Masyarakat Hukum Adat Menggugat & Ahli Waris Kepala Adat terkait Tanah Adat

LEGAL OPINION
Question: Memang yang paling berhak mewakili kepentingan tanah milik adat, itu siapa?
Brief Answer: Bila dijelaskasn secara analogi, bagai seorang Direksi dalam badan hukum Perseroan Terbatas ataupun Pengurus / Pembina pada sebuah Yayasan, maka masyarakat hukum adat tentunya memiliki teritori adat serta masyarakat adat yang dipimpin oleh seorang tetua / kepala adat, yang kesemua jabatan demikian pejabatnya dapat silih berganti. Kepada adat itulah yang menjadi wakil yang merepresentasi kepentingan masyarakat adat, semisal untuk masalah administrasi tanah adat, menggugat, dsb.
Karena sifatnya dipilih secara konsensual oleh para warganya, maka sifat kepala adat ialah sebatas jabatan semata, yakni jabatan untuk mewakili para masyarakat hukum adat, menyuarakan kepentingan, serta membuat kesepakatan terkait hak-hak milik adat setempat. Oleh sebab segala sesuatu terkait kewenangan jabatan, maka tiada yang dapat beralih kepada ahli waris dari pejabat bersangkutan, ketika sang pejabat Kepala Adat meninggal dunia.
PEMBAHASAN:
Kerancuan memahami kewenangan jabatan Kepala Adat, sebagai ilustrasi konkret dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Pengadilan Tinggi Jayapura sengketa tanah adat register Nomor 76/Pdt/2015/PT.JAP tanggal 4 November 2015, perkara antara:
- Pemerintah Republik lndonesia cq. Menteri Dalam Negeri cq. Gubernur Provinsi Papua, semula sebagai Tergugat, sekarang sebagai Pembanding; melawan
1. YEMIMA MERAHABIA; 2. ELSI MERAHABIA; 3. ESTER MERAHABIA; 4. FRENGKY MERAHABIA; 5. ARI MERAHABIA; 6.NOVITA MERAHABIA; semula sebagai Para Penggugat, sekarang sebagai Para Terbanding.
Penggugat merupakan Ahli Waris / Anak Kandung dari Hiram Merahabia (Kepala Suku Merahabia) yang merupakan Pemilik Tanah Adat seluas 56.650 m2 yang saat ini dipakai oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura. [Note SHIETRA & PARTNERS: Secara sekilas melihat klaim diatas, sejatinya sudah dapat diprediksi ujung hasil gugatan, tidak lain karena salah kaprah pihak Penggugat itu sendiri. Namun ternyata banyak diantara kalangan hakim yang kurang dapat memahami perbedaan konsepsi antara jabatan dan pejabat.]
Tanah Adat seluas 56.650 m2 yang saat ini ditempati oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura adalah milik dari ayah Penggugat yang belum mendapat pembayaran ganti-rugi tanah adat dari Pemerintah Provinsi Papua, sebesar Rp 11.330.000.000,-.
Tergugat telah menyerahkan panjar ganti rugi sebesar 1 % persen dari jumlah tuntutan ganti-rugi. Menindak-lanjuti Kesepakatan, maka Penggugat dan Tergugat sepakat untuk menyelesaikan ganti-rugi RSUD Abepura dengan memberikan pengakuan hak atas tanah lokasi RSUD Abepura kepada Penggugat, dan Tergugat memberikan pembayaran tahap kedua sebesar RP 334.000.000,- sehingga jumlah seluruh pembayaran hingga saat ini sebesar Rp 447.330.000, yang mana kesepakatan ini dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Penyelesaian dan Penyerahan Hak Atas Tanah Lokasi Kompleks RSUD Abepura tanggal 7 Desember 2000.
Akan tetapi Kesepakatan tersebut tidak pernah direalisasi sehingga Penggugat melakukan berbagai upaya pendekatan baik pendekatan terhadap Badan Legislatif di Provinsi Papua maupun di tingkat pemerintah pusat sehingga pada tanggal 16 Mei 2007 keluarlah Nota Dinas dari Kepala Biro Keuangan Sekda Provinsi Papua yang ditujukan kepada Tergugat dengan telaan bahwa pembayaran ganti rugi yang disepakati dalam Berita Acara Kesepakatan tanggal 14 Juni 2000 dapat segera direalisasikan.
Ternyata Tergugat tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan sempurna sesuai dengan Berita Acara yang telah disepakati, dimana kewajiban Tergugat yang belum dilaksanakan adalah pembayaran kepada Penggugat sejumlah Rp 10.582.670.000,- sebagaimana telaan staf kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan asset Daerah Provinsi Papua tanggal 16 Mei 2007. Hingga kini, Tergugat tidak juga melaksanakan kewajibannya, dengan demikian Tergugat telah melakukan wanprestasi.
Sementara itu dalam sanggahannya pihak Tergugat mendalilkan, Penggugat tidak memiliki kualitas sebagai Penggugat karena didalam struktur adat kampung Nafri / Suku Merahabia, Penggugat tidak berkedudukan sebagai Kepala Suku atau pihak adat yang diberi kuasa untuk mengurus ganti-rugi tanah milik suku Merahabia.
Tanah objek sengketa dahulu merupakan tanah adat yang telah lunas dibayar oleh Pemerintah DATI I Irian Jaya pada tanggal 7 Desember 1973. Pemerintah Provinsi Papua telah memiliki bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Pakai tanggal 30 Desember 1993.
Memang benar pada tanggal 14 Juni 2000, telah dibuat perjanjian ganti-rugi oleh suku Merahabia selaku pemilik tanah RSUD Abepura seluas 56.650 m² dengan Pemerintah Provinsi Papua dengan ganti rugi sebesar Rp. 11.330.000.000,-.
Akan tetapi selanjutnya ada perjanjian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua dengan suku Merahabia tanggal 21 Desember 2001, dimana dalam isi perjanjian ini suku Merahabia menyatakan mengakui tanah RSUD Abepura telah dilakukan pembayaran pada tanggal 7 Desember 1973, dalam perjanjian ini terdapat pengakuan dari pihak keluarga Merahabia atas tanah RSUD Abepura adalah milik Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Provinsi Papua akan memberikan bantuan kesejahteraan.
Dengan demikian, perjanjian tanggal 14 Juni 2000, 7 Desember 2000 maupun 22 Desember 2000 telah dinyatakan dicabut sehingga tidak lagi berlaku sejak dibentuknya perjanjian tanggal 21 Desember 2001. Sebagai tanda pelaksanaan perjanjian tanggal 21 Desember 2001 ini, Pemerintah Provinsi Papua telah memberikan atau membayar uang kesejahteraan sebesar Rp. 300.000.000,- kepada suku Merahabia.
Terhadap gugatan Para Penggugat, Pengadilan Negeri Jayapura kemudian menjatuhkan putusannya register Nomor Register Perkara 285/Pdt.G/2014/PN.Jap, tanggal 16 Juni 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM EKSEPSI:
- Menolak Eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan Wanprestasi;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan pembayaran nilai ganti rugi tanah sebesar Rp.10.582.670,00( sepuluh milyar lima ratus delapan puluh dua juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah );
4. Menolak gugatan para Penggugat untuk sebagaian dan selebihnya.”
Pihak pemerintah selaku Tergugat mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Majelis Hakim Tingkat Banding membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pembanding / Tergugat dalam memori bandingnya tertanggal 13 Juli 2015, keberatan dan tidak menerima Putusan Pengadilan Negeri Klas I A Jayapura Nomor 285/Pdt.G/2014/PN.Jap, Tanggal 16 Juni 2015 dengan alasan pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa objek sengketa (tanah RSUD Abepura yang dahulu bernama DLPKM) telah bersertifikat dengan Hak Pakai Nomor 34 tanggal 30 Desember 1993 atas nama Pemerintah Provinsi Papua dengan luas tanah 15.702 m2. Tanah tersebut telah dilakukan pembayaran pada tanggal 5 Desember 1973;
2. Bahwa oleh karena ‘ketidaktahuan / kekhilafan’, para pejabat Pemerintah Provinsi Papua, sehingga pada tanggal 14 Juni 2000 dibuatkan perjanjian, dimana dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua dibebankan untuk membayar uang ganti rugi sebesar Rp. 11.330.000.000,- dan dalam berita acara Pemerintah Provinsi Papua telah menyerahkan panjar uang ganti-rugi sebesar 1 % atau senilai Rp. 113.330.000,-;
3. Bahwa oleh karena tanah terperkara telah dibebaskan / dibayarkan pada tanggal 5 Desember 1973, mohon kepada Majelis Hakim untuk membatalkan perjanjian tanggal 14 Juni 2000 dan Pemerintah Provinsi Papua tidak melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
4. Bahwa Pembanding / Tergugat (Gubernur Papua) dengan Suku Awi Merahabia pada tanggal 21 Desember 2001 telah melakukan Perjanjian dengan penanda-tanganan oleh para pihak yang sah dan berkompeten dalam struktur adat dan struktur Pemerintah Provinsi Papua, dimana dalam isi Surat Perjanjian tersebut (Pasal 1) Suku Awi Merahabia menyatakan: ‘Mengakui tanah RSUD Abepura telah dilakukan pembayaran pada tanggal 5 Desember 1973’. Dalam Perjanjian tersebut, pihak keluarga suku Awi Merahabia mengakui tanah RSUD Abepura adalah milik Pemerintah Provinsi Papua (vide Pasal 2);
5. Bahwa dengan demikian permasalahan tanah RSUD Abepura telah selesai dengan ditanda-tanganinya Perjanjian/Kesepakatan tanggal 21 Desember 2001 diikuti dengan membayar atau memberikan bantuan kesejahteraan sebesar Rp. 300.000.000,- sekaligus membatalkan perjanjian tanggal 14 Juni 2000 dan tanggal 7 Desember 2000;
“Menimbang, bahwa dalam menjawab Gugatan dari Para Penggugat /Terbanding, Tergugat/Pembanding telah terlebih dahulu mengajukan Eksepsi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
“Menimbang, bahwa dalil Eksepsi, Pembanding menyatakan bahwa Penggugat tidak memiliki kualitas sebagai Penggugat karena didalam struktur adat kampung Nafri / keondoafian Awi Sembekra / Suku Merahabia, Penggugat tidak berkedudukan sebagai Kepala Suku atau pihak adat yang diberi kuasa untuk mengurus ganti rugi tanah milik suku Merahabia;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura berpendapat, apabila orang tua dari Para Penggugat bernama Hiram Merahabia selaku kepala suku Merahabia adalah pemilik tanah adat terperkara yang saat ini dipakai oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), seharusnya Para Penggugat dalam petitum gugatannya mencantumkan bahwa tanah terperkara adalah harta peninggalan dari Almarhum Hiram Merahabia Pribadi yang diwarisi Para Penggugat sebagai Ahliwaris yang berhak dan belum mendapat pembayaran ganti-rugi dari Pemerintah Provinsi Papua, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Para Penggugat dalam petitum gugatannya;
“Menimbang, bahwa dalam bukti T-3 yang diajukan Tergugat / Pembanding berupa Surat sanggahan terhadap gugatan atas tanah adat lokasi RSUD Abepura yang ditanda-tangani 5 (lima) kepala suku, didukung pula dengan bukti T-4 dan T-5, dapat disimpulkan bahwa Tanah terperkara yang saat ini dipakai oleh Rumah Sakit Daerah (RSUD) bukan milik pribadi yang menjadi warisan keluarga Almarhum Hiram Merahabia, melainkan tanah adat Hak Ulayat milik turun-temurun Keluarga besar Suku Merahabia dalam Wilayah Kecamatan Abepura;
“Menimbang, bahwa baik Para Penggugat / Terbanding maupun Tergugat / Pembanding mengakui dan membenarkan bahwa Almarhum Hiram Merahabia semasa hidupnya mempunyai kedudukan sebagai kepala suku Merahabia;
“Menimbang, bahwa dalam isi bukti T-3 dicantumkan bahwa, setelah Hiram Merahabia selaku Kepala Suku meninggal dunia, maka berdasarkan Surat Keputusan Lembaga Hukum Adat Keondoafian Nafri Sembekra dan Warke Nomor ... tanggal 20/02/1999, yang terpilih menggantikan kedudukan Almarhum Hiram Merahabia sebagai Kepala suku Merahabia adalah oleh Yoseph Merahabia;
“Menimbang, bahwa dalam bukti T-3 pada butir a, dinyatakan bahwa semua tugas dan tanggung-jawab hukum adat, sejak tanggal wafatnya Bapak Hiram Merahabia, dipikul sepenuhnya oleh Yoseph Merahabia Pengganti Hiram Merahabia;
“Menimbang, bahwa dalam bukti T-3 pada butir b, lebih lanjut ditentukan bahwa semua kuasa dalam bentuk lisan dan tertulis yang pernah dibuat oleh Hiram Merahabia Alm, dinyatakan batal demi hukum;
“Menimbang, bahwa kuasa yang dimaksud dalam bukti T-3 pada butir b termasuk juga kuasa yang pernah diberikan oleh Hiram Merahabia kepada Pendeta Kin Awi Nero dalam proses administrasi pengurusan ganti-rugi tanah adat yang sekarang dipakai oleh RSUD Abepura kepada Pemerintah Provinsi Papua;
“Menimbang, bahwa oleh karena Tanah terperkara yang sekarang dipakai oleh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abepura bukan tanah milik pribadi / Keluarga Hiram Merahabia sebagai kepala Suku merahabia, maka Para Penggugat sebagai Ahliwaris / Anak kandung dari Almarhum Hiram Merahabia tidak mempunyai kedudukan Hukum (tidak mempunyai kwalitas) dalam mengajukan gugatannya dalam perkara ini, melainkan harus diajukan oleh Kepala Suku Merahabia yang berikutnya yang menggantikan kedudukan Almarum Hiram Merahabia yaitu Yoseph Merahabia;
“Menimbang, bahwa Eksepsi pada point ke-2 yang diajukan Tergugat / Pembanding ternyata cukup beralasan, oleh karena itu harus diterima dan Pokok perkara tidak akan dipertimbangkan lagi namun dinyatakan tidak dapat diterima;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan Pertimbangan hukum yang telah terurai diatas, ternyata Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura tidak sependapat dengan Pertimbangan Hukum Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam perkara a quo, oleh karena itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura harus membatalkan Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut dan mengadili sendiri perkara ini sebagaimana bunyi Amar Putusan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 285/Pdt.G/2014/PN.Jap, tanggal 16 Juni 2015 yang dimohonkan banding;
“MENGADILI SENDIRI:
DALAM EKSEPSI:
- Menerima Eksepsi yang diajukan Tergugat / Pembanding;
DALAM POKOK PERKARA:
- Menyatakan gugatan Para Penggugat / Terbanding tidak dapat diterima.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.