Ambivalensi antara Korban dan Pelaku Kejahatan, Telaah Kriminologi & Kriminogen

ARTIKEL HUKUM
Kriminogen, dimaknai sebagai aspek atau faktor pencetus tindak kejahatan, demikian kriminologi menyebutnya. Istilah demikian dapat membiaskan kita dari persoalan sebenarnya, seakan si pelaku itulah penjahat yang paling patut dipersalahkan dan dikriminalisasi. Seakan bertolak-belakang dengan uraian pembuka diatas, ilmu psikologi tidak pernah memandang secara demikian linear, karena emosi dan psikologi manusia bersifat majemuk—bisa jadi, si pelaku adalah korban yang sebenarnya. Dalam artikel ini, kita tidak melihat dari perspektif hukum yang kering dan tidak berangkat dari kenyataan sosial, namun secara sosiologi.
Kisah berikut ini cukup satir, namun penting untuk kita simak dan kita renungkan baik-baik sepanjang hayat kita. Alkisah, seorang kakek-kakek tua renta pada setiap paginya duduk berjemur diri di teras depan rumahnya. Sang pria tua duduk manis di kursi kayunya senyaman mungkin, tanpa banyak bicara, hanya mencoba melewati sisa hidupnya dengan damai.
Namun segerombolan anak sekolah dasar yang melewati depan rumah sang pria tua, kebetulan menjadi jalan anak-anak sekolah itu menuju sekolah tempat mereka belajar, selalu menjadikan sang pria tua sebagai bahan olok-olok dan lelucon bahan tertawaan: “Orang gila, itu orang gila!” seru anak-anak itu satu sama lain sambil terkekeh menunjuk-nujuk sang pria tua yang hanya dapat memandangi dari dalam teras rumahnya yang dibatasi oleh pagar, tanpa daya.
Satu hari berlalu. Keesokan harinya, anak-anak sekolahan yang sama, kembali menjadikan sang pria tua sebagai bahan olok-olok. “Orang gila, itu orang gila!” Sang pria tua tidak memberi respon, bergeming seakan tidak menghiraukan, duduk tenang di kursi kayunya, berpura-pura bagai seonggok patung, tetap menikmati kehangatan sinar matahari pagi.
Keesokan harinya, di pagi yang sama, di depan rumah yang sama, anak-anak sekolahan yang sama, dan olok-olok yang sama: “Orang gila, itu orang gila!
Orang gila, itu orang gila!
Orang gila, itu orang gila!
Satu bulan berlalu, dengan kenyataan pahit bahwa sang pria tua harus menghadapi kondisi yang sama, untuk setiap harinya, atau mungkin juga untuk seluruh sisa hidupnya. “Orang gila, itu orang gila!
Namun sang pria tua masih bersikap sabar, dan tabah sebagaimana orang tua yang telah bersikap bijaksana sebagaimana sebagian rambutnya yang telah rontok dan memutih.
Orang gila, itu orang gila!
Orang gila, itu orang gila!
Hampir satu tahun lamanya, kondisi demikian dihadapi. Hendaknya kita tidak menuntut orang lain untuk menjadi korban dan sekaligus memintanya untuk bersikap sabar tanpa batasan. Perasaan memiliki batasan untuk menampung amarah tertahan, menjelma ledakan.
Orang gila, itu orang gila!
Tepat satu tahun, sampai pada suatu ketika, di pagi yang sama, anak-anak sekolahan usil yang sama, dan sang pria tua yang sama. Namun kali ini sang pria tua bangkit dari kursinya, menghampiri anak-anak nakal itu yang sebagaimana biasanya, mengolok sang pria tua: “Orang gila, itu orang gila!
Sebongkah batu besar cukup besar diraih oleh sang pria tua, dan menimpuknya ke arah gerombolan anak nakal itu, sehingga salah seorang anak berbaju sekolah dasar itu tewas dalam kondisi kepala terhantam batu, terkapar diam secara mengenaskan, tanpa nafas dengan tumpahan darah yang tidak terhindarkan.
Siapakah yang paling patut dipersalahkan? Siapakah korban dan siapakah pelaku? Apa yang disebut dengan suatu sikap waras dan apa juga yang dimaksud dengan sikap gila? Mungkinkah kondisi batin dan mental seorang manusia, dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan tempatnya hidup?
Tidak disangka, kondisi yang serupa dialami secara pribadi oleh penulis. Sudah jelas penulis berprofesi dan mencari nafkah sebagai konsultan hukum, alias penyedia jasa layanan tanya-jawab seputar hukum, sehingga wajar memungut tarif profesi atas layanan konsultasi. Namun, setiap harinya selalu saja ada yang memperkosa profesi penulis, dengan meminta dilayani tanpa mau menyadari hak dan kewajiban masing-masing antara pengguna dan pemberi jasa, alias menuntut dilayani G-R-A-T-I-S!!!
Satu atau dua hari, penulis hanya bisa mengurut dada dan tidak meladeni komunikasi melecehkan demikian. Satu bulan berlalu, hingga satu tahun berlalu, kondisi serupa terus terjadi setiap harinya: pihak-pihak tidak bertanggung jawab, meminta dilayani tanpa mau dibebani tarif jasa, sekalipun mereka memiliki masalah seputar bisnis atau seputar tanah.
Seorang pengemis, tidak memiliki masalah soal tanah, masalah pekerjaan, masalah kredit, terlebih masalah hukum apapun. Namun dengan bersikap bagai seorang penjajah, mencoba membudaki atau bahkan memperkosa profesi penulis, dengan meminta dilayani untuk memusingkan masalah hukum mereka yang sejatinya bukanlah urusan penulis.
Begitupula kalangan pekerja / buruh, begitu percaya diri meminta dilayani oleh penulis, protes karena dipekerjakan oleh bos mereka namun tidak dibayar gajinya. Namun disaat bersamaan saat menghubungi penulis, dirinya justru bersikap lebih keji dari pengusaha: meminta dilayani tanpa mau membayar upah profesi. Bahkan mereka menghubungi penulis, tanpa memperkenalkan dirinya—sungguh suatu cerminan watak Bangsa Indonesia yang arogan dan tidak memiliki etika komunikasi.
Sudah lebih dari lima tahun lamanya, kejadian dan kondisi yang sama berlangsung setiap harinya, kenyataan pahit yang harus ditelan, toleransi dan sikap lapang dada yang menjadi bumerang, kesabaran yang kain menipis, sampai pada akhirnya setiap pihak tidak bertanggung jawab yang menghubungi penulis, seketika itu juga tanpa basa-basi, penulis caci-maki sebagai “PELACUR”. Terdengar sarkastik, betul, tanpa penulis pungkiri. Tunggu hingga tiba saatnya Anda mengalami kondisi serupa, setiap harinya, selama bertahun-tahun, maka Anda akan sadar bahwa tidaklah baik untuk mencoba-coba kesabaran individu / pribadi warga negara lainnya.
Sebagian ID orang-orang yang telah melecehkan dan memperkosa profesi penulis, kini dengan terpaksa penulis publikasikan dibawah laman “BLACKLIST” sebagaimana dapat dijumpai pada menu website publikasi yang penulis asuh ini, dengan maksud untuk memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi sarana pertukaran bagi kalangan profesi konsultan hukum lainnya agar waspada terhadap ID orang-orang yang sama.
Hal demikian diadopsi dari analogi seperti sistem informasi debitor terkait nasabah debitor yang macet dalam pembayaran hutangnya. Bila tidak terdapat sistem daftar negatif demikian, tiada debitor yang akan takut untuk memacetkan kredit mereka. Penulis menyebutnya, sebagai sanksi sosial dan sanksi ekonomi.
Siapakah yang paling bersalah, dalam dua ilustrasi diatas? Hanya ada dua pilihan, karena “bersabar / berdiam diri seumur hidup” tidak pernah menjadi opsi yang solutif, yakni: bunuh diri atau membunuh mereka yang selama ini melecehkan tanpa mampu introspektif diri, secara bertubi-tubi melecehkan harkat dan martabat seseorang individu yang memiliki perasaan dan mampu merasa.
Ilustrasi konkret ketiga berikut, diharapkan mampu memberi gambaran yang lebih relevan untuk menjadi pelengkap katalis dari dua postulat sebelumnya. Untuk itu penulis buka dengan kisah memilukan dari “Gara-Gara Sering Diejek, Vivi Gantung Diri”, 16 Jul 2005: (yang penulis kutip dari https://www.liputan6.com/news/read/105426/gara-gara-sering-diejek-vivi-gantung-diri)
Bekasi: Kasus pelajar bunuh diri kembali terjadi. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seutas tali di kamar mandi rumahnya. Kejadian itu mengagetkan penduduk Desa Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, tempat Vivi tinggal. Jasadnya ditemukan sekarat oleh ibunya, Fitri. Mereka mencoba menolong siswi Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Bantar Gebang itu, tapi gagal.
Menurut Joko Kirsang, ayah Vivi, putrinya sempat mengeluh sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah. Remaja berparas manis itu juga sempat menyatakan kesedihan kepada Joko karena ayahnya mesti bersusah-payah menjual bubur mencari uang untuk dirinya.
Kepala Kepolisian Sektor Metro Bantar Gebang Ajun Komisaris Polisi Didik Sukamto menjelaskan, keluarga Joko malam sebelum Vivi ditemukan tewas sudah mengadakan pertemuan membahas soal biaya sekolah putri sulungnya. Keluarga Joko termasuk Tina, bibi korban sepakat membantu termasuk membeli membeli seragam di Pasar Bantar Gebang.
Murid sekolah bunuh diri bukan kali ini saja terjadi. Rully Avianto, siswa kelas satu Sekolah Dasar Tegowangi, Plemahan, Kediri, Jawa Timur, Mei silam, tewas gantung diri dengan kain sarung yang diikat di tali yang terentang di tiang jemuran dalam rumah. Korban pertama kali ditemukan Paimin, kakeknya.
Motif bunuh diri Rully tak kunjung terungkap. SCTV kesulitan meminta keterangan karena pihak keluarga memilih bungkam. Setelah diotopsi mereka langsung menguburkan jasad Rully di pemakaman umum setempat.
Sementara di Tegal, Jawa Tengah, Eko Haryanto, siswa kelas enam Sekolah Dasar Kepunduhan 02, belum lama ini mencoba bunuh diri. Bocah malang ini berusaha mengakhiri hidupnya sendiri karena malu belum membayar uang sekolah. Beruntung nyawa Eko berhasil ditolong.”
Kisah pilu serupa dapat kita jumpai dalam “Diduga Tak Kuat Dibully, Bocah Kelas V SD Anak Tukang Tambal Ban Gantung Diri”, 7 Februari 2018, Editor: Sugiyarto: (dikutip dari http://www.tribunnews.com/regional/2018/02/07/diduga-tak-kuat-dibully-bocah-kelas-v-sd-anak-tukang-tambal-ban-gantung-diri)
BOLAANG MONGONDOW - Polres Bolaang Mongondow sedang mengusut kasus ‘bullying’ berakhir gantung diri yang menimpah bocah kelas V SDN 1 Imandi Kecamatan Dumoga Timur, Bolmong, Sulawesi Utara.
‘Dugaan sementara bunuh diri,’ kata AKBP Gani Siahaan, Kapolres Bolmong.  Pihaknya sedang mengusut kasus tersebut. Jika karena ‘bullying’, polisi tak akan tinggal diam.
‘Kami akan mengimbau kepada masyarakat termasuk ke sekolah-sekolah agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi,’ kata dia.
Diketahui, Bocah NT ditemukan tewas oleh orangtuanya tergantung di dapur rumah mereka, Rabu (7/2/2018) sekitar pukul 10.30 Wita.
Padahal Fifi Turangan, lelaki yang mengurus sendiri anaknya ini sejak umur satu tahun, baru pulang dari warung membelikan roti dan energen untuk Nt yang duduk di Kelas 5 SDN 1 Imandi, Kecamatan Dumoga Timur.
Seketika itu, warga Imandi ini tak percaya dengan apa yang dilihatnya di dapur rumahnya kala itu. Tangisnya pecah, dadanya sesak.”
Terlahir sebagai anak keluarga yang miskin, bukanlah sebuah kejahatan untuk dilecehkan. Sebaliknya, anak koruptor justru bangga dan tanpa malu tampil di depan publik dan lingkungan warga sekitar (fakta yang penulis jumpai sendiri di lingkungan kediaman penulis). Bangsa ini sungguh “terbolak-balik” perihal moralitas (zaman edan). Disaat bersamaan dikenal sebagai bangsa yang agamais, namun korupnya luar biasa, meski rajin beribadah dan memakai atribut pakaian agama. Bahkan pembunuh berdarah dingin pun yakin akan masuk surga, cukup dengan menyembah Tuhan.
Berprofesi sebagai konsultan hukum adalah pekerjaan yang sahih dan legal, bukanlah sebuah profesi hina untuk dilecehkan terlebih diperkosa tanpa tahu malu oleh mereka yang mengaku berpendidikan namun bermental “pengemis” dan menyerupai “preman tukang pukul” dengan menyebut penulis sebagai “mata duitan” karena tidak bersedia memberi layanan secara G-R-A-T-I-S. Sebaliknya, mencari makan dengan mencuri hak-hak orang lain, itulah yang memalukan dan layak untuk dilecekan seutuhnya.
Menjadi tua dan renta serta buruk rupa karena usia tua, adalah hal yang wajar dan semua orang pasti mengalaminya. Ada anggota keluarga yang cacat secara fisik atau secara mental, juga setiap keluarga atau silsilah keluarga, juga pernah mengalaminya. Tidak ada yang perlu dianggap sebagai aib untuk ditutupi. Sebaliknya, mereka yang dengan mudahnya melecehkan dan menginjak-injak martabat warga negara lain, memang patut untuk diberi pelajaran. Ketika negara lewat otoritas penegak hukumnya hanya berdiam diri meski telah dilaporkan atau terjadi secara vulgar di depan mata namun terjadi pembiaran, maka dapatlah dibenarkan untuk “main hakim sendiri”.
Yang selama ini melecehkan profesi penulis, bukan hanya dari kalangan yang berangkat dari mereka yang tidak berpendidikan. Mulai dari notaris, pengacara, pegawai negeri sipil, hingga anak kuliahan yang notabene memiliki tingkat pendidikan tinggi, dengan mudahnya seakan tanpa rasa malu melakukan pemerkosaan terhadap profesi penulis, sebagai cerminan konkret sakitnya mental Bangsa Indonesia.
Sebagai penutup, agar tampak lebih tragis, patutlah kita renungkan kejadian berikut dalam “Bullying, Normalkah?”, Maria Hartiningsih, Kompas.com, 17/02/2009: (dikutip dari https://edukasi.kompas.com/read/2009/02/17/20025883/Bullying.Normalkah.)
SUATU MALAM, pasangan Bramono dan Tari terkejut melihat Riska (14) duduk di jendela kamar lantai 11 apartemen mereka dengan satu kaki menjuntai ke luar seperti posisi ancang-ancang hendak melompat. Setelah peristiwa yang nyaris membawa bencana itu, mereka membawa Riska ke psikolog.
Baru mereka tahu, Riska mengalami depresi karena sering diejek ”gendut” oleh teman-temannya di sekolah. Kalau saja Bram dan Tari terlambat, bisa jadi Riska menyusul Linda (15), siswa kelas II SLTPN di Jakarta, yang gantung diri di kamar tidurnya, Juni 2006.
Linda mengalami depresi karena diejek teman-temannya karena ia pernah tidak naik kelas. Di Bantar Gebang, pada Juli 2005, Fifi Kusrini (13) gantung diri di kamar mandi. Kata sang ayah, putrinya merasa malu karena diejek teman-temannya sebagai anak tukang bubur.
“Ada sekitar 30 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri di kalangan anak dan remaja berusia 6 sampai 15 tahun yang dilaporkan media massa tahun 2002-2005,” ujar Diena Haryana dari Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa).
Namun, sebagian besar laporan media massa luput melihat benang merah persoalan berbagai kasus dalam fenomena kekerasan itu, yakni masalah bullying di sekolah. Sebagian masih berkutat dengan komentar pakar yang menyoroti masalah ekonomi, ketidak-harmonisan keluarga, dan kerapuhan korban.
Penelitian Lembaga Pratista Indonesia terhadap siswa SD, SLTP, dan SLTA di dua kecamatan di Bogor yang dipaparkan Netty Lesmanawati menunjukkan, semakin tinggi jenjang sekolah, semakin tinggi persentase siswa yang mengalami bullying dari teman di lingkungan sekolah. Dianggap ‘biasa’.
Banyak orang berpendapat ejek-mengejek dan berbagai ‘kenakalan’ anak di sekolah adalah ‘biasa’. Namun, benarkah bullying merupakan bagian dari proses alamiah perkembangan anak?
Psikolog dari AS, Peter Sheras PhD, dalam buku Your Child: Bully or Victim?: Understanding and Ending School Yard Tyranny (2002) menjelaskan perbedaan antara kemarahan, agresi, dan bullying. Kemarahan merupakan emosi yang bisa dirasakan siapa pun yang dapat mengarah pada dorongan agresif dan disalurkan melalui berbagai cara.
Bullying yang merupakan tingkah laku agresif—tanpa rangsangan—untuk mendominasi, menyakiti, menyerang, atau mengasingkan orang lain yang lebih lemah dibandingkan diri atau kelompoknya adalah salah satu cara menyalurkan agresi.
Kecenderungan melakukan bullying secara fisik, verbal-emosional, dan sosial mungkin dianggap ‘alamiah’ dalam pengertian sangat terbatas, tetapi tidak dapat dielakkan di sekolah, rumah, dan lingkungannya. Hasil penelitian Lembaga Pratista Indonesia menunjukkan, bullying secara verbal-emosional banyak dilakukan oleh guru. Hukuman terhadap pelaku oleh guru sering kali juga berupa bullying.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui hotline service dan pengaduan ke KPAI memperlihatkan, pada tahun 2007 dilaporkan 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persennya dilakukan oleh guru.
‘Pada tahun 2008, dari 86 kasus kekerasan yang dilaporkan, 39 persennya dilakukan oleh guru,’ ujar Wakil Ketua KPAI Magdalena Sitorus. Namun, guru SMA 70, Afrizal, menolak pandangan stereotip itu. ‘Budaya pendidikan masih penuh kekerasan. Guru yang memberi perhatian pada masalah bullying dengan berbagai cara dijadikan musuh bersama oleh murid pelaku,’ ujar Afrizal dalam seminar nasional Learning Without Fear yang diselenggarakan Sejiwa bersama Plan Indonesia beberapa waktu lalu.
Tidak dilahirkan Korban dan pelaku bullying tidak dilahirkan. Menurut Peter Sheras, seorang anak dipilih menjadi korban tergantung pada seberapa besar ia memahami kekuatannya dalam hubungannya dengan pelaku. Korban sering mengabaikan nasihat terkait dengan bullying karena menganggap nasihat itu tidak mempan. Kalau menuruti nasihat, tetapi pelecehan terus berlangsung, korban merasa itu terjadi karena salahnya sendiri.
Ia tak mau lagi meminta bantuan. Serangan berlanjut, meruntuhkan rasa percaya dirinya, menyebabkan frustrasi yang memperburuk kesehatan emosi dan sosialnya, dan akhirnya sangat berpengaruh terhadap capaian akademisnya. Pelaku distereotipkan sebagai ‘buruk’, ‘anak nakal’ dari keluarga berantakan.
Namun, menurut Peter Sheras, banyak pelaku berasal dari keluarga ‘baik-baik’ yang menyalurkan kemarahannya karena berbagai hal terkait hubungannya dengan orangtua. Persoalan bullying tidak sesederhana ‘anak baik’ versus ‘anak buruk’.
Ini merupakan masalah tingkah laku yang rumit, yang sering kali dorongannya tidak muncul hanya dari pelaku, tetapi juga dari korban dan pelaku secara bersama-sama.
Pada gilirannya, korban yang belajar dari pengalamannya di-bully juga dapat berubah menjadi pelaku. Benih kekerasan Meski hak anak mendapatkan rasa aman di lingkungan sekolah dijamin dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak ataupun dalam Konvensi Hak Anak yang sudah diratifikasi melalui Kepres 36 Tahun 1996, menurut Magdalena Sitorus, implementasinya masih jauh dari harapan.
‘Bullying di sekolah merupakan embrio kekerasan di masyarakat,’ ujar Diena, ‘Namun, demi ’nama baik’, tak lebih dari 0,1 persen sekolah di Jakarta mengakui terjadinya bullying di lingkungan sekolahnya,’ katanya.
Upaya mencegah bullying di sekolah, menurut Diena, harus dimulai dengan membentuk budaya sekolah yang ber-atmosfer ‘belajar tanpa rasa takut’ melalui pendidikan karakter, menciptakan kebijakan pencegahan bullying di masing-masing sekolah dengan melibatkan siswa, menciptakan sekolah model penerap sistem anti-bullying, serta membangun kesadaran tentang bullying dan pencegahannya kepada stakeholders sampai ke tingkat rumah tangga dan RT/RW.
‘Learning Without Fear’ diharapkan menjadi cara efektif untuk meningkatkan kesadaran anak terhadap masalah yang dihadapi, sekaligus membantu mereka menganalisis dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mengekspresikan masalah tersebut.
Sayangnya, pandangan tentang kekerasan di sekolah masih belum sama. Direktur Pembinaan TK dan SD Departemen Pendidikan Nasional Mudjito mengatakan, ‘Sejarah kekerasan sama panjangnya dengan sejarah manusia.’”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.