Aspek Hukum Sakit sebagai Alasan Menolak Mutasi Tempat Kerja

LEGAL OPINION
Question: Kalau benar-benar sedang sakit dan kondisinya saat ini masih berobat jalan, apa bisa dipecat sepihak oleh atasan, katanya mangkir kerja jadi dihitung sebagai mengundurkan diri?
Brief Answer: Tidak masuknya Pekerja / Buruh untuk bekerja seperti biasa karena alasan sakit, pemulihan, atau sedang menempuh upaya medik, tidak dapat dikategorikan pelanggaran terhadap Peraturan Perusahaan, tidak juga dapat dikategorikan sebagai Pengunduran Diri karena mangkir kerja dalam tempo waktu tertentu.
Norma demikian juga berlaku, bilamana sang Pekerja menolak mutasi tempat kerja, karena masih dalam tahap pengobatan atau rawat jalan yang membutuhkan kontrol berkala kepada tenaga medis yang biasa menangani sang sang Pekerja selaku pasien.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 118 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 3 Mei 2016, perkara antara:
- ASWINARDI, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- PT. JANGKAR DELTA INDONESIA, selaku sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Tergugat merupakan karyawan yang bekerja pada Penggugat  sejak tahun 2007 sebagai Field Sales Supervisor Jakarta. Masalah bermula saat terbitnya Surat Keputusan Direksi tertanggal 28 Maret 2014, yang menetapkan bahwa Tergugat yang semula sebagai Field Sales Supervisor Jakarta, menjadi Field Sales Supervisor Tarakan yang berlaku sejak tanggal 1 April 2014. Dengan sangat apik, Penggugat selaku pihak Pengusaha membuat dalil, dengan kutipan sebagai berikut:
“Bahwa penetapan pemindahan Tergugat ke Tarakan bukanlah keputusan yang bersifat sewenang-wenang dari Penggugat, melainkan berdasarkan alasan yang jelas yaitu adanya kekosongan pada posisi Field Sales Supervisor, dan mempertimbangkan Tergugat sebagai karyawan yang memiliki reputasi yang baik dalam segi penjualan sesuai dengan jabatannya sebagai Field Sales Supervisor sehingga Penggugat memutuskan untuk menetapkan Tergugat agar dipindahkan ke Tarakan dengan maksud agar Tergugat dapat melakukan prestasi yang sama di Tarakan.”
Perjanjian Kerja antara Penggugat dan Tergugat, dalam salah satu klausulnya, menyebutkan: “Pihak Kedua bersedia untuk ditempatkan di seluruh wilayah kerja Pihak Pertama yang meliputi wilayah kerja PT. Delta Djakarta Tbk. atau PT. Jangkar Delta Indonesia”, sehingga seharusnya Tergugat bersedia untuk ditempatkan di seluruh wilayah kerja Penggugat.
Pemindahan karyawan tersebut juga ditunjang dengan fasilitas dari Penggugat berdasarkan ketentuan Perjanjian kerja, yang menyebutkan:
“Dalam hal perusahaan menetapkan pemindahan tugas karyawan ke luar wilayah Jabotabek dan/atau dari kota ke kota lain, maka Perusahaan akan memberikan fasilitas antara lain:
a. Biaya pengepakan dan pengangkutan barang-barang;
b. Biaya perjalanan karyawan dan keluarga;
c. Biaya sewa rumah di tempat mutasi (kecuali kembali ke tempat/kota dimana karyawan tersebut diterima sebagai karyawan);
d. Biaya penginapan selama belum memperoleh rumah;
e. Biaya pendaftaran anak masuk sekolah baru.”
Dengan demikian, pemindahan Tergugat ke Tarakan merupakan sebuah apresiasi dan harapan bagi Penggugat kepada Tergugat untuk dapat memajukan penjualan di Tarakan sebagaimana yang telah dilakukan Tergugat di area kerja sebelumnya, dan pemindahan tersebut telah berdasarkan dengan ketentuan Perjanjian Kerja yang disepakati dan ditanda-tangani oleh Penggugat dan Tergugat yang bersedia untuk dipindahkan ke area kerja Penggugat dimanapun.
Tidak pernah ada keberatan dari Tergugat, namun sejak tanggal 1 April 2014 sampai dengan tanggal 2 Juli 2014, Tergugat tidak pernah menempati pos barunya di Tarakan sebagaimana ditentukan dalam mutasi yang diperintahkan. Adapun alasan Tergugat tidak masuk kerja adalah karena sakit, yang disampaikan Tergugat melalui surat tertanggal 16 April 2014 kepada Penggugat yang menerangkan Tergugat saat ini dalam keadaan sakit dan ijin untuk beristirahat.
Penggugat memberikan tanggapan melalui surat tertanggal 16 April 2014, yang pada pokoknya berdasarkan Peraturan Perusahaan, yang mengatur:
“Istirahat sakit dengan gaji penuh akan diberikan kepada karyawan yang mendapat Surat Keterangan dari Dokter dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada pasal-pasal di bawah ini. Istirahat sakit tanpa Surat Keterangan dari Dokter akan dianggap sebagai mangkir.”
Penggugat mendalilkan, surat pemberitahuan sedang sakit dari Tergugat tersebut, hanya permohonan izin untuk beristirahat yang seharusnya ditujukan kepada Area Sales Manager Balikpapan-Samarinda untuk approval (persetujuan pimpinan perusahaan) dikarenakan Tergugat telah dimutasi ke Tarakan. [Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu dalil yang sangat tidak manusiawi, menurut penilaian penulis.]
Klaim Tergugat tidak didukung dengan surat keterangan izin untuk beristirahat dari Rumah Sakit dan dokter yang menangani Tergugat, dikarenakan surat Rumah Sakit dan dokter yang diberikan kepada Penggugat adalah Surat Keterangan Pasien tertanggal 19 Mei 2014 dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Hermina Bogor, yang menerangkan bahwa Tergugat dapat bekerja namun sebaiknya membatasi gerakan leher. Surat tersebut jelas menyebutkan Tergugat dapat bekerja, sehingga bukanlah penghalang dan alasan bagi Tergugat untuk menolak mutasi ke Tarakan dan tidak masuk kerja.
Penggugat sebagai pihak yang memperkerjakan Tergugat sebagai karyawannya, memiliki itikad baik untuk membantu biaya pengobatan yang nantinya dibutuhkan oleh Tergugat, namun Tergugat menggunakan alasan sakitnya untuk tidak memenuhi tanggung-jawabnya sebagai karyawan dengan mangkir dari pekerjaannya.
Penggugat kemudian melakukan panggilan secara patut pada tanggal 9 Juli 2014 terhadap Tergugat melalui surat panggilan tertanggal 3 Juli 2014, dikarenakan Tergugat tidak pernah hadir untuk bekerja dan/atau menempati lokasi kerja yang baru yaitu di Tarakan. Tanggal 17 Juli 2014, Penggugat kembali memanggil Tergugat melalui surat Panggilan II tertanggal 10 Juli 2014, dikarenakan Tergugat tidak hadir pada panggilan pertama.
Tanggal 7 Agustus 2014, Penggugat kembali memanggil Tergugat melalui surat Panggilan III, dikarenakan Tergugat tidak mengindahkan panggilan dari Penggugat untuk menghadiri Panggilan I dan Panggilan II. 19. Pemanggilan secara patut oleh perusahaan, tidak ditanggapi secara baik oleh Tergugat. Mengingat pentingnya posisi Field Sales Supervisor, maka kekosongan jabatan di Tarakan yang diakibatkan Tergugat tidak masuk kerja, sangat merugikan Penggugat.
Dengan tidak adanya tanggapan dari Tergugat, maka Penggugat menerbitkan surat Pemberitahuan Kualifikasi Mengundurkan Diri Karena Tidak Hadir Kerja Lebih dari 5 (lima) Hari Berturut-turut, melalui Surat tertanggal 15 Agustus tahun 2014 yang ditujukan kepada Tergugat sesuai dengan Pasal 168 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Pekerja / buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebihberturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Perundingan bipartit dinyatakan gagal, sehingga Penggugat dan Tergugat melangsungkan perundingan melalui Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kabupaten Bekasi, maka Disnaker Bekasi kemudian menerbitkan surat Anjuran kepada Penggugat dan Tergugat tertanggal 28 Januari 2015:
“Menganjurkan:
1) Hubungan kerja antara PT. Delta Djakarta dengan pekerja Sdr. Aswinardi dapat diakhiri terhitung sejak akhir bulan Januari 2015;
2) Agar Pengusaha PT. Delta Djakarta membayar hak-hak pekerja berupa:
a. Uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2);
b. Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3); dan
c. Uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
3) Agar PT Delta Djakarta membayar upah pekerja selama tidak dipekerjakan sesuai dengan ketentuan pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
4) Agar kedua belah pihak memberikan jawaban tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran ini.”
Penggugat menolak isi anjuran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, dengan pokok keberatan bahwa menurut surat keterangan pasien, karyawan bersangkutan dapat bekerja oleh karenanya perusahaan menganjurkan agar melaksanakan kewajibannya sebagai pekerja dan melakukan tindakan laser (Fisiotherapy-Rehabilitasi Medis) serta kontrol rawat jalan 3 kali / minggu dirujuk ke Rumah Sakit di wilayah mutasi kerja di Tarakan.
Untuk itulah, maka Penggugat mengajukan gugatan kepada Tergugat melalui Pengadilan Hubungan Industrial Bandung sesuai ketentuan Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004:
“Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”
Terhadap gugatan pihak Pengusaha, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan amar putusan Nomor 95/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 7 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir karena Tergugat dikualifikasi mengundurkan diri;
3. Memerintahkan Tergugat untuk menerima uang penggantian hak dari Penggugat sebesar Rp.22.442.640 (dua puluh dua juta empat ratus empat puluh dua ribu enam ratus empat puluh Rupiah);
4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.549.000,00 (lima ratus empat puluh sembilan ribu Rupiah) kepada Negara;
5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan salah satu pokok keberatan bahwa sangatlah tidak tepat mutasi / promosi yang diberikan kepada Tergugat yang pada saat itu masih sedang sakit dan masih harus berobat jalan, yang seharusnya manajemen dapat melihat kondisi tersebut dan setidaknya bisa menunda kepindahan Tergugat ke Tarakan, setelah kondisi benar-benar sembuh dan dapat menjalankan pekerjaan sebagaimana biasanya. Tidak terbayangkan, bagaimana Terggat dalam keadaan sakit, harus bolak-balik dari Tarakan ke Bogor.
Dimana terhadap keberatan sang Pekerja, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung telah salah menerapkan hukum menyatakan pekerja / Pemohon Kasasi mengundurkan diri sesuai ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) sesuai ketentuan pasal tersebut hanya mempertimbangkan alat bukti selama bulan Juli sampai dengan Agustus 2014 berupa tidak adanya surat keterangan sakit dan telah dipanggil tiga kali untuk masuk kerja di tempat kerja baru Tarakan. Padahal jika dipertimbangkan surat mutasi telah terbit terhitung tanggal 1 April 2014 yang sebelumnya pekerja dinyatakan sakit berdasarkan surat keterangan dokter, dan setelah itu masih memerlukan perawatan lanjutan seminggu tiga kali sebagaimana telah dipertimbangkan dengan saksama oleh Judex Facti berdasarkan Surat Keterangan pasien Nomor ... tanggal 19 Mei 2015, maka terhadap fakta hukum demikian seharusnya ketidak-hadiran di tempat kerja yang baru tidak dapat dengan serta-merta dikualifikasi mangkir, namun hanya dapat dinyatakan melakukan tindakan indisipliner berupa tidak melaksanakan mutasi;
2. Bahwa terhadap pekerja berdasarkan tuntutan ex aequo et bono adil dan patut PHK berdasarkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan tanpa upah proses karena pekerja tidak pernah masuk kerja sama sekali di tempat kerja baru;
3. Bahwa dengan demikian perhitungan hak kompensasi PHK adalah:
- Uang Pesangon = 8 x Rp7.847.092,00 = Rp62.776.736,00.
- Uang Penghargaan Masa Kerja = 3 x Rp7.847.092,00 = Rp23.541.276,00.
- Uang Penggantian Hak = 15% x Rp86.318.012,00 = Rp12.947.701,00.
Jumlah Rp99.265.713,00. (sembilan puluh sembilan juta dua ratus enam puluh lima ribu tujuh ratus tiga belas Rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ASWINARDI tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung Nomor 95/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 7 Oktober 2015 serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: ASWINARDI tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Bandung Nomor 95/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg., tanggal 7 Oktober 2015;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan PHK antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan Judex Facti diucapkan;
3. Menghukum Penggugat untuk membayar uang kompensasi PHK kepada Tergugat sejumlah Rp99.265.713,00 (sembilan puluh sembilan juta dua ratus enam puluh lima ribu tujuh ratus tiga belas Rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.