Hitungan Besaran Pesangon akibat Meninggalnya Pekerja

LEGAL OPINION
TELAAH STANDAR GANDA PESANGON AKIBAT PENSIUN & PESANGON AKIBAT KEMATIAN PEKERJA
Question: Yang boleh minta pesangon dari kantor, itu buruh yang meninggal akibat kecelakaan kerja atau semua jenis kematian, termasuk meninggal karena kesehatan atau segala jenis penyebab kematian?
Brief Answer: Banyak pendapat / opini yang menyebutkan bahwa perlindungan hukum ketenagakerjaan hanya melindungi seorang Pekerja / Buruh selama dalam lingkup pekerjaan. Misal seorang Pekerja mengalami kecelakaan dalam rangka mengendarai kendaraan motornya dari dan/atau ke tempat kerjanya, maka itu masih dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan.
Namun pendapat yang lebih luas berpendirian, bahwa selama Pekerja yang bersangkutan masih terikat oleh hubungan pekerjaan, sekalipun penyebab kematiannya ialah karena faktor kesehatan sehingga meninggal dunia saat berada di kediaman pribadinya, maka bukan berarti tiada sangkut-paut dengan faktor pekerjaan, sebab besar kemungkinan sang Pekerja mendapat akumulasi penyakit fisik dari beban pekerjaannya sebagai Pekerja pabrik, sebagai contoh.
Akan tetapi yang perlu SHIETRA & PARTNERS garis-bawahi, ialah bahwasannya berdasarkan praktik peradilan yang ada dan pendirian Mahkamah Agung RI, terdapat perbedaan perlakuan normatif (standar ganda) antara “pesangon yang bersumber dari pensiun” dan “pesangon yang bersumber dari kematian seorang Pekerja”.
Pesangon akibat pensiun, diperhitungkan pula dari uang jaminan hari tua / pensiun yang telah dibayarkan iuran setiap bulannya oleh pihak Pengusaha, sementara dalam konteks pesangon akibat kematian seorang Pekerja, meski jaminan sosial ketenagakerjaan meliputi pula perlindungan dari akibat kecelakaan maupun kematian Pekerja, namun besaran pesangon tidak diperhitungkan dari iuran yang selama ini telah secara rutin dibayarkan oleh Pengusaha.
Terlepas dari polemik demikian, untuk lebih jelasnya, mari kita rujuk norma Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
”Dalam hal hubungan kerja berakhir karena Pekerja / Buruh meninggal dunia, kepada ahli-warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), uang pergantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2).”
PEMBAHASAN:
Bila mencermati kaedah norma diatas, tampaknya undang-undang tidak membedakan antara “meninggal secara wajar”, “meninggal karena penyakit”, “meninggal karena usia tua”, ataupun “meninggal akibat kecelakaan kerja”, dsb. Penjelasan resmi pasal tersebut hanya menyebutkan: “Cukup jelas”. Maka dapat kita simpulkan, secara argumentum a contrario, oleh sebab undang-undang tidak telah menyebutkan sebab kematian sang Pekerja, maka segala sebab kematian tersebut tunduk pada kaedah Pasal 166 UU Ketenagakerjaan.
Terdapat sebuah cerminan konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 928 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 22 November 2016, perkara antara:
- PT. AREZDA PURNAMA LOKA, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- AMINAH, SITI MAISYAROH, ANDRIYANTO dan ERNAWATI sebagai para ahli waris dari almarhum Jaya, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Baik Penggugat maupun Tergugat, tidak ada yang menyinggung perihal penyebab kematian sang Pekerja. Dimana perselisihan hubungan industrial ini telah melalui proses perundingan Tripartit yang dimediasi Dinas Sosial Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, dan Mediator telah menerbitkan anjuran tertulis tertanggal 05 Maret 2015, dengan isi sebagai berikut:
MENGANJURKAN
1. Bahwa berakhirnya hubungan kerja antara pihak Perusahaan dengan pihak pekerja dengan dasar pihak pekerja meninggal dunia telah sesuai dengan Pasal 166 Ayat (1) Huruf (a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
2. Bahwa kepada pihak Perusahaan diminta agar segera membeikan hak-hak pekerja, kepada pihak pekerja / ahli-warisnya sesuai dengan Pasal 166 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3. Kepada para pihak sebagaimana diatur pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dimana para pihak diminta untuk memberikan jawaban dan memberikan tembusannya kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor, dan bilamana salah satu pihak menolak anjuran maka dapat melanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial di Bandung.”
Penggugat menerima isi anjuran Mediator Disnaker jika yang dimaksud ialah hak berdasarkan Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sementara Tergugat tidak memberikan jawaban, sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sikap diam Tergugat dimaknai sebagai telah menolak Anjuran.
Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat, dengan jabatan terkahir sebagai operator pemeliharaan Bangunan, dengan masa kerja lebih dari 25 tahun dengan status sebagai pekerja tetap. Hingga tiba pada tanggal 30 September 2014, Penggugat terputus hubungan kerjanya dikarenakan meninggal dunia.
Meski demikian, sampai dengan gugatan ini dibuat, Penggugat selaku ahli-waris almarhum, belum mendapat hak-haknya dari Tergugat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-gundangan. Tergugat dinilai dengan sengaja melakukan perbuatan melanggar hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan dalam hubungan industrial ini, sehingga menyulitkan dan merugikan keluarga almarhum.
Terhadap gugatan ahli waris Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 35/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bdg. tanggal 29 Juni 2016, dengan amar sebagai berikut:
 MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan ‘putus’ hubungan kerja antara Aim Jaya dengan Tergugat karena meninggal dunia terhitung sejak tanggal 30 September 2014;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berupa uang Pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengantian hak yang seluruhnya berjumlah Rp93.814.700,00 (sembilan puluh tiga juta delapan ratus empat belas ribu tujuh ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Pekerja bersangkutan pada program pemerintah perihal jaminan sosial ketenagakerjaan yang mencakup Jaminan Kesehatan, Santunan Kecelakaan Kerja, Kematian, dan Tunjangan Hari Tua, dan hal-hal lain kepada almarhum dan keluarganya yang sifatnya kekeluargaan.
Selain itu yang bersangkutan telah juga mendapatkan manfaat yang cukup lumayan dari adanya santunan dari program jaminan sosial ketenagakerjaan tersebut. Sehingga Tergugat merasa terkejut ketika keluarga almarhum mengajukan tuntutan-tuntutan semacam itu.
Tergugat diikutsertakan pada program jaminan sosial ketenagakerjaan yang iurannya turut dikontribusikan oleh pihak Pengusaha setiap bulan, dan sepanjang tahun. Dimana terhadap keberatan-keberatan yang sebenarnya cukup rasional demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 16 Agustus 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 29 Agustus 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah benar menerapkan Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Pekerja dalam hubungan kerja meninggal dimana sesuai Surat Kematian Bukti P2;
2. Bahwa terhadap peristiwa hukum tersebut Tepat ahli-waris pekerja berhak atas 2 kali Upah Pesangon (UP), UPMK, dan UPH sebagaimana ketentuan Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Bahwa alasan Pengusaha, pekerja telah diikut-sertakan dalam program BPJS sehingga tidak berhak atas uang kompensasi, tidak dibenarkan, karena hak ahli waris a quo bersifat normatif;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. AREZDA PURNAMA LOKA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. AREZDA PURNAMA LOKA tersebut.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Alangkah lebih bijaksana dan lebih ideal bila mengikuti cerminan norma secara analogi dalam kaedah Pasal 167 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja / buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja / buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja / buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikut-sertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya / preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi / iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikut-sertakan pekerja / buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja / buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja / buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Penjelasan Resmi Pasal 167 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan:
“Contoh dari ayat ini adalah: Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja / buruh 40% (empat puluh perseratus), maka:
- Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah: sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00.
- Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00.
- Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00.
- Sehingga uang yang diterima oleh pekerja / buruh pada saat PHK karena pensiun tersebut adalah:
- Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60% dibayar oleh pengusaha).
- Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha).
- Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh).
- Jumlah Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah).”
Mungkin diakibatkan oleh rasa kemanusiaan, dimana sang Pekerja meninggal belum pada saat memasuki usia pensiun, demi kelangsungan hidup anggota keluarga yang ditinggal oleh almarhum yang merupakan kepala keluarga, maka ‘jaring pengamannya’ sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah Agung RI, mendapat perlindungan ganda dari undang-undang maupun dari jaminan sosial ketenagakerjaan. Penulis menyebutnya sebagai: sesuatu yang dapat dimaklumi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.