Akta Pisah Harta yang Tidak Dicatatkan pada Dinas Catatan Sipil

LEGAL OPINION
Question: Kalau mau buat kesepakatan pisah harta antara pasangan suami-istri, cukup ke notaris untuk buat perjanjian pisah harta, kan?
Brief Answer: Itulah salah kaprah yang terbukti cukup fatal akibatnya secara yuridis. Pernah terjadi, calon pasangan suami-istri menghadap notaris untuk membuat Perjanjian Pemisahan Harta Perkawinan, seolah dengan itu maka secara hukum pemisahan antara harta telah sah terjadi, alias tiada percampuran harta bersama.
Namun Mahkamah Agung RI dalam putusannya berpendirian, bahwa Akta Pisah Harta yang tidak dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Singkat kata, yang membuat sah perjanjian pisah harta, bukanlah akta notaris, namun keterangan yang tercantum dalam Kutipan Akta Nikah.
PEMBAHASAN:
Terhadap sebuah cerminan konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan sengketa register Nomor 598 PK/Pdt/2016 tanggal 24 November 2016, perkara antara:
- Dr. HARDI SOETANTO, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Penggugat; melawan
1. DR. FM VALENTINA, S.H., atau disebut FRANSISCA FALENTINA LINAWATI, atau disebut juga LINNA; 2. KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN TUBAN, sebagai Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat I dan Tergugat II; dan
- NOTARIS EKO HANDOKO WIJAYA, selaku Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu Turut Tergugat.
Antara Penggugat dengan Tergugat I sebelumnya melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tuban sebagaimana yang diuraikan dalam Kutipan Akta Perkawinan tertanggal 20 Juli 1994, namun kemudian putus karena perceraian sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 203/Pdt.G/2011/PN.Malang tanggal 16 April 2012 juncto Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 440/PDT/2012/PT.Sby, tanggal 19 November 2012 dan putusan mana telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), serta telah didaftar dan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tuban sebagaimana yang tertuang dalam Kutipan Akta Perceraian tertanggal 27 Maret 2013.
Semula, sebelum Penggugat dan Tergugat I melangsungkan perkawinan, kedua belah pihak antara Penggugat dan Tergugat telah membuat perjanjian kawin sebagaimana yang tertuang dalam Akta Perjanjian Nikah tertanggal 8 Juli 1994 yang dibuat dan ditanda-tangani di hadapan Turut Tergugat selaku Notaris di Malang, dengan esensi:
“Diantara suami dan istri tidak akan ada persatuan harta kekayaan juga tidak akan ada persatuan utang dan rugi dan juga tidak akan ada persatuan hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan dari masing-masing.”
Ternyata perjanjian nikah tersebut tidak pernah teregister di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tuban. Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, terdapat kaedah:
“Pada waktu / sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Sehingga berdasarkan norma diatas, perjanjian kawin dapat berlaku kepada pihak ketiga setelah perjanjian kawin yang tertulis disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (Kantor Catatan Sipil). Bilamana perjanjian kawin tidak pernah didaftarkan pada Dinas Catatan Sipil pada saat perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian kawin tersebut tidak pernah disahkan, oleh karenanya pihak ketiga tidak dapat menerima peralihan hak dari salah satu pihak (suami atau istri saja) sebab perjanjian kawin hanya berlaku untuk suami dan istri secara internal terkait kepengurusan harta masing-masing selama perkawinan berlangsung, demikian dalil Penggugat.
Dalam perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I, telah menghasilkan harta kekayaan, antara lain:
1. Rumah yang terletak di Jalan Taman Ijen Blok B-6 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-Malang;
2. Rumah yang terletak di Jalan Taman Ijen Blok B-7 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-Malang;
3. Rumah yang terletak di Jalan Taman Ijen Blok B-8 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-Malang;
4. Rumah yang terletak di Jalan Taman Ijen Blok B-27 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-Malang;
5. Harta-harta lainnya baik bergerak maupun tidak bergerak.
Dari seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I, ternyata Penggugat tidak bisa menikmati dari harta-harta yang diperoleh selama perkawinan tersebut, karena seluruh harta bersama yang diperoleh selama pernikahan telah dikuasai oleh Tergugat I.
Tergugat I pada saat menanda-tangani perjanjian nikah maupun dalam pelaksanaan perjanjian nikah, dinilai melakukan ketidakjujuran, yakni seluruh harta yang diperoleh selama dalam perkawinan dikuasai dan diatas-namakan Tergugat I maupun kedua anak kandung Tergugat I, sehingga Penggugat tidak bisa menikmati harta yang diperoleh selama dalam perkawinan.
Oleh karena seluruh harta bersama (harta yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I) telah dikuasai oleh Tergugat I, maka Penggugat mohon kepada Pengadilan agar memerintahkan Tergugat I untuk membagi sama rata dan sama besarnya atas harta bersama tersebut, juga agar akta perjanjian nikah dinyatakan batal.
Khawatir Tergugat I akan mengalihkan seluruh dan/atau sebagian dari harta bersama milik Penggugat dan Tergugat I, oleh karenanya Penggugat mohon pelaksanaan sita harta bersama yang diperoleh selama perkawinan (marital beslag).
Terhadap gugatan sang mantan suami, Pengadilan Negeri Tuban kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn., tanggal 25 November 2013, dengan amar sebagai berikut
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan batal Perjanjian Nikah Nomor 200 tertanggal 8 Juli 1994 dibuat dan ditandatangani di hadapan Turut Tergugat / Eko Handoko Widjaja, S.H., Notaris di Malang, dengan segala akibat hukumnya;
3. Menyatakan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat I, menjadikan harta bersama Penggugat dan Tergugat I;
4. Menghukum Tergugat I untuk membagi harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I yang besarnya sama rata antara Penggugat dan Tergugat I;
5. Menyatakan sita atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I (marital beslag) yang telah diletakkan oleh Pengadilan Negeri Tuban sah dan berharga;
6. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk tunduk pada putusan ini;
7. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini ditetapkan sebesar Rp1.172.000,00;
8. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 124/PDT/2014/PT.SBY., tanggal 17 April 2014, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding / Tergugat I;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tuban tanggal 25 November 2013, Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn., yang dimohonkan banding.”
Dalam tingkat kasasi, yang menjadi pertimbangan hukum serta amar Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 503 K/Pdt/2015 tanggal 22 Juni 2015, sebagai berikut:
“Menimbang, sesuai hukum pendaftaran perjanjian kawin bukan syarat formil sahnya suatu perjanjian, karena perjanjian a quo telah dibuat di hadapan notaris sehingga syarat formil telah terpenuhi;
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi DR. F.M. VALENTINA, S.H., atau disebut FRANSISCA FALENTINA LINAWATI, atau disebut juga LINNA, tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 124/Pdt/2014/PT.Sby., tanggal 17 November 2014, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tuban Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn., tanggal 25 November 2013;
MENGADILI SENDIRI:
- Menolak gugatan Penggugat;
- Memerintahkan mengangkat sita atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I (marital beslag) yang telah diletakkan oleh Pengadilan Negeri Tuban.”
Penggugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, menguraikan secara sengit bahwa terdapat putusan Mahkamah Agung dalam perkara pidana yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 503 K/Pdt/2015 tanggal 22 Juni 2015, Yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 1126 K/Pid/2014 tanggal 11 Februari 2015.
Uraian sekilas mengenai perkara pidana Nomor 1126 K/PID/2014: Dr. Hardi S (dalam perkara sekarang ini merupakan Penggugat), didakwa dengan Pasal 362 juncto 367 Ayat (2) terkait dakwaan pencurian dalam keluarga, yakni disangka telah mengambil Sertifikat-Sertifikat milik Tergugat (Valentina Linawati) yang bukan merupakan hak dari Penggugat (Dr. Hardi), karena terjadi “pisah harta” dan terhadap dakwaan tersebut Mahkamah Agung telah memberikan putusan bahwa Dr. Hardi tidak bersalah dan dibebaskan dari segala dakwaan.
Pihak dalam putusan yang saling bertentangan itu sebagian adalah sama, yakni ada Penggugat dan Tergugat I dan terhadap substansi atau materi pokok yang terkandung dalam putusan tersebut serta dasarnya adalah sama, yakni mengenai harta yang diperoleh antara Penggugat dengan Tergugat I, adalah merupakan harta bersama.
Dalam Putusan Perkara Pidana yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 1126 K/PID/2014 tanggal 11 Februari 2015, Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, mempertimbangkan sebagai berikut:
- Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menghendaki adanya perjanjian kawin harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan pasal tersebut secara imperative agar perjanjian perkawinan tersebut sah;
- Dari fakta di persidangan terungkap bahwa dalam perkawinan antara Dr. Hardi dan Valentina Linawati (Penggugat dengan Tergugat I) secara hukum tidak pernah ada perjanjian pemisahan harta perkawinan;
- Bahwa oleh karena perjanjian kawin tersebut ternyata tidak dicatatkan, maka perjanjian tersebut tidak sah.
Dengan pertimbangan tersebut, Hakim Agung perkara pidana telah memutus dengan amar putusannya adalah sebagai berikut:
- Menyatakan Terdakwa bernama Dr. Hardi Soetanto tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum;
- Membebaskan Terdakwa Dr. Hardi Soetanto tersebut dari segala dakwaan (vrijspraak);
- Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
Pihak saksi dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tuban, dengan di bawah sumpah di persidangan perkara pidana, menerangkan dengan membawa buku register pencatatan, bahwa di dalam berkas pencatatan pernikahan / perkawinan antara Terdakwa dengan saksi Valentina hanya dicatatkan perihal Perkawinannya yakni sebagaimana Akta Perkawinan, sedangkan perihal Akta Perjanjian Perkawinan tidak dicatatkan, sehingga perihal Perjanjian Perkawinan antara Terdakwa dan Valentina tidak tercatat dalam Register Perjanjian Perkawinan yang terdapat di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Tuban.
Telah nyata Tergugat II tidak pernah menerima pendaftaran Akta Perjanjian Nikah serta tidak ada register perjanjian nikah sampai dengan gugatan diajukan. Akta Perjanjian Perkawinan demikian tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak mendapat pengesahan dari pegawai pencatat perkawinan, adalah batal (nieted van rechtwege), perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga berlakulah prinsip percampuran harta perkawinan (gono-gini alias harta bersama dalam perkawinan).
Dimana terhadap argumentasi demikian, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan korektif yang penting untuk disimak, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan karena setelah meneliti secara saksama memori peninjauan kembali dan tanggapan peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris telah terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris yang membatalkan putusan Judex Facti dengan alasan sebagai berikut:
- Bahwa interpretasi Judex Juris terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan yang dilakukan di hadapan Notaris sudah memenuhi syarat formil, merupakan interpretasi yang terlalu luas, sehingga telah mengubah makna Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pada pokoknya menyatakan bahwa perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, (bukan oleh Notaris). Oleh sebab itu penerapan Pasal tersebut harus sesuai tata bahasa Pasal tersebut dan tidak boleh ditafsirkan lain;
- Bahwa ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat imperatif dan bersifat publik yang harus ditaati;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas dengan tidak perlu mempertimbangkan alasan-alasan peninjauan kembali lainnya menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali Dr. HARDI SOETANTO dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 503 K/PDT/2015 tanggal 22 Juni 2015 yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 124/PDT/2014/PT.SBY., tanggal 17 April 2014 serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali Dr. HARDI SOETANTO, tersebut;
- Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 503 K/PDT/2015 tanggal 22 Juni 2015;
“MENGADILI KEMBALI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan batal Perjanjian Nikah Nomor 200 tanggal 8 Juli 1994 dibuat dan ditanda-tangani di hadapan Turut Tergugat / Eko Handoko Widjaja, S.H., Notaris di Malang, dengan segala akibat hukumnya;
3. Menyatakan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat I, menjadikan harta bersama Penggugat dan Tergugat I;
4. Menghukum Tergugat I untuk membagi harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I yang besarnya sama rata antara Penggugat dan Tergugat I;
5. Menyatakan sita atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan Tergugat I (marital beslag) yang telah diletakkan oleh Pengadilan Negeri Tuban sah dan berharga;
6. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk tunduk pada putusan ini;
7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Catatan SHIETRA & PARTNERS :
Namun demikian, bukan berarti kaedah norma yang ada dapat ditafsirkan secara berbeda (tidak ada bahasa lisan yang sempurna, bahasa selalu dilingkupi ketidak-sempurnaan). Mari kita simak kembali norma Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
“Pada waktu / sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Dicatatkannya Perjanjian Pemisahan Harta Perkawinan, adalah dalam rangka Dinas Catatan Sipil menerbitkan Akta Perkawinan yang disertai keterangan adanya perjanjian “pisah-harta” demikian dalam Kutipan Akta Perkawinan, sehingga dapat diketahui dan mengikat pihak ketiga. Namun bila tidak dicatatkan pada instansi terkait, perjanjian “pisah-harta” tetap berlaku, meski hanya mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Terlepas dari polemik yang ada, demikianlah yang menjadi pendirian Mahkamah Agung pada akhirnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.