Vonis Hukuman KPPU Berupa Denda & Blacklist Peserta Tender

LEGAL OPINION
Question: Kalau memang Mahkamah Agung suka hanya memberi sanksi denda yang relatif kecil pada pengusaha peserta tender yang dinilai terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat, maka bukankah itu kabar baik bagi peserta tender yang bila tetap berniat curang dalam proses pengadaan barang yang diselenggarakan pemerintah?
Brief Answer: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bukan hanya berwenang menjatuhkan sanksi administrasi berupa denda bagi pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat dalam proses pengadaan barang ataupun jasa yang diadakan pemerintah, namun juga dapat disertai sanksi berupa larangan mengikuti pengadaan tender lainnya selama kurun waktu tertentu. Adalah bisa lebih menakutkan bila pelaku usaha di-blacklist sehingga tentunya menjadi suatu kerugian tersendiri, dalam konteks hilangnya potential income alias menjadi suatu potential loss yang patut diperhitungkan.
PEMBAHASAN:
Terdapat cerminan konkret yang menarik untuk disimak, karena kental akan nuansa dialektik hukum acara persaingan usaha, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa persaingan usaha register Nomor 590 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 tanggal 31 Agustus 2016, perkara antara:
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan; melawan
1. CV PADANG MAS; 2. CV BUDI UTOMO; 3. PT MAJU MEDAN CIPTA, selaku Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Keberatan I, II, dan III.
Yang menjadi objek keberatan ialah vonis Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01/KPPU-L/2013, tanggal 31 Juli 2013, yang sebelumnya menghukum para pelaku usaha dengan sanksi, sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Melarang Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV untuk mengikuti prosespelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun;
3. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Menghukum Terlapor III, membayar denda sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha.”
Terhadap keberatan para pelaku usaha, Pengadilan Negeri Medan kemudian menjatuhkan putusan Nomor 509 K/Pdt.G/2013/PN.Mdn., tanggal 1 November 2013, dengan pertimbangan hukum amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan sanksi berupa besaran denda yang dijatuhkan kepada Para Pemohon, majelis tidak sependapat dengan putusan tersebut, selain tidak adil juga putusan tersebut telah melanggar ketentuan batas minimum sebagaimana ketentuan Pasal 47 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sehingga sepatutnyalah dibatalkan;
“Selain itu juga sangat tidak adil bila kepada Terlapor II, III, dan IV diberikan hukuman kumulatif, karena sebelumnya mereka telah dilarang untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun. Bahwa dengan dilarang untuk mengikuti proses lelang tersebut saja, maka selama itu juga Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV tidak akan mendapatkan penghasilan berupa uang yang mungkin melebihi jumlahnya sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan Majelis Komisi tersebut;
“Menimbang, bahwa merupakan fakta hukum, kalau saksi Sdr. Sofyan Suri, S.Sos. merupakan pihak dalam perkara yang diperiksa dan disidangkan oleh Majelis Komisi KPPU, sehingga sebagai pihak Terlapor I in casu Sdr. Sofyan Suri, S.Sos tidak bisa diambil keterangannya sebagai saksi apalagi diberikan di bawah sumpah;
“Sebagaimana berita acara tersebut, jelas dan tegas pertanyaan dan jawaban yang diajukan dan diberikan oleh Majelis Komisi dan saksi, menyangkut dengan proses pelelangan yang melibatkanTerlapor I, II dan III (Pemohon I, II dan III);
“Seharusnya Majelis Komisi dalam pemeriksaan dan persidangan ini cukup meminta tanggapan Terlapor I, yang pada gilirannya dapat menanggapinya dalam bentuk memberikan penjelasan sebagaimana yang diterangkan oleh saksi Sdr. Sofyan Suri, S.Sos tersebut;
“Hukum acara perdata yang masih berlaku tidak memberikan kesempatan kepada para pihak dalam kualitas apapun untuk bersaksi dalam perkaranya;
“Sehingga dengan demikian majelis berpendapat keberatan ini dapat dibenarkan dan diterima, dengan menyatakan keterangan saksi Sdr. Sofyan Suri, S.Sos tidak sah dan bertentangan dengan hukum;
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan dari Pemohon keberatan untuk sebagian;
- Membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 01/KPPU-I/2013, tanggal 31 Juli 2013, sepanjang mengenai hukuman denda;
Mengadili Sendiri:
- Menyatakan bahwa Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
- Melarang Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun;
- Menghukum Pemohon I dan Pemohon II masing-masingnya membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp306.000,00 (tiga ratus enam ribu rupiah), serta Pemohon III sejumlah Rp316.000,00 (tiga ratus enam belas ribu rupiah).”
KPPU mengajukan upaya hukum kasasi, keberatan terhadap putusan pengadilan yang telah menghilangkan vonis sanksi “denda” bagi para pelaku usaha yang terbukti melakukan praktik usaha tidak sehat. Tidak terdapat ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang melarang penjatuhan sanksi secara kumulatif.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada KPPU untuk memberikan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebagaimana diatur pada Pasal 47:
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).”
Penerapan sanksi denda di bawah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) telah beberapa kali dibenarkan dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, diantaranya melalui preseden putusan Mahkamah Agung. Sanksi administratif ini dimaksudkan agar dapat memberikan kepastian hukum pada dunia usaha, dan meningkatkan rasionalitas pelaku usaha untuk tidak melakukan tindakan anti persaingan.
Sanksi denda diyakini sebagai bentuk pemberian efek jera dan perampasan atas keuntungan yang diperoleh secara tidak sah, melawan hukum, atau atas tindakan anti persaingan. Denda juga ditujukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha, selain agar tindakan serupa tidak ditiru oleh calon pelanggar lainnya.
Agar efek jera dapat diterapkan efektif, secara ekonomi denda yang ditetapkan harus dapat menjadi sinyal atau setidaknya dipersepsikan oleh pelanggar sebagai biaya (expected cost) yang jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat (expected benefit) yang didapat dari tindakannya melanggar hukum persaingan usaha.
Namun di sisi lain, KPPU juga mempertimbangkan syarat efektivitas putusan yakni dapat dilaksanakan (executable), sehingga sebaliknya Pemohon Kasasi akan bertindak semena-mena, tidak adil dan tidak wajar. Apabila KPPU secara serta-merta menjatuhkan denda minimal sebesar Rp1 miliar, yang akan berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2010 tidak mengenal ataupun mengatur tata cara splitzing / pemisahan register perkara, sebagaimana lazim terjadi dalam hukum pidana. Dengan splitzing, maka dalam persidangan pidana seorang Terdakwa dalam register yang berbeda dimungkinkan untuk dapat memberikan kesaksian terhadap Terdakwa lain dalam register perkara yang berbeda, meskipun pokok perkaranya sama, dikarenakan adanya perbedaan register perkara tersebut.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Perkom Nomor 1 Tahun 2010, memberikan ruang dimana setiap perkara persaingan usaha yang ditangani oleh KPPU, dimungkinkan untuk terdapat lebih dari 1 pihak Terlapor dalam 1 register perkara.
Konsekuensi logis tidak dikenalnya splitzing dan dimungkinkannya 1 register perkara terdiri dari banyak pihak Terlapor, maka kesaksian seorang atau bagian dari Terlapor, dapat digunakan sebagai Saksi bagi pihak Terlapor lainnya, sebagaimana dalam hukum acara pidana dikenal konsep “saksi mahkota” yang berangkat dari salah seorang terdakwa yang terlibat. Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 26 November 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 3 Maret 2014 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti yang membatalkan putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha dengan mengadili sendiri menyatakan Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV bersalah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha dan melarang Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun dan dihukum untuk membayar biaya perkara dapat dibenarkan, karena ternyata Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup dan tidak bertentangan dengan hukum serta dipandang patut dan adil, namun demikian amar putusan Pengadilan Negeri Medan harus diperbaiki sepanjang mengenai denda sehingga terhadap pelaku usaha harus juga dijatuhi pidana denda karena terbukti melakukan persekongkolan secara horizontal, sehingga amarnya sebagaimana tersebut dibawah ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 509/Pdt.G/2013/PN.Mdn., tanggal 1 November 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), tersebut harus ditolak dengan perbaikan;
M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU), tersebut;
“Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 509/Pdt.G/2013/PN Mdn, tanggal 1 November 2013, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Melarang Terlapor II, Terlapor III dan Terlapor IV untuk mengikuti proses pelelangan di seluruh Indonesia selama 2 (dua) tahun;
3. Menghukum Terlapor II, membayar denda sejumlah Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank pemerintah dengan Kode Penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Menghukum Terlapor III, membayar denda sejumlah Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sejumlah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran dibidang persaingan usaha satuan kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.