Hak Prioritas Pemegang Eks-Hak Guna Bangunan, SHGB

LEGAL OPINION
Hak Prioritas Pemegang Eks-SHGB untuk Mengajukan Perpanjangan / Pembaharuan Hak Atas Tanah
Question: Maksudnya bagaimana, ketika Pak Hery (SHIETRA & PARTNERS) bilang kalau HGB yang sudah habis masa berlakunya itu sejatinya quasi Hak Milik? Maksudnya bagaimana juga, ketika Pak Hery bilang bahwa tidak apa-apa jika perseroan hanya bisa memiliki SHGB, tidak masalah jika badan hukum tidak bisa punya SHM?
Brief Answer: Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) disebut sebagai quasi SHM (Sertifikat Hak Milik), sebab kepada pemilik eks-HGB, diberikan “hak prioritas” untuk mengajukan perpanjangan maupun pembaharuan SHGB-nya yang telah kadaluarsa masa berlakunya—meski, secara yuridis memang diwajibkan kepada pemegang hak untuk mengajukan perpanjangan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum masa berlaku haknya akan berakhir.
Logika awamnya, orang mana yang tidak akan menggunakan “hak priotas” demikian? Karena hampir dapat dipastikan pemegang eks-HGB akan tetap mempertahankan bidang tanah HGB-nya, meski telah berakhir masa berlaku HGB-nya, maka tidak salah bila disebutkan bahwasannya “SHGB merupakan SHM”.
Maka, tidaklah penting bila seseorang atau badan hukum hanya dapat memiliki SHGB, karena sejatinya SHGB sama identiknya dengan SHM. Masalahnya, belum terdapat pengaturan eksplisit, berapa lamakah “hak prioritas” demikian tetap melekat pada eks-SHGB?
Sejauh ini, belum terdapat satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal “hak prioritas” demikian, maka dari manakah pendirian peradilan kemudian membentuk norma perihal “hak prioritas” yang tampak ambigu demikian, yang bisa jadi memperkeruh distingsi antara SHM dan SHGB?
Bila memang “hak prioritas” demikian berlaku untuk seumur hidup, maka tidaklah perlu bagi pemegang eks-HGB untuk memperpanjang atau memperbaharui SHGB-nya, karena sewaktu-waktu dapat menjadi “pemilik seumur hidup” dengan berlindung dibalik dalil “hak prioritas”, sekalipun telah lama ditelantarkan olehnya.
Kapan sang pemegang eks-HGB akan memperbaharui hak atas tanahnya? Jawabnya: “suka-suka yang bersangkutan”. Namun jika demikian halnya, dimana lagi letak perbedaan antara SHGB dan SHM? Maka menjadi tidak relevan sama sekali ketika badan hukum seperti perseroan, berkeberatan ketika hanya dapat memiliki hak atas tanah berupa SHGB. SHGB sudah cukup untuk dapat menjadi penguasa seumur hidup suatu bidang tanah.
PEMBAHASAN:
Sebagai ilustrasi konkret yang menggambarkan praktik peradilan dalam pendiriannya terhadap ambiguitas konsepsi jenis hak atas tanah hukum pertanahan nasional di Indonesia, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah eks-HGB register Nomor 3806 K/Pdt/2016 tanggal 22 Maret 2017, perkara antara:
I.1. LURAH KARANGAYU KECAMATAN SEMARANG BARAT KOTA SEMARANG; I.2. WALIKOTA SEMARANG, sebagai Para Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat IV, V;
II. DRS. HARTONO GUNAWAN, sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat; melawan
1. LANNE TEDJAWINATA; 2. TIMOTIUS DHARMAWAN HARSONO; 3. HANDOYO HARTONO, sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, II, III; dan
- KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA SEMARANG, sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat VI.
Penggugat sejak tanggal 19 September 1988 telah menempati / menguasai 2 bangunan lama yang didirikan tahun 1935 seluas 189,15 m², Berdiri diatas sebagian tanah Negara eks Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 289/Kelurahan Karangayu atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe.
Semula pada tahun 1989, sesuai Akta Notaris tertanggal 8 April 1989, dibentuk perjanjian sewa-menyewa 2 (dua) bangunan (Objek Sengketa) antara Penggugat dengan Direktur NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe diatas tanah Negara eks-HGB tersebut.
Penggugat membayar kewajiban sebagai penyewa sesuai dengan perjanjian untuk tiap bulannya, akan tetapi untuk pembayaran uang sewa periode tahun 1994 yang dilakukan oleh Penggugat kepada NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe mengalami kendala atau kesulitan dalam hal penerimaan pembayaran uang sewa dari Penggugat, kesulitan mana diakibatkan oleh permasalahan internal NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe karena tidak adanya wakil dari NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe yang akan menanda-tangani penerimaan uang sewa dari Penggugat yang berakibat pembayaran uang sewa untuk periode tahun 1994 dikembalikan kepada Penggugat, hal ini menjadi jelas dan nyata bahwa Tergugat I sebagai pribadi atau sebagai Direktur PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu tidak terdapat hubungan perdata dengan NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe.
Penggugat mendalilkan, pemegang HGB Nomor 289 / Kelurahan Karangayu atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe adalah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak karena tidak sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, yang mengatur: “Yang dapat menjadi pemegang hak guna bangunan adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.”, sementara itu NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe didirikan menurut hukum Belanda.
Maka sesuai norma Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996, pemegang hak yang tidak memenuhi syarat wajib melepaskan hak atas tanah kepada pihak lain yang memenuhi syarat, dan ternyata pemegang hak NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe tidak melepaskan atau memindahkan hak tersebut kepada pihak lain, maka hak tersebut hapus demi hukum (vide Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996).
NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe sebagai Pemegang eks HGB, sampai berakhirnya HGB tersebut tidak terdapat bukti bahwa NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe melepaskan haknya kepada Tergugat I atau pihak lain yang memenuhi syarat, maka hak atas tanah tersebut hapus demi hukum.
SHGB atas nama NV. Bauw Cultuur Maatschapiy Karangajoe telah berakhir masa berlakunya pada tanggal 18 Oktober 1996, yang mana menurut ketentuan Pasal 27 Ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996, pemegang hak dapat mengajukan Permohonan perpanjangan jangka waktu HGB atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGB tersebut atau perpanjangannya, namun demikian ternyata pemegang hak NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe atau Tergugat I tidak mengajukan perpanjangan Hak atau pembaharuan HGB selambat-lambatnya pada tanggal 18 Oktober 1994 sehingga HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe menjadi tanah Negara (Pasal 36 Ayat (I) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996.
Sebagai akibat dari HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe hapus dan tidak diperpanjang, maka bekas pemegang HGB wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya HGB (vide Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996), dimana jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud diatas, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas HGB dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB (vide Pasal 37 ayat (3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 1996).
[Note SHIETRA & PARTNERS: Kita akan segera melihat, bahwa kerap kali praktik peradilan melanggar berbagai kaedah peraturan perundang-undangan, sekalipun telah diatur secara tegas.]
Tergugat I bertindak seakan-akan berkedudukan sebagai pengganti pemegang Eks HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe, dimana hubungan hukum antara NV. Bauw Cultuur Maatschapiy Karangajoe dengan Tergugat I tidak jelas, karenanya perbuatan Tergugat I mengakui sebagai milik pribadinya dan kemudian melakukan peralihan hak kapada Tergugat II atas 2 bangunan seluas 189,15 m2 serta melepaskan tanah negara eks-HGB kepada Tergugat II dengan akta jual-beli bangunan dan pelepasan hak atas tanah serta pemberian ganti-rugi tertanggal 16 Agustus 2012 dibuat di hadapan Notaris/PPAT, adalah merupakan perbuatan melawan hukum karena Tergugat I tidak berhak atas tanah Negara eks-HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe karena hak tersebut telah hapus karena hukum, maka peralihan hak antara Tergugat I terhadap Tergugat II patut dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.
Penggugat kemudian mendalilkan, meki sewa-menyewa atas 2 bangunan objek sengketa yang berdiri diatas tanah Negera, eks HGB telah berakhir sejak berakhirnya HGB. Penggugat sebagai penghuni 2 bangunan objek sengketa, tetap menguasai dan merawat dengan baik sampai sekarang, disamping bangunan-bangunan lain yang didirikan sendiri oleh Penggugat diatas tanah objek sengketa.
Terhitung sejak tanggal 18 Oktober 1996, status HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe telah berakhir masa berlakunya, dan tidak dapat diperpanjang lagi sehingga otomatis jatuh menjadi Tanah Negara, hal tersebut sesuai dengan substansi Surat tertanggal 17 Desember 1997, perihal: Petunjuk Penyelesaian masalah Bekas Tanah Partikelir, yang diterbitkan oleh Badan pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah–Tanah Partikelir dengan pertimbangan bahwa adanya lembaga tanah pertikelir dengan hak-hak pertuanannya didalam wilayah Republik Indonesia adalah bertentangan dengan asas dasar keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
Karena NV. Bauw Cultuur Maatschapiy Karangajoe sebagai pemegang hak tidak lagi menguasai secara fisik atas tanah objek sengketa, dan hak atas tanah negara tersebut diberikan kepada warga yang menguasai secara fisik tanah negara, sehingga Tergugat I yang mengaku sebagai ahli waris NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe atau ahli waris bekas pemegang hak atas tanah objek sengketa, sudah tertutup kesempatan untuk mengajukan permohonan hak atau memindahkan hak atas tanah objek sengketa karena tanah objek sengketa telah diduduki secara fisik oleh Penggugat.
Setelah status tanah objek sengketa menjadi tanah Negara, Penggugat masih menguasai fisik tanah negara tersebut dengan mengelola usaha industri Jamu PT. Sekarsari Sakti sejak tanggal 6 Maret 1998, yang sampai sekarang izin usahanya masih aktif, serta masih memenuhi kewajiban perpajakan sebagai Badan Usaha.
Disamping itu, diatas tanah objek sengketa, mulai tahun 2008 terdapat kegiatan usaha perdagangan, dan usaha industri krupuk yang menempati bangunan milik Penggugat sendiri diatas tanah Negara ex HGB tersebut, dimana Penggugat melalui anaknya kemudian mengangkat Handoyo Hartono (Tergugat III) sebagai pimpinan Produksi, namun demikian pihak Tergugat III tanpa hak dan secara melawan hukum telah melakukan penyerahan hak atas tanah dan bangunan objek sengketa dan bangunan-bangunan lain milik Penggugat kepada Tergugat II tanpa seizin Penggugat, padahal Handoyo Hartono (Tergugat III) tidak memiliki hak atas tanah dan bangunan objek sengketa, karena Handoyo Hartono hanya sebagai pekerja saja dibagian produksi krupuk di perusahaan Penggugat.
Tanggal 10 Februari 2014, Tergugat I dan Tergugat II ingin menguasai 2 bangunan objek sengketa maupun bangunan–bangunan lainnya milik Penggugat, diatas tanah Negara eks HGB tersebut secara melawan hukum karena dilakukan dengan cara melakukan pengosongan paksa / mengeksekusi sepihak dengan tanpa dasar hukum yang jelas atas objek sengketa, melakukan pemasangan dan pemagaran seng atas seluruh jalan masuk ke objek sengketa, memasuki objek sengketa dengan paksa tanpa izin Penggugat, menempatkan orang-orang suruhan Tergugat I dan II di lokasi objek sengketa dengan tanpa hak dan tanpa izin Penggugat, mengunci dengan padlock (gembok) dan mengelas pintu objek sengketa dengan paksa tanpa izin Penggugat, membuat perjanjian pura-pura berupa Perjanjian Pengosongan objek sengketa antara, pekerja Penggugat dengan Tergugat II.
Penggugat kemudian melaporkan tindakan main hakim sendiri demikian kepada Tergugat V, akan tetapi Tergugat V melakuan pembiaran tanpa suatu tindakan nyata yang sangat merugikan bagi Penggugat, dimana sikap pengabaian Tergugat V dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum (mengabaikan kewajibannya melayani masyarakat), maka wajar bilamana pengadilan menghukum Tergugat V untuk memulihkan hak hak Penggugat dalam kedudukan sebagai penghuni bangunan-bangunan dan penggarap atas tanah negara eks HGB tersebut.
Penggugat juga berpendirian, Tergugat IV tidak dibenarkan untuk melayani dengan membuat dan menanda-tangani dokumen yang berkaitan dengan permohonan hak atas tanah negara eks-HGB atas nama NV. Bouw Cultuur Maatschapiy Karangajoe yang diajukan oleh Tergugat I atau siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya, selama tanah dan bangunan objek sengketa menjadi sengketa di pengadilan, sehingga perbuatan Tergugat IV yang melayani dengan mengirim petugas ukur ke lokasi sengketa untuk membuat surat ukur atas permohonan hak atas tanah Negara eks-HGB yang diajukan oleh Tergugat II atau siapa saja yang mendapatkan hak daripadanya, adalah merupakan perbuatan melawan hukum.
Begitu pula ketika Tergugat VI yang menerima persyaratan permohonan hak atas tanah negara (objek sengketa) yang diajukan oleh Tergugat II atau siapa saja yang mendapatkan hak dari Tergugat I tanpa melihat data fisik atau data yuridis adalah merupakan perbuatan melawan hukum, maka wajar bilamana Pengadilan menghukum Tergugat VI untuk menolak permohonan hak atas objek sengketa yang diajukan oleh Tergugat atau siapa saja yang mendapatkan hak dari padanya karena dilakukan secara melawan hukum dengan membuat syarat-syarat fiktif yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku (antara lain menyimpangi syarat mutlak berupa pernyataan “tiada sengketa” dan “menguasai secara fisik” objek tanah yang dimohonkan haknya).
Penggugat merasa dirugikan, karena tidak bisa mengajukan permohonan hak atas objek tanah, padahal Penggugat sebagai warga yang selama ini menguasai fisik objek tanah secara terus-menerus dan tidak terputus, seyogianya mendapat prioritas untuk mengajukan permohonan hak atas tanah objek sengketa.
Terhadap gugatan Penggugat maupun gugatan balik pihak Tergugat (rekonpensi), Pengadilan Negeri Semarang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 166/Pdt.G/2014/PN.Smg tanggal 22 Januari 2015, dengan pertimbangan hukum amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka status Penggugat bukan sebagai warga yang dalam Pasal 11 (bukti P-9, T.I-5 T. II-3) ditentukan: Pihak kedua (Penggugat) diperkenankan untuk merubah apa yang disewakan dengan akta ini atas persetujuan tertulis dari pihak pertama dan atas biaya dan perongkosan dari pihak kedua (Penggugat) sendiri, dengan ketentuan bahwa apa yang dirubah dan/atau ditambah tetap milik pihak pertama (NV. Bouw Cultuur MatsChappij Karangajoe)da, perjanjian sewa-menyewa sudah berakhir pada tanggal 10 Maret 1995, maka Majelis Hakim berpendapat petitum gugatan Penggugat butir kelima tersebut tidak beralasan hukum dan oleh karenanya harus ditolak, karena bangunan yang dibangun oleh penyewa / Penggugat sudah menjadi milik NV. Bouw Cultuur MatsChappij Karangajoe (yang menyewakan) dan berdasarkan Akta berita Acara Rapat Nomor 54 tanggal 23 Agustus 1997 dari Notaris ... , S.H., telah diubah menjadi PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu (Tergugat I) sebagai Direkturnya bukti T.I-2, T.I-3, T.I-4);
“Menimbang bahwa berdasarkan bukti T.I-1, T.II-2, T.IV.- 1 berupa Sertifikat HGB Nomor 289/Karangayu, disebutkan lamanya HGB Nomor 289/Karangayu tersebut selama 30 tahun sejak tanggal 18-10-1966 dan berakhir pada tanggal 18-10-1996 dan selanjutnya menjadi tanah Negara tidak bebas (Pasal 40 huruf a Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria);
“Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat tidak dapat menunjukkan adanya bukti yang menunjukkan adanya penghapusan hak NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe yang sekarang (berubah nama menjadi) PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu (Tergugat I) selaku Pemegang hak lama atas objek sengketa tersebut dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, dalam Pasal 25 ayat (2) berbunyi ‘Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas tanah yang sama.’ dan lebih lanjut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Paragraf 3 tentang tata cara perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan hak guna bangunan, Pasal 42 berbunyi: ‘Sesudah jangka waktu hak guna bangunan atau perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan hak guna bangunan diatas tanah yang sama.’;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T.I-6, T. II-2, NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe yang sekarang PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu (Tergugat I) telah mengajukan permohonan perpanjangan hak atas tanah HGB Nomor 289/Karangayu tersebut kepada Kantor Pertanahan Kota Semarang (Tergugat VI) diterima dan terdaftar di Kantor Pertanahan Semarang pada tanggal 30 September 1996;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan petitum gugatan Penggugat butir ketujuh telah dinyatakan Pihak PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu dahulu bernama NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe adalah yang berhak untuk mengurus dan meneruskan atas kepemilikan HGB Nomor 289/Karangayu tersebut;
“Menimbang, bahwa bukti T.II-1 berupa Akta tentang jual-beli bangunan dan pelepasan hak atas tanah serta pemberian ganti-rugi, maka telah terjadi jual-beli dan pemberian ganti-rugi atas objek sengketa antara Tergugat I dengan Tergugat II;
“Menimbang, bahwa oleh karena objek sengketa masih terdaftar atas nama NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe, yang sekarang PT Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu (Tergugat I), maka dengan demikian Tergugat I dapat mengalihkan haknya atas objek sengketa tersebut kepada Tergugat II, dan oleh karena Perjanjian jual-beli tersebut telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif (Pasal 1320 KUHPerdata) maka perjanjian jual-beli sebagaimana bukti T.-II tersebut adalah sah, disamping itu Penggugat sejak perjanjian sewa-menyewa atas objek sengketa berakhir pada tanggal 10 Maret 1995 maka secara hukum Penggugat sudah tidak mempunyai hubungan hukum dengan objek sengketa;
“Menimbang bahwa oleh karena perjanjian sewa-menyewa tersebut dibuat tanpa batas waktu berakhirnya maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan batas akhir berlakunya perjanjian sewa-menyewa tersebut (Bukti P-9, T.I-5, T.II.- 3);
“Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, Pasal 12 Ayat (6) mengatur bahwa sewa-menyewa tanpa batas waktu dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1994, dinyatakan berakhir dalam jangka waktu 3 tahun sejak berlakunya undang-undang ini;
“Menimbang, oleh karena Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 berlaku sejak tanggal 10 Maret 1992, maka segala perjanjian sewa-menyewa rumah baik yang didasarkan pada perjanjian secara tertulis atau tidak tertulis tanpa batas waktu yang berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 tersebut, harus dinyatakan berakhir pada tanggal 10 Maret 1995;
“Menimbang bahwa oleh karena perjanjian sewa-menyewa antara Penggugat dengan NV. Bouw Cultuur MatsChappij Karangajoe tersebut dibuat tanggal 8 April 1998, dan tanpa batas waktu berakhirnya, maka sesuai Pasal 16 ayat (6) Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) Peraturan pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1994 tersebut harus dinyatakan berakhir pada tanggal 10 Maret 1995;
“Menimbang, bahwa bukti T.II-10 adalah Akta Perjanjian Pengosongan Bangunan Nomor 30 tanggal 19-02-2014 adalah suatu perjanjian tentang penyerahan dan pengosongan atas objek sengketa dari pihak yang menguasai yaitu Handoyo Hartono (Tergugat III) selaku pihak pertama kepada pihak kedua: Timotius Dharmawan Harsono (Tergugat II) telah memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPerdata dan dibuat di hadapan Notaris, maka perjanjian tersebut adalah sah, dan disamping itu Penggugat dengan objek sengketa yaitu sejak berakhir perjanjian sewa-menyewa objek sengketa tersebut pada tanggal 10 Maret 1995, sudah tidak mempunyai hubungan lagi;
“Menimbang, bahwa dalam tuntutan Penggugat butir kelima belas menuntut agar menghukum Para Tergugat untuk menyerahkan Sertifikat HGB Nomor 289/Karangayu atas nama NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe yang telah berakhir masa berlakunya kepada Tergugat VI (Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang) karena tuntutan tersebut tidak beralasan dan harus ditolak;
“Menimbang, ... sehingga dengan pertimbangan tersebut Majelis berpendapat bahwa sejak berakhirnya Perjanjian sewa-menyewa tersebut yaitu tanggal 10 Maret 1995, bangunan yang telah dibangun oleh Penggugat diatas objek sengketa tersebut adalah menjadi Pemilik yang menyewakan (NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe) dan Penggugat sudah tidak lagi mempunyai hubungan dengan objek sengketa sejak tanggal 11 Maret 1995;
“Menimbang bahwa Hak Guna Bangunan Nomor 289/Karangayu tersebut (Bukti T I-1, T II-2, dan T. IV-1) disebutkan bahwa lamanya 30 tahun sejak tanggal 18-10-1966 dan berakhir pada tanggal 18-10-1996 dan saat perjanjian sewa-menyewa berakhir status Hak Guna Bangunan Nomor 289/Karanagayu belum berakhir, masih statusnya milik NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe, dengan pertimbangan diatas, maka Penggugat seharusnya secara hukum sudah menyerahkan objek sengketa tersebut kepada NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe pada tanggal 11-3-1995;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka status Penggugat sebagai penghuni dan penggarap atas objek sengketa terhitung sejak tanggal 11-3-1995 sampai 10 Februari 2014 adalah tidak berdasar hak / tidak sah secara hukum, dan sejak tanggal 10 Februari 2014 tidak lagi sebagai penghuni / penggarap objek sengketa;
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam tuntutan-tuntutan dalam gugatan Penggugat yang telah diuraikan diatas, maka diperoleh fakta-fakta sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat adalah Penyewa atas objek sengketa dan Pemilik objek sengketa adalah NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe yang telah berubah menjadi PT. Perusahaan Pembangunan dan Perkebunan Karangayu sebagai Direkturnya adalah Tergugat I;
- Bahwa tanah objek sengketa adalah HGB Nomor 289/Karangayu yang lamanya 30 tahun dan berakhir pada tanggal 18-10-1996;
- Bahwa Perjanjian sewa-menyewa atas objek sengketa antara Penggugat (selaku penyewa) dengan NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe (selaku yang menyewakan) berakhir berdasarkan hukum yang berlaku pada tanggal 10-03-1995;
- Bahwa bangunan yang dibangun diatas objek sengketa oleh Penggugat (selaku penyewa) setelah berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tersebut menjadi milik yang menyewakan/NV. Bouw Cultuur Matschappij Karangajoe;
- Bahwa pada saat sewa-menyewa berakhir, status tanah objek sengketa belum berakhir, berakhirnya tanggal 18-10-1996;
- Bahwa Tergugat I sebagai yang berhak atas HGB Nomor 289/Karangayu tersebut telah mengajukan permohonan perpanjangan HGB Nomor 289/Karangayu kepada Kantor Pertanahan Kota Semarang;
- Bahwa Tergugat I sebagai pihak yang berhak atas HGB tersebut, berdasar hukum berhak menjual bangunan miliknya yang berdiri diatas tanah objek sengketa dan melepasakan hak atas tanah HGB Nomor 289/Karangayu tersebut kepada Tergugat II;
- Bahwa seharusnya Penggugat sejak berakhirnya perjanjian sewa-menyewa objek sengketa yaitu tanggal 10 Maret 1995 menyerahkan objek sengketa kepada Tergugat I, akan tetapi tetap menguasainya sampai tanggal 10 Februari 2014;
- Bahwa atas penguasaan tanah objek sengketa oleh Penggugat, Tergugat I telah mensomasi Penggugat (bukti T. I-7);
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas dan uraian pertimbangan terhadap tuntutan-tuntutan dalam gugatan Penggugat sebagaimana terurai tersebut maka menurut Majelis tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I dan Tergugat II;
“Menimbang, demikian juga terhadap Tergugat III apa yang dilakukan Tergugat III tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum (bukti T. II-10) karena saat itu (tanggal 10-2-2014) Tergugat III yang menguasai objek sengketa sudah tidak lagi mempunyai hubungan hukum dengan objek sengketa lagi sejak 10-3-1995;
“Menimbang, bahwa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat IV. Tergugat V, Tergugat VI, sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat menurut Majelis Hakim bukan merupakan perbuatan melawan hukum, karena yang dilakukan oleh Tergugat IV,Tergugat V, dan Tergugat VI. Tersebut merupakan tugas, kewajibannya, serta kewenangan dalam pelayanan dalam masyarakat;
“Menimbang, bahwa sebaliknya terhadap Penggugat yang seharusnya sejak berakhirnya perjanjian sewa-menyewa atas objek sengketa berakhir pada tanggal 10 Maret 1995 menyerahkan objek sengketa kepada Tergugat I, akan tetapi tetap menguasainya sampai tanggal 10 Februari 2014 dengan mendirikan PT. Sekarsari Sakti tanggal 6 Maret 1998 dan tahun 2008, Pabrik Krupuk, hal ini merupakan perbuatan melawan hukum, karena penguasaan atas objek sengketa tersebut tidak berdasarkan alasan hukum dan tidak sah;
DALAM REKONPENSI:
“Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan gugatan Konvensi, bahwa Tergugat Rekonvensi setelah berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanggal 10 Maret 1995 telah menguasai objek sengketa secara melawan hak / dasar hukum, yang telah melanggar hak orang lain, diantaranya Penggugat Rekonvensi selaku pemilik objek sengketa sesuai Akta Nomor 46 tanggal 16 Agustus 2012 tentang perjanjian jual-beli bangunan dan pelepasan hak atas tanah serta pemberian ganti-rugi atas objek sengketa, sehingga dengan demikian perbuatan Tergugat Rekonvensi tersebut adalah perbuatan melawan hukum, karena dengan berakhirnya sewa-menyewa dengan sendirinya Penyewa (Tergugat dalam Rekonvensi) tidak berhak lagi menempati objek sengketa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka petitum gugatan Penggugat Rekonvensi butir kelima adalah beralasan hukum dan oleh karenanya harus dikabulkan;
MENGADILI :
Dalam Konvensi
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
Dalam Rekonvensi:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menyatakan sebagai hukum Akta Notaris Nomor 46 tanggal 16 Agustus 2012 yang dibuat dan ditanda-tangani di hadapan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ... , S.H., Notaris di Semarang adalah sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan hukum;
3. Menyatakan sebagai hukum Penggugat Rekonvensi adalah sebagai pemilik yang sah atas bangunan yang berdiri diatas tanah HGB Nomor 289 / Karangayu dan sebagai pihak yang berhak secara hukum menerima pelepasan Hak atas tanah HGB Nomor 289 / Karangayu tersebut untuk kepentingan Penggugat Rekonvensi dan atas kuasa yang tidak dicabut kembali / berakhir untuk mengajukan permohonan kepada yang berwajib (Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang) guna mendapatkan sesuatu hak atas tanah HGB Nomor 289/Karangayu tersebut untuk kepentingan / atas nama Penggugat Rekonvensi;
4. Menyatakan sebagai hukum Penggugat Rekonvensi adalah pembeli yang beriktikad baik;
5. Menyatakan sebagai hukum Tergugat Rekonvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum;
6. Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar ganti-rugi kepada Penggugat Rekonvensi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) secara kontan tunai seketika setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;
7. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat yang justru dihukum membayar ganti-rugi serta menyerahkan bidang tanah, putusan Pengadilan Negeri diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang oleh putusan Nomor 224/PDT/2015/PT.SMG tanggal 28 Juli 2015.
Sebenarnya cukup memprihatinkan mendapati gugatan yang penuh percaya diri namun berujung kalah besar akibat gugatan balik pihak Tergugat (harapan semu). Selanjutnya, Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori kasasi tanggal 11 September 2015 dan 21 September 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Oktober 2015 dan 12 Oktober 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Tinggi Semarang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa setelah berakhirnya perjanjian sewa menyewa tanggal 10 Maret 1995, Penggugat telah menguasai objek sengketa secara tanpa hak / dasar hukum yang telah melanggar hak Tergugat selaku pemilik objek sengketa sesuai Akta Nomor 46 tanggal 16 Agustus 2012;
“Bahwa Penggugat selaku penyewa telah berakhir masa sewanya. Walaupun Sertifikat Hak Guna Bangunan atas tanah yang disewanya tapi Penggugat selaku penyewa tidak mempunyai hak prioritas memohon hak, karena pemilik lama masih ada sehingga berhak memperpanjang dan mengalihkan kepada Tergugat I dan kemudian Tergugat I mengalihkan kepada Tergugat II;
“Bahwa Tergugat adalah yang berhak untuk mengurus atau mengajukan permohonan kepada yang berwenang untuk mendapatkan HGB Nomor 289/Karangayu yang sudah berakhir sejak tanggal 18 Oktober 1996;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi I: LURAH KARANGAYU KECAMATAN SEMARANG BARAT KOTA SEMARANG, dan kawan, Pemohon Kasasi II DRS. HARTONO GUNAWAN tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi I: I.1. LURAH KARANGAYU KECAMATAN SEMARANG BARAT KOTA SEMARANG, dan I.2. WALIKOTA SEMARANG, II. DRS. HARTONO GUNAWAN tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.