Rasionalisasi Kewajiban Perundingan Bipartit sebagai Prasyarat Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial

LEGAL OPINION
Question: Di undang-undang ada disebutkan kalau mau berselisih di lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, harus lebih dulu ada perundingan bipartit antara pegawai dan pihak manajemen perusahaan. Masalahnya, pihak perusahaan tidak kooperatif untuk merundingkan masalah. Apa artinya hak pegawai untuk menggugat, tersandera oleh adanya aturan pasal itu di undang-undang?
Brief Answer: Tidak ada undang-undang maupun bahasa tertulis yang telah sempurna, itulah asumsi yang harus terus para jurist pahami dengan baik, sehingga kerap kali praktik peradilan sebagai suatu best practice, kerap dijumpai melakukan rasionalisasi pasal-pasal peraturan perundang-undangan.
Salah satunya ialah kaedah normatif prasyarat bagi seorang Pekerja / Buruh untuk dapat mengakses Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yang oleh undang-undang memang benar diwajibkan adanya Perundingan Bipartit, dimana risalah deadlock Perundingan Bipartit menjadi prasyarat Perundingan Tripartit, dan risalah Perundingan Tripartit menjadi prasyarat menempuh sengketa di PHI.
Banyak diantara kalangan Pengusaha yang beritikad kurang baik, terutama ketika memahami kelemahan kedudukan Pekerja / Buruh, dan juga mekanisme prosedural berantai sebagaimana demikian diatas, maka kerap terjadi tidak bersedia melakukan Perundingan Bipartit, sebagai alasan sempurna untuk “mematikan” langkah sang Pekerja yang hendak menyelesaikan sengketa di PHI.
Singkat kata, terlepas dari apakah pihak Pengusaha akan menyikapi permohonan Perundingan Bipartit atau tidaknya, saat kini tidak lagi relevan dimata kalangan Hakim di Pengadilan. Yang terpenting, ialah secara formalitas pihak Pekerja telah mengajukan surat permohonan / undangan perundingan Bipartit, sebagai landasan awal Perundingan Triparti dengan dimediasi oleh Mediator Dinas Tenaga Kerja, untuk kemudian pihak Mediator yang akan mengundang kehadiran pihak Pengusaha.
Ketika pihak Pengusaha tetap juga tidak hadir memenuhi undangan, maka Mediator menerbitkan Surat Anjuran. Dimana bila Surat Anjuran Mediator tidak disikapi oleh pihak Pengusaha, maka Mediator Disnaker akan membuat Risalah Tripartit, yang isinya ialah bahwa pihak Pengusaha dianggap menolak isi Anjuran, dan dengan itu Mediator Disnaker merekomendasikan pihak Pekerja untuk mengajukan gugatan ke PHI. Risalah Tripartit itulah yang berfungsi menyerupai sebuah “surat pengantar” bagi Pekerja untuk menghadap PHI, sekalipun Perundingan Bipartit tidak pernah berhasil dilangsungkan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret perihal rasionalisasi pasal sebuah undang-undang, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan sela Mahkamah Agung sengketa hubungan industrial register Nomor 1100 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 10 Februari 2017, perkara antara:
- AJI AHMAD WAHIDIN, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- ASEAN FOUNDATION, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Tergugat merupakan organisasi internasional. Sebagai subjek hukum internasional, terhadap gugatan Penggugat yang merupakan karyawan Tergugat, Tergugat mendalilkan bahwa organisasi internasional dilengkapi hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan (hak imunitas).
Bukan karakter latar belakang sengketa yang akan SHIETRA & PARTNERS bahas, bukan juga perihal dalil Tergugat bahwasannya: berdasarkan penjelasan diatas, Penggugat dikategorikan sebagai “pegawai internasional” yang tunduk terhadap ketentuan hukum dan kebiasaan “organisasi internasional”. Sebagai contoh, seorang “pegawai internasional” juga mempunyai kekebalan fiskal, yaitu kebebasan dari membayar pajak atas gaji yang mereka terima.
Terhadap gugatan pihak Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 143/Pdt.Sus.PHI/2016/PN.Jkt.Pst. tanggal 19 September 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap diatas maka dapat disimpulkan bahwa proses bipartit antara Penggugat dengan Tergugat, belum ditempuh;
“Menimbang, bahwa karena proses non litigasi belum sepenuhnya ditempuh Penggugat, maka proses litigasi yaitu gugatan ke pengadilan hubungan industrial, belum dapat diterima;
“MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, keberatan terhadap putusan “niet ontvankelijk verklard” yang didasarkan pada anggapan kalau Penggugat belum menjalankan proses bipartit. Dengan kata lain, hirarki penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, diberlakukan secara membuta dan leterlijk oleh PHI tanpa suatu kebijaksanaan terhadap fakta lapangan adanya kesukaran untuk mengimplementasi hierarkhi prosedural demikian oleh kalangan Pekerja dalam praktiknya.
Sebelum sengketa dilimpahkan pada tingkat Perundingan Tripartit dan Pengadilan Hubungan Industrial, Penggugat telah melakukan upaya-upaya penyelesaian secara maksimal melalui upaya bipartit maupun tripartit. Terkait dengan bipartit, Penggugat telah berupaya menghubungi Termohon Kasasi untuk menyelesaikan perselisihan ini.
Hal ini terbukti dengan adanya surat somasi (teguran) yang disertai dengan undangan pertemuan sebanyak dua kali kepada Tergugat, namun Tergugat tidak pernah menanggapi ataupun memberikan kepastian kapan perundingan bipartit dilaksanakan.
Dalam surat balasan dari Tergugat, tidak menanggapi undangan pertemuan Bipartit dan hanya menyatakan akan dilakukan rapat internal organisasi. Namun faktanya hingga kini tidak ada kepastian karena tidak pernah dilakukan pembahasan perkara perselisihan ini pada forum instansi.
Oleh karena pihak Tergugat tidak memenuhi / menolak undangan atau setidaknya tidak menunjukkan itikad baik untuk melakukan perundingan dengan memberikan kepastian pelaksanaan Bipartit, maka Perundingan Bipartit patut dianggap gagal.
Dengan tidak adanya iktikad baik dari Tergugat untuk melakukan perundingan, baik Bipartit maupun Tripartit, pihak Tergugat memberi respon : “kami menerima surat somasi disertai undangan bipartit dan undangan dari mediator, namun kami tidak menanggapi undangan karena kami diberikan kekebalan hukum.”
Yang tampak tegas dalam pengaturan Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, mengatur:
“... apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak berunding atau telah melakukan perundingan tetapi tidak tercapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.”
Selanjutnya kaedahAPasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, yang mengatur:
“... dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartit telah dilakukan.”
Penggugat kemudian mengutip pendapat Juanda Pangaribuan, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Tuntunan Praktis Penyelesaian Hubungan Industrial, disebutkan:
“... kekesalan Pengusaha menyelesaikan perselisihan bisa berakibat apatis dengan cara menolak bipartit olehnya itu jika pengusaha menolak bipartit buruh akan mengalami kesulitan menindaklanjuti penyelesaian perselisihan ke jenjang selanjutnya dan untuk menentukan benar atau tidak hares memperhatikan perangkat komunikasi.;
“... bipartit sebaiknya dilaksanakan tetapi bipartit tidak harus dilaksanakan karena perintah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hubungan Industrial yang menekankan bahwa pada saat mencatatkan perselisihan ke instansi ketenagakerjaan yang harus dilampirkan adalah bukti upaya penyelesaian bipartit termasuk bukti upaya penyelesaian bipartit adalah surat permintaan atau panggilan / undangan bipartit.”
Maka adalah beralasan jika Penggugat melanjutkan penyelesaian sengketa diajukan ke tingkat Tripartit, yaitu mediasi yang dilakukan oleh Suku Dinas Tenaga Kerja Kota Administrasi Jakarta Pusat. Mediator Disnaker  kemudian menerbitkan Surat Anjuran kepada kedua belah, Penggugat dan Tergugat, akan tetapi Anjuran Mediator tidak ditanggapi oleh Tergugat dengan alasan memiliki kekebalan hukum.
Mengalami kegagalan melakukan penyelesaian perselisihan melalui mekanisme perundingan Bipartit, maka sangat beralasan bagi Penggugat untuk mencatatkan perselisihan ini ke instansi yang berwenang, dalam hal ini adalah Suku Dinas Tenaga Kerja, dengan disertai bukti-bukti upaya permohonan perundingan bipartit yang dilakukan oleh Penggugat.
Bahkan Mediator dari Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat telah melayangkan surat panggilan secara sah dan patut sebanyak 3 (tiga) kali dan diterima oleh Tergugat, namun tidak dihadiri secara fisik dan juga tidak memberikan tanggapan melalui surat, dengan alasan: Organisasi Internasional memiliki kekebalan hukum.
Dengan demikian, Tergugat telah tidak memiliki iktikad untuk menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme Tripartit. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
- Judex Facti salah dalam memberi putusan ‘Gugatan Penggugat tidak dapat diterima’, dengan alasan mekanisme penyelesaian internal (bipartit) belum ditempuh, karena sesuai ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, syarat pendaftaran gugatan cukup hanya melampirkan risalah mediasi atau konsiliasi saja, sedangkan dalam perkara a quo telah dilampirkan risalah mediasi sehingga gugatan Penggugat secara formal memenuhi ketentuan;
- Oleh karena dalam perkara a quo para pihak telah mengajukan bukti dan Majelis Hakim belum memeriksa dan mengadili pokok perkara maka Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo diperintahkan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, kemudian mengirim kembali kepada Mahkamah Agung;
“Menimbang, bahwa oleh karena yang menjadi sengketa perkara dalam perkara ini masih ditangguhkan, maka biaya perkara ditangguhkan sampai dengan putusan akhir;
M E N G A D I L I :
1. Memerintahkan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo;
2. Memerintahkan Pengadilan hubungan Industrial pada Pengadilan Ngeri Jakarta Pusat untuk mengirimkan kembali putusan perkara a quo kepada Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi;
3. Menangguhkan biaya perkara kasasi ini sampai dengan adanya putusan akhir.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.