Perihal Hak untuk Diam, antara Hak & Kewajiban di Mata Hukum

ARTIKEL HUKUM
Artikel singkat ini penulis maksudkan sebagai tulisan introspektif dalam perspektif falsafah hukum, topik mana yang penulis nilai sangat penting untuk diangkat, mengingat realita masih sangat minimnya kesadaran hukum masyarakat Indonesia perihal konsep antara “hak & kewajiban”.
Sebagai pembuka, penulis lontarkan sebuah pertanyaan sederhana sebagai berikut: “Apakah kita wajib, menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh warga lainnya?” Pada dasariahnya, setiap warga negara adalah “diseimbangkan” derajatnya di mata hukum. Tidak ada konsep falsafah yang menyatakan bahwa warga negara satu, lebih rendah harkat maupun derajatnya daripada warga negara lainnya.
“Apakah seorang warga, berhak untuk marah ketika warga yang diberi pertanyaan, tidak mau memberi jawaban?”, “Hak dari mana-kah, bagi warga tersebut untuk mendikte dan menyetir ‘kehendak bebas’ dari warga lainnya untuk diam, tanpa menghiraukan pertanyaan diajukan terhadapnya?”, dan “Kewajiban darimana bagi seorang warga untuk selalu mau diperintah dan didikte atau memberi respon, terhadap setiap pertanyaan warga lainnya?”
Bahkan seorang tersangka tindak pidana saja, selalu diingatkan oleh pihak berwajib saat dirinya ditangkap dan ditahan, bahwa sang tersangka “memiliki hak untuk diam”. Pertanyaan introspektif demikian, diangkat bukan karena tanpa dasar empirik, namun kerap penulis jumpai secara pribadi, fakta bahwa masyarakat kita sangat lemah dalam memahami hak dan kewajiban orang lain, maupun hak dan kewajiban dirinya sendiri.
Selaku berprofesi sebagai konsultan hukum, penulis mencari nafkah dari jasa layanan tanya-jawab seputar hukum. Adalah wajar bila penulis hanya mau mendengar pertanyaan hukum (masalah pribadi mereka yang sebenarnya bukanlah urusan penulis) dan memberi jawaban / opini hukum, kepada pengguna jasa yang membayar tarif profesi. Namun dalam berbagai kesempatan, sikap diam penulis terhadap mereka yang “memperkosa” profesi penulis dengan meminta dilayani tanpa mau dibebani kewajiban atas tarif layanan, dikatakan sebagai “mata duitan”, atau bahkan seolah adalah kewajiban penulis untuk “mencerahkan” mereka. Suatu “putar-balik” alias akrobatik logika yang cenderung manipulatif sekaligus licik.
Pernah pula terjadi, seseorang asing tidak dikenal bersikap seolah bermaksud untuk mengantar surat (tanpa pernah kita tahu motif sebenarnya dibalik klaim demikian), menanyakan alamat pada penulis yang kebetulan sedang menyapu halaman depan rumah penulis. Penulis sampaikan, bahwa kediaman penulis bukanlah alamat rumah yang sedang dicari yang bersangkutan. Namun kemudian dirinya bertanya pada penulis, tanpa terlebih dahulu mengucapakan basa-basi “selamat pagi / siang” dan juga tanpa memperkenalkan diri, “Nomor rumahmu ini, berapa? Berapa nomor rumahmu ini?
Penulis tidak menghiraukan pertanyaan sang tamu tidak dikenal demikian, karena pertanyaan demikian condong bersifat privasi, sama seperti nomor KTP, nomor Kartu Keluarga, tanggal lahir, maupun nama orang tua. Penulis hanya memberi respon: “Bukan di rumah ini, alamat yang Bapak cari.”
Namun sang tamu justru bersikap marah atas sikap diam penulis, yang tidak mau didikte oleh yang bersangkutan. “Ditanya, koq diam? Berapa nomor rumahmu ini?!!” Penulis mengacuhkan, dan kembali menyapu halaman rumah.
Sang tamu merasa kian tersinggung oleh sikap diam penulis, sampai akhirnya penulis menyampaikan kalimat berikut: “Memangnya Anda polisi?” Sang tamu tidak dikenal, alih-alih merasa malu dan sadar atas perilaku arogannya, justru menantang penulis untuk berkelahi. Semua kronologi kisah diatas adalah contoh konkret, yang mungkin juga pernah para pembaca alami sendiri, secara empiris dikeseharian, baik komunitas lingkungan domisi ataupun lingkungan pergaulan.
Ketika kita tidak mau menjawab pertanyaan orang lain, kita disebut sebagai “judes” atau “jutek”. Ketika kita bersikap tidak acuh, kita diberi stigma sebagai “tidak sopan”. Sementara kita sama sekali tidak menyakiti siapapun atas sikap diam kita. Adalah ego dan gengsi mereka sendiri, yang merasa terlukai harga dirinya, karena tidak diladeni dan tidak dapat mendikte orang lain yang memilih untuk menjaga privasi dan “kehendak bebasnya sendiri untuk diam / bungkam”.
Bercermin dari berbagai kejadian demikian, penulis menarik sebuah kesimpulan: Kesadaran hukum masyarakat Indonesia, tergolong memprihatinkan. Mendikte warga lain, sama artinya praktik penjajahan dan perbudakan—sementara Mukadimah UUD RI 1945 Republik Indonesia, menyatakan bahwa Indonesia ialah negara yang merdeka dan anti penjajahan.
Tidak ada kewajiban bagi siapapun, untuk meladeni niat dan perbuatan kita. Adalah hak mereka, untuk memilih “diam” dan “bungkam” serta menjaga privasi dan “kehendak bebas” mereka, disamping hak untuk “the self determination” (menentukan nasib sendiri).
Ketika kita merasa tersinggung, bilamana seseorang yang kita ajukan pertanyaan, tidak bersedia untuk menjawab, bahkan menganggap kita tidak eksis, maka sejatinya yang keliru ialah perspektif diri kita sendiri. Tidak ada kewajiban bagi mereka, untuk mengakui kita ataupun meladeni dan memberi respon atas setiap pertanyaan kita. Itu adalah kepentingan pribadi kita, bukan urusan mereka. Dimana, kita sama sekali tidak punya hak untuk mendikte warga lain, seolah mereka adalah subordinat kita.
Secara falsafah, ada hak maka ada kewajiban. Sebaliknya, ada kewajiban maka ada hak. Hak dan kewajiban, dengan demikian, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Itulah falsafah yang paling mendasar dari etika komunikasi, etika sosial, dan etika hukum. Tidak ada falsafah paling mendasar dari prinsip resiprositas demikian. Semua konsepsi hukum, berdiri dan bergantung kepada dua pilar paling utama yang menopang segala esensi dan asas-asas hukum kontemporer. Satu saja pilar itu diabaikan, maka seluruh bangunan diatasnya akan rubuh.
Baiklah, kini kita asumsikan bahwa seseorang yang kita ajukan pertanyaan, memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang kita ajukan dan lontarkan pada mereka. Namun, kini pertanyaannya justru bergeser menjadi: Maka, apa yang kemudian menjadi hak dari mereka yang telah diwajibkan untuk menjawab pertanyaan kita?
Negara berhukum yang baik dan sehat, tidak melandaskan dirinya pada praktik pemaksaan, namun semua dilandasi oleh kesepakatan, kerelaan, dan kesediaan untuk mengikatkan diri dalam perikatan yang selalu mengandung unsur hak dan unsur kewajiban sebagai pendampingnya. Bahkan, seseorang yang hendak menghibahkan dan mendapat hibah, dibebani kewajiban berupa aturan hukum waris bahwa hibah tidak dapat mengurangi hak-hak ahli waris yang sah dari pewaris—dimana pelanggaran terhadap “legitieme portie”, hibah demikian dapat dibatalkan oleh ahli waris yang sah. Tidak ada yang benar-benar berupa “hak”, tanpa dibarengi oleh “kewajiban”, begitupula sebaliknya.
Jika yang diajukan pertanyaan ialah seorang pekerja atau seorang penyedia jasa layanan konsultasi, tentu dirinya mendapat upah atau tarif, dan berhak untuk menuntut timbal-balik berdasarkan prinsip resiprokal demikian. Atau sebaliknya, ketika seorang pemberi kerja atau pengguna jasa telah membayar sejumlah upah atau tarif layanan, maka dirinya barulah berhak untuk mengajukan pertanyaan dan menuntut respon sebagaimana mestinya. Adalah sama biadabnya, seseorang mendatangi sebuah restoran, berniat untuk makan dan menuntut diberi makanan oleh pemilik restoran, namun tanpa mau membayar makanan yang diberikan atau bersikap naif seolah tiada harga atas makanan yang dijual oleh restoran itu.
Kembali pada pertanyaan diatas, seandainya benar bahwa seorang warga berwajib untuk menjawab pertanyaan yang kita ajukan, maka kita perlu untuk terlebih dahulu mengajukan pertanyaan resiprokal terhadap diri kita sendiri: Maka, hak apa yang dapat dituntut oleh warga yang menjawab pertanyaan kita, dan kewajiban apa yang harus kita berikan kepada warga bersangkutan yang telah kita bebani kewajiban? Tiada kesepakatan, maka tiada hak dan tiada kewajiban.
Kembali pada pertanyaan paling pokok: Hak darimana-kah bagi dirinya untuk mendikte dan menuntut jawaban dari warga lain, dan kewajiban darimana-kah bagi kita untuk harus menjawab setiap pertanyaan orang lain? Seorang penyidik, tentu memiliki hak berdasarkan undang-undang, dimana seorang tersangka / terdakwa tentu memiliki hak-hak sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana.
Namun, bila kita adalah sesama warga negara biasa, maka hak darimana-kah bagi kita untuk menuntut respon dari warga lainnya yang juga “disederajatkan” oleh hukum? Atau sebaliknya, kewajiban darimana-kah bagi mereka, untuk merasa berwajib untuk memberi respon?
Mereka yang hanya mampu bersikap anarki karena merasa tersinggung, oleh sebab tidak diacuhkan oleh warga lain yang memilih untuk “diam” dan “bungkam”, sejatinya tengah melecehkan dan memperkosa harkat dan martabat warga tersebut—sekaligus cerminan mental yang sakit. Setiap warga adalah bebas dalam memilih, bebas dalam berpendirian, dan bebas untuk berdiri diatas kaki dan pikiran sendiri. Hukum yang humanis, selalu menghormati privasi dan “kehendak / pilihan bebas” setiap warga masyarakatnya. Bukan hanya satwa langka yang perlu dilestarikan dari kepunahan, namun juga adalah “kehendak / pilihan bebas” setiap warga negara yang perlu dikonservasi oleh hukum negara.
Yang disebut dengan non-derogable rights, ialah hak yang tidak dapat dicerabut oleh alasan apapun, salah satunya ialah “kehendak / pilihan bebas” demikian. Mereka yang tersinggung karena seorang warga memilih untuk mengkonservasi “kehendak bebasnya”, adalah cerminan dari jiwa sosial yang tumpul sekaligus sedang sakit.
Egosentris tampak menonjol secara mencolok, seolah dirinya superior, sementara warga lain hanyalah subordinat yang keberadaannya hanya eksis untuk memuaskan keinginan dirinya. Semua orang adalah aktor utama, bukan pemeran figuran dalam hidup ini. Kita tidak pernah lebih istimewa dari warga negara lainnya. hanyalah ilusi, ketika kita berasumsi bahwa orang lain memiliki kewajiban terhadap kita.
Singkat kata, ada hak maka ada kewajiban. Ada kewajiban maka ada hak. Tanpa hak maka tiada kewajiban, dan tanpa kewajiban maka tiada hak. Ketika seseorang gagal, atau bahkan tidak mampu memahami dengan baik prinsip paling mendasar dari etika sosial demikian, maka itulah pintu awal masuknya berbagai pelanggaran hukum.
Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia relatif sudah sangat tinggi (bahkan agamais), namun mengapa kesadaran terhadap prinsip paling mendasar demikian, sangat lemah, bahkan orang-orang dewasa yang berakal sehat dan mengerti perihal budi pekerti dan rajib beribadah, gagal untuk memahami prinsip “antara hak dan kewajiban” demikian yang sejatinya sangat sederhana, bahkan tidak perlu sampai penulis tuangkan dalam artikel ini.
Adalah mengherankan sekaligus mengejutkan, bahwa penulis sampai perlu meluangkan waktu untuk menulis artikel ini, dimana seharusnya manusia dewasa yang mampu untuk berpikir logis, tidak perlu sampai harus diajarkan perihal etika komunikasi dan etika sosial yang paling fundamental demikian.
Apakah fungsi lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan lembaga penegakan hukum, telah gagal total untuk mendidik mental dan gagal membentuk watak Bangsa Indonesia yang humanis dan beradab? Anda sendiri yang dapat menjawabnya, dengan melihat kejadian di seputar kita dalam keseharian. Buka mata lebar-lebar, dan buka telinga lebar-lebar. Tidak sukar untuk menjumpai, keganjilan fenomena sosial perihal ketimpangan hak dan kewajiban.
Lebih ironis lagi, bila penulis sampai perlu “turun tangan” untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan mendasar, yang sejatinya dapat Anda jawab sendiri dengan cara membuka pintu hati dan pikiran, dengan menanggalkan ego yang selama ini bersarang di kepala kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.