap kita, untuk kita laporkan kepada pihak berwajib, pelanggar yang bersangkutan selalu akan memberi respon sebagai berikut: “Siapa takut? Panggil saja polisi, palingan tidak akan diladeni, dan tidak akan kami dipenjara. Panggil saja, sana panggil polisi! Laporkan saja ke lurah yang selalu bersembunyi jika dijumpai di Kelurahan, atau ke presiden jika perlu untuk mendengar umbar janji.
Ironi diatas bukanlah sebuah lelucon juga bukan asumsi, namun telah penulis alami secara pribadi dikeseharian (penulis tidak akan berani menulis semua uraian tersebut bila tidak memiliki bukti otentik), yang fenomenanya hampir merata di setiap sudut daerah dan kota di Indonesia—jika tidak dapat disebut sebagai telah menjadi watak / karakter bangsa ini yang dibiarkan tumbuh memiliki jiwa untuk melanggar tanpa kenal takut—yang tentunya juga dapat para pembaca rasakan atau amati sendiri, dalam kehidupan di sekitar lingkungan tempat tinggal atau komunitas lainnya.
Bukan pula menakutkan menjadi tergugat dalam perkara perdata, yang sekalipun dikalahkan dan dihukum oleh hakim untuk membayar sejumlah ganti-rugi, sang tergugat dengan tenang-tenang saja akan berkomentar santai: “Kamu makan itu, putusan menang diatas kertas, putusan macam ompong.” Eksekusi putusan pengadilan perkara perdata, menjadi problematik tersendiri, yang kerap membuat pihak penggugat yang telah bersusah-payah mengajukan dan mengupayakan upaya hukum gugatan, seringkali membentur tembok tebal birokratisasi saat hendak mengajukan eksekusi terhadap putusan yang sekalipun telah berkekuatan hukum tetap.
Belum lagi bila kita bicara perihal lawan atau pelaku kejahatan yang memiliki kekuasaan politik maupun kekuasaan uang, maka hukum dalam penegakannya bagai “tebang pilih”, “tumpul ke atas namun tajam ke bawah”, “mudah dibeli”, “transaksional”, “penuh penelantaran / pengabaian”, “tidak melindungi”, atau bahkan menjadi “law as a tool of crime”. Hukum yang justru implementasinya mengabdi bagi kepentingan pihak-pihak yang memegang kekuasaan demikian, maka apalagi yang membedakan antara hukum dengan kancah politik?
Simak saja bagaimana para gembong nark0tika dengan tanpa rasa takut ataupun terancam oleh sistem hukum di Indonesia, dengan enteng-nya melontarkan kalimat berikut ketika melanggengkan kaki bagaikan raja jalanan di Tanah Air, tanpa tersentuh oleh hukum, “Ah, gampang-lah Indo ini, para polisinya bisa dibeli dengan cara-cara murahan. Apalagi sipir Lapas ataupun eksekutor di Kejaksaan. Ngapain musti takut jadi raja bandar nark0tika di Indonesia. Bahkan dibanyak tempat di Indo, ada semacam lokalisasi jual-beli nark0tika yang dilindungi dan dipelihara oleh para petinggi dan kepolisian. Siapa takut?!
Terlebih satiris yang cenderung ironis, ialah kalangan profesi pengacara maupun konsultan hukum. Betapa tidak, aturan hukumnya sudah jelas, namun pada praktiknya para penyelenggara negara, polisi, jaksa, hakim, dapat membuat aturan main seenaknya sendiri, bahkan secara terang-terangan menyimpangi dan menafikan norma hukum peraturan perundang-undangan yang telah mengatur kebolehan maupun larangan secara tegas disertai ancaman sanksi-nya.
Ujungnya, kredibilitas kalangan profesi konsultan hukum maupun pengacara bagai “telur di ujung tanduk”, dimana semua praktik penegakan hukumnya harus bergantung / mengandalkan itikad baik aparatur sipil negara yang memegang kekuasaan monopolistik akses terhadap peradilan maupun penggunaan daya-daya koersif layaknya Juru Sita Pengadilan yang tidak kalah arogansi dengan kelakuan kalangan pejabat kepolisian maupun petugas Kantor Pertanahan.
Banyak kalangan umum yang menilai lembaga peradilan menjadi kotor karena kelakuan para hakimnya yang seenaknya merusak tatanan preseden, namun siapa yang pernah menyadari bahwa kotornya peradilan justru diakibatkan perilaku juru sita yang memegang kekuasaan monopolistik untuk mengeksekusi putusan pengadilan. Adalah percuma saja memenangkan sebuah gugatan, bila tidak mau dieksekusi oleh sang juru sita, dan kekuasaan monopolistiknya tersebutlah yang digarap secara “sok jual mahal” oleh sang juru sita pengadilan. Biaya siluman pemerasan oleh seorang juru sita, dapat lebih mahal dari biaya gugatan itu sendiri, hanya agar sang juru sita mau menjalankan isi amar putusan yang memang sudah menjadi tugas profesinya dari “Uang Rakyat” yang setiap bulan dimakan olehnya—yang gaibnya, tidak dapat dipecat oleh Rakyat selaku pemberi Upah.
Standar moril negeri yang warganya mengaku agamais ini, meski rajin melakukan ibadah, namun ternyata juga rajin korupsi berjemaah, rajin menipu diri sendiri, rajin pamer kekuasaan, rajin menyalah-gunakan kekuasaan, rajin membodohi masyarakat lewat segudang aturan peraturan perundang-undangan yang sudah menjelma “rimba belantara” namun sebagian besar diantaranya justru hanya dibiarkan menjadi “macan ompong”—bagaikan memang diterbitkan hanya untuk dikodratkan sebagai “ancaman macam ompong belaka”. Peraturan perundang-undangan yang dibentuk hanya menjadi objek “proyek” kerjaan, yang selama ini menghisap anggaran APBN/D dengan nilai nominal Rupiah yang fenomenal.
Sama sekali tidak ditakutkan, tiada wibawa, tiada integritas, yang hanya menjadi objek pelecehan mereka yang merasa lebih tinggi derajatnya daripada hukum. Seperti negara yang menjelma negara tanpa hukum. Bahkan, hukum rimba mungkin masih lebih ideal ketimbang praktik hukum saat kini, dimana para pejabat negara yang memegang kekuasaan monopolistik, justru menjadi agen kejahatan atau bahkan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri—sementara, para korbannya tidak diberi akses menuju peradilan pidana, tidak diberi kewenangan menggunakan senjata api ataupun borgol, tidak diberi pilihan bebas untuk memilih kantor pelayanan publik yang lebih bersih.
Hukum negara kerap kali lebih membelenggu dan memeras rakyat daripada ketika praktik bernegara masih dijunjung oleh “hukum rimba”, dimana semua rakyat sama rata, sama tinggi, dan sama rasa. Bila pelakunya hendak membunuh, maka korbannya pun berhak membunuh pelaku tersebut dengan mempersenjatai diri.
Dalam “hukum rimba”, setiap warga sama derajatnya, dimana setiap warga berhak menjadi polisi dan sekaligus menjadi hakim, dikala seorang polisi atau seorang hakim tidak menjalankan fungsinya secara bertanggung-jawab. Itulah kelebihan dari “hukum rimba” yang tidak dimiliki oleh praktik hukum di Indonesia yang belum dapat disebut beradab ini. Bandingkan dengan praktik di Indonesia selama ini, bila polisi mengabaikan laporan / aduan masyarakat selaku korban, maka selamanya sang korban tidak berhak mempersenjai diri ataupun mengakses pintu peradilan pidana.
Selamanya disandera oleh “hukum negara” yang selama ini telah menghisap dan mengambil-alih kebebasan seorang manusia untuk membela dan memperjuangkan / menentukan nasibnya sendiri—dimana semua hak dan kebebasan demikian dihisap oleh “hukum negara” untuk diserahkan secara monopolistik oleh kalangan kepolisian, kejaksana, dan kehakiman.
Ironi demikianlah yang membuat penulis kerap kali mengidolakan “hukum rimba” ketimbang praktik “hukum negara” di Indonesia yang demikian mengecewakan akibat praktik “tebang pilih” yang penuh nuansa koruptif dan kolusif—dan tentunya, penulis tidak akan berani membuat pernyataan demikian tanpa pernah mengantungi bukti otentik terhadap tuduhan demikian. Tanpa pernah bosan penulis senantiasa mengingatkan kita pada hakekat “hukum rimba”, yang membuka keran kebebasan secara utuh bagi setiap individu untuk menentukan nasibnya sendiri.
Hukum negara di Indonesia pada praktiknya jauh lebih primitif daripada “hukum rimba”, karena hak seorang pribadi / individu sebagian besar dicabut dan diserahkan secara monopolistik kepada tangan-tangan orang yang belum tentu bertanggung-jawab demikian, tanpa dapat dicabut kembali kepada individu yang bersangkutan. Sungguh disayangkan, sekaligus fatalistik bila konsepnya tanpa hak regres demikian.
Sebagai konsekuensi logisnya, praktik hukum di Indonesia, warga tidak dapat membela diri sendiri, tidak dapat juga memegang senjata api untuk melindungi diri, tidak dapat mengakses peradilan pidana, tidak dapat membuat surat dakwaan sendiri terutama bila kejaksaan tampak tidak kompeten yang disengaja (lihat kasus Munir), tidak dapat mengakses pelayanan publik secara bebas karena masih dimonopolisir kantor penyelenggaraan pemerintahan negara tertentu.
Ilustrasinya secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Kantor Pertanahan suatu wilayah tidak mau memberi pelayanan pada publik tanpa uang “pelicin”. Suka atau tidak suka, mengapa juga Kantor Pertanahan tersebut tetap “laku” dari kunjungan warga yang memohon pelayanan publik. Tanya kenapa? Karena Kantor Pertanahan tersebut memegang kekuasaan monopolistik.
Contoh lainnya: Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang seburuk apapun pelayanan publik yang diberikannya kepada pelanggan (konsumen), pihak PLN kemudian berkata: “Siapa takut? Tidak puas, mau putus sambungan listrik? Putus saja. Siapa takut?” Sudah menjadi rahasia umum bahwa tedapat banyak manipulatif dalam sistem tagihan listrik yang diselenggarakan PLN dengan berbagai kecurangannya.
Dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya, penulis kerap mengupas bagaimana warga di Negara Amerika Serikat dapat menggunakan “mantra sakti” ketika berhadapan dengan warga lain yang hendak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap dirinya, lewat pernyataan singkat berikut: “Bila Anda tidak menghentikan sekarang juga, akan saya laporkan kepada kantor Gubernur, atau akan saya panggil polisi.
Hendaknya tidak Anda remehkan ancaman demikian, bila Anda berada di negeri Amerika Serikat ataupun negeri-negeri beradab lainnya (namun boleh Anda remehkan seremeh-remehnya di Indonesia). Mengapa? Karena para aparatur penyelenggara negara maupun kepolisian di negara-negara beradab akan senantiasa serius menanggapi setiap aduan dan laporan masyarakat, benar-benar mengayomi, bersungguh-sungguh melindungi dan melayani masyarakat, adanya sebentuk kepedulian dan itikad baik sebagai tanggung jawab profesi.
Sebaliknya, di Indonesia, yang ada ialah warga sipil yang harus melayani segala arogansi maupun penelantaran para aparatur sipil negara maupun kepolisian, warga sipil yang justru menjadi korban pengabaian maupun pemerasan oleh mereka yang memegang kekuasaan monopolistik, oleh mereka yang telah digaji dengan “Uang Rakyat”.
Anda mengancam dan sungguh-sungguh melaporkan pelaku pelanggar hukum kepada pihak Lurah, Camat, Gubernur, Presiden, Polisi, hingga wakil rakyat di DPR, maka sama artinya kita sendiri yang bodoh, karena selain membuang-buang waktu dan energi, pelakunya tidak akan ditindak, justru Anda yang kemudian akan dimusuhi oleh pejabat pelanggar yang masih dibiarkan bercokol dan berkuasa.
Laporan yang berbuah menjadi bumerang bagi pelapor / korbannya itu sendiri. Adalah fakta yang tidak terbantahkan, bangsa Indonesia bukan rusak dari aspek peraturan perundang-undangan, namun rusak dan busuk dari segi standar moralitasnya. Hukum dan masyarakat yang diaturnya, dalam praktiknya di Indonesia, terasa demikian berjarak.
Membaca bunyi pasal peraturan perundang-undangan di Indonesia, bagai dibelai oleh utopia yang penuh semangat idealisme, namun semua itu hanyalah mimpi. Kenyataan realitanya, yang ada ialah mimpi buruk yang dipertontonkan secara vulgar terhadap rakyatnya sendiri.
Terlampau kotor pejabat pemegang kekuasaan monopolistiknya tersebut, ketimbang warga yang diaturnya sendiri. Tidak ada yang lebih dilematis daripada fakta empirik demikian. Adakah yang lebih jujur daripada kenyataan demikian? Indonesia kaya akan peraturan perundang-undangan tertulis diatas kertas, namun miskin dalam penegakannya. Presidennya silih berganti, menterinya silih berganti, pejabat lurahnya silih berganti, kepala kantor polisinya silih berganti, tapi mental bangsanya tetap saja tidak berubah. Busuk dari puncaknya hingga ke akar rumput.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.