Perselisihan Hak Upah Minimum Sektoral

LEGAL OPINION
TELAAH KASUS AMBIVALENSI UPAH MINIMUM REGIONAL Vs. UPAH MINIMUM SEKTORAL
Question: Kalau ada selisih pendapat tentang besaran upah minimum sektor, karena sifat upah minimumnya lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR), antara buruh dan manajemen, itu masuknya sebagai sengketa apa bila dimajukan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial)?
Brief Answer: Sengketa perihal nominal hak Pekerja / Upah atas Upah Minimum Sektoral (UMS), menjadi ranah kategori Perselisihan Hak, dimana terhadap “perselisihan hak”, dibuka peluang oleh Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial untuk mengajukan upaya hukum Kasasi terhadap putusan PHI—meski tidak dapat diartikan Hakim Agung tingkat kasasi akan selalu mengabulkan keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi (alias, akan menerima permohonan kasasi terhadap perselisihan hak, hanya saja belum tentu akan mengabulkan pada akhirnya).
Namun demikian, yang kemudian kerap menjadi masalah, ialah perdebatan antara dua paradigma yang saling berbenturan sama kerasnya, yakni dialektika: Apakah UMR yang mengesampingkan UMS, ataukah UMS yang mengesampingkan UMR? Bila memang UMS dapat dibenarkan menyimpangi “jaring pengaman” yang diatur UMR, maka apa lagi fungsi UMR selain sekadar jargon tanpa makna, “Upah Minimum Regional”?
Sebagai contoh, Pemerintah Daerah (Pemda) telah menerbitkan UMR sejumlah Rp. 2.000.000;-. Namun disaat bersamaan Pemda juga menerbitkan regulasi yang menyatakan bahwa upah buruh pabrik pelintingan tembakau, adalah Rp. 1.800.000;-. Pertanyaannya, apakah UMS dibentuk sebagai fungsi untuk menyimpangi UMR, ataukah UMR dibentuknya untuk menjadi safety nett dari bidang-bidang pekerjaan tertentu sebagai suatu standar paling minimum kelayakan kebutuhan hidup seorang pekerja, untuk dapat hidup secara patut, apapun jenis pekerjaannya?
PEMBAHASAN:
Kerancuan dan ketidak-pastian hukum demikian, sejatinya penulis nilai sebagai akibat tidak langsung dari inkonsistensi peraturan yang diterbikan oleh pemerintah itu sendiri selaku regulator. Sehingga hingga sampai dengan saat kini, ilmu peraturan perundang-undangan belum mampu untuk menjawabnya secara terbuka.
Sebagai ilustrasi konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 129 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 25 April 2016, perkara antara:
- PENGURUS KOMISARIAT FEDERASI KONSTRUKSI, UMUM DAN INFORMAL KONFENDERASI SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA (PK FKUI KSBSI) PT. IVO MAS TUNGGAL, sebagai Pemohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat; melawan
- PT. IVO MAS TUNGGAL KANDIS, selaku Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat.
Penggugat mendalilkan tidak pernah mengikuti rapat apapun serta tidak pernah menyepakati dibentuknya Surat Edaran yang menyebutkan Upah Minimum Siak yang berbeda dari Peraturan Gubernur adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, terlebih dipaksakan mengikat pada Penggugat yang notabene adalah bukan pihak-pihak yang menyepakati.
Apabila saja benar walaupun Surat Edaran tersebut dipandang sebagai suatu produk hukum, maka Surat Edaran Bupati tidak boleh bertentangan dengan Peraturan diatasnya. Bahkan penetapan upah minimum yang berlaku harus berdasarkan mekanisme-mekanisme yang diatur khusus, sebagaimana Permenaker Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, salah satunya diatur dalam Pasal 3 ayat (1):
”Penetapan Upah Minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.”
Surat Edaran yang mengatur Upah Minimum tersebut ditengarai diterbitkan tanpa pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundangan. Adapun konflik bermula ketika Tergugat memaksa Penggugat untuk menerapkan upah sebagaimana diatur dalam Surat Edaran tersebut, dengan ancaman akan melaksanakan aksi mogok kerja, padahal upaya-upaya perundingan dan penjelasan dari Penggugat terhadap Tergugat telah diupayakan dengan berbagai cara kepada Tergugat, terlebih pada faktanya didalam perusahaan Penggugat terdapat serikat pekerja lain yang mana anggotanya jauh lebih banyak namun memahami betul kedudukan Surat Edaran tersebut dimata hukum, sehingga tidak memaksakan untuk memberlakukan Surat Edaran Bupati tersebut, terlebih bila sampai mogok kerja.
Akan tetapi Tergugat tetap melakukan aksi mogok kerja pada tanggal 17, 18, dan 19 Oktober 2013, meski Penggugat sudah melaksanakan sistem pengupahan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Tergugat secara memaksa kepada Penggugat untuk menaikan upah dengan merealisasikan ancamannya melalui aksi mogok yang dilakukan pada tanggal 17 sampai dengn 19 Oktober 2013, sehingga akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah adalah dikualifikasikan mangkir dan upahnya tidak dibayar.
Merujuk ketentuan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP: KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, antara lain:
- Pasal 3 huruf (a) : ”Mogok kerja tidak sah apabila dilakukan: bukan akibat gagalnya perundingan.”
- Pasal 4 : “Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja / serikat buruh atau pekerja / buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.”
Kesimpulan atau hasil perundingan sebagaimana risalah perundingan bipartit yang dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013, tidak dapat serta-merta dimaknai secara sepihak sebagai gagalnya perundingan, sebagai legitimasi untuk melancarkan aksi mogok kerja tanggal 17 – 19 Oktober 2013. Karena faktanya ada pertemuan di Siak Sri Indrapura pada tanggal 5 September 2013, dan tercapai kesepakatan penyelesaian yaitu berkonsultasi ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan mengikuti arahan dari Kemeneterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang didapati hasil arahan lisan untuk sementara tidak mogok kerja, selagi diarahkan untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Pada 11 September 2013 telah dilaksanakan konsultasi ke Kemenakertrans, dan lagi-lagi tercapai kesepakatan penyelesaian yaitu Dinsosnakertrans Siak akan mengirimkan surat resmi kepada Kemenakertrans sehingga Kemenakertrans dapat memberikan jawaban secara resmi dan kepada Tergugat diminta untuk tidak melakukan mogok kerja. Oleh karena itu sejatinya perundingan yang dilakukan belum mengalami jalan buntu, akan tapi tiba-tiba Tergugat melayangkan surat pemberitahuan mogok kerja.
Maka dengan demikian mogok kerja yang dilakukan pada tanggal 17—19 Oktober 2013 tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 137, yang memiliki norma:
”Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja / buruh dan serikat pekerja / serikat buruh dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.”
Disamping itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam Pasal 140 Ayat (1), diatur pula bahwa pekerja / buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, sementara surat pemberitahuan mogok Tergugat hanya ditujukan kepada Penggugat dalam hal ini Pimpinan PT. Ivo Mas Tunggal Kandis, padahal seharusnya instansi pemerintah terkait yang menangani masalah ketenagakerjaan ditujukan juga.
Oleh karenanya surat pemberitahuan mogok kerja tersebut, secara formil bertentangan dengan kaedah Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 3 huruf (b) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik yang pada kenyataannya perusahaan telah menunjukan itikad baik untuk melakukan beberapa perundingan diantaranya adalah perundingan dengan dimediasi oleh pihak Kementerian terkait.
Dengan demikian, unsur “pengusaha tidak mau melakukan perundingan”, tidak terpenuhi, karena faktanya telah dilakukan 2 (dua) kali pertemuan / perundingan bipartit, sebelum mogok kerja dilaksanakan oleh para Buruh.
Oleh karena surat pemberitahuan mogok tidak mematuhi kaedah Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Pasal 3 huruf (b) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, maka demi hukum mogok kerja yang dilakukan, adalah mogok kerja tidak sah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 232/MEN/2003, mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dikualifikasikan mangkir, dan juga senada dengan isi dari Perjanjian Kerja Bersama antara Perusahaan dan pihak Serikat Pekerja.
Sekalipun seandainya mogok kerja dinyatakan sah, perusahaan tidak wajib membayar upah selama mogok tidak sah berlangsung, mengignat kaedah Pasal 145 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, telah diatur:
”Dalam hal pekerja / buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam menuntut hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja / buruh berhak mendapatkan upah.”
Dengan kata lain, pokok persoalan yang menjadi sebab mogok kerja, ialah tuntutan pelaksanaan upah sesuai Surat Edaran Bupati, sementara perusahaan telah melaksanakan pengupahan sesuai dengan Peraturan Gubernur Riau Nomor 16 Tahun 2013 tanggal 01 April 2013 tentang Upah Minimum Sub Sektor Pertanian / Perkebunan Kelapa dan Kelapa Sawit Serta Tanaman Karet Provinsi Riau Tahun 2013, sementara itu Surat Edaran Bupati tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan dalam menentukan Upah Minimum ataupun Sektoral,
Terhadap gugatan pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Pekanbaru kemudian menjatuhkan putusan Nomor 62/Pdt.Sus.PHI/2014/PN.PBR, tanggal 09 Juni 2015, dengan amar sebagai berikut:
“Menimbang, faktanya upah minimum sub sektor pertanian / perkebunan tahun 2013 Provinsi Riau adalah merupakan kesepakatan ... dimana telah disepakati besarnya upah minimum sub sektor pertanian / perkebunan Provinsi Riau tahun 2013 adalah sebesar Rp1.509.000,00 (satu juta lima ratus sembilan ribu Rupiah) dan terhadap tunjangan-tunjangan tetap, beras dan fasilitas yang telah diberikan selama ini tidak akan dikurangi;
“Tunjangan beras merupakan Komponen upah dan termasuk tunjangan tetap, dan faktanya Penggugat pada tahun 2013 telah membayarkan upah pekerja berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam perundang-undangan;
“Berdasarkan keterangan saksi, ….. perusahaan / Penggugat berusaha mencegah terjadinya mogok, yaitu perusahaan bersedia untuk diajak berunding dan dalam perselisihan ini tidak pernah atau belum pernah adanya gagalnya perundingan, hanya pihak buruh saja yang tidak sabar menunggu;
“Dengan demikian mogok kerja yang dilakukan Tergugat, bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan mogok kerja yang dilakukan Tergugat bukan sebagai akibat gagalnya perundingan;
MENGADILI:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sistem pengupahan yang dijalankan Penggugat di perusahaan tahun 2013 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sah menurut hukum;
3. Menyatakan mogok kerja yang dilakukan oleh Tergugat pada tanggal 17 sampai dengan 19 Oktober 2013 adalah mogok yang tidak sah;
4. Menyatakan Penggugat tidak berkewajiban untuk membayarkan upah Tergugat selama mogok;
5. Menyatakan pemberian bonus yang dilakukan Penggugat sah menurut hukum.”
Pihak Serikat Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa Bahwa Surat Edaran Bupati Siak adalah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara kabupaten Siak, oleh karenanya bukanlah kewenangan Peradilan Hubungan Industrial untuk menguji materiil kedudukan sebuah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, sebab Peradilan Hubungan Industrial tidak memiliki kompetensi absolut mengadili sengketa Perselisihan Tata Usaha Negara.
Dengan tidak berwenangnya atau bukan wewenangnya PHI untuk mempertimbangkan kedudukan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara sebagaiman yang dimaksud Pasal 1 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) juncto Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka putusan PHI Pekanbaru harus dinyatakan batal untuk seluruhnya.
Putusan PHI Pekanbaru diatas bertentangan dengan putusan PHI Pekanbaru lainnya dalam register perkara Nomor 28/G/2014/PHI.PBR, terhadap perkara yang sama yang sebelumnya telah diajukan juga oleh semula Penggugat di PHI Pekanbaru.
Menurut norma Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pengusaha dilarang membayar upah lebih kecil dari upah minimum sektor pada wilayah Provinsi atau Kabupaten / Kota kepada Pekerja / Buruh juncto Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum juncto Pasal 11 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, kesemuanya menegaskan bahwa Upah Sektor tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten / Kota.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Hanya saja, dalam perkara ini, UMR yang konflik ialah antar UMR itu sendiri, yakni Upah Minimum Regional (yang ditetapkan oleh Gubernur), berbenturan dengan Upah Minimum Kabupaten / Kota (yang ditetapkan oleh Bupati / Walikota.]
Maka dengan merujuk pada pola pikir demikian, tindakan Penggugat yang memberikan Upah berdasarkan Upah minimum Sub Sektor Pertanian / Perkebunan Kelapa, dan Kelapa Sawit serta tanaman karet sebesar Rp1.509.000,00 yang nilainya lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten Siak yakni sebesar Rp1.600.000,00 adalah bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, maupun terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum.
Oleh karenanya Penggugat harus membayar kekurangan pembayaran upah tersebut senilai Rp91.000,00 per-orang perbulan kepada Tergugat yang mewakili 608 orang Pekerja, sehingga total kekurangan bayar upah kepada Tergugat adalah sebesar Rp663.936.000,00.
Dimana terhadap adu argumentasi yang cukup sengit demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan dilematis, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi dari Pemohon Kasasi tanggal 03 Juli 2015 dan kontra memori kasasi dari Termohon Kasasi tanggal 25 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa perselisihan antara Penggugat (Termohon Kasasi) dan Tergugat (Pemohon Kasasi) adalah perselisihan hak yaitu berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat atau penafsiran tentang besaran upah minimum subsector pertanian / perkebunan kelapa dan kelapa sawit serta tanaman karet;
“Bahwa sesuai dengan Peraturan Gubernur Riau Nomor 16 Tahun 2013 tentang Upah Minimum sub sector a quo telah tepat sebesar Rp1.509.000,00 bukan sebesar Rp1.600.000,00, hal mana telah dikuatkan oleh Perjanjian Bersama Nomor ...tanggal 06 Maret 2013 sebesar Rp1.509.000,00 antara GAPSI dengan FSP PP SPSI Provinsi Riau, SPTP – BUN PTPN. V, KSBSI dan FSBSI Provinsi Riau;
“Bahwa Perjanjian Bersama (PB) a quo berlaku sebagai penyelesaian atas perselisihan hak yang timbul antara Penggugat dengan Tergugat, yang bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak, sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PENGURUS KOMISARIAT FEDERASI KONSTRUKSI, UMUM DAN INFORMAL KONFENDERASI SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA (PK FKUI KSBSI) PT. IVO MAS TUNGGAL tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.