KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Cara Kerja Hukum Karma

ARTIKEL HUKUM
Bangsa yang bermental sakit, produk hukum dan penegakan hukumnya akan sama sakitnya. Menguasai ilmu hukum sekeras apapun, adalah percuma di tengah bangsa yang sakit—karena ilmu hukum yang dipelajari ialah produk hukum bangsa yang sakit dan penegakkannya pun sama sakitnya oleh bangsa yang sakit ini.
Ironis, sekaligus satir. Namun bukanlah suatu kejahatan untuk mengungkap fakta demikian. Itulah refleksi yang kerap penulis jumpai di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, yang konon menyebut diri mereka sebagai bangsa Timur yang spirituil, toleran, baik hati, berbudi pekerti, dan agamais.
Setiap hari, dan selalu demikian berulang, terjadi aksi “putar-balik fakta”, bukan hanya para birokrat di parlemen, para pemegang kekuasaan di Lembaga Eksekutif maupun penyalahgunaan kewenangan pada Lembaga Yudikatif, namun hingga masyarakat kelas bawah hingga tukang dan preman pengatur lalu-lintas, sangat terampil memainkan praktik “putar-balik fakta” demikian. Tidak hanya kalangan tidak berpendidikan, kalangan bergelar Doktor dan profesor di Indonesia sekalipun, sama sakitnya.
Ketika penulis diserobot pengendara lain sehingga penulis melakukan seruan protes, sang penyerobot dan preman pengatur jalan justru menyatakan penulis yang keliru. Ketika penulis menghardik orang-orang yang seenaknya “memperkosa” profesi penulis, penulis dikatakan sebagai berkata kasar dan “mata duitan” (semua ini fakta). Ketika kawanan pencopet hendak mencuri dari penulis, sang pencopet justru lebih galak dari penulis. Ketika penulis melaporkan tindak pidana, polisi yang kemudian justru menyatakan bahwa penulis kurang bersosialisasi (meski sesaat kemudian kantor polisi yang diledakkan oleh teroris, menjadi bukti bahwa polisi yang lebih kurang bersosialisasi dengan masyarakatnya).
Terlampau banyak kejadian aneh untuk diceritakan, yang tidak akan muat dalam satu uraian ini. Singkat kata, yang benar diperlakukan sebagai bersalah, dan yang bersalah diperlakukan sebagai pihak yang benar. Yang salah tidak dikatakan sebagai bersalah, dan yang benar tidak dikatakan sebagai pihak yang benar. Korban dipersalahkan, sementara pelaku kejahatan dibiarkan atau bila perlu dibenarkan. Pelanggaran dicarikan pembenaran dan justifikasi, sementara sikap jujur diberi stigma sebagai orang bodoh. Seseorang warga dengan sikap lugu, menjadi mangsa empuk para “predator” pemutar-balik fakta demikian.
Singkat kata, para pembaca pun pastinya pernah memiliki pengalaman serupa, sedikit atau banyak, senada dan dalam nuansa yang serupa dengan apa yang pernah penulis rasakan dan alami dengan mata-kepala sendiri. Rasa terkejut, heran, sekaligus tidak percaya dan amarah seakan bercampur-aduk tiada habisnya. Seakan, prinsip rasional berpikir logis tidak berlaku ditengah kehidupan bangsa ini. Semua bersikap dalam tataran arogansi dan semudah bersilat lidah untuk memutar-balik fakta, tanpa takut akan konsekuensi dan akibat hukumnya.
Anda tidak perlu bersusah-payah untuk menggurui perasaan penulis, seolah penulis tidak mampu merasa, atau sudah buta dan tuli. Semua ini ialah pengalaman dan perasaan pribadi penulis. Penulis tidak butuh komentar atau pendapat siapapun terhadap apa yang penulis pribadi rasakan dan alami dengan mata-kepala sendiri.
Namun ya sudahlah, penegakkan hukum di Indonesia memang masih “tebang pilih”—itu fakta yang adalah buruk bila terus ditutup-tutupi. Tidak ada praktik hukum yang seideal itu, terutama di Indonesia yang kental akan nuansa penyalah-gunaan kekuasaan & kewenangan. Berangkat dari fakta demikian, para kriminil yang kemudian menjadi berkuasa dan meraja-lela, seakan tanpa gentar terhadap sanksi ancaman hukuman, menjadi raja jalanan-raja jalanan.
Toh, faktanya para penjahat justru seakan diliarkan begitu saja alias dilestarikan oleh para aparatur penegak hukum—dan pengabaian demikian pun bukan mitos, namun fakta realita yang penulis rasakan dan alami sendiri sebagai korban pelaku kejahatan penganiayaan (secara berkeroyok), pengrusakan properti, hingga ancaman pembunuhan—hanya karena penulis berasal dari latar belakang etnis dan berkeyakinan minoritas di Indonesia. Para pelakunya, hingga saat ini berkeliaran bebas, tidak tersentuh hukum.
Namun siapa bilang penulis dalam posisi “terkalahkan”? Hanya orang dungu, yang tidak takut dan tidak malu berbuat kejahatan. Ketika penulis merasa letih dengan hukum buatan manusia dan penegakan hukumnya yang diliputi kekotoran batin pembentuk dan aparatur penegak hukum, penulis senantiasa merujuk kembali kepada Dhamma, yakni prinsip kejujuran mental dan kebenaran sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, guru agung para dewa dan manusia.
Dalam Buddhisme, dua panduan utama sebagai “jaring pengaman” (safety nett), yakni dua kata dalam bahasa Pali: “Hiri” dan “Ottapa”. “Hiri”, dimaknai sebagai rasa malu untuk berbuat jahat, yaitu ada suatu dorongan perasaan malu ketika kita berniat atau karena melakukan suatu kejahatan, sekecil apapun kejahatan tersebut, baik secara ucapan, perbuatan, maupun pikiran. Sementara yang dimaksud dengan “Ottapa”, maknanya ialah takut akan akibat dari perbuatan buruk tersebut, karena hukum karma mengikat dan berlaku, baik terhadap seorang yang percaya hukum karma ataupun yang sama sekali tidak percaya.
Paling ideal, ialah berbicara perihal hukum karma. Begini cara kerja hukum karma: Tidak perduli adil atau tidak adil perbuatan tersebut, tidak perduli benar atau tidak benar perbuatan demikian, tidak perduli ia mengakui atau tidaknya perbuatan tersebut, tidak juga perduli apakah ia mengakui atau tidaknya hukum karma, perbuatan itulah yang kelak akan ia terima dan alami (warisi) sendiri.
Melakukan kejahatan dengan senang hati, sebelum dan sesudah perbuatan, bahkan tanpa disesali, mengakibatkan karma buruk berbuah secara lebih lebat, ibarat menanam sebutir biji mangga, bertumbuh dan berbuah seribu buah mangga. Menanam cabai, tiga bulan akan panen. Menanam pohon jati, satu abad baru akan matang untuk berbuah hasilnya.
Sesederhana itu saja, prinsip dan cara kerja hukum karma. Tidak perlu meminta eksekutor untuk mengeksekusi, tidak perlu mengotori tangan sendiri untuk mengeksekusi sang pelaku, semua dikerjakan oleh hukum karma, tanpa diminta, tanpa digugat, tanpa dituntut, dan tanpa diperintah, dengan demikian efisien.
Sebagai penutup, tepat kiranya penulis kutipkan khotbah Sang Buddha berikut ini, untuk senantiasa kita renungkan bersama:
“Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyak perbuatan bajik yang baik dan benar,
Sucikan hati dan pikiran,
Itulah ajaran para Buddha.

“Semua makhluk,
Memiliki perbuatannya sendiri,
Mewarisi perbuatannya sendiri,
Lahir dari perbuatannya sendiri,
Berhubungan dengan perbuatannya sendiri,
Terlindung oleh perbuatannya sendiri.
Apapun perbuatan yang diperbuatnya,
Baik ataupun buruk,
Itulah yang akan diwarisi oleh si pelaku.

“Aku adalah pemilik perbuatanku sendiri,
Pewaris perbuatanku sendiri,
Lahir dari perbuatanku sendiri,
Berhubung dengan perbuatanku sendiri,
Terlindung oleh perbuatanku sendiri.

“Apapun perbuatan yang kuperbuat,
Baik atau buruk,
Itulah yang akan kuwarisi,
Demikianlah kerap kali patut kita renungkan.”
Sang Buddha mengajarkan para muridnya untuk bersikap ksatria terhadap berbagai perbuatannya sendiri, baik perbuatan besar maupun perbuatan kecil, untuk berani menanggung buah akibat perbuatannya—bukan mengandalkan dan memohon penghapusan dosa, sebuah iming-iming janji surgawi yang melenakan sekaligus merupakan pembodohan massal, mengakibatkan korban-korban tidak bersalah terus berjatuhan oleh mereka yang meyakini akan masuk surga sekalipun menyakiti makhluk hidup lainnya.
Karma adalah perbuatan, dalam Bahasa Pali sebagai “kamma” da dalam Bahasa Sanskrit / Sansekerta sebagai “Karma”. Sementara buahnya disebut sebagai “Vipaka”. Buah dari karma buruk, dengan demikian diistilahkan sebagai “akusala kamma vipaka”, dan buah dari perbuatan baik, disebut sebagai “kusala kamma vipaka”.
Sang Buddha, ketika difitnah dan disakiti, tidak pernah banyak bicara, apakah si pelaku ataukah Sang Buddha yang telah salah, meski jelas Sang Buddha sebagai korban orang-orang tidak bertanggung-jawab. Mengapa? Karena yang paling patut untuk merasa takut, ialah si pelaku kejahatan, yang sejatinya tengah menggali lubang kubur sendiri. Sama seperti nasib Devadatta yang ditelan oleh Bumi (dalam arti yang sesungguhnya) akibat perbuatannya yang menyakiti seorang Buddha.
Mereka yang benar-benar memahami prinsip kerja hukum karma, tidak pernah mau pusing atas sikap orang lain yang telah bersikap jahat terhadap kita, tidak juga gentar terhadap aksi “putar-balik fakta” demikian. Semua bekerja sebagaimana mestinya, itulah hukum karma. Tidak mau disakiti, jangan menyakiti. Ingin dihormati, maka hormatilah orang lain, sekalipun itu seekor makhluk kecil seperti seekor semut yang ringkih—karena mereka juga dapat merasakan sakit dan ingin berjuang hidup.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.