Sifat Ultimum Remedium Hukum Kepailitan

LEGAL OPINION
Question: Sudah diberi somasi, sudah juga kami bersabar menunggu itikad baiknya, namun belum juga ada tanda-tanda penyelesaian. Mau kami pailitkan saja si penjual itu, padahal uang sudah kami serahkan dan lunasi. Jika sampai batas tempo waktu belum juga ada respon, maka itu artinya kami berhak pailitkan dia, secara hukum?
Brief Answer: Dalam beberapa pendirian praktik peradilan dibawah lembaga Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung RI, terdapat sebuah paradigma konservatif, bahwasannya agar kalangan kreditor “jangan dikit-dikit ajukan pailit”—meski, secara kontradiktif, disaat bersamaan banyak dijumpai putusan Pengadilan Niaga yang mengabulkan kepailitan oleh kalangan pengusaha tanpa didahului sengketa di Pengadilan Negeri.
Majelis Hakim kerap memiliki paradigma, bahwa pihak kreditor / pembeli perlu terlebih dahulu bersengketa di pengadilan perihal wanprestasi atau perbuatan melawan hukum-nya pihak debitor / penjual. Barulah, jika debitor bersangkutan tidak juga tunduk pada isi amar putusan Pengadilan Negeri perkara perdata, yang bersangkutan dapat dipailitkan, terlepas dari fakta dilematis menjadi kian panjang dan larutnya upaya hukum serta sumber daya waktu yang harus ditempuh.
Namun pemahaman perihal “kepailitan sebagai ultimum remedium” demikian tidaklah relevan secara kontekstual, mengingat Undang-Undang Kepailitan juga membuka kesempatan yang sangat lebar bagi kalangan debitor untuk secara seketika mempailitkan dirinya sendiri, sebagaimana kasus PT. Rockit Aldeway yang mempailitkan dirinya sendiri setelah melakukan aksi penjarahan secara tersistematis terhadap para kreditornya—suatu “perampokan kerah putih”  dengan menggunakan instrumen hukum yang dilegalkan.
Meski demikian, perlu disadari, bahwa kepailitan membawa lebih banyak mudarat ketimbang faedah bagi kalangan Kreditor Konkuren. Maka, menjadi sebuah kesia-siaan belaka bila Kreditor Konkuren mengajukan kepailitan terhadap debitornya.
Sebab, sekalipun permohonan pailit dikabulkan Pengadilan Niaga, tidak pernah tercatat adanya sejarah dimana Kreditor Konkuren mendapat pelunasan dari kepailitan—bahkan, belum tentu piutang Kreditor Preferen terlunasi dengan pailitnya sang debitor.
Maka, adalah sebuah harapan palsu sekaligus kesia-siaan, bila Kreditor Konkuren melakukan upaya hukum kepailitan terhadap sang debitor. Gugatan perdata di Pengadilan Negeri, masih memungkinkan sita jaminan atas aset debitor, suatu opsi yang masih lebih layak untuk diperjuangkan oleh Kreditor Konkuren.
PEMBAHASAN:
Terdapat salah satu ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepailitan register Nomor 4 K/Pdt.Sus-Pailit/2016 tanggal 12 Mei 2016, perkara antara:
1. ANDI MIRIAM AMIRUDDIN, S.Psi.; 2. lr. SUJATNO POLINA, M.BA, sebagai Pemohon Kasasi I dan II dahulu Pemohon Pailit I dan II; melawan
- PT. LIFESTYLE RESIDENTIAL, selaku Termohon Kasasi dahulu Termohon Pailit.
Termohon merupakan perusahaan pengembang yang membangun dan akan menjual suatu bangunan rumah diatas sebidang tanah, dikenal dengan nama proyek properti “Utopia Residence 2”. Pemohon I adalah pribadi yang membeli unit rumah di Utopia Residence 2 dari Termohon, yang berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Utopia Residence 2 tanggal 4 Februari 2013 (PPJB), berupa pembelian 1 unit bangunan rumah, dengan harga jual-beli yang disepakati sebesar Rp2.650.000.000,00.
Sementara itu Pemohon II adalah pembeli unit rumah di Utopia Residence 2 dari Termohon, yang berdasarkan Tanda Terima Sementara tanggal 10 November 2012, yakni pembelian 1 unit bangunan dengan harga jual-beli yang disepakati sebesar Rp2.200.000.000,00.
Berdasarkan PPJB Pemohon I, Termohon wajib menyerahkan unit rumah yang disepakati kepada Para Pemohon pada sekitar bulan April 2014, akan tetapi sampai dengan Permohonan Pailit ini diajukan, Termohon belum menyerahkan unit rumah yang diperjanjikan tersebut kepada Para Pemohon, bahkan Termohon belum menyelesaikan pembangunan unit rumah dimaksud.
Fakta hukum empirik yang penting untuk menjadi pertimbangan hukum permohon pailit ini, ialah bahwa saat ini operasional perusahaan Termohon telah terhenti dimana Direktur Utama Termohon saat ini sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan karena tersangkut dalam suatu perkara pidana. Maka bukankah akan merupakan suatu kesia-siaan bila tetap mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri, sementara realisasi penyerahan objek rumah sudah tidak mungkin lagi terlaksana?
Berdasarkan PPJB Pemohon I dan tanda terima Pemohon II, maka Termohon mengikatkan dirinya untuk membangun, menjual dan menyerahkan unit rumah kepada Para Pemohon, masing-masing sebagai berikut:
a. Pemohon I berupa 1 unit bangunan rumah, dengan harga Rp2.650.000.000,00 yang telah dibayar lunas seluruhnya oleh Pemohon I;
b. Pemohon II berupa 1 (satu) unit bangunan rumah, dengan harga Rp2.250.000.000,00 yang telah dibayar sebesar Rp610.000.000,00.
Kewajiban Termohon untuk menyerahkan unit rumah kepada Para Pemohon, dapat dianalogikan sebagai “utang (prestasi)” sebagaimana dimakud norma Pasal 1 Angka (6) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyebutkan:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”
Catatan SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, “utang” tidaklah melulu berupa utang uang, namun juga dapat berupa utang prestasi berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang kepada pihak pembeli. Namun dari berbagai pendirian hakim maupun praktik Peradilan Niaga yang selama ini terjadi, yang dimaksud dengan “utang” selalu diidentkkan semata berupa wujud “uang”, tanpa mengakui “utang dapat berupa sebentuk prestasi” seperti menyerahkan suatu barang.
Dari uraian tersebut diatas, maka telah jelas dan nyata bahwa Termohon mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Para Pemohon, yang apabila diperhitungkan atau dinyatakan dalam jumlah uang, maka sampai dengan diajukannya Permohonan Pailit ini kewajiban / utang Termohon kepada Para Pemohon tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemohon I : Total Pembayaran tagihan sejumlah harga Rp2.650.000.000,00 belum termasuk denda;
b. Pemohon II : Total Pembayaran tagihan sejumlah Rp610.000.000,00 belum termasuk denda.
Disamping itu, Para Pemohon memperkirakan Termohon tidak akan dapat melanjutkan usahanya dan tidak lagi dapat melaksanakan kewajibannya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Para Pemohon telah berkali-kali menghubungi Termohon untuk meminta kepastian dan agar Termohon segera menyelesaikan pembangunan dan menyerahkan unit rumah yang telah diperjanjikan.
Selanjutnya Para Pemohon menerima informasi bahwa telah terjadi perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh Direktur Termohon yang mengakibatkan Direktur Termohon harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan, karenanya Para Pemohon memperkirakan Termohon tidak akan dapat melanjutkan usahanya dan tidak lagi dapat melaksanakan kewajibannya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Adapun bila merujuk kaedah Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan, diatur syarat putusan pernyataan pailit:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya diatas, Termohon telah terbukti memiliki kewajiban / utang kepada Pemohon I dan Pemohon II serta tidak menutup kemungkinan adanya Kreditor-Kreditor lain selain daripada Para Pemohon, oleh karenanya maka syarat dua atau lebih Kreditor telah terpenuhi.
Termohon tidak memenuhi kewajibannya kepada Pemohon I dan Pemohon II sampai dengan waktu yang telah diperjanjikan, sehingga telah jelas dan nyata serta terbukti secara hukum bahwa syarat Termohon tidak membayar lunas utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Para Pemohon, telah terpenuhi.
Begitupula bila merujuk norma Pasal 8 Ayat 4 Undang-Undang Kepailitan, mengatur sebagai berikut:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) telah dipenuhi.”
Terhadap permohonan pailit yang diajukan sang pembeli, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 25/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 21 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.”
Pemohon Pailit mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi yang diterima pada tanggal 29 Oktober 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah menerapkan hukum secara tepat dan benar dengan menolak permohonan Pemohon karena dalam permohonan a quo pembuktiannya tidak bersifat sederhana sebagaimana disyaratkan dalam Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, karena perjanjian yang bersangkutan lebih menunjukkan telah dilakukannya wanprestasi dari pihak pembeli, sehingga penyelesaian sengketanya bukan melalui kepailitan tetapi merupakan wanprestasi yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri;
“Bahwa hubungan hukum antara Pemohon dengan Termohon berupa pengikatan atas jual beli atas bangunan rumah yang tidak dapat diselesaikan oleh Termohon, pertimbangan Judex Facti telah tepat karena yang timbul dalam hubungan kedua belah pihak adalah wanprestasi biasa yang dapat diselesaikan dengan mengajukan gugatan biasa, pengajuan melalui kepailitan adalah ultimum remedium sifatnya, lagipula pembuktian perkara ini tidaklah sederhana;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 25/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 21 Oktober 2015 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dan II: ANDI MIRIAM AMIRUDDIN, S.Psi., dan kawan tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: I. ANDI MIRIAM AMIRUDDIN, S.Psi. dan II. lr. SUJATNO POLINA, M.BA. tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.