Cara Membuat Gugatan / Pledoi yang Baik & Benar

ARTIKEL HUKUM
CARA MEMBUAT GUGATAN / PLEDOI YANG BAIK & BENAR, RASIONAL & PROPORSIONAL
Orang bodoh dari mana, yang membuat surat gugatan ataupun pledoi bombastis setebal ribuan halaman? Ternyata, banyak sekali kalangan orang demikian di Indonesia. Salah satunya dapat kita jumpai dalam pledoi perkara pidana Jessica Wongso (terpidana kasus pembunuhan terhadap Mirna Solihin “Kopi Es Vietnam”), maupun yang paling fenomenal, pledoi sang “pengacara (berkepala) bakpao” Frederick Yunadi.
Tulisan ini disusun dengan semangat kejujuran, sehingga hendaknya tidak ada yang perlu merasa tersinggung. Semoga pula kita masih tidak merasa alergi terhadap sebentuk nilai-nilai kejujuran yang kian kering tergerus era modern serba pragmatis ini.
Konon, pledoi yang disusun oleh pengacara Setya Novanto kasus “perintangan penyidikan perkara korupsi” mencapai setebal ribuan halaman. Jika benar demikian pemberitaan yang ada, mungkin itulah lelucon nyata ditengah suasana ruang sidang yang “sakral”. Itu jugalah banyolan klimaks dari segala drama dan degelan kepura-puraan yang dipertontonkan secara vulgar, akibat rasa bangga yang salah tempat.
Apakah para pengacara Frederick Yunadi tidak sadar akan lelucon yang mereka buat sendiri demikian? Kemungkinan besar para pengacara beliau sadar sepenuhnya, seperti halnya ketika sang “pengacara bakpao” mendesak Majelis Hakim agar meminta Jaksa Penuntut membaca seluruh isi surat tuntutan di depan persidangan, tanpa diringkas.
Boleh jadi beliau merasa lebih pintar dari hakim, namun masalahnya, Frederick Yunadi juga merasa lebih pandai daripada para pengacaranya sendiri. Lantas, untuk apa lagi beliau menyewa pengacara bila hanya bermaksud untuk menghambur-hamburkan uang? Bukankah akan lebih elok, bila dana tersebut diberikan / disumbangkan pada anak yatim piatu yang lebih membutuhkan?
Pepatah klasik mengatakan, yang hidup dari pedang, akan mati karena pedang. Bagai mengikuti langkah Otto Cornelis Kaligis, divonis dengan pemberatan karena statusnya sebagai pengacara justru menjadi agen korupsi, begitupula nasib yang menimpa Frederick Yunadi, yang dahulu demikian bangga akan statusnya sebagai pengacara, kini statusnya berubah menjadi bumerang “mimpi buruk” bagi posisi dirinya sendiri saat menjadi pesakitan di ruang meja hijau.
Namun bukanlah itu yang akan penulis bahas dalam artikel ini, akan tetapi sebuah pertanyaan introspektif yang jarang disadari kalangan litigator di Tanah Air, yakni: menyusun surat gugatan atau pledoi (nota pembelaan) setebal ribuan halaman demikian, siapa yang akan sudi untuk membacanya? Menyentuhnya saja, mungkin kita tidak akan berminat. Ayolah, kita bersikap jujur saja pada diri sendiri, siapa yang hendak kita bodohi? Anda sendiri tahu, dan semua orang sudah tahu.
Sumber daya waktu memiliki keterbatasannya sendiri. Sehebat apapun kemampuan daya tahan seseorang untuk membaca, tetap saja memiliki keterbatasan. Penulis sendiri, secara pribadi tidak mampu membaca lebih dari 100 halaman per harinya, dan itu sudah menjadi rekor tersendiri, terlebih bila bahan bacaan demikian berat dan sukar dicerna. Kita tidak sedang berbicara perihal membaca sebuah novel.
Kita tidak dapat membohongi daya tahan fisik, sama seperti “kecentilan intelektual” kalangan profesi hukum yang kerja dari “pagi ketemu pagi”, merasa bangga bahwa mereka bekerja hampir 24 jam setiap harinya, tanpa mau mengakui bahwa hasil kerja meraka jauh dari kata teliti. Bagaimana mungkin untuk diharapkan mendatangkan mutu kualitas kerja, bila mereka tidak mampu membaca tanda-tanda keletihan tubuhnya sendiri.
Hendaknya kita membuang jauh-jauh sikap naif. Jika seorang terdakwa membuat surat pembelaan diri setebal ribuan halaman, namun ternyata terbukti dirinya bersalah, maka sang hakim kemudian akan mengutuk dirinya sendiri sambil berkata: “Betapa bodohnya saya, sudah mau dibuat membuang waktu membaca omong kosong setebal ribuan halaman ini ?!
Sementara itu, hakim yang cukup arif tentunya akan memilih opsi untuk sama sekali tidak menyentuh surat gugatan ataupun pledoi “genit” semacam demikian. Bagai seorang Geisha yang memoles wajahnya dengan bedak yang demikian tebal, sehingga menyerupai topeng pembalut wajah aslinya yang sama sekali tidak menarik untuk dipandang. Seseorang dengan wajah cantik yang alami, bahkan tidak pernah butuh polesan apapun.
Penggugat atau terdakwa yang terlampau “rewel”, hanya akan membuat posisinya memasuki zona kontraproduktif. Namun, sekali lagi, kalangan litigator di Tanah Air tampaknya masih hidup di dunia khayalan yang terlampau menganggap tinggi profesi mereka. Mereka tidak pernah mau bersikap realistis, bahwa yang memegang kuasa di depan hukum dan pengadilan, selalu adalah seorang hakim pemutus, apapun yang mau dikatakan oleh kalangan advokat tersebut.
Dahulu, ketika penulis masih “hijau” dibidang hukum karena lemahnya sistem pendidikan tinggi hukum di Tanah Air yang masih menekankan pada asupan teori yang tidak praktis dan tidak aplikatif, penulis secara naif berasumsi bahwa surat gugatan yang berbobot artinya ialah gugatan yang “tebal”, penuh teori dan kutipan teori atau doktrin para penulis buku terkenal.
Namun, disaat bersamaan, kesalahan mana sebagaimana juga banyak dijumpai dilakukan oleh para pengacara senior, lupa / abai untuk memungkinkan kemungkinan alam batin seorang hakim yang besar kemungkinan akan melontarkan komentar berikut dalam benaknya ketika disodorkan surat gugatan / pledoi yang demikian tebal : “Tolong deh, jangan buang-buang waktu saya untuk tetek-bengek teori, saya sudah kenyang baca teori saat di bangku kuliah, saya tidak butuh kalian kuliahi lagi.
Praktis, esensi yang hendak kita sampaikan akan lolos dari pandangan hakim yang memeriksa perkara (bukan lagi meleset), oleh sebab sang hakim akan seketika itu juga mencampakkan dokumen tebal yang “menjijikkan” demikian, seakan dokumen tersebut ialah daging busuk yang demikian memancarkan bau tidak sedap. Sekadar memandangnya dari kejauhan pun, tidak sudi kiranya. Tidak ada yang lebih berdosa, daripada dokumen tebal yang membuang-buang waktu.
Sering kali kita jatuh pada sebuah kesalahan yang serupa, disadari ataupun tidaknya, bahwa kita menulis sebuah surat gugatan ataupun pledoi, bukan untuk dibaca oleh diri kita sendiri, atau oleh orang awam, ataupun bagi mahasiswa hukum, namun bagi hakim pemutus perkara yang sudah demikian “bosan” dan “jemu” yang terus diulang-ulang dalam setiap perkara pidana maupun perdata yang disidangkan oleh sang hakim.
Bila kita bermaksud untuk menuliskan teori dan mencomot kutipan teori dari sana-sini, maka lebih baik kita menjadi penulis buku atau dosen, bukan menjadi litigator. Bila kita bermaksud mengedukasi masyarakat awam hukum untuk mengetahui dan memahami konsep hukum, maka jadilah trainer dibidang hukum, bukan menjadi litigator.
Tugas utama seorang litigator ialah untuk meringkas apa yang kompleks, menjadi sesuatu yang mudah dipahami secara ringkas. Butuh keterampilan untuk mencapai taraf “seni oleh kata” demikian, dan tidak semua kalangan hukum mampu untuk itu.
Untuk lebih memudahkan pemahaman, penulis akan memberl ilustrasi berikut. Ketika bermaksud mengajukan gugatan perihal tanggung jawab majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak-buahnya, maka cukup kita sebut dalam surat gugatan, secara ringkas dan singkat sebagai berikut: “Tergugat berdasar asas vicarious liabilities, harus bertanggung jawab dan untuk itu dimintakan ganti-rugi oleh Penggugat.
Sementara itu, apa yang dimaksud dengan “vicarious liabilities”? ingat, seorang hakim bukanlah orang awam hukum, juga bukan seorang mahasiswa hukum yang masih perlu belajar dan diajari tentang apa itu terminologi dan konsep-konsep dasar hukum. Bandingkan bila pengacara penggugat menyusun surat gugatan bertele-tele dengan rumusan sebagai berikut yang demikian menjemukan untuk kembali dibaca oleh sang hakim (yang terlebih bila sudah berusia uzur dan kian lemah dalam penglihatan):
Berdasarkan asas vicarious libilities, yang menyatakan bahwa seorang majikan harus bertanggung-jawab terhadap setiap perbuatan anak-buah atau perbuatan anak dibawah pengawasan orang-tuanya, maka setiap kerugian yang diperbuat anak-buah atau seorang anak, ditanggung dan menjadi beban kewajiban pengawas, majikan, atau walinya untuk bertanggung-jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Untuk itu Penggugat mohon agar kerugian yang diderita Penggugat akibat perbuatan melawan hukum anak-buah Tergugat, dapat dituntut dari Tergugat selaku majikan / wali.
Kita juga perlu bersikap rasional, terutama terhadap keadaan umur kalangan Hakim Agung, yang lebih tepat disebut sebagai para “kakek-kakek” dan “nenek-nenek” demikian. Kini akan penulis ungkap rahasia seni menyusun memori permohonan kasasi yang berbahaya untuk ditiru. Ketika pemohon kasasi menyusun memori kasasi setebal berpuluh-puluh halaman, maka mata sang Hakim Agung cukup untuk menyeleksi satu saja, ya cukup satu saja, argumentasi yang tampak lemah diantara dalil-dalil dalam memori kasasi yang tebalnya menyerupai rimba hutan-belantara tersebut, untuk kemudian seketika dibantah oleh Hakim Agung dalam pertimbangan hukumnya, tanpa menghiraukan dan tanpa mengacuhkan dalil-dalil lain selebihnya dalam memori kasasi.
Lebih mudah untuk melakukan screening gerak mata kepada dalil yang lemah ketimbang dalil yang cukup relevan. Dalil yang relevan cenderung membutuhkan waktu untuk mencerna, dan itu butuh kerja keras antara memori dan olah pikiran. Sementara sumber daya energi dan waktu sang Hakim Agung, demikian terbatas—terlepas dari fakta bahwa terdapat asisten para Hakim Agung yang bekerja men-screening dalil-dalil dalam memori kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi. Asumsi Anda berdiri diatas fondasi rapuh, bila sekali lagi berasumsi bahwa para asisten di Mahkamah Agung RI adalah orang-orang yang demikian rajin dan sudi untuk meluangkan waktu membaca semua dalil dalam karya tulis Anda.
Demikian gawat dan demikian fatalistis, bukan? Siapa suruh, bermain-main dengan waktu sang Hakim Agung yang demikian sensitif perihal waktu. Jangan buat sang “kakek-kakek” mati karena bosannya, atau umurnya yang sudah pendek habis untuk membaca “sampah”.
Sebenarnya semua hal demikian adalah akibat perbuatan dari kalangan para pengacara itu sendiri, yang kerap membanjiri Mahkamah Agung RI dengan permohonan kasasi yang tidak rasional, yang hanya sebentuk upaya hukum spekulatif, sehingga kalangan Hakim Agung tidaklah lagi menaruh penilaian tinggi terhadap setiap upaya hukum kasasi yang masuk ke Mahkamah Agung. Sebagian besar putusan tingkat kasasi, ialah berbunyi sebagai berikut : “Menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi.”
Menurut Jeremy Benthan, sang maestro prinsip kemanfaatan (mazhab utilitarianisme), membuang-buang waktu adalah sebentuk dosa itu sendiri. janganlah kita menjadi pendosa yang membuang-buang waktu diri sendiri maupun waktu seorang hakim yang dapat merasa kesal dan “jijik” terhadap dokumen “gemuk” demikian. Tidak ada penampilan “gemuk” yang mampu memukau audiens. Postur “gemuk” adalah ciri pertanda ketidak-mampuan dirinya untuk menjaga penampilan diri, itulah pertanda yang dikomunikasikan lewat bentuk tubuh, diakui ataupun tidaknya.
Bila kita mau sedikit membuka kejujuran diri, penulis telah banyak melihat dan menghadapi berbagai bentuk surat gugatan kalangan pengacara, yang demikian menyerupai “tong sampah” karena banyak memasukkan unsur-unsur kata, kalimat, dan ulasan yang sejatinya hanya “spam” alias sampah tidak berguna.
Harapan terbesarnya mungkin ialah agar sang klien merasa tersanjung dan kagum saat membacanya, dan demikian merasa bahwa pengacara yang telah mereka bayar mahal, telah bekerja keras mengetik surat gugatan. Seolah memang dibayar mahal untuk mengetik semua “sampah” demikian.
Namun sekali lagi, klien yang cukup cerdas akan seketika itu juga menyadari, bukanlah mereka yang menjadi target reader (target pembaca) dari surat gugatan ataupun pledoi, namun HAKIM YANG MEMILIKI KETERBATASAN SUMBER DAYA ENERGI DAN WAKTU. Kalangan litigator yang gagal memahami prinsip mendasar demikian, sungguh membuang-buang waktu, atau mungkin juga dapat dijuluki sebagai seorang “pendosa” tulen, jika meminjam perspektif Jeremy Bentham.
Betul bahwa jauh lebih sukar untuk menulis sebuah tulisan daripada membaca sebuah buku, namun kita harus tahu audiens yang kita tuju. Bagai memasarkan buku teori relativitas Albert Einstein ke sekolah Taman Kanak-Kanak, tentunya tidaklah tepat sasaran, atau juga sebaliknya, memasarkan buku bergambar cara membaca huruf ke Perguruan Tinggi, tidak relevan sama sekali.
Terdakwa yang sudah diyakini oleh hakim pemeriksa sebagai bersalah setelah proses pembuktian, masih akan sudi melirik satu atau dua lembar pledoi setebal belasan halaman. Namun sekalipun sang terdakwa tampak bersikeras mengaku tidak bersalah di depan persidangan, namun bila pledoi disusun setebal ribuan halaman, atau bahkan konon pernah mencapai 5.000 halaman tebalnya, kita berani bertaruh bahwa sang hakim pemeriksa tidak akan menyentuh dokumen pledoi tersebut, sekalipun hanya satu lembar halaman. Berani bertahuh?
Bila maksud dirinya ialah untuk menulis bagi dirinya sendiri, cukuplah membuat buku harian atau diary pribadi, untuk Anda konsumsi dan baca sendiri. Atau jadilah seorang novelis, bila memang itu obsesinya. Adalah ironis masih beredar ditengah masyarakat, kalangan pengacara yang berasumsi (atau bahkan telah tenggelam dalam asumsi semu) bahwa dengan memakai kata-kata yang penuh akrobatik, dapat membalik posisinya dan memutar-balik fakta dari “guilty” menjadi “innocent”, dari “bersalah” menjadi “suci dan bersih”.
Sebanyak apa mereka berkilah dari apa yang sudah jelas-jelas, semakin tampak bahwa integritas bersangkutan sedang sakit atau bahkan tengah membusuk. Namun, fenomenanya yang terjadi di tengah bangsa Indonesia, penulis mendapatkan betapa banyaknya orang besar maupun orang kecil, selalu memakai trik kotor demikian untuk memutar-balikkan posisi dan keadaan. Korban justru dikriminalisasi, dimana pelakunya kemudian justru jauh lebih galak daripada korbannya. Masyarakat di Indonesia jauh lebih pandai “bersilat lidah” daripada kalangan pengacara, dan hal demikian bukanlah isapan jempol. Entah sejak kapan tren / fenomena sosial demikian terbentuk.
Tulisan singkat ini bukan bermaksud menggurui, namun hendaknya kalangan litigator yang telah cukup senior menelan asam garam, tidak lagi bersikap layaknya Sarjana Hukum yang masih “hijau” dari segi pengalaman maupun nalar logis yang sebetulnya sangat mendasar perihal cara membaca keadaan batin (psikologi) kalangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara.
Bila maksudnya ialah untuk mencari sensasi, maka pengacara bersangkutan telah berhasil menjadi selebritis karena kegagalannya untuk tidak membuang-buang sumber daya waktu yang demikian berharga. Setidaknya, cukup memberi suguhan tontonan yang sedikit menghibur, memberi senyum getir bagi para penontonnya. Mungkin juga Anda memiliki pendapat berlawanan, namun setidaknya itulah refleksi pengalaman pribadi penulis dalam praktik hukum di Indonesia.
Yang paling berbahaya, tentu saja, hakim yang telah disusupi nuansa koruptif, dalam artian, sebanyak atau sesedikit apapun kita berucap, mendalilkan, atau membela diri, tetap tidak membawa pengaruh karena tendensi sang hakim telah terbentuk jauh sebelum gugatan ataupun pembelaan diri diajukan. Itulah, tepatnya, musuh terbesar praktik hukum di Tanah Air.
Tidak ada yang lebih jahat daripada polisi yang abai dan lalai sementara dirinya memegang monopoli penggunaan senjata api maupun akses peradilan pidana bersama kejaksaan, pejabat yang menjadikan rakyat pembayar pajak sebagai sapi perahan, maupun hakim yang pemalas dan parsial, alias berat sebelah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.