Hukuman Perusahaan Memutasi Pegawai ke Badan Hukum Lain

LEGAL OPINION
BANTAHAN TERGUGAT YANG MENJADI BUMERANG & JUSTRU MENGUNTUNGKAN PIHAK PENGGUGAT
Question: Seperti apa memang, resikonya kalau memindahkan karyawan ke badan hukum lain? Perusahaan lainnya itu masih satu grub usaha, koq.
Brief Answer: Hukum perseroan dan korporasi tidak mengenal Grub Usaha sebagai suatu entitas hukum tunggal, namun dilihat sebagai masing-masing subjek hukum badan hukum-badan hukum yang bernaung dibawah beneficial owner yang sama.
Maka, bila beneficial owner-nya sama, untuk apa lagi memutasi seorang karyawan dari satu badan hukum ke badan hukum, selain terkandung motif / agenda tersembunyi dibalik itu? (semisal modus untuk menghapus masa kerja seorang Pekerja, sehingga tiada lagi hak menuntut pesangon saat yang bersangkutan pensiun.)
Hendaknya menerapkan prinsip usaha yang sehat, dalam suatu hubungan industrial yang jujur dan saling menghargai. Berani bermain api, berani terbakar. Bila sang Pekerja / Buruh menggugat pihak Pemberi Kerja akibat memutasi antar badan hukum yang saling berbeda, tanpa kesediaan sang Pekerja dan tanpa kompensasi pesangon, maka pihak Pekerja dapat menggugat pihak Pemberi Kerja dengan tuntutan pembayaran kompensasi berupa pesangon dua kali ketentuan pesangon normal.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagai cerminan yang SHIETRA & PARTNERS angkat sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 988 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 21 Desember 2016, perkara antara:
- PT. NUSANTARA SAKTI GROUP, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
1. ASUWAN; dan 2. YULI ISWANTO, selaku Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat adalah Karyawan Salesman PT. Nusantara Sakti Group yang merupakan perusahaan milik Tergugat. Dengan alasan tidak mencapai target, Para Penggugat dimutasi oleh Tergugat ke kantor cabang. Para Penggugat menolak untuk dimutasi dengan alasan sebagai berikut: tidak ada biaya yang ditanggung oleh perusahaan terkait dengan mutasi.
Sikap Para Penggugat yang menolak untuk dimutasi, oleh Tergugat diminta untuk mengundurkan diri. Para Penggugat yang menolak untuk dimutasi, menyikapinya dengan tetap masuk kerja seperti biasa di Kantor Cabang Palembang, akan tetapi Para Penggugat sudah tidak bisa lagi melakukan absensi secara sistem karena sudah dikunci oleh pihak Tergugat. Padahal Penggugat baru saja dimutasi selama 1 bulan di cabang Palembang, untuk kemudian dimutasi kembali ke cabang lain tanpa biaya akomodasi maupun transportasi.
Dikarenakan tidak bisa lagi melakukan absensi secara sistem, Para Penggugat melakukan absensi secara manual, dan Pihak Tergugat menolak untuk menanda-tangani karena menganggap Para Penggugat bukan lagi karyawan Cabang Palembang.
Tindakan Tergugat yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat tanpa adanya penetapan Pemutusan Hubungan Kerja dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, merupakan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 151 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menetapkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
9. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan Tergugat terhadap diri
Penggugat adalah bukan merupakan atas kesalahan Penggugat. Untuk itu sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Para Penggugat menuntut kepada Tergugat untuk membayarkan hak-hak Para Penggugat akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja tersebut. berupa: Pesangon 2 (dua) kali ketentuan, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak.
Mengingat Tergugat telah melarang Para Penggugat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pekerja sebelum ada penyelesaian atau penetapan PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tindakan Tergugat tersebut bertentangan dengan Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja / buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.”
Untuk itu Para Penggugat menuntut kepada Tergugat pembayaran upah selama proses penyelesaian perselisihan terhitung sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan dikeluarkannya Putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap Para Penggugat.
Sementara itu, Tergugat menolak dalil Para Penggugat yang menyebutkan identitas Tergugat sebagai “PT. Nusantara Sakti Group”, melainkan yang benar Para Penggugat di PT. Nusantara Surya Sakti (PT. NSS), dikarenakan PT. Nusantara Sakti Group dan PT. Nusantara Surya Sakti sangat jelas berbeda, sehingga Para Penggugat dinilai telah keliru subjek dalam mengajukan gugatan yaitu dengan gagal merumuskan identitas dari Tergugat antara PT. Nusantara Sakti Group dan PT. Nusantara Surya Sakti yang dimana baik dalam hal pendirian, anggaran dasar, dan perubahan anggaran dasar, daftar perseroan, tugas dan wewenang sangat jauh berbeda.
Sehingga Tergugat menyatakan Para Penggugat salah menggugat badan hukum. Para Penggugat telah salah menarik pihak Tergugat dalam gugatannya, karena PT. Nusantara Sakti Group belum menjadi perseroan terbatas (PT) dan tidak mempunyai kualitas hukum sebagai Tergugat (persona standi non judicio) dalam gugatan Para Penggugat.
Gugatan yang diajukan Para Penggugat kepada Tergugat adalah keliru, karena antara Para Penggugat dengan PT. Nusantara Sakti Group tidak memiliki hubungan hukum secara perdata maupun secara ketenagakerjaan, melainkan Para Penggugat memiliki hubungan hukum secara perdata dan ketenagakerjaan dengan PT. Nusantara Surya Sakti. Namun siapa sangka, dalil demikian justru menjadi bumerang bagi pihak Tergugat itu sendiri.
Tergugat juga mendalilkan, sikap menolak dari Penggugat terhadap surat perintah mutasi demikian, dianggap sebagai mengundurkan diri yang bersangkutan. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Palembang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 51/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Plg., tanggal 10 Februari 2016, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa setelah meneliti surat-surat bukti Tergugat yaitu bukti Vide T-4, T-5, T-6, T-7, T-8, T-10, T-11, T-13, dan T-14 berupa perintah mutasi kepada Para Penggugat dan panggilan kepada Para Penggugat ternyata surat-surat bukti tersebut berisi perintah dari suatu perusahaan yang berbeda badan hukumnya ke perusahaan lain yang berbeda badan hukumnya, yaitu perintah mutasi kerja untuk Penggugat Asuwan dari PT. NSS ke PT. NSC Pagar Alam, sedangkan untuk Penggugat Yuli Iswanto dari PT. NSS Palembang ke PT. Pos Jampang Kulon, sehingga oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat surat perintah mutasi dan surat panggilan tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku haruslah dikesampingkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat pengakhiran hubungan kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat terhadap Para Penggugat tersebut adalah karena tanpa adanya kesalahan Para Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 150 tahun 2000 menyatakan dalam hal ini Pemutusan Hubungan Kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja / buruh tetapi pekerja / buruh dapat menerima Pemutusan Hubungan Kerja, maka pekerja / buruh berhak atas uang pesangon paling sedikit 2 (dua) kali, kecuaii atas persetujuan kedua belah pihak ditentukan lain, sedangkan perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang diatur dalam Pasal (22), Pasal (22), Pasal (23), dan Pasal (24) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000 telah diatur secara jelas dalam Pasal 156 ayat (2), ayat (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan perhitungan uang pengakhiran hubungan kerja sebagai berikut: ...;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat kepada Para Penggugat adalah Pemutusan Hubungan Kerja sepihak dan non prosedural serta bertentangan dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang pengakhiran hubungan kerja kepada Para Penggugat, dengan perhitungan untuk masing-masing Penggugat adalah sebagai berikut:
1. Penggugat Asuwan, masa kerja 8 tahun 2 bulan:
- Uang Pesangon : 9 x 2 x Rp1.974.346,00 = Rp35.538.228,00.
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 3 x Rp1.974.346,00 = Rp5.923.038,00 +
Sub Jumlah = Rp41.461.266,00.
- Uang Penggantian Hak
- Uang Cuti yang belum diambil : 3/25 x Rp1.974.400,00 = Rp236.921,00.
- Penggantian Perumahan, Pengobatan dan Perawatan 15% x Rp41.461.266,00 = Rp6.219.189,00.
Jumlah  = Rp47.917.376,00
2. Penggugat Yuli Iswanto, masa kerja 8 tahun 1 bulan:
- Uang Pesangon : 9 x 2 x Rp1.974.346,00 = Rp35.538.228,00.
- Uang Penghargaan Masa Kerja : 3 x Rp1.974.346,00 = Rp5.923.038,00 +
Sub Jumlah = Rp41.461.266,00.
- Uang Penggantian Hak Penggantian Perumahan, Pengobatan dan Perawatan 15% x Rp41.461.266,00 = Rp6.219.189,00.
Jumlah  = Rp47.680.455,00.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai dan seketika hak-hak Para Penggugat berupa upah beserta hak-hak lain yang sebagaimana mestinya diterima Para Penggugat setiap bulannya dari Tergugat, selama proses perselisihan ini berlangsung, terhitung sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Februari 2016 yaitu sebanyak 6 (enam) x upah sebulan, dengan perhitungan untuk masing-masing Penggugat adalah sebagai berikut:
1. Penggugat Asuwan : Upah selama dalam proses: 6 x Rp1.974.346,00 = Rp11.846.076,00;
2. Penggugat Yuli Iswanto : Upah selama dalam proses: 6 x Rp1.974.346,00 = Rp11.846.076,00;
5. Memerintahkan Tergugat memberikan Surat Pengalaman Kerja kepada Penggugat Asuwan dan Penggugat Yuli Iswanto;
6. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan sudah tepat dan sudah benar untuk mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian, didasari pertimbangan berikut:
“Bahwa mutasi terhadap Para Penggugat terbukti dilakukan ke perusahaan lain sehingga merupakan mutasi yang tidak sah, karena itu penolakan mutasi untuk bekerja di tempat baru oleh Para Penggugat dapat dibenarkan karena tidak ada dasar hukum yang mengatur mutasi dapat dilakukan antara 2 (dua) badan hukum atau perusahaan yang berbeda;
“Bahwa adapun ketentuan mutasi karyawan sesuai bukti tertulis T-9, Pasal 18 hanya mengenai mutasi dari satu cabang ke cabang lain dalam satu perusahaan, sama sekali tidak mengatur mutasi antar perusahaan dalam satu group, dengan demikian mutasi tidak sah karena tidak sesuai dengan Peraturan Perusahaan, dan putusan Judex Facti yang menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja dengan hak kompensasi 2 (dua) kali Uang Pesangon, Upah Penghargaan Masa Kerja dan Upah Penggantian Hak Upah dalam proses telah benar secara hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. NUSANTARA SAKTI GROUP, tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. NUSANTARA SAKTI GROUP, tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Terdapat sebuah potensial bahaya dibalik pertimbangan Mahkamah Agung diatas. Mengapa demikian? Mengingat Peraturan Perusahaan dibentuk secara sepihak oleh kalangan Pengusaha, maka dapat dengan mudahnya setiap Pengusaha membentuk Peraturan Perusahaan yang salah satunya mengatur substansi perihal pembenaran diri / justifikasi sempurna untuk memutasi Pekerjanya ke badan hukum lain, sepanjang pihak Pengusaha memberi hak bagi dirinya sendiri untuk memutasi Pekerjanya dalam Peraturan Perusahaan.
Dengan demikian, Mahkamah Agung RI membuat blunder baru permasalahan hukum ketenagakerjaan tanpa mau memahami prinsip mendasar perihal hukum perseroan dimana setiap badan hukum merupakan entitas hukum saling berdiri sendiri, sebagai subjek hukum tunggal (legal entity) yang terpisah dengan hak dan kewajiban badan hukum lainnya.
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung diatas, seakan hendak menyatakan secara tidak langsung, bahwasannya sepanjang kalangan Pengusaha mengatur kebolehan demikian bagi Pemberi Kerja untuk memutasi Pekerjanya ke badan hukum lain, sama artinya pihak Pengusaha memberi legitimasi bagi pembenaran perbuatan dirinya sendiri (justifikasi diri).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.