Appraiser Vs. Appraiser KJPP, Dua Juru Taksir Bandingan

LEGAL OPINION
Question: Mau gugat, karena hasil angka yang disebutkan Apraisal jauh dibawah harga pasar. Saya ada punya hasil penilaian oleh Apraisal dari kantor KJPP sebagai perbandingan untuk menjadi bukti. Gimana kira-kira hasilnya?
Brief Answer: Terdapat alternatif lainnya (bilamana gugatan terhadap pihak lainnya menemui kegagalan), yakni yang dijadikan tergugat ialah pihak Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang melakukan penilaian secara tidak patut atau bahkan melanggar Kode Etik profesi Penilai Publik, sehingga anggota dari organisasi profesi Penilai Publik dapat dicabut izin praktiknya bila dalam Sidang Majelis Etik Profesi Penilai terbukti telah melanggar Kode Etik.
Dalam pengalaman SHIETRA & PARTNERS, tidak sedikit praktik kalangan Appraiser (peristilahan Bahasa Inggris untuk menyebut kalangan profesi “juru taksir”) nakal, yang bahkan merugikan kalangan kreditor yang menyalurkan kredit dengan jaminan agunan—dimana saat agunan hendak di-lelang eksekusi beberapa tahun kemudian akibat kredti macet, barulah diketahui bahwa harga objek agunan jauh dibawah nilai harga penilaian oleh Aprraisal yang disewa saat debitor mengajukan proposal permohonan fasilitas kredit—terjadi kolusi “segi tiga” antara debitor, oknum karyawan kreditor, dan pihak Appraiser. Kalangan praktisi perbankan sudah sangat mengenal benar praktik penyimpangan dan tidak sehat sedemikian, sehingga sejatinya kredibilitas profesi Appraisal kian diragukan dan telah menyentuh titik nadir.
Namun demikian, adapun praktik peradilan yang selama ini terjadi, menggunakan dokumen hasil penilaian Appraiser pembanding guna menggugat ganti-rugi pemebasan lahan untuk kepentingan umum ataupun dalam rangka menggugat Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, hampir selalu berakhir sia-sia.
Mengapa? Masalah psikologi hakim menjadi kendala utama: dihadapkan padanya dua dokumen hasil penilaian Aprraiser berbeda dengan nilai hasil penaksiran yang saling beragam, manakah yang paling kredibel dan kompeten? Tentu, hakim pemeriksa perkara didudukkan pada posisi yang sukar sekaligus “dilematis”.
Sebab, baik Pembebasan Lahan oleh pemerintah maupun eksekusi Hak tanggungan oleh kreditor selalu menyertakan dokumen Appraiser Independen sebagai prosedur / prasyarat mutlak. Praktis, ketika dihadapkan pada dua hasil penilaian yang bertolak-belakang margin hasil penilainnya oleh dua KJPP yang saling berlainan, maka yang kemudian terjadi ialah ambiguitas di mata hakim “Jangan-jangan kedua hasil taksiran itu, ngawur / keliru semua!”—ini adalah kemungkinan lainnya yang dapat terjadi dalam alam batin seorang hakim.
Maka, pihak lain yang dapat dijadikan tergugat paling utama, ialah pihak KJPP yang dinilai telah melakukan penilaian secara tidak patut dan tidak layak, lewat pembuktian yang memadai semisal dengan cara menghadirkan dua atau lebih dokumen hasil penilaian KJPP yang berlainan sebagai perbandingan untuk membuat kontras antara dokumen hasil penilaian KJPP yang digugat—meskipun, kalangan profesi Appraiser tampaknya masih berada “di atas angin”, oleh sebab sejauh ini belum pernah terdapat sejarah digugatnya kalangan profesi Appraiser terkait dokumen produk hasil estimasi / penaksiran yang mereka lakukan.
PEMBAHASAN:
Sebagai salah satu cerminan yang lebih ekstrim, pemilik tanah hanya menyuguhkan pembanding berupa brosur berisi harga penjualan rumah mewah dari developer sekitar lokasi tanah dalam gugatannya melawan ganti-rugi pembebasan lahan pemerintah yang didasarkan penilaian Appraiser, untuk itu tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS mencerminkannya pada putusan Mahkamah Agung sengketa ganti-rugi pembebasan lahan untuk kepentingan umum, register Nomor 1941 K/Pdt/2017 tanggal 18 Juli 2017, perkara antara:
1. ERMIN DALI; 2. AMINULLAH; 3. MARIYO; 4. MUJIYANTO; 5. ISMAYAWATI, sebagai Para Pemohon Kasasi, semula selaku Para Pemohon Keberatan; melawan
1. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA TANGERANG, yang bertindak sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan; 2. KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Para Termohon Keberatan.
Pemohon merupakan pemilik yang sah atas tanah dan bangunan yang terletak di Kelurahan Kunciran Indah, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Provinsi Banten sebagaimana dapat dibuktikan dalam Sertipikat Hak Milik. Seluruh tanah dan bangunan milik Pemohon terkena proyek Pembangunan Jalan Tol Kunciran—Serpong, dimana oleh Termohon telah ditetapkan besarnya ganti-kerugian sebesar Rp4.470.000,00 per meter persegi sesuai dengan Surat Rekapitulasi Uang Ganti Kerugian tertanggal 22 Desember 2016 maupun Surat Undangan dari Termohon I tertanggal 20 Desember 2016 meski tanpa pernah dilakukan musyawarah mengenai besaran nilai ganti-kerugian, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menentukan hasil penilaian dari Tim Penilai hanya dijadikan dasar musyawarah, bukan sebagai hasil kesepakatan sebagaimana ditetapkan secara sepihak oleh Termohon I.
Pemohon menarik Kepala Kantor Pertanahan Kota Tangerang, yang bertindak sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Tol Kunciran—Serpong sebagai Termohon I, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang bertindak sebagai instansi yang memerlukan pembebasan tanah untuk Pembangunan Jalan Tol sebagai Termohon II, sesuai yang ditentukan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. [Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan kata lain, yang dijadikan sebagai fokus tergugat sebagai target gugatan, ialah pihak pemerintah, bukan pihak KJPP.]
Dengan alasan untuk kepentingan umum, maka Para Pemohon sebagai warga negara yang baik harus menerima penetapan lokasi pembebasan lahan. Karena dengan adanya pembangunan jalan tol tersebut diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetap dengan harapan mendapatkan nilai ganti-kerugian yang memadai untuk dapat membeli kembali tanah dan membangun tempat tinggal di sekitar lingkungan pemukiman Para Pemohon.
Nilai ganti-kerugian atas tanah dan bangunan telah ditetapkan oleh Termohon I secara sepihak pada tanggal 22 Desember 2016 tanpa ada musyawarah dengan Para Pemohon, namun telah dibuatkan Berita Acaranya. Dengan demikian Para Pemohon selaku warga yang hendak digusur meski telah menetap selama 30 tahun, mengajukan permohonan keberatan Penetapan Ganti Kerugian oleh Termohon I tersebut ke Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan yang ditentukan oleh Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.
Para Pemohon menolak dan keberatan atas besaran nilai ganti-kerugian yang ditetapkan oleh Termohon I yang disampaikan kepada Para Pemohon pada tanggal 22 Desember 2016, secara keseluruhan baik dalam bentuk ganti-kerugian fisik maupun ganti kerugian non fisik sebagaimana tertuang dalam surat rekapitulasi uang ganti-kerugian. Namun demikian, Para Pemohon hanya akan mengajukan keberatan terkait penetapan harga ganti-kerugian tanah yang ditetapkan oleh Para Termohon sebesar Rp4.470.000,00  per meter persegi. Pembatasan keberatan tersebut dilakukan untuk mempermudah Para Pemohon dalam mempertahankan haknya agar mendapatkan ganti-kerugian yang layak.
Karena, dalam rekapitulasi penetapan ganti kerugian tersebut tidak memberikan perincian yang jelas dan terang mengenai bagaimanakah besaran nilai ganti-kerugian tersebut ditetapkan, namun untuk tanah terdapat kesamaan harga diantara Para Pemohon.
Para Pemohon tidak akan dapat membeli tanah di lingkungan sekitar kompleks tempat tinggal Para Pemohon, dengan nilai besaran ganti-rugi demikian. Oleh karena itu Para Pemohon mengajukan permohonan keberatan ini dengan maksud untuk merevisi atau menaikan besaran nilai ganti-kerugian yang telah ditetapkan oleh Termohon I, agar ditetapkan menjadi sebesar Rp11.200.000,00 untuk setiap 1 meter persegi. Perubahan nilai yang Para Pemohon ajukan tersebut didasarkan pada faktor:
- proyek jalan tol bukanlah semata-mata kepentingan umum non profit, melainkan sebuah proyek yang nantinya akan mendapatkan hasil keuntungan (karena untuk masuk ke jalan tol penggunanya harus membayar tarif tol);
- pembebasan tanah tersebut bukan merupakan proyek transmigrasi untuk memindahkan Para Pemohon dari lokasi saat ini yang padat penduduk ke lokasi yang jauh dan sepi penduduk dengan harga tanah yang jauh lebih murah dari tanah milik Para Pemohon;
- yang dibebaskan adalah tanah dan bangunan tempat tinggal Para Pemohon dan keluarganya sehingga Para Pemohon harus membeli tanah dan bangunan lagi sebagai tempat tinggal, dimana untuk pembelian tersebut Para Pemohon akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 2,5% dari nilai perolehan objek pajak;
- ada pengembang property yang sedang melakukan pembangunan kompleks perumahan yang berjarak kurang lebih 300 meter dari kompleks perumahan Para Pemohon dengan akses jalan raya yang sama dan saat ini sedang memasarkan tanah kavling dengan harga yang terendah saja Rp9.800.000,00 per meter persegi, sesuai dengan Brosur Formulir Daftar Stock Marketable Tanah Kavling dari pihak developer swasta setempat;
- Para Pemohon tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan biaya kemahalan untuk transportasi (untuk bekerja, ke sekolah dan rutinitas keluarga Para Pemohon lainnya yang sudah mapan sebelumnya) karena pindah tidak jauh;
- Para Pemohon dan keluarga sudah nyaman tinggal di lingkungan tersebut untuk menjalankan rutinitas sehingga berharap dapat tetap tinggal di lingkungan sekitar dan lebih sejahtera;
- hubungan historis dan ikatan emosi antara Para Pemohon dengan tanah dan bangunan yang telah lama dihuninya, lingkungan yang telah dikenalnya dan moralitas lingkungan yang telah akrab hanya dinilai begitu rendah oleh Para Termohon.
Terhadap keberatan pihak warga pemilik tanah, Pengadilan Negeri Tangerang kemudian menjatuhakn Putusan Nomor 10/Pdt.P/2017/PN.Tng. tanggal 6 Februari 2017, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa selanjutnya bukti PP-2 sampai dengan PP-7 merupakan bukti pembanding yang tidak dapat dijadikan standar untuk dijadikan dasar atau pedoman dalam menerapkan ganti kerugian, apalagi menyangkut kenaikan besaran nilai (perubahan) ganti kerugian yang telah ditetapkan, begitu juga dengan keterangan saksi-saksi yang diajukan Para Pemohon juga sebagai bukti pembanding terhadap bidang-bidang tanah yang berada di sekitar lokasi kompeks perumahan Kunciran Mas Permai adalah sesuatu yang amat sulit untuk menentukan besarnya nilai ganti kerugian tanpa adanya suatu pembanding dari Penilai Publik yang dapat dijadikan acuan standar bagi Hakim untuk menghitung besaran nilai ganti rugi sehingga oleh karenanya bukti-bukti tersebut diatas haruslah dikesampingkan;
“Menimbang, bahwa mengenai keberatan Para Pemohon tentang besaran nilai ganti-rugi yang telah ditetapkan tersebut, maka Para Pemohon Keberatan sebagai pihak yang berhak mendapat ganti rugi seharusnya menghadirkan saksi ahli dibidang penilaian untuk didengar pendapatnya di persidangan sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian, hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 38 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012;
“Menimbang, bahwa Para Pemohon sebagai pihak yang berhak mendapat ganti-rugi dalam hal mengajukan besaran nilai ganti-rugi dalam permohonan keberatan ini tanpa dilandasi adanya suatu bukti keterangan atau pendapat dari Penilai Publik yang ahli dibidang tersebut, sehingga menurut hakim tuntutan Para Pemohon Point 2 dan 3 mengenai perubahan besaran ganti-rugi atas tanah Para pemohon oleh karena tidak dilandasi alasan yang kuat maka haruslah ditolak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-II.2, berupa surat undangan untuk musyawarah tanggal 5 Januari 2017 di Kantor Kelurahan Kunciran Indah Kecamatan Pinang, Kota Tangerang dan bukti T-II.6.1 sampai dengan TII. 6.16 masing-masing berupa surat pernyataan persetujuan nilai ganti rugi yang terkena pembangunan jalan tol kunciran serpong tertanggal 25 Januari 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai ganti-rugi yang ditentukan oleh Appraisal telah diterima oleh sebagian besar pihak yang menerima ganti rugi;
MENGADILI :
- Menolak keberatan Para Pemohon Keberatan.”
Para warga pemilik tanah yang terkena program pembebasan lahan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan merujuk Bahwa Penjelasan Pasal 38 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, mengatur:
“Sebagai pertimbangan dalam memutus putusan atas besaran ganti-kerugian, pihak yang berkepentingan dapat menghadirkan saksi ahli dibidang penilaian untuk didengar pendapatnya sebagai pembanding atas penilaian ganti kerugian.“ [Note SHIETRA & PARTNERS: Perhatikan, yang dibutuhkan Hakim ialah seorang ahli dibidang penilaian / penaksiran untuk didengar keterangannya di persidangan dalam proses pembuktian, bukan semata berupa dokumen Appraiser bandingan sebagai pembanding.]
Berdasarkan Penjelasan Pasal 38 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut telah dengan jelas dan tegas menyatakan “dapat”, bukan “harus” sebagaimana ditafsirkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang menolak Permohonan Para Pemohon karena tidak menghadirkan ahli (Penilai) dalam persidangan. (Fakta hukum lainnya, lahan warga yang terkena proyek jalan tol tetapi sudah dibayarkan 2 (dua) tahun yang lampau.)
Para Pemohon juga keberatan dengan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri ketika menyatakan telah terjadi musyawarah. Karena faktanya Para Pemohon diundang untuk datang dalam suatu acara (katanya musyawarah) namun dalam acara tersebut Para Pemohon hanya diberikan amplop yang berisi surat rekapitulasi uang ganti kerugian yang telah ditetapkan. Dalam acara tersebut sama sekali tidak ada pembahasan atau pembicaraan tentang keinginan atau pendapat Para Pemohon.
Meski juga, Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa hasil penilaian dari Tim Penilai hanya dijadikan dasar musyawarah, bukan sebagai hasil kesepakatan sebagaimana ditetapkan secara sepihak oleh Termohon dalam surat rekapitulasi uang ganti-kerugian tersebut.
Ganti-kerugian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, ada banyak bentuk opsinya, tidak hanya ganti-rugi berupa wujud uang, akan tetapi hal tersebut juga tidak pernah dibicarakan kepada Para Pemohon seperti opsi tukar-guling tanah. Dengan demikian acara yang dilakukan berdasarkan undangan tersebut tidak layak dikategorikan sebagai musyawarah, karena tidak diberi opsi apapun untuk disepakati kepada warga.
Dimana terhadap keberatan pihak warga penerima ganti-rugi program pembebasan lahan, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti Pengadilan Negeri Tangerang tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa dalam perkara a quo penentuan besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah jalan tol Kunciran-Serpong Tangerang, telah dilakukan oleh penilai publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012;
“Bahwa Para Pemohon Keberatan tidak dapat membuktikan keberatannya mengenai besarnya nilai kerugian dengan menghadirkan saksi ahli di sidang penilaian untuk dijadikan pembanding atas besarnya ganti-rugi sesuai Penjelasan Pasal 38 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, sehingga keberatan Pemohon harus ditolak;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. ERMIN DALI, 2. AMINULLAH, 3. MARIYO, 4. MUJIYANTO, dan 5. ISMAYAWATI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.