Merampas Tanah sebagai Perbuatan Melawan Hukum

LEGAL OPINION
Question: Katanya tidak boleh merampas tanah tanpa didahului gugatan perdata ke pengadilan. Masalahnya bukan tidak berani atau tidak mau bersengketa di pengadilan, tapi mau gugat dengan cantumkan alamat tergugat dimana, bahkan nomor rumahnya pun tidak ada. Masyarakat saat kini merahasiakan nomor rumahnya, sehingga makin sulit jika kita sekarang ini mau gugat orang itu ke alamat domisilinya?
Brief Answer: Sistem pertanahan dan pemukiman di Indonesia, masih dibiarkan berjalan tanpa regulasi dan dibiarkan berjalan sendiri tanpa pengawasan ataupun ketertiban administrasi. Sekalipun kita tahu tempat kediaman seseorang warga yang hendak digugat, kendala paling utama memang perihal alamat administrasi yang bersangkutan, dalam arti masuk dalam lingkup RT dan RW apakah, nama dari si pelaku yang hendak digugat (juga kerap menjadi masalah tersendiri), hingga perihal nomor rumah yang bersangkutan dimana pemilik rumah / tanah dapat saja menyembunyikan atau bahkan mengubah-ubah nomor rumahnya sendiri—terutama terjadi ketika agunan sang debitor hendak dilelang eksekusi oleh pengadilan akibat menunggak pada kreditornya.
Praktik dan regulasi hukum acara perdata maupun hukum pertanahan dan pemukiman di Indonesia seakan diabaikan dan “diliarkan” begitu saja oleh pemerintah, sehingga menciptakan kesukaran dan ketidak-pastian hukum tersendiri bagi masyarakat yang hendak melakukan upaya hukum—tanpa dapat penulis pungkiri, oleh sebab tiada tertib administrasi perumahan dan pemukiman. Idealnya, salah satu syarat Izin Mendirikan Bangunan dan kepemilikan Kartu Keluarga, ialah setiap rumah penduduk wajib diregister secara administrasi pihak Kelurahan setempat, dengan wajib menempelkan plat nomor rumah yang resmi diterbitkan pemerintah—guna menjadi identitas masing-masing rumah / bangunan.
Terlepas dari kelemahan hukum yang ada dibidang perumahan, terlepas dari hukum acara perdata yang memungkinkan panggilan sidang melalui papan pengumuman kantor pemerintah setempat, praktik peradilan masih bersikap konservatif-orthodoks, dalam arti tidak mau memahami kesukaran yang terjadi dalam praktik, bahwa keadaan di lapangan jauh dari keadaan ideal. Segala sesuatu seolah harus diselesaikan via pengadilan, yang bisa jadi jauh lebih memperkeruh keadaan.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah cerminan konkret sifat prosedural hukum dalam praktik, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa penguasaan tanah register Nomor 323 PK/Pdt/2016 tanggal 3 Agustus 2016, perkara antara:
- ANDI ALANG bin ANDI PATU, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat; melawan
- KANDANG Dg TAPALA, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat.
Penggugat mengklaim sebagai pemilik tanah sawah seluas 8.000 m2. Tahun 1960-an, sebelum Penggugat ke Sulawesi Tenggara, terlebih dahulu Penggugat mempercayakan tanah sawah tersebut kepada sepupunya untuk menjaga sekaligus menggarapnya, namun sang sepupu pada tahun 1989 meninggal dunia sehingga objek tanah penguasaan dan penggarapannya diteruskan oleh anak dari sepupu, selama kurang-lebih 20 tahun.
Tahun 2011, secara tiba-tiba Tergugat menguasai objek tanah dan menggarapnya tanpa izin Penggugat. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Watampone kemudian menjatuhkan putusan Nomor 15/Pdt.G/2012/PN WTP., tanggal 11 Desember 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 148/PDT/2013/PT MKS., tanggal 24 Juli 2013, adalah sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat tersebut;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Watampone tanggal 11 Desember 2012, Nomor 15/Pdt.G/2012/PN.Wtp., yang dimohonkan banding tersebut.”
Dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi pertimbangan hukum serta amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor 176 K/Pdt/2014, tanggal 28 Mei 2014, sebagai berikut:
“Menimbang bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa permohonan kasasi yang diajukan dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Negeri / Pengadilan Tinggi) telah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut;
- Bahwa terbukti penguasaan objek sengketa oleh Tergugat baru dilakukan lebih kurang 1 (satu) tahun yang lalu;
- Bahwa semua saksi baik dari pihak Penggugat maupun saksi Tergugat sendiri menerangkan bahwa proses pengambil-alihan dari pihak Penggugat, tidak dilakukan sesuai aturan, sehingga perampasan objek sengketa oleh Tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum;
- Bahwa sekiranya benar Tergugat berhak atas tanah objek sengketa tentunya harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan, sehingga penyerahan kepada Tergugat akan dilakukan oleh Pengadilan seandainya Tergugat memenangkan perkara;
- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka sudah pantas apabila gugatan Penggugat dikabulkan, agar status tanah dikembalikan kedalam keadaan semula;
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Kandang Dg. Tapala tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 148/Pdt/2013/PT.MKS., tanggal 24 Juli 2013 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 15/Pdt.G/2012/PN.Wtp., tanggal 11 Desember 2011;
Mengadili Sendiri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan menurut hukum bahwa Penggugat Kandang Dg. Tapala adalah pemilik dari objek sengketa berupa tanah sawah dengan luas 8.000 m2 (80 are) yang bergelar Lompo Lasalima Persil Nomor 31 SII. Kohir Nomor 554. CI. Blok 007. yang terletak di ... dengan batas batas sebagai berikut: ...;
3. Menyatakan menurut hukum bahwa tindakan Tergugat Andi Alang bin Andi Patu yang menguasai / menggarap objek sengketa tanpa seizin dari yang berhak, yakni Penggugat atau yang dikuasakan, adalah perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Tergugat atau kepada siapa saja yang mendapat hak dari padanya untuk mengosongkan objek sengketa kemudian menyerahkan kepada Penggugat dengan tanpa syarat.”
Pihak Tergugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pokok argumentasi bahwa perbuatan perampasan hak termasuk ruang lingkup pemeriksaan acara pidana, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali dengan alasan adanya bukti baru (novum) dengan ditemukannya bukti baru berupa foto kopi Surat Perjanjian Jual Beli Tahun 1953 dan alasan peninjauan kembali adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab surat bukti baru yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut bukan merupakan bukti yang menentukan yang dapat melumpuhkan pembuktian yang diajukan oleh Penggugat, begitu juga dalam putusan telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar sehingga tidak terdapat adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan a quo;
“Bahwa bila Pemohon Peninjauan Kembali merasa objek gugatan adalah miliknya, maka seharusnya diajukan gugatan, dan bukan dengan melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara merampas objek sengketa;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ANDI ALANG bin ANDI PATU tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.