Mangkir Kerja karena Perselisihan Mutasi Tempat Kerja

LEGAL OPINION
Question: Bagaimana aturan hukumnya, jika karyawan tidak juga mau ikuti perintah perusahaan yang memutasi dirinya? Bila benar-benar tidak juga dia pindah ke kantor cabang lokasi kerja barunya (sesuai perintah mutasi), bisa dibilang mangkir dan artinya mengundurkan diri yang bersangkutan?
Brief Answer: Bila terbukti tidak masuk kerjanya (mangkirnya) Penggugat lebih dari 5 hari kerja meski telah diberi perintah oleh Pengusaha, yang dilatar-belakangi perselisihan akibat mutasi, maka Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) akan menerapkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tentang Pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan konsekuensi pembayaran pesangon dan hak-hak normatif lainnya.
PEMBAHASAN:
Kaedah perihal konsekuensi yuridis PHK akibat penolakan Pekerja terhadap kebijakan mutasi, merupakan norma bentukan praktik peradilan (jugde made law atau best practice) dalam memaknai ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan, akibat maraknya modus PHK terselubung dengan cara memutasi seorang Pekerja yang hendak “disingkirkan”.
Lewat kaedah bentukan praktik peradilan ini, kalangan Pekerja dengan demikian memiliki hak untuk menolak mutasi, dengan tetap tidak kehilangan haknya atas pesangon sekalipun dinyatakan tidak patuh pada perintah mutasi oleh pemberi kerja dan tidak hadir pada lokasi mutasi (safety nett).
Sebagai ilustrasi konkret, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa register Nomor 463 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 19 September 2016, perkara antara:
- PT. INTERBIS SEJAHTERA FOOD INDUSTRY, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- SUJIONO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat bekerja pada tergugat sejak tahun 2000 s/d Juli 2015, dengan masa kerja 15 tahun. Namun pada tanggal 7 Juli 2015, Penggugat dipanggil untuk menghadap personalia dan dijelaskan bahwa pekerjaan yang harus dikerjakan dengan ditunjukkan daftar pekerjaan, akan tetapi Penggugat tidak bersedia untuk melaksanakan pekerjaan diluar lingkungan pabrik, meski untuk tugas dibagian dalam pabrik Penggugat bersedia, yang mengakibatkan Penggugat dengan personalia Tergugat terjadi perselisihan pendapat.
Akibat dari perselisihan tersebut, Penggugat tidak diperbolehkan masuk kerja seperti mana biasanya oleh Personalia Tergugat, terhitung dari tanggal 9—11 Juli 2015. Penggugat pada tanggal 13—25 Juli 2015 mengambil cuti tahunan dan pada tanggal 27 Juli 2015 Penggugat masuk kerja seperti biasanya, namun ketika Penggugat akan scan sidik jari pada mesin presensi, Penggugat dilarang oleh satpam untuk melakukan scan jari serta tidak diperbolehkan bekerja atas perintah personalia perusahaan milik Tergugat.
Penggugat menerima Surat Panggilan ke I tertanggal 11 Juli 2015 dan Surat Panggilan ke II dari Tergugat tertanggal 29 Juli 2015 yang ditanda-tangani Pimpinan Umum di perusahaan Tergugat, berisi perintah agar Penggugat mengindahkan mutasi. Namun ketika Penggugat hendak menghadap pimpinan Tergugat, selalu ditolak oleh bagian personalia perusahaan milik Tergugat.
Hingga saat kini, Penggugat tidak boleh bekerja seperti biasanya oleh pihak perusahaan milik Tergugat, dengan alasan Penggugat telah dianggap mengundurkan diri atas kehendak sendiri, hanya karena tidak melaksanakan perintah mutasi sebagaimana intruksi pimpinan perusahaan.
Sekalipun demikian, bila merujuk norma Pasal 161 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Dalam hal pekerja / buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan diatas tidak menyebutkan pelanggaran terhadap perintah mutasi, namun penafsirannya kemudian diperluas.]
Penggugat juga merujuk ketentuan Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
“Selama Putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja / buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Yang bila dikaitkan pula dengan ketentuan Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. ketentuan Pasal 17 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: KEP-150 Tahun 2000:
Dalam hal pekerja / buruh tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh pengusaha dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja / buruh selama dalam proses sebesar 100 % (seratus perseratus).”
Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial Klas 1 A Palembang kemudian menjatuhkan putusan Nomor 54/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Plg., tanggal 19 Januari 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus terhitung Juli 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar uang PHK kepada Penggugat sebesar:
- Uang Pesangon 1 x (9 x Rp 2.172.600,00) = Rp. 19.553.400,00.
- Uang Penghargaan Masa Kerja 6 x Rp 2.172.600,00 = Rp. 13.035.600,00.
Sub Total = Rp 32.589.000,00.
- Uang Penggantian Hak 15 % x Rp 32.589.000,00 =Rp 4.888.350,00.
Jumlah = Rp 37.477.350,00.
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 4 Februari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas 1 A Palembang tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa terbukti tidak masuk kerjanya (mangkirnya) Penggugat lebih dari 5 hari kerja disebabkan karena perselisihan mengenai mutasi sehingga sudah patut dan adil, sebagaimana Judex Facti menerapkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Klas 1 A Palembang dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. INTERBIS SEJAHTERA FOOD INDUSTRY tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. INTERBIS SEJAHTERA FOOD INDUSTRY tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.