LEGAL OPINION
Question: Kan suka itu, jika jual-beli ada disebut soal DP
(down payment). Nah pertanyaannya,
kalau si pembeli tidak juga bayar DP, apa artinya ia boleh lari dari apa yang
sudah disepakati sebelumnya, atau bilang ngak pernah ada kesepakatan untuk
ditagih?
Brief Answer: Itulah yang disebut dengan salah kaprah, bahkan
banyak diantara kalangan notaris, pengacara, hingga akademisi yang tidak
memahami “kelirumologi” dalam menyikapi perihal Down Payment demikian. Down
Payment bukanlah syarat mutlak dari “syarat sah perjanjian” sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
sehingga bila pembeli tidak kunjung membayar Down Payment, tidak dimaknai bahwa dirinya bisa seenaknya membatalkan
perjanjian yang telah disepakati, karena yang terpenting ialah adanya
kesesuaian kesepakatan antara penjual dan pembeli, atau antara penyedia jasa
dan pengguna jasa.
Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata melarang
dibatalkannya perjanjian secara sepihak. Dengan demikian, tidak dibayarnya Down Payment dapat dikategorikan sebagai
wanprestasi. Down Payment biasanya
ditetapkan penjual atau penyedia jasa, sebagai cara termudah untuk mengetahui
apakah pembeli atau pengguna jasa, serius atau justru memiliki itikad buruk
dalam kesepakatan yang dibuat.
PEMBAHASAN:
Asas "terang" dan "tunai" yang mensyaratkan adanya uang panjar sebagai syarat formil sahnya perikatan, hanya dikenal dalam hukum agraria. Perihal “syarat sah perjanjian”, telah diatur secara tegas dalam norma Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang sahih / tidak melawan hukum.”
Melihat rumusan diatas, menjadi terang dan jelas bahwa ada atau tidaknya Down Payment (DP), bukan menjadi syarat
mutlak untuk mengikatnya suatu perikatan perdata kontraktual. Sepanjang keempat
unsur diatas terpenuhi, maka para pihak saling terikat dan saling mengikat satu
sama lain, untuk memenuhi apa yang telah disepakati dan disanggupi, tanpa boleh
kemudian diingkari secara sepihak.
Simak norma kaedah selengkapnya dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dengan tidak dibayarnya DP, bukan berarti menjadi alasan pembenar bagi pihak
pembeli / pengguna jasa untuk berkilah dan bersikap seolah tidak pernah ada
kesepakatan apapun, karena kembali lagi pada kaedah Pasal 1320 KUHPerdata, ada
atau tidaknya DP bukanlah menjadi syarat mutlak sah dan mengikatnya perjanjian.
Justru menjadi cerminan indikasi adanya itikad buruk pihak pembeli /
pengguna jasa, menyepakati sesuatu dengan penjual / penyedia jasa, namun
kemudian mengingkari komitmen awal untuk menunaikan DP yang telah disepakati.
Berangkat dari wanprestasinya pembeli / pengguna jasa untuk menyerahkan sejumlah
biaya DP, menjadi indikator bagi penjual / penyedia jasa untuk bersikap waspada
terhadap itikad buruk pihak pembeli / pengguna jasa yang “belum apa-apa sudah
ingkar janji”.
Mungkin saja pihak pembeli / pengguna jasa berkilah, dengan alasan bahwa
DP menjadi parameter adanya jenis perikatan non murni, yakni sebagai ciri
tipikal “perikatan bersyarat”, sebagaimana diatur dalam kaedah Pasal 1253
KUHPerdata tentang perikatan-perikatan bersyarat, yang mengatur:
“Suatu perikatan bersyarat
adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan
perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.”
Namun perlu kita sadari karakter dari DP, yakni serupa dengan termin
pertama dari pembayaran jual-beli dalam dunia niaga, dimana pembeli tidak
seketika melunasi barang yang disuplai ke toko ritelnya, namun dicicil secara
beberapa tahapan termin. DP dapat dianalogikan sebagai termin pertama, sebelum
menempuh ke arah pelunasan setelah barang / jasa diberikan. Hanya saja dalam DP,
penjual / penyedia jasa baru akan mengirim dan melayani setelah DP disetorkan
pembeli / pengguna jasa.
Jika tidak disetornya DP dimaknai sebagai perikatan bersyarat batal, maka
dapat diartikan, semua pembeli yang kemudian tidak membayar termin pertama, dimaknai
membatalkan perjanjian. Apakah demikian yang dikehendaki oleh hukum, seolah
pembeli / pengguna jasa dapat mempermainkan penjual / penyedia jasa, dengan
secara sepihak membatalkan dengan alasan tidak dibayarnya termin pertama
pembayaran? Pasal 1266 KUHPerdata, pembatalan hanya dapat dilakukan dengan
perantaraan hakim di pengadilan, tidak dapat dibatalkan sepihak, sekalipun itu
dimaknai sebagai perikatan bersyarat batal.
Tidak dapat juga dimaknai sebagai “perikatan bersyarat tangguh”, karena perikatan
bersyarat tangguh bergantung pada faktor suatu keadaan diluar kemampuan para
pihak yang notabene tidak dapat diprediksi. Sementara bila DP atau pembayaran termin
pertama, tentunya dari semula sudah dapat disanggupi oleh penjual maupun
pembeli saat saling bersepakat mengikatkan diri, alias masih didalam kemampuan masing-masing
pihak.
Sekalipun DP tetap dimaknai sebagai “perikatan bersyarat tangguh”, maka
berlaku norma imperatif Pasal 1262 KUHPerdata: “Si berpiutang dapat, sebelum terpenuhinya syarat, melakukan segala
usaha yang perlu untuk menjaga jangan sampai haknya hilang.”
Contoh konkretnya, pihak penjual / penyedia jasa dapat saja men-somasi
pihak pembeli / pengguna jasa untuk segera membayar DP atau pembayaran termin
pertama. Bila menyatakan tidak sanggup membayar DP atau termin pertama, maka
adalah itikad buruk sejak semula membuat kesepakatan, membuat komitmen palsu
yang bertujuan mengecoh atau mengelabui (baca: mempermainkan dan melecehkan).
Perihal siapakah yang paling berhak untuk menuntut komitmen terkait DP,
silahkan merujuk ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata:
“Pihak terhadap siapa perikatan
tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan
akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan
menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
Dengan demikian, merujuk ketentuan Pasal 1267 KUHPerdata diatas, tidak
dibayarkannya DP atau pembayaran termin pertama oleh pembeli / pengguna jasa,
tidak dimaknai memberinya kebebasan untuk melepas perikatan perdata yang
mengikatnya (alias lari atau lepas dari tanggung jawab), namun justru memberi
hak bagi penjual / penyedia jasa untuk menuntut dan menghukum si pembeli /
pengguna jasa yang wanprestasi—bukan sebaliknya.
Jangan lupa, DP adalah satu perikatan itu sendiri di dalam perjanjian.
Sebuah perjanjian, dapat mengandung satu atau lebih perikatan-perikatan. Samentara
syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan ada atau tidaknya
DP, maka DP adalah bagian dari perikatan itu sendiri, yang bila dipenuhi, secara
logis menerbitkan hak bagi pihak penjual / penyedia jasa untuk menuntut
tanggung-jawab agar melaksanakan komitmen, sepanjang seluruh unsur dalam Pasal
1320 KUHPerdata telah terpenuhi.
Itulah esensi dari DP ataupun pembayaran termin pertama dalam bidang
niaga barang ataupun jasa, yang banyak tidak pahami bahkan oleh kalangan
Sarjana Hukum itu sendiri. Terlepas dari semua itu, kredibilitas pembeli /
pengguna jasa, sejatinya sama pentingnya dengan kredibilitas penjual / penyedia
jasa. Sekali tidak dapat dipercaya, maka blacklist
dapat menjadi sanksi sosialnya. Dalam era bisnis modern, bukan hanya konsumen
yang menjadi “raja”, namun konsumen yang beritikad buruk pun dapat di-blacklist bila beritikad buruk oleh
kalangan penjual / penyedia jasa.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.